Gerakan sosial politik di Indonesia berkali-kali “kalah”. Tetapi apa iya semuanya sia-sia? Aktor Reza Rahadian naik mobil komando Partai Buruh dan mengajak rakyat mengawasi kekuasaan adalah bukti bahwa tidak ada yang sia-sia dari gerakan rakyat.
Ya, sayalah salah satu aktivis borjuis itu, yang ikut demo pada 22 Agustus 2024 didorong oleh kemarahan pada penguasa ugal-ugalan. Hari itu saya juga gembira karena bertemu banyak teman yang juga marah. Perasaan “saya tidak marah sendirian” dominan di hari itu, dan ini memberi harapan besar.
Ketika membaca tulisan Rafiqa Qurrata A’yun dan Abdil Mughis Mudhoffir bahwa gerakan #PeringatanDarurat itu adalah reaktif dan moralis, juga rawan ditunggangi, saya bisa setuju dengan beberapa poin-poinnya. Saya ikut gelombang protes pun dengan kesadaran penuh ini mungkin “kalah” lagi, “ditunggangi” lagi, melempem lagi. Saya juga setuju pada pesan utama dari tulisan itu: bahwa gerakan rakyat di Indonesia butuh pengorganisasian politik yang progresif.
Tetapi tulisan itu memang bukan bikin semangat orang untuk terus membangun gerakan politik progresif, malah bikin orang yang sudah progresif jadi merasa sia-sia, dan bisa jadi membuat orang yang BARU mulai progresif, jadi kecil hati.
(Saya tahu banyak pembaca menyatakan kekecewaan pada Project M karena memberi ruang pada tulisan tersebut dan saya bagian dari Project M, meski bukan pengambil keputusan di redaksi. Kami sendiri di organisasi terbiasa dengan perbedaan pendapat dan menghormati independensi redaksi.)
Kesalahan terbesar para penulis adalah satu, mereka tidak membuat pembedaan siapa yang mereka sebut sebagai aktivis borjuis atau liberal yang mereka kritik sebagai perengek, pemandu sorak, naif, moralis, dan sebagainya. Apa iya mahasiswa dan pelajar termasuk? Apa iya orang yang baru memberanikan diri datang demo termasuk yang mereka kritik? Jadi siapa target yang dikritik?
Kesalahan besar kedua adalah mereka kurang sabar dan menolak menghargai langkah-langkah kecil sampai tingkat nyinyir. Mereka seperti mau hasil cepat, langsung lompat ke perubahan besar, hingga terkesan mengecilkan kerja-kerja kecil yang justru jadi dasar bangunan kemenangan. Sampai-sampai “bahwa yang penting bergerak daripada diam” pun jadi hal yang salah.
Kemenangan Disusun oleh Bata-Bata Kecil
Saya belajar banyak sabar dari gerakan perempuan yang usianya berabad-abad. Ini gerakan dengan napas paling panjang yang musuhnya tidak main-main, tapi tak pernah mati dan terus memperkuat diri.
Dua abad yang lalu, perempuan tak boleh sekolah, tak punya hak memilih perwakilan rakyat, bahkan tak bisa memilih suami. Dulu memperkosa boleh, bukan tindak pidana; dulu perempuan tidak punya pilihan selain kerja domestik; dulu perempuan hamil berbelas-belas kali selama hidupnya tanpa ikut memutuskan apakah dia sanggup hamil lagi.
Pencapaian ini membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun dan ia terdiri dari “building blocks” atau bata-bata kecil yang menyusun kemenangan sedikit-sedikit.
Yang Kudu Diantisipasi dari #PeringatanDarurat
Kalau melihat aksi di jalanan, sepintas, bisa disimpulkan #PeringatanDarurat lebih kecil dari #ReformasiDikorupsi. Pemicunya pun sebenarnya lebih “problematik” dalam arti, peluang aksi ini dimanfaatkan elite sangat besar, lebih besar dari #ReformasiDikorupsi. Ini saya kira yang menjadi motivasi utama Rafiqa dan Mughis menulis kritik tersebut.
Satu, mengawal putusan Mahkamah Konstitusi bisa menguntungkan para elite, salah satunya PDI-P, partai yang saat ini seolah ada di sisi korban, tapi bagian dari gerombolan ugal-ugalan ketika #ReformasiDikorupsi dan pengesahan UU Ciptaker.
Dua, buat warga miskin kota di Jakarta, mengawal keputusan MK penting, tetapi tidak menutup kemungkinan partai-partai yang mengusung calon selain Ridwan Kamil malah mengusung calon gubernur tukang gusur juga, bahkan yang lebih brutal dari Ridwan Kamil (yang menggusur lebih sopan tapi ujungnya memiskinkan orang juga, jadi mungkin sama brutalnya).
Tiga, aktivis Surya Anta benar ketika mempertanyakan di media sosial (saya melihat screen capture-nya) tentang apa yang darurat. Mengapa kita tidak teriak darurat ketika tragedi Paniai terjadi, ketika warga desa-desa di Kabupaten Nduga di Tanah Papua harus pergi jadi pengungsi? Kalau saya menambah daftar pribadi saya, akan lebih panjang lagi. Where is all the anger ketika A, B, C, D, sampai Z terjadi.
Kesadaran Politik yang Dihilangkan
Nah, di titik inilah kemudian saya mau menekankan pentingnya edukasi politik. Kita memang baru sampai titik ini: membangun kesadaran politik setelah sekian lama otak kita disanitasi Orde Baru sehingga kita jadi massa mengambang kayak t**. Tahun lalu saya bicara tentang bangkrutnya pemikiran kritis di TEDx Jakarta.
Kita ini kan memang masih di tahap berjuang keluar dari warisan pembunuhan besar-besaran di 1965. Yang mati bukan hanya ratusan ribu atau jutaan orang, tetapi kesadaran politik kita selama beberapa generasi. Lalu selama 32 tahun kita disihir developmentalisme, stabilitas politik, harmoni, ketertiban, penghambaan atas beton, investasi asing, kapitalisme, pertumbuhan ekonomi, dsb.
Apa hubungan tragedi 1965 dengan pertanyaan tante-tantemu di kawinan saudara: Kapan kawin? Kapan punya momongan? Kapan bikin adiknya? Percayalah, ada hubungannya.
Pembersihan otak kita atas kesadaran politik membersihkan obrolan politik dari tempat kumpul-kumpul orang Indonesia. Di zaman Orba, kebebasan berserikat dan berkumpul dibatasi. Ketika di masa Reformasi, tak perlu lagi dibatasi tapi obrolan politik sudah telanjur tak ada lagi di saat kita makan-makan dan berubah jadi: “Gendutan ya sekarang?”
Ketika kita mencoba membahas politik di grup WA kompleks perumahan atau alumni SMA, apa yang kita dapat? “Serius amat sih, udah ah nanti darah tinggi.” Atau, “Udahlah, jangan ngomong politik nanti malah ribut ga perlu.” Ketika kita marah-marah dengan pemerintah, apa yang kalian dapatkan dari tetangga, tante, bapak-ibu: “Udah sabar, jangan marah-marah terus, lagian keadaan tak seburuk itu.” Akhirnya kita memilih membahas makanan saja.
Iya, kita butuh gerakan politik rakyat progresif. Tapi mana rakyat progresifnya? Belum banyak, dan karena itu harus diperbanyak dengan menyebarkan pemikiran kritis.
Rakyat Jadi Fans
Kesadaran politik kita atau pemikiran kritis bahwa kekuasaan perlu diawasi mengalami naik turun sejak Reformasi. Di ujung Orba, pemikiran kritis membesar di tengah situasi yang hampir tidak mungkin.
Lalu lebih dari 10 tahun masa Joko Widodo (dihitung sejak dia gubernur), pemikiran kritis bahwa kekuasaan perlu diawasi yang sudah membaik turun sampai titik nol. Akademisi dan jurnalis tanpa malu-malu mendukung kekuasaan. Media-media tanpa perlu diancam atau diiming-imingi apapun dengan rela dan ikhlas membela Jokowi dan orang-orang sekelilingnya. Lalu muncul penokohan: Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, Ganjar, Anies jadi “media darling”. Kalau orang pintar dan medianya begitu, apa yang kita harapkan dari rakyatnya? Belum lagi buzzer yang dibayar untuk memuja-muja tokoh-tokoh politik. Makin terbajak saja ruang diskusi sipil kita.
Kita semua berubah dari rakyat menjadi fans. Saya akan selalu mengingat tahun-tahun itu sebagai Zaman Kegelapan jurnalisme Indonesia.
Maka perlu diingat, titik berangkat banyak orang yang ikut aksi #PeringatanDarurat adalah dari titik 0.
Yang Berharga dari #PeringatanDarurat
Salah satu momen signifikan pada aksi 22 Agustus 2024 adalah ketika Reza Rahadian naik mobil komando Partai Buruh di depan DPR dan orasi. Bukan karena dia ganteng (bonus), tetapi kita kenal dia sebagai aktor yang paling terkenal dan paling laku di Indonesia sekaligus paling “private”. Dari rekam jejaknya, sulit membayangkan Reza naik panggung dan orasi biar tambah laku.
(Duluuuu, di UGM tahun 1990-an, saya ingat diskusi dengan teman-teman, bercanda-bercanda: Bayangkan, kalau aksi kita besok, dipimpin Nike Ardilla (paling ngetop saat itu. May she rest in peace). Saya mendengus merendahkan, teman saya menyanggah: revolusi langsung, Vi.)
Ada selebritas nonpolitis ngomong politik adalah tanda kesadaran politik kita, paling tidak di tataran “mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan”, sudah pulih ke zaman Reformasi. Artinya, kerja-kerja pembajakan rezim dan miliaran dana yang digelontorkan faksi Jokowi selama 10 tahunan di ruang sipil digital, mulai mengalir ke comberan.
Ini tanda bahwa gerakan masif digital sehari sebelumnya, dengan poster biru ikonik yang sepertinya diambil dari komunitas gaming, berhasil mendorong keberanian banyak orang, yang selama ini memilih diam, untuk “yang penting bergerak, jangan diam”.
Gerakan digital yang masif, paling tidak di Twitter dan di Instagram, seperti serial ledekan Mulyono, komen-komen bersemangatkan “eat the rich” terhadap Kaesang Pangarep dan Erina Gudono, juga sindiran terhadap Ridwan Kamil menggunakan ucapan-ucapan hipokrit dia, jadi tanda semakin banyak orang kembali jadi rakyat dan berhenti jadi fans.
Kamisan 22 Agustus lebih ramai dari biasanya. Ya ini “emergency”, mungkin, musiman. Kamis depan juga balik ke level biasa. Tapi seperti kata penulis Intan Paramaditha di komen Instagram Project M (di unggahan konten yang kami hapus karena fotonya harus diganti): “Emergency activism tidak pernah cukup, tapi dia punya fungsinya sendiri sebagai ruang pertemuan dan mengekspresikan agensi politik.”
Di Kamisan tersebut saya bertemu banyak teman tetapi juga melihat banyak orang yang tak saya kenal. Saya diperkenalkan pada orang-orang yang selama ini jauh dari sirkel aktivis, seperti “pegawai SCBD” (entah apa iya kantor mereka di SCBD). Bisa jadi buat banyak orang di Kamisan itu, itu Kamisan pertama yang mereka kunjungi, tapi bahwa mereka sampai turun ke jalan, bisa diyakini untuk setiap satu orang di situ, ada sekitar 5-10 orang teman mereka yang tidak turun ke jalan tapi sudah punya kesadaran politis yang sama, kesadaran yang lebih baik ketimbang, katakanlah, 5 tahun lalu.
Aku Ingin Kita Tetap Marah, Aku Ingin Kau Panik
Mimpi saya sebenarnya “runtuhkan kapitalisme dan patriarki”. Memang masih jauh. Untuk runtuhkan oligarki Indonesia saja masih jauh.
#KawalPutusanMK, dalam dirinya, mungkin selesai ketika DPR berjanji akan pakai putusan MK. Tetapi #PeringatanDarurat harus lanjut, sebagaimana ia melanjutkan #TolakCiptaker dan #ReformasiDikorupsi dan aksi-aksi sebelum itu.
Kita harus bisa mengubahnya menjadi gerakan progresif, entah partai baru seperti di Thailand, memperbesar Partai Hijau Indonesia atau Partai Buruh, atau jalur-jalur gerakan lain. Bisa mulai dari serikat-serikat di tempat kerja sendiri, meradikalisasi gerakan sayang kucing, bikin koperasi, belajar dari pengorganisasian rakyat seperti Jaringan Rakyat Miskin Kota, bikin perkumpulan mengawasi polisi, bikin komunitas diskusi kritis, membaca lebih banyak buku (seperti kata patjarmerah_id) atauuuuu, minimal Jadi Kawan M dulu?
Aku ingin kita tetap marah, aku ingin kau panik (lagi). Sampai jumpa di aksi berikutnya dan berikutnya, dan berikutnya.
Sampai kapan? Sampai keadilan kelas, gender, bagi semua orang apapun etnis, ras, agama dan orientasi seksualnya, tercapai. Sampai tak ada lagi penjajahan dan genosida di muka bumi ini. Sampai seluruh dunia berhenti rakus dan menghentikan krisis iklim, sampai keadilan sosial di seluruh dunia tercapai.
Catatan: “Aku ingin kau panik” dikutip dari pertunjukan “Waktu Batu: Rumah yang Terbakar” karya Garasi Performance Institute.