Dari ‘Aktivisme Borjuis’ yang Satu ke yang Lain: Apa Tawarannya?

Fahri Salam
7 menit
Sebuah nisan untuk demokrasi diletakkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, aktivis, petani dan kelompok masyarakat sipil lainnya di sisi jalan layang AP Pettarani - Urip Sumoharjo pada aksi Peringatan Darurat di Makassar, Kamis (22/08/2024). (Project M/Aziziah Diah Aprilya)
Melihat manuver elite Partai Buruh, yang mendaku sebagai 'partai gerakan', maka alat politik gerakan saja ternyata tidak cukup untuk mengakhiri 'aktivisme borjuis'.

Rafiqa Qurrota A’yun dan Abdul Mughis Mudhoffir nyaris kehilangan penglihatan saat menulis ‘Darurat Aktivisme Borjuis’ (yang dirilis Project Multatuli saat panas-panasnya aksi #PeringatanDarurat). Keduanya memandang masalah dengan kalut, oleh karenanya tak akurat. Kira-kira dari balik meja kerjanya yang nyaman, mereka menyetempel gerakan protes melawan konsolidasi oligarki pemerintahan Jokowi kemarin dengan label “aktivisme borjuis”. 

Stigma ini bukan saja tak nyaman di telinga sebagian orang, tapi juga menunjukkan kelemahan keduanya dalam memilah-milah masalah. Keduanya tidak memilah antara kebangkitan perlawanan generasi muda di satu sisi, dengan dominasi gagasan liberal di sisi lain. Tak ada pemilahan masalah, dan itu memantik reaksi.

Pendeknya, bagi Rafiqa dan Mughis, pada 22-26 Agustus 2024, elan borjuislah yang satu-satunya hidup di setiap sanubari ribuan pemrotes. Maka, sebagai kaum yang tercerahkan, mereka wajib menghardiknya. Meluruskan kesesatan massa, termasuk saya yang ikut turun ke jalan. Walau saya sama sekali tidak digerakkan oleh iktikad borjuis dari jenis yang manapun, dari siang hingga malam demonstrasi.

Bagi saya, massa yang berlawan pantas diapresiasi, seminimal apapun pencapaiannya. 

Di pabrik-pabrik buruh yang memenangkan tuntutan uang makan lima ribu perak per hari, patut ditepuk tangani. Walau kita paham itu tak banyak mengubah nasib kelas pekerja, apalagi merobohkan kapitalisme. Ini yang segan dilakukan kedua penulis. Seakan tidak ada kandungan positif apapun dari aktivitas perlawanan massa dalam jenis yang seperti tadi. 

Jika Rafiqa dan Mughis pernah memiliki pengalaman berjuang dengan lapisan rakyat miskin, pasti paham bahwa kemenangan kecil membukakan pintu kesadaran baru, selagi pekerjaan lanjutannya dilaksanakan sungguh-sungguh. Tuntutan penaikan upah yang  dimenangkan secara kolektif oleh buruh berpotensi menguatkan serikat pekerja. Keberhasilan mengadvokasi kasus putus sekolah akan menambah anggota baru di organisasi miskin kota.

Kemenangan kecil juga memberikan kepercayaan diri massa. Bahwa mereka bisa mengubah sesuatu. Dari yang remeh-temeh menjadi lebih berbobot. Mungkin semua itu tak berarti banyak buat Rafiqa dan Mughis. Dua orang ini sepertinya menanti yang megah-megah, yang kolosal semata, yang radikal tentu saja. Sayangnya keduanya juga tidak memiliki portofolio tentang itu sama sekali.

Bayangkan jika aksi massa di penghujung Agustus kemarin tidak ada protes masif. Semua berjalan dalam alur bisnis seperti biasa. DPR menjalankan kemauan seenaknya. Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, mengantongi tiket yang diperlukan. Jokowi memuluskan skenario. 

Dominasi koalisi Jokowi-Prabowo bernama KIM Plus tak terbendung. Orang-orang masa bodoh dengan apa yang terjadi. Anak-anak muda memilih asyik berjoget di TikTok.  Benarkah ini keadaan yang lebih mending dibandingkan “aksi yang sekadar untuk aksi (dan) akan kembali menyia-nyiakan massa”, seperti yang diurai Rafiqa dan Mughis? 

Memang itu bukan revolusi, tapi terlalu lancang bila disebut sia-sia. Mengapresiasi tidak sinonim dengan mengglorifikasi. 

Membiarkan gerakan seolah tak mengandung kelemahan, tentu sikap yang celaka. Saya bisa bersetuju dengan itu. Kesadaran banyak orang bukan seperti kelinci yang secara ajaib keluar dari topi pesulap. Bahkan dalam pertunjukan sulap pun, itu dipersiapkan dengan matang. Ada pekerjaan besar, terus-menerus, dan tidak mengenal ampun yang menanti di sana. Anda mesti pergi meninggalkan rumah, menemui orang-orang, mengajak mereka bicara, menjelaskan ide-idenya. Pendeknya, mengorganisir. Oh, betapa beratnya! Sekali lagi, ini bukan ‘Abrakadabra’.

Kalangan yang disebut Rafiqa dan Mughis sebagai ‘liberal’ melakukan pekerjaan itu. Kursus-kursus demokrasi dalam frame liberal secara berkala digelar. Sekolah-sekolah HAM diselenggarakan. Merawat jaringan aktivis kampus. Melancarkan propaganda terus-menerus di media sosial dengan kemasan yang memikat kaum muda. Memproduksi film yang judul dan isinya memantik perhatian penonton. Tampil dalam talk show politik di televisi, menjadi terkenal dan didengar.

Bukan lagi rahasia, bila kegiatan untuk mempengaruhi kalangan muda ini, sebagian besar ditopang oleh pendanaan dari donor. Donor mengguyurkan uang tentu memiliki agenda politik, naif jika dianggap cuma-cuma. Ada warna ideologi yang ingin dipoles dalam tubuh gerakan. Mereka juga getol menggaet anak-anak muda menjadi aktivis yang digaji bulanan (yang oleh teman saya dijuluki “aktivis pascabayar”). Tetapi, itu berhasil menjadi model bagi sebagian aktivis muda. Diamini sebagai alternatif politik yang menyakinkan. 

Rafiqa dan Mughis benar ketika bilang bahwa model perlawanan spontan dan reaktif seperti penolakan RUU Pilkada dan kawal putusan MK sangat rawan menguntungkan elite oligarki yang lain, alih-alih mendatangkan manfaat maksimal untuk kepentingan rakyat tertindas. Kedua penulis ini juga benar ketika menegaskan perlu alat politik rakyat untuk turut bertarung dalam wilayah kekuasaan negara. 

Kemendesakan tersedianya alat politik guna bertarung dalam arena kekuasaan negara, rasanya telah menjadi kesadaran di antara sebagian aktivis. Beberapa pihak sudah, pernah, dan sedang terus mengupayakannya. Beberapa pihak yang lain mungkin telah putus asa, usai babak belur sekian lama. 

Rafiqa dan Mughis rasanya tidak awam untuk mengetahui, betapa sulit dan rumit menemukan konsensus di antara kelompok gerakan sosial yang berserakan demi mewujudkan alat politik bersama. Betapa tak gampang dioperasionalkan. Kedua penulis sialnya tidak punya formula yang ditawarkan untuk menjawab kebuntuan tersebut. Tawaran mereka kabur. 

Alat politik yang seperti apa yang dimaksud untuk menyudahi ‘aktivisme borjuis’ ini? Partai progresif macam apa? Partai kiri? Partai sosialis? Lantas bagaimana cara membangunnya secara praktikal? Saya meragukan Rafiqa dan Mughis bisa menjawab pertanyaan terakhir ini dalam praktik yang menguras energi dan melelahkan.

Saya mendengar Mughis memiliki simpati tertentu kepada Partai Buruh. Bisa jadi pendengaran saya salah. Andai itu akurat, maka pilihan Mughis adalah sesuatu yang bukan saja sah, juga tampak selaras dengan pernyataan, “(agar tidak) menjauhi pertarungan di dalam arena politik formal.” Tetapi benarkah itu model alat politik yang diperlukan gerakan?

Partai Buruh yang mendaku sebagai ‘partai gerakan’ malah menunjukkan kontradiksinya di sana-sini. Seusai Pemilu kemarin, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengumbar pujian setinggi langit kepada Prabowo, menyebutnya membaca 50 buku sehari. Manuver yang ditangkap orang sebagai upaya mengais-ngais perhatian dari calon penguasa baru, demi mencicipi konsesi. Kritik terbuka apa yang diberikan Mughis? Harusnya bisa lebih pedas dari yang disasarkan kepada kami—kaum muda.

Di Pilkada kali ini Partai Buruh juga menunjukkan wajah yang serupa dengan partai-partai yang sudah ada. Mereka mendukung politik dinasti di Banten. Petahana di Jawa Timur yang selama bertahun-tahun dimusuhi karena kebijakan upah buruh, kini menjadi kandidat yang dipuji dan didukung Partai Buruh. Menyokong kandidat dari koalisi Jokowi-Prabowo, Dedi Mulyadi, di Jawa Barat, sebagaimana berbaris bersama Edy Rahmayadi di Sumatera Utara yang diusung PDIP. Tidak ada garis politik yang terang, yang membedakan ‘partai gerakan’ dan partai yang sudah-sudah. Yang terlihat hanya corak oportunisme yang sama kentalnya.

Jadi, di sini, persoalan lain mengemuka. Alat politik gerakan saja ternyata tidak cukup untuk mengakhiri ‘aktivisme borjuis’. Kasus Partai Buruh menjadi contoh. Mereka beranjak meninggalkan ‘aktivisme  borjuis’ yang satu untuk datang ke ‘aktivisme borjuis’ yang lain dalam ranah kekuasaan negara. Bahkan lebih buruk dan merusak. 

Bukan alat politik seperti itu yang kaum muda butuhkan, setidaknya saya. Kita membutuhkan alat politik yang bukan alakadar. Saya tidak mau sok tahu bahwa saya paham cara menghadirkannya segera.

Pada akhirnya saya masih muda. Saya ingin belajar lebih baik dan memang harus begitu. Protes Reformasi Dikorupsi, Omnibus Law, dan Peringatan Darurat, di mana saya ikut terlibat, merupakan tempat belajar yang penting. Buat saya dan mungkin juga banyak orang lainnya. Dan saya harus bilang, Rafiqa dan Mughis bukan teman belajar yang saya idam-idamkan. Mohon maaf, tetapi saya harus berterus terang.  


Muhammad Isyroqi Basil adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang dan aktivis gerakan sosial di Malang.

Catatan: Ini adalah tanggapan keenam untuk opini “Darurat Aktivisme Borjuis“. Kamu bisa baca tanggapan pertama yang ditulis Evi Mariani, pemimpin umum PM, “Aku Ingin Kita Tetap Marah“; tanggapan kedua oleh Wahyu Eka Styawan, aktivis WALHI Jawa Timur, “Kritik Terbaik adalah yang Menggugah Orang untuk Bergerak“; tanggapan ketiga oleh Ilham Saenong, aktivis yang bekerja di Humanis, “Merekat Pembelahan Aktivis”; tanggapan keempat oleh Dodi Faedlulloh, akademisi Universitas Lampung, “Aktivisme Borjuis yang Eksis Lebih Berharga ketimbang Pengorganisasian Berbasis Kelas yang Hanya di Kepala”; tanggapan kelima oleh Zulfadhli Nasution, peneliti dan penulis lepas, “Kritik Konseptual dan Praksis atas ‘Aktivisme Borjuis’“.

Mughis pernah menulis opini dengan tesis yang sama pada 2021 di PM, dan mendapatkan opini tanggapan yang terbit di IndoProgress oleh Coen Husain Pontoh, editor IP, “Menginvestigasi Kelas Menengah“, dan Eduard Lazarus, jurnalis dan editor lepas, “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Komunis dan ‘Masyarakat Sipil’“. 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
7 menit