Candu Timah di Bangka: Di Antara Kerusakan dan Harapan yang Pupus

Felix Jody Kinarwan
Ronna Nirmala & Adrian Mulya
9 menit

Cerita foto ini adalah refleksi fotografer kepada kampung halaman keluarganya di Kabupaten Bangka, Bangka Belitung yang mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan timah. Dengan menggunakan teknik manipulasi foto overlay atau berlapis, saya membayangkan dua sisi timah bagaimana ia membangun sekaligus merusak kehidupan.

Foto-foto ini menyandingkan dua situasi pertambangan pada tahun 2017 dengan saat ini, sebagai metafora dari dampak kerusakan lingkungan sekaligus keterikatan historis dan ekonomis Bangka Belitung dengan timah. 

TERUNGKAPNYA kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan negara lebih dari Rp200 triliun membuat sebagian besar aktivitas tambang, terutama yang ilegal, terhenti. Lima smelter dan beberapa pabrik lainnya disita negara dan ditutup paksa. 

Imbasnya merembet ke kinerja ekonomi Bangka-Belitung. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Bangka-Belitung menjadi wilayah dengan pertumbuhan ekonomi terendah sepanjang semester I/2024 di Sumatra, yakni 1,08% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Di sisi lain, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) meroket hingga 4000 persen pada Agustus 2024.

Sudah sejak lama, Bangka-Belitung memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap timah. Ketergantungan ini juga yang menyebabkan lada, salah satu rempah unggulan Nusantara, tergeser dari Negeri Serumpun Sebalai ini. 

Dalam catatan sejarawan kelahiran Prancis, George Cœdès, Wangka [asal-usul nama Bangka] adalah panggilan para pelaut dari India yang dalam Sansekerta berarti timah. Catatan ini yang kemudian memicu spekulasi bahwa penggalian timah di Bangka sudah dilakukan sejak awal abad pertama. 

Penambangan timah secara sederhana juga dilakukan pada masa Kerajaan Palembang. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada abad ke-17, timah menjadi populer. Aktivitas pertambangan mulai marak. 

Popularitas timah semakin menjadi pada masa Reformasi yang mendorong petani ramai-ramai membuka lahan tambang baru, dan menggusur perkebunan termasuk lada. Seturut dengan ini, pembabatan hutan juga dibarengi dengan kehadiran perkebunan sawit. 

Petani menjadi enggan menanam lada karena dinilai tidak “tahan banting” sebab mudah terserang penyakit serta harganya yang cenderung tidak stabil. Imbasnya, luas perkebunan lada Bangka-Belitung terus menyusut dalam 25 tahun terakhir. Padahal, lada masih menjadi komoditas seksi di pasar internasional.

Data Walhi menunjukkan luas lahan pertambangan di Bangka Belitung mencapai 1,1 juta hektare, dari luas daratan kepulauan sebesar 1,6 juta hektare. Wajah Bangka kini seperti habis dihujani bom atom, tanahnya penuh kolong dan limbah tambang. Sebuah harga mahal yang harus dibayar meski Indonesia menjadi pengekspor utama timah dunia (Litbang Kompas 2021). 

***

Foto overlay/berlapis tailing atau limbah bekas penambangan PT Timah di Koba, Bangka 2017 dan Lai Tjin Kho yang tengah duduk di atas mobil bak yang mengangkut buah kelapa sawit di Sungailiat, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

LAI TJIN KHO (64) berbaring di sebilah papan kayu di bengkel besinya saat matahari di Sungailiat sedang terik-teriknya. Beberapa kawannya asik berbincang, sementara ia tampak tidak peduli. Sudah sejak pandemi bengkel besinya sepi pengunjung. 

“Musim timah zaman dulu orang kan ramai, ekonomi bagus. Orang ada duit bangun rumah, otomatis orderan bikin pagar dan teralis ramai, bengkel jalan terus. Sekarang timah la (sudah) sepi orang ndak bikin rumah agik (lagi),” kata Akho.

Sejak dihantam pandemi, ditambah sepinya pesanan pengerjaan besi, Akho memilih kembali berkebun sawit di lahan tempatnya dulu menambang timah. Ia sedikit lupa, tapi setidaknya tahun 2000an awal, ia pernah menjual kebunnya untuk membuka tambang. 

Ketika cadangan semakin menipis dan biaya untuk membuka lahan baru terlalu besar, Akho memutuskan berhenti dan berkebun sawit di lahan yang sama. 

“Makin lama timah makin habis, lahan juga habis. Dia kan namanya timah kalau dibalik jadi mah-ti.”

Foto overlay/berlapis aktivitas penambang timah oleh PT Timah di Koba, Bangka 2017 dan aktivitas pengunjung BTC di Pangkal Pinang, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

***

Foto overlay/berlapis tailing atau limbah bekas penambangan inkonvensional (TI) timah di Merawang, Bangka 2017 dan A Liong berpose di depan halaman rumahnya di Namang, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

TANGAN DAN KAKI A Liong atau Gobang (49) dipenuhi tanah dan lumpur. Ia baru saja selesai memperbaiki kandang bebek yang rusak di belakang rumahnya di Kayu Besi, Bangka Tengah. 

Wajahnya terlihat kusut. Sepekan sebelumnya, Gobang baru saja menutup toko elektroniknya yang bangkrut di pusat perbelanjaan BTC (Bangka Trade Center), Pangkal Pinang. 

Sebagai wirausaha, Gobang sebenarnya bukan pemain baru. Selesai SMA, ia sudah berdagang mengikuti ayahnya yang membuka toko jam dan elektronik di pasar.

Penurunan kinerja toko elektroniknya dimulai saat pandemi Covid-19, tahun 2020. Pembatasan mobilitas membuat tidak banyak orang berkunjung ke tokonya. 

“Covid selesai, sempat ramai tahun 2022 pas momen Idulfitri, tapi turun terus sejak ramai online (ecommerce), puncaknya kasus korupsi timah ini,” katanya. 

“Sekarang rakyat susah, pedagang juga susah.”

Gobang bercerita, sejak harga timah naik pesat pada 2001, warga berbondong-bondong mengalihfungsikan lahan ladangnya menjadi timah. 

“Sahang,” kata Gobang, merujuk pada lada. 

“Sekarang dua-duanya ga ada ini berasa terpuruk bener,” Gobang melanjutkan. 

Untuk kembali bertani lada adalah hal yang sulit dilakukan, katanya. Para petani paling tidak harus menunggu tiga tahun untuk panen. Produktivitas itu berbanding terbalik dengan bekerja di timah, ketika mereka bisa mendapatkan upah harian. 

Sebagai putra daerah, Gobang juga pernah mencoba ikut menambang. Ia pertama kali ikut mertuanya membuka tambang inkonvensional (TI) timah pada 1998, namun, usaha mereka hanya bertahan 3-4 bulan karena kekurangan modal. Ia lalu ikut kawannya menambang lagi di tahun 2002 hingga 2004. Dalam periode itu, ia pernah mengeruk hampir 500 kg dalam satu hari. 

Saat ini, Gobang memilih untuk membantu istrinya membuat kue untuk dititipkan di pasar yang tak jauh dari rumahnya. 

Foto overlay/berlapis aktivitas pertambangan timah di Blinyu, Bangka 2017 dan kondisi beberapa toko tutup di BTC, Pangkal Pinang, Bangka akibat sepi pengunjung 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

***

Foto overlay/berlapis tailing atau limbah bekas penambangan inkonvensional (TI) timah di Koba, Bangka 2017 dan foto Bujang sedang berbicara lewat telepon genggam di halaman rumahnya di Namang, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

“Zaman timah itu, jual apa pun seger (gampang),” Bujang membuka percakapan di rumahnya di Kayu Besi, Namang, Bangka Tengah. 

Sejak timah gulung tikar, bengkel besi dan rumah makan miliknya tutup karena tidak ada pembeli.

“Sejak mulai bos Tamron kena tangkap ini lah parahnya. Inilah titik terendah, inilah,” katanya menceritakan sedikit kondisi di kampungnya.

Tamron alias Aon didakwa mengakomodir kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015–2022. Aon adalah penerima manfaat (beneficial ownership) dari CV Venus Inti Perkasa dan Komisaris PT menara Cipta Mulia. Kedua perusahaan smelter ini ikut terseret dalam kasus korupsi timah.

Bujang adalah mantan penambang timah yang beralih ke pengusaha. Dahulu, ia biasa menambang timah lepas pantai. Menurutnya di tahun 90an, waktu pertama kali menambang, timah mudah dicari meski harganya masih di kisaran Rp6.000 per kg. Masifnya aktivitas tambangan di Bangka, membuat pencarian lahan baru semakin sulit. 

Bujang kini berbisnis macam-macam, dari toko kelontong, bengkel motor, rumah makan padang, sampai pom bensin berukuran sedang.

“Kalau buka toko, jangankan toko baju, toko kelontong jual sembako ini pun banyak pengaruhnya. Separo hilang omsetnya, padahal beras kebutuhan pokok bisa 50% omzetnya hilang.” kata Bujang sedikit heran.

Menurut Bujang, orang di kampungnya ini dulu rata-rata berprofesi sebagai petani dan nelayan. Namun sejak popularitas timah naik, mereka beramai-ramai pindah menambang. 

“Sejak dapat duit dari timah ini udah ga peduli lagi dengan kebun. Sekarang duit susah, mau berkebun, kebun sudah tidak ada, mau ke laut modal juga ga ada. Habis tanah dijual untuk timah dan sawit,” kata Bujang.

Kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada izin usaha pertambangan PT Timah tahun 2015-2022 berpotensi merugikan negara hampir 300 triliun rupiah. Diduga ada oknum dalam perusahaan plat merah ini mengakomodir kegiatan penambangan ilegal pada wilayah IUP PT Timah Tbk 2015-2022 di Provinsi Bangka-Belitung. Foto overlay/berlapis aktivitas pertambangan timah di Koba, Bangka 2017 dan logo PT Timah Tbk di depan kantornya di Pangkal Pinang, Bangka 2017. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

***

Foto overlay/berlapis tailing atau limbah bekas penambangan PT Timah di Koba, Bangka 2017 dan foto Min Khin berpose di pondok kayunya di Sungailiat, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

MIN KHIN (67) berjalan pincang sambil membawa lima gelas air mineral di pondok kayunya yang berada di tengah hamparan kebun sawit seluas 200 hektare di Sungailiat. 

Tahun 2020, lalu ketika sedang panen sawit, strokenya kambuh. Ia berkelakar, “Setir oto (mobil) sampe miring-miring.” 

Min Khin punya 4 anak dan semuanya punya bagian dalam kebun sawit ini.

Min Khin sejatinya adalah petani. Sejak kecil, ia sudah berkebun, apapun yang bisa menghasilkan akan ia tanam; mulai dari sayuran, cabai, semangka, dan tentu saja lada. Ia mulai serius berkebun lada sejak 1983. Puncak kenaikan harga lada pada 1997, membuatnya cuan hingga mampu membangun rumah untuk keluarga dan membeli beberapa kendaraan operasional.

“Tahun itu, yang punya kebun (lada) jaya semua, malah pabrik yang rontok,” kata Min Khin sambil memijat kakinya.

Pasca-krisis moneter 1998, dalam keadaan ekonomi yang terjepit, warga Bangka berbondong-bondong pindah bertambang timah. Min Khin ikut terbawa arus. 

Tahun 2000, ia memutuskan membuka tambang di Desa Penyamun, dan kemudian memperluas wilayah tambang hingga daerah Bukit Layang. 

Sial, pada 2006, pertambangannya merugi miliaran rupiah. Akibat cadangan yang menipis, ia harus mengeruk lebih dalam untuk mendapatkan timah. Hal ini menyebabkan biaya operasional membengkak, sementara buka di tempat lain sudah sulit karena lahan yang semakin habis. Beberapa mobil kesayangannya harus dilepas untuk membayar utang. 

“Sahang banyak dapet rumah, timah malah habis ku rugi,” kata Min Khin. 

Fluktuasi harga lada serta iklim yang tak menentu membuatnya enggan menanam. Ia memilih sawit sebagai pengganti karena dinilai lebih tahan banting dibanding lada. 

Kebun sawit seluas 200 hektare ini dulu adalah bekas tambang miliknya yang sudah tutup. Kini, semua harapan Min Khin ada pada anak-anaknya untuk terus mengembangkan kebun. “Kalau duit tambang jelas lebih banyak, tapi beresiko. Sawit ini lah yang aman, stabil.” katanya. 

Tak jauh dari kebun lamanya, ia baru saja membeli lahan hutan seluas 20 hektare untuk nantinya akan dibabat dan ditanami sawit. 

Apakah candu timah akan berganti candu sawit?

Praktik korupsi PT Timah berimbas meningkatnya kerugian negara akibat kerusakan ekologis, ekonomi lingkungan, hingga beban biaya reklamasi tanah bekas tambang. Belum lagi dampak keamanan dan kesehatan untuk masyarakat sekitar. Foto overlay/berlapis tambang timah di Blinyu, Bangka 2017 dan Perkuburan Sentosa, Pangkal Pinang, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan ilegal membuat wilayah Bangka-Belitung semakin kritis. Pengungkapan kasus dugaan korupsi PT Timah 2015-2022 bisa jadi momentum untuk menyelamatkan keberlanjutan di Bangka-Belitung dan mesti dibarengi komitmen kuat dari pemerintah. Tanpanya, sulit untuk mengubah pola perilaku masyarakat yang ekonominya sangat bergantung pada timah. Foto overlay/berlapis penambang mengangkut hasil timah di Koba, Bangka 2017 dan papan penanda wilayah reklamasi milik PT Timah di Sungailiat, Bangka 2024. (Project M/Felix Jody Kinarwan).

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Felix Jody Kinarwan
Ronna Nirmala & Adrian Mulya
9 menit