Hulu Rusak, Danau Kritis: Merunut Penyebab Banjir Tahunan di Gorontalo

Mawa Kresna
14 menit
Salah satu ekskavator program Pemprov Gorontalo tenggelam di Danau Limboto. Ekskavator ini digunakan untuk mengeruk lumpur sedimentasi di Danau Limboto yang mengalami pendangkalan. (Project M/Geril Dwira)
Dampak banjir di musim hujan tahun ini adalah yang terparah menurut ingatan warga Gorontalo. Dan, setiap tahun, pemerintah daerah membiarkannya. Belum ada kebijakan mitigasi dan adaptasi bencana secara menyeluruh untuk meminimalisir risiko dan dampak bencana.

Sore di pertengahan Agustus 2024, Sakri Mile, 62 tahun, sedang sibuk mencabuti eceng gondok dari selokan. Tanaman air ini terbawa arus banjir dan terus tumbuh, menumpuk di saluran-saluran air. Inilah salah satu alasan air sisa banjir di kampung tempat tinggal Sakri, di Kelurahan Hunggaluwa, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, lambat surut meski sudah satu bulan lamanya.

Hampir setiap hari Sakri mencabuti eceng gondok sembari mengawasi sawah miliknya yang kini berubah jadi genangan air bercampur lumpur. Dua hektare sumber penghidupan keluarga ikut tenggelam bersama harapan-harapannya. Apalagi, sebelum diterjang banjir, sebagian padinya sudah siap panen.

“Kalau tidak banjir bisa sampai dua atau tiga ton hasil panennya,” ujar Sakri. 

Sesekali Sakri memandang sawahnya yang rusak tertutup air, pikirannya melayang, membayangkan bagaimana akan memulainya lagi, dari nol, seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ini memang bukan kali pertama banjir menenggelamkan sawah milik Sakri. Dalam ingatan Sakri, 24 tahun lalu, banjir juga pernah melanda Kecamatan Limboto dan turut menenggelamkan sawahnya. Hanya saja, menurut dia, banjir tahun ini jauh lebih parah.

“Tahun 2000 dulu pernah banjir dan bekeng sawah tenggelam. Tapi waktu itu masih sempat saya panen. Sekarang tidak ada sama sekali. Bibit juga tidak tahu gimana dapatnya nanti,” tuturnya. 

Kini Sakri berharap hujan deras bisa berhenti sejenak, supaya banjir bisa segera berlalu dan air yang menggenangi sawahnya bisa segera surut. “Sekarang so mulai banyak angin, mudah-mudahan satu minggu ke depan sawah mulai surut,” kata Sakri.

Sakri Mile menunjukkan sawahnya yang masih tertutup banjir hingga Agustus 2024 di Kelurahan Hunggaluwa. Lahan pertanian seluas 2.765 hektar di Kabupaten Gorontalo terendam banjir pada Juni – Juli 2024. (Project M/Geril Dwira)

Sepanjang Juni-Juli 2024, banjir datang melanda 74 desa/kelurahan di Gorontalo, yang tersebar di 17 kecamatan, di Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, dan Kota Gorontalo. Jika dikalkulasi, sedikitnya 633,12 km² luas wilayah yang terdampak banjir, hampir seluas DKI Jakarta

Dalam catatan Simpul Walhi Gorontalo, mengutip data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gorontalo, diidentifikasi setidaknya ada 36.100 jiwa yang menjadi korban terdampak banjir di tiga wilayah itu.

Banjir, banjir bandang, dan tanah longsor memang bukanlah bencana ekologis pertama yang terjadi di provinsi yang baru berumur 24 tahun ini. Simpul Walhi Gorontalo juga mencatat, pada 2022 misalnya, wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango tergenang banjir dengan perkiraan korban terdampak sebanyak 3.409 jiwa.

Lalu, pada 2016, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Bone Bolango diterjang banjir dengan 15.000 jiwa lebih sebagai korban terdampak. Catatan ini belum termasuk banjir-banjir yang terjadi di setiap musim penghujan.

Berjarak 4 km dari tempat Sakri, ada Agus Salim Pidu, 43 tahun, yang terpaksa berhenti menarik bentor (becak motor) karena harus memantau rumah dan membersihkan sisa-sisa lumpur di rumahnya. 

“Sekitar jam 12 malam, air masuk ke dalam rumah. Sebelumnya air memang sudah ada juga di jalan. Orang-orang sedang tidur, air masuk,” kata warga Kelurahan Hutuo, Kecamatan limboto ini.

Agus bahkan tak sempat menyelamatkan barang-barangnya. Dapur di rumahnya hancur diterjang air dan lumpur, hanya tersisa bangunan rumah utama yang bertahan. Agus hanya bisa menyelamatkan istri dan tiga anaknya, mengungsikan mereka ke rumah kerabatnya di tempat lebih tinggi. 

“Kalau mo tanya setiap tahun, banjir memang ada, jebol saluran air. Tapi minimal cuma satu hari. Kalau hujan habis, banjir hilang. Kalau sekarang, banjir sudah lebih dari dua minggu. Kalau kondisi panas, mungkin bisa cepat surut,” cerita Agus.

Banjir juga melanda Desa Hutadaa, Kecamatan Telaga Jaya. Jaraknya sekitar 7 km dari desa tempat Agus tinggal. Winra Kasa, 40 tahun, sedang membersihkan perahu miliknya saat kami temui. Winra adalah nelayan di Danau Limboto.

Menurut Winra, banjir di kampungnya datang secara bertahap, mulai dari setinggi lutut, pinggang, lalu sampai di kepala orang dewasa, hingga menyisakan atap rumah. Banjir mulai datang sejak pertengahan Juni 2024 saat Gorontalo mulai sering diguyur hujan. Kondisinya semakin memburuk ketika intensitas hujan semakin tinggi pada minggu pertama Juli 2024.

Data laporan iklim harian di Stasiun Klimatologi Gorontalo, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, pada 25 Juni–7 Juli 2024, curah hujan di Gorontalo berkisar pada 2mm–65mm/hari. Artinya, berada dalam intensitas hujan ringan hingga lebat.

Saat banjir mulai menenggelamkan rumah-rumah di Desa Hutadaa, Winra mengungsi ke SDN Hutadaa. Hampir semua harta bendanya hanyut terbawa air. Yang penting, dia dan keluarganya sehat dan selamat. 

Saya punya barang kulkas berapa biji itu ada anyor,” ujar Winra, yang kini mengandalkan alat dapur milik tetangga untuk keperluan memasak di pengungsian. 

Para perempuan Desa Hutadaa mencuci pakaian di SDN Hutadaa yang menjadi tempat pengungsian. Sejak banjir datang, akses terhadap air bersih menjadi sulit. Pemerintah desa secara berkala mendatangkan pasokan air bersih menggunakan truk tangki air milik PDAM setempat. (Project M/Geril Dwira)

Desa Hutadaa juga jadi salah satu daerah yang kerap tergenang banjir saat musim hujan. Namun, menurut Winra, banjir tahun ini adalah yang terbesar sejak 24 tahun terakhir, karena biasanya air hanya menggenangi jalan dan sebagian rumah warga. 

Winra mengatakan banjir di desanya tidak akan surut dalam waktu cepat. Genangan air baru bisa hilang selama 3-5 bulan. 

“Siapa yang mau lawan alam? Di sini sebenarnya kalau hujan satu hari, sampe malam atau 24 jam, torang di sini tidak khawatir. Tapi jangan hujan dari sana (hulu), dampaknya banjir itu hujan dari sana. Kan, besar sungai dari sana, semua pembuangannya di sini (Danau Limboto). Di kampung ini yang bahaya,” kata Winra.

Winra sadar dirinya memang tinggal di daerah yang sering terdampak banjir. Dia sempat pindah ke Kota Bitung, tapi nasib membawanya pulang kembali ke kampung halaman. Winra tak punya pilihan lain. Ia kembali menggantungkan hidupnya sebagai nelayan danau, dibantu istri yang bekerja sebagai buruh cuci untuk membantu perekonomian keluarga.

Danau Kritis Sebabkan Banjir

Sakri, Agus, dan Winra adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir Danau Limboto. Secara administrasi, luasan Danau Limboto mencakup dua wilayah, yakni 70% di Kabupaten Gorontalo dan 30% di Kota Gorontalo.

Berdasarkan surat Keputusan Menteri PUPR Nomor 350/KPTS/M/2023 tentang Penetapan Garis Sempadan Danau Limboto pada Wilayah Sungai Limboto-Bolango-Bone, luas Danau Limboto tercatat 4.410,72 ha. Dari luasan ini, 4.028,48 ha merupakan luas badan air, sementara 382,24 ha adalah luas sempadan danau.

Danau Limboto memiliki peran strategis sebagai reservoir alami limpasan air sungai yang masuk dari daerah tangkapan air atau pengendali banjir. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Gorontalo, tercatat ada 23 sungai yang bermuara ke Danau Limboto. Namun, hanya ada satu jalur keluar air dari danau sebelum berakhir di Teluk Tomini.

Saat debit air di hulu tinggi, hal itu membuat volume air danau meluap dan menyebabkan banjir di daerah sekitarnya. Beberapa tahun terakhir, Danau Limboto mengalami penurunan kualitas air, pendangkalan akibat erosi, juga sedimentasi membuat luasan danau semakin menyempit dari tahun ke tahun.

Penelitian Ardian Alfianto, dkk, dalam jurnal “Pemodelan Potensi Erosi dan Sedimentasi Hulu Danau Limboto dengan WaTEM/SEDEM” mencatat akibat erosi dan sedimentasi, Danau Limboto mengalami pendangkalan mencapai luasan 4.000 ha sejak 1932. Catatan kedalaman rata-rata danau di tahun itu pun pernah mencapai 14 meter, sementara saat ini hanya sekitar 2,5 meter. Peneliti memperhitungkan Danau Limboto mungkin akan rata tanah pada 2031.

Sementara dalam catatan Balai Wilayah Sungai Sulawesi II (BWSS II) Gorontalo, laju sedimentasi Danau Limboto mencapai 5.300 ton per tahun. Hal ini salah satunya disebabkan lumpur yang dibawa 23 sungai yang bermuara di danau.

Lumpur yang terbawa banjir bandang mengendap di jalan-jalan protokol Kota Gorontalo. (Project M/Geril Dwira)

Karena masuk dalam kategori ekosistem kritis, Peraturan Presiden Nomor 60 tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional memutuskan Danau Limboto menjadi salah satu di antara 15 danau di Indonesia yang ditetapkan sebagai danau prioritas yang harus segera diselamatkan.

Program revitalisasi danau pun telah dilakukan sejak 2012 untuk menahan laju sedimentasi dan menyelamatkan keberlangsungan hidup danau. Upaya penyelamatan itu merupakan tindak lanjut dari hasil Konferensi Nasional Danau Indonesia pada Agustus 2009 di Bali.

Tiga tahun setelah konferensi, pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menjadikan revitalisasi Danau Limboto sebagai salah satu dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan didanai APBN.

Pembuatan tanggul air di sekitar pesisir danau dan pintu air menuju muara sungai pun mulai dibangun, di bawah tanggung jawab BWSS II Gorontalo. Pembangunan tanggul itu dilakukan sebagai pencegahan ketika ada luapan air danau saat musim hujan.

Tumpang Tindih Kepentingan

Saat luas danau semakin berkurang dan program-program revitalisasi dijalankan, perbedaan versi luasan danau antara BWSS II Gorontalo dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gorontalo juga menjadi masalah tersendiri. Perbedaan ini muncul sebab kawasan sekitar danau telah lama dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk lahan pertanian, budidaya perikanan, bahkan pemukiman warga. 

BPN Gorontalo mengklaim luasan Danau Limboto 3.160 ha dengan 825 bidang tanah bersertifikat atau alas hak dan dikuasai warga setempat. Sedangkan BWSS II mencatat luasan Danau Limboto 3.334,11 ha, merujuk Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Gorontalo. 

Sementara dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 350/KPTS/M/2023 tentang Penetapan Garis Sempadan Danau Limboto pada Wilayah Sungai Limboto-Bolango-Bone seperti disebutkan sebelumnya, luas Danau Limboto tercatat seluas 4.410,72 ha.

Kami berusaha menghubungi Kepala BWSS II Gorontalo, Binsar Parlinggoman Simanungkalit sebagai salah satu penanggung jawab program revitalisasi Danau Limboto, tapi hingga artikel ini ditulis, tidak ada pesan jawaban dari Kepala BWSS II Gorontalo.

Jika dibandingkan, data BPN Gorontalo dan BWSS II Gorontalo, ada sekitar 174 ha tanah yang tak diakui BWSS II karena dianggap berada di sempadan dan badan danau. Hal itu yang menjadi penyebab BWSS II ragu untuk melakukan pembayaran atas pembebasan sejumlah lahan bersertifikat di sempadan dan badan danau yang dimiliki warga setempat.

Ironi lain, pada 2016, pemerintah Provinsi Gorontalo lewat Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie, meresmikan 75 dari 200 rumah bantuan yang dibangun di pesisir Danau Limboto. Perumahan itu merupakan salah satu program kerja yang dilakukan pemerintah provinsi sejak tahun anggaran 2015, didukung Kementerian PUPR

Dalam catatan rilis Pemerintah Provinsi Gorontalo, perumahan khusus bagi nelayan danau di pesisir Danau Limboto itu tersebar di tiga lokasi. Sebanyak 75 unit rumah, dengan anggaran Rp11 miliar, berada di Kelurahan Kayubulan, Kecamatan Limboto. Kedua, 50 unit rumah dengan anggaran Rp7,9 miliar di Desa Buhu, Kecamatan Telaga Jaya. Kemudian, 75 unit rumah dengan anggaran Rp10,9 miliar di Desa Tabumela, Kecamatan Tilango. Ketiga wilayah perumahan berada di Kabupaten Gorontalo.

Celakanya, ketiga wilayah lokasi perumahan itu berdiri di batas danau, juga termasuk dalam wilayah yang sering terendam banjir saat musim hujan. Salah satu sebabnya, banjir karena limpahan air danau yang meluap.

Foto udara Desa Buhu, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo yang terendam banjir pada Juni-Juli 2024. Di bagian atas tampak deretan rumah bantuan untuk nelayan dari Pemprov Gorontalo yang juga terendam banjir. (Project M/Geril Dwira)

Kealpaan pemerintah setempat dan tumpang tindih kepentingan dalam melakukan program revitalisasi danau menjadi catatan kritis.

Dosen pengajar ekologi dan lingkungan di Universitas Negeri Gorontalo, Ramli Utina, menilai ego sektoral antarlembaga masih ada hingga kini. Ramli menyebut masing-masing instansi pemerintah ingin meloloskan program kerja mereka. Namun, tidak jarang program kerja itu saling bertentangan.

“Misalnya, untuk menggenjot produksi pertanian, memang harus buka lahan sawah, tapi itu lahan sawahnya di mana? Atau membuat daerah tangkapan air, tetapi masyarakat dapat apa dari situ? Sehingga ada yang mengejar ekonomi, tetapi merusak ekologi. Harusnya, jangan selalu mengejar ekonomi, tetapi juga sosial-ekologinya. Sosialnya adalah bagaimana masyarakatnya bisa hidup lebih layak, dan ekologinya juga jangan rusak,” jelas Ramli.

Ketiadaan lembaga otoritas khusus yang bertugas melakukan pemantauan dan pengelolaan danau juga membuat konflik kepentingan antarlembaga masih terjadi.

Menurut Ramli, ia bersama kolega akademisi dan aktivis lingkungan di Gorontalo sudah pernah mengusulkan agar dibentuk lembaga khusus otoritas pengelola Danau Limboto. “Cuma, kan, kenyataannya tidak pernah jadi. Saya sendiri juga tidak tahu apakah sudah ada lembaga seperti itu. Misalnya sudah ada, apakah jalan lembaganya?”

Meski Gubernur Gorontalo telah membentuk Tim Penyelamatan Danau Prioritas Nasional yang tertuang dalam SK Gubernur Nomor 313/28/X/2022, kerja-kerjanya belum memberikan dampak yang konkret.

Tim penyelamatan, yang diketuai Sekretaris Daerah Gorontalo, seharusnya bertanggung jawab atas keseluruhan strategi penyelamatan danau, dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan.

Ramli menilai, meski ada banyak hal telah dilakukan pemerintah, seringkali program-program kerja itu tidak berlanjut dan tidak ada komitmen untuk terus dilakukan. 

“Misalnya untuk pengerukan danau, seperti apa sekarang? Karena mengeruk danau tidak satu atau dua tahun, harus dijaga terus dan dilakukan secara komprehensif. Lalu, seharusnya tidak hanya dikeruk di danau, tapi juga bagaimana cara mengendalikan sedimentasi dari hulu. Sedimentasi dari atas itu juga harus dikendalikan. Jangan sampai kita hanya mengeruk, sementara aliran sedimentasi tetap jalan,” jelas Ramli.

Dalam pantauan Project Multatuli, sedikitnya dua unit ekskavator yang digunakan untuk mengeruk sedimentasi danau ikut tenggelam saat banjir Juli-Agustus 2024. Kedua eskavator itu berada di atas badan danau.

Dalam penelitian berjudul “Adaptasi Masyarakat Terdampak Banjir di Daerah Aliran Sungai Limboto,” Ramli dan koleganya di Prodi Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo, menemukan masyarakat yang terus-menerus terdampak banjir di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Limboto, harus melakukan adaptasi secara mandiri. Bentuk adaptasi dan kesiapsiagaan masyarakat DAS Limboto adalah respons dari berbagai macam kerugian yang mereka alami selama hidup dan bermukim di kawasan banjir.

Dengan inisiatif sendiri, warga Desa Tualango membangun sistem peringatan dini untuk mengurangi dampak banjir. Namun, alat peringatan bencana ini rusak setelah diterjang banjir pada Juni-Juli 2024. (Project M/Geril Dwira)

Masyarakat pun berinisiatif melakukan adaptasi seperti meninggikan pondasi rumah, membuat tanggul sederhana, membuat panggung evakuasi sebagai tempat menyimpan barang-barang, hingga pembuatan sistem peringatan dini (Early Warning System) bencana banjir.

Meski begitu, hal ini bukanlah sepenuhnya kabar gembira, sebab bagi warga terdampak, hal itu hanyalah langkah antisipasi agar dampak yang ditimbulkan banjir bisa sedikit berkurang.

“Masyarakat itu sebenarnya punya pikiran, mereka menyadari rumah mereka banjir terus, cuma bagaimana mereka bisa pindah? Sebenarnya kalau mereka dipindah, mereka juga mau, asal ada kepastian untuk menjamin kehidupan mereka. Mungkin ada upaya pemerintah untuk merelokasi, tapi harus bisa menjamin bahwa hidup masyarakat bisa berlanjut. Kalau dijamin bisa hidup lebih baik lagi, masyarakat pasti mau,” ujar Ramli.

Rusak dari Hulu

Defri Hamid dari Simpul Walhi Gorontalo menilai respons pemerintah daerah menghadapi bencana banjir masih mengecewakan.

Intensitas dan curah hujan selalu dijadikan alasan utama penyebab banjir dan longsor. Padahal, hal itu bukanlah satu-satunya penyebab bencana yang hampir setiap tahun terjadi di Provinsi Gorontalo. Faktor lain yang penting disoroti adalah pembangunan dan penataan ruang yang carut-marut, serta alih fungsi lahan di tingkat hulu.

“Menjadikan faktor alamiah sebagai satu-satunya penyebab bencana, bagi kami adalah sikap naif dan merupakan upaya menormalisasi dampak bencana yang terjadi,” ujaranya. “Alih-alih terpicu untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi bencana secara menyeluruh, pemerintah Provinsi Gorontalo mengeluarkan Surat Imbauan No.800/1832/PemKesra yang ditujukan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengadakan Salat Tolak Bala pada banjir kemarin.”

Menurut Defri, pada kasus banjir Gorontalo, pemerintah tidak memperhatikan deforestasi akibat pembukaan lahan pertanian monokultur seperti jagung, perkebunan sawit, atau bentuk alih fungsi lahan lain yang terjadi secara besar-besaran.

Selain itu, tata ruang kota tidak memperhatikan daya dukung lingkungan juga jadi masalah, seperti drainase yang jauh dari standar, pemukiman di wilayah rawan bencana, dan hilangnya area tangkapan air akibat pembangunan.

Foto udara bukaan lahan di Desa Ilomata, Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango. Desa Ilomata berada di hulu utara Gorontalo dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. (Dokumentasi Japesda Gorontalo)

Catatan Forest Watch Indonesia, periode 2017–2021, deforestasi di Provinsi Gorontalo seluas 33.492 ha. Saat ini tersisa 696.631 ha hutan alam di Gorontalo.

Alih fungsi lahan itu seringkali ditujukan untuk kepentingan pertambangan, perkebunan perusahaan, dan ladang kelapa sawit yang kemudian mendorong terjadi deforestasi.

“Pemerintah bahkan tutup mata dengan aktivitas ekstraktif yang dilakukan oleh PT Gorontalo Minerals pada kawasan hutan seluas 24.996 ha, yang sangat berpotensi menghancurkan ekosistem hutan dan sumber kehidupan masyarakat,” terang Defri.

Selain itu, masifnya aktivitas pertambangan rakyat sejak era 1990-an, juga dinilai menyebabkan kerusakan lingkungan di Gorontalo pada tingkat hulu.

Saat intensitas hujan membesar, lumpur-lumpur dari titik bor terbawa sampai ke pemukiman-pemukiman warga, sebagian terbawa hingga ke danau dan menyebabkan pendangkalan.

“Kami menyatakan sikap bahwa pemerintah harus berhenti mengkambinghitamkan hujan sebagai alasan penyebab banjir dan longsor yang terjadi di Provinsi Gorontalo. Selain itu, segera lakukan tindakan mitigasi dan adaptasi bencana secara menyeluruh untuk meminimalisir risiko dan dampak bencana. Juga moratorium izin-izin perusahaan ekstraktif pemegang konsesi pertambangan dan perkebunan yang menghancurkan ekosistem hutan,” tegas Defri.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
14 menit