Nelayan Perairan Balikpapan: Tergusur Kapal Batu Bara, Tak Dilindungi Aturan

Mawa Kresna
17 menit
Sebuah tongkang batubara mendekati kapal pengangkut di perairan Balikpapan, Kalimantan Timur. Kegiatan alih muat kapal batubara dan lalu lalang kapal-kapal pengangkut, mengganggu area dan hasil tangkap nelayan . (Project M/Muhibar Sobary Ardan)

Selama puluhan tahun, perairan Balikpapan menjadi surga para nelayan Kelurahan Manggar Baru untuk mencari hasil laut. Namun, beberapa tahun terakhir perairan tempat untuk menggantungkan hidup itu tak lagi sama. Kegiatan alih muat kapal atau ship to ship batu bara dan lalu lalang kapal-kapal pengangkut, membuat ruang tangkap nelayan kian tergerus. Kini pemerintah berencana menambah lagi pelabuhan di perairan Balikpapan.


Masyarakat lebih akrab memanggilnya ‘Pak Gufron’ atau Gufron, kendati nama yang tertera dalam kartu tanda penduduknya Andi Mudzakar. Itu terjadi hampir delapan tahun, sejak anak laki-laki pertamanya lahir dan diberi nama Gufron. Dan sejak itu pula, panggilan ‘Pak Gufron’ melekat seiring putra sulungnya tumbuh sebagai anak nelayan.

Sudah empat hari ini Gufron tak melaut, sudah empat hari pula ia tanpa pendapatan. Kencangnya pawana laut selatan dan tingginya gelombang lautan, memaksanya memendam hasrat untuk mencari ikan di Selat Makasar, di sekitar Kelurahan Manggar Baru, Balikpapan. 

Sementara istrinya, Asmi kian gundah. Uang tabungan keluarganya semakin menipis. Asmi khawatir jika situasi itu terus terjadi, dari mana lagi ia harus ‘menggali lubang’ untuk makan. Dan dari mana lagi keluarganya harus mengumpulkan cuan untuk membayar listrik. Apalagi, ia harus membayar sewa rumah kontrakan Rp430 ribu per bulan. 

Sudah hampir sepekan, wanita yang Gufron ajak ke pelaminan sembilan tahun lalu itu tak bisa tidur nyenyak. 

Ketika hari masih gelap, pada Senin 26 Agustus 2024, Asmi bangun lebih cepat dan segera memandang ke arah jendela. Sebuah pertanda baik tampaknya datang; daun-daun pohon terlihat tak bergoyang. Itu artinya, angin tak begitu kencang dan Gufron bisa melaut.

Asmi bergegas membangunkan Gufron. Ia mengayunkan telapak tangan ke wajah suaminya itu, ke bahu dan sebagian badannya, berulang-kali, hingga Gufron bangun. Begitu terjaga, Gufron bergegas keluar rumah, ia berjalan menyusuri gang dan rumah-rumah dengan bertelanjang kaki menuju dermaga, sementara orang-orang pergi ke masjid untuk salat subuh.

Di dermaga ia melihat orang-orang mulai sesak di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Manggar. Sementara di hadapannya, kapal-kapal nelayan berjejeran. Ia lantas menghampiri kapalnya; melepas tali pengikat di moncong bahtera, lalu mendorongnya ke tengah muara. Kapal berdaya 54 paard kracht (PK) miliknya itu, ia hidupkan. Ia pun menarik gas kencang-kencang menuju laut Selat Makassar, menjauhi perkampungan nelayan. 

Kampung nelayan di Kelurahan Manggar Baru, Balikpapan, Kalimantan Timur. (Project M/Muhibar Sobary Ardan)

**

Firasat baik istrinya tampaknya benar. Gufron berangkat dengan kondisi angin tak begitu kencang. Semakin ia menjauhi perkampungan, seturut itu pula hari mulai terang. Di waktu-waktu seperti itu, biasanya ia melihat matahari baru bersinar. Namun, di antara awan-awan tebal, sang surya tak kunjung nampak. 

Gufron tiba hamparan lautan, yang disebut kebanyakan nelayan dengan area ‘menara’. Di situ, ia mulai melemparkan trawl mini–alat tangkap ikan dengan lebar jaring, masing-masing sisi kanan-kiri, mencapai enam depa. Alat itu memiliki panjang tujuh meter ke dalam lautan, dan dapat mengeruk apapun yang ada di lautan. 

Trawl mini telah dilemparkan dan mengambang sebagian. Gufron kembali menarik gas kapalnya, tapi kali ini tidak begitu kencang. Ketika kecepatan kapal dirasa stabil dan ombak tidak begitu kencang, tangan gempalnya melemparkan alat tangkap ke laut. Kapal terus berjalan seiring jaring-jaring memanjang di lautan, mengikuti buritan kapal. 

Dua jam sudah Gufron mengarungi lautan. Rintik hujan datang tanpa diundang. Gufron memutuskan untuk menarik jaring yang telah ‘dibuang’ ke lautan, secara manual dan tanpa alat. Menggunakan tangan kosongnya itu, ia menarik jaring, memilah beragam hasil tangkapan; ikan, kepiting hingga udang, lalu memasukkannya ke cooler box

Gufron kembali mengulang semua proses mencari ikan itu untuk kedua kalinya; melemparkan trawl mini, menunggu hasil tangkapan tersangkut jaring, hingga menariknya kembali ke atas kapal. Biasanya proses itu dilakukan tiap tiga jam sekali, dan mengulangnya hingga empat kali ketika cuaca bagus;gelombang tidak tinggi dan angin tak kencang. 

Namun, hari itu tampaknya tak bersahabat untuk Gufron. Setelah dua kali menyebarkan trawl mini ke laut, cuaca tiba-tiba memburuk. Gelombang lautan datang lebih tinggi, sekitar dua sampai tiga meter. Angin semakin kencang dan rintik hujan mulai datang. Ia memutuskan untuk pulang membawa hasil tangkapan. 

***

Setibanya di perkampungan, Gufron segera memindahkan hasil tangkapan, yang tersimpan di cooler box ke ember bekas cat dua puluh kilogram. Hasil tangkapannya beragam, tapi sebagian besar udang. Ada juga lima ekor kepiting, beberapa cumi dan ikan. Hanya udang yang ia jual, sisanya untuk makan bersama keluarga di rumah. 

Ditemani istrinya, Gufron membawa hasil tangkapan tadi ke pengepul; memisah jenis-jenis udang sesuai ukurannya, menimbangnya, lalu pulang, tapi tanpa membawa uang. 

“Hampir 500 ribu (rupiah) tadi dapatnya, kalau ada bosnya baru dikasih (uangnya),” kata Gufron dalam perjalanan menuju rumah.

Asmi membawa ember berisi hasil tangkapan laut oleh Andi Mudzakar alias Gufron, suaminya, di Kelurahan Manggar Baru, Balikpapan, Kalimantan Timur. (Project M/Muhibar Sobary Ardan)

Menyempitnya Area Tangkapan Ikan

Sekitar dua dekade lalu, ketika masih remaja dan bujang, Gufron merantau ke kampung nelayan itu dari Kolaka, daerah tingkat dua di Sulawesi Tenggara. Salah seorang keluarga, yang lebih dulu merantau mengajaknya untuk mencari peruntungan sebagai nelayan. Sejak itu pula ia akrab dengan lautan perairan Balikpapan. 

“Dari kecil hobinya ke laut, dari SD (sekolah dasar) ke laut,” kenangmu. 

Beberapa tahun belakangan, area jelajahnya mencari ikan menyempit. Musababnya, banyak kapal-kapal besar lalu-lalang di perairan Balikpapan. Kapal-kapal besar itu mengangkut kerikil hingga batu bara. Tak heran terkadang jaringnya tersangkut beberapa material, seperti batu bara. 

Sebelum pandemi Covid-19, sekitar lima tahun lalu, aktivitas kapal-kapal besar itu sudah ada dan mengganggunya. Seturut itu pula hasil tangkapan Gufron berkurang. 

Ketika awal kali tiba ke Kelurahan Manggar baru, Gufron bisa mendapatkan berbagai hasil tangkapan; udang, ikan hingga lobster. Namun, harga cenderung murah. Kini, hasil tangkapan hanya dominan udang, itu pun tertolong harga yang sedang naik; Rp130 ribu per kg untuk udang tiger dan Rp40 ribu untuk udang windu per kg. 

Kapal-kapal besar itu juga memaksanya tak dapat melaut lebih jauh, ke laut yang lebih dalam tempat ikan-ikan besar bersarang. Padahal, ikan-ikan berukuran besar itu bisa digunakan sebagai pendapatan tambahan. Gufron pernah mendapatkan ikan kerapu yang beratnya mencapai 10 kg, di area lautan yang disebut nelayan ‘lampu merah’ itu. Adapun nilai jual Ikan kerapu itu per kilogram bisa mencapai Rp60 ribu. 

“Sekarang jarang sudah dapat ikan kerapu, nggak ada, jarang,” ingatnya, “di situ (area lampu merah) dulu sudah dapat (ikan kerapu).” Gufron juga mengaku, sekarang sudah tidak bisa ke area ‘lampu merah’. “Soalnya banyak pembuangan batu bara dan jangkar kapal, juga ada lumpur. Kadang kita nggak dapat (ikan) sama sekali.”

“Sekarang nggak bisa ke sana (area lampu merah).”

Bukan Gufron saja yang merasakan dampaknya. Kawan satu kampungnya, Jumadi pun merasakan hal serupa. Lelaki yang telah lebih 30 tahunan melaut di perairan Balikpapan itu harus menghindar jauh dari kapal-kapal besar. Jika mendekat, Jumadi akan kena tegur. Jika alat tangkap jaringnya tersangkut, ia harus merelakan jaringnya tak bisa diangkat.

“Kalau penghasilan terasa penurunan jumlahnya, cuma ditutupi harga,” ujar Jumadi. Pernah suatu hari, Jumadi pulang dengan tangan kosong. Solar habis, alat tangkap pun rusak tersangkut limbah dari pembuangan jangkar.

“Jadi kalau nyangkut kena bekas jangkar baru ya nggak ada hasil. Mau ditarik juga berat, saya cuma narik manual, nggak pakai alat. Kalau sudah nyangkut terpaksa ditarik sampai ke pinggir,” keluh Jumadi mengenang nasibnya saat itu. 

“Kalau kena bekas jangkar, ya pasrah sambil ngomel-ngomel, sudah capek, habiskan waktu, tidak dapat apa-apa,” sambungnya.

Rusaknya alat tangkap tentu membuat pengeluaran Jumadi semakin bertambah. “Kalau (alat tangkap) ditinggal, hilang Rp3 jutaan. Satu alat tangkap harganya Rp2 juta, itu untuk kainnya saja,” jelasnya.

Tak jarang, beberapa kapal pengangkut batu bara yang menuju area ship to ship, bertambat terlalu dekat dengan perkampungan nelayan. Situasi itu membuat Jumadi semakin bingung untuk mencari hasil ikan. Sebab, jika dipaksakan, ia khawatir kembali pulang dengan tangan kosong. Syukur-syukur jika tak menombok biaya perbaikan alat tangkap.

“Tongkang-tongkangnya yang berhamburan itu yang mengganggu. Kalau saya pribadi kalau bisa (kapal pengangkut) berlabuh jangan terlalu ke sini (kampung nelayan) lah. Seharusnya punya tempat tambat,” ucapnya. 

“Kami (nelayan) mau protes bingung, mau ke mana? Selama mereka tidak melarang kami mencari (udang dan ikan) ya sudah, kami menyingkir sendiri, cari aman saja,” keluh Jumadi.

Kelurahan Manggar Baru, dan juga beberapa kelurahan yang berada di Kecamatan Manggar terkenal dengan hasil tangkapan ikan. Catatan Badan Pusat Statistik pada 2022 menyebutkan, di Kecamatan Manggar ada 1.894 jiwa masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. 

Ship to ship batu bara yang bermasalah

Berdasarkan keluhan Gufron dan nelayan lainnya, kami memeriksa kondisi perairan Balikpapan. Senin, 26 Agustus 2024 siang, kami menuju lautan perairan Balikpapan menggunakan kapal.

Setelah satu jam mengarungi lautan, kami melihat perairan Balikpapan sibuk dengan aktivitas berbagai kapal-kapal besar. Ada belasan kapal-kapal besar dengan berbagai muatan seperti batu bara, ada juga tongkang tanpa muatan. 

Aktivitas kapal di perairan Balikpapan juga tercermin melalui Marine Traffic, sebuah situs web yang menampilkan posisi kapal dan yacht secara real-time di seluruh dunia. Dalam aplikasi itu menampilkan berbagai jenis kapal yang berlayar di perairan Balikpapan. Jumlahnya hampir mencapai lima puluhan.

Sudah hampir tiga jam menjauhi perkampungan, sekitar 7 mill dari daratan, mesin kapal di matikan. Kami sudah tiba di area yang disebut nelayan ‘lampu merah’. Dari lokasi itu terlihat kapal-kapal besar melakukan pemindahan batu bara, dari satu kapal ke kapal yang lebih besar.

Moncong kapal nelayan yang kami tumpangi menghadap tongkang batu bara. Di situ sedang terjadi proses pemindahan batu bara dari tongkang ke kapal, ukuranya sekitar dua kali lebih besar–dalam praktik pertambangan, proses ini disebut transshipment batu bara. Di salah satu kapal itu tertulis KFT-1 berkelir putih, sementara salah satu tongkang dengan muatan batu bara menggunung di sekitarnya. 

Mesin kapal nelayan kembali dihidupkan. Tak sampai 15 menit, kami kembali menemukan aktivitas bongkar muat batu bara. Di area itu, tertera tulisan KFT-2 berwarna putih yang berada di salah satu bahtera. 

Dalam catatan sejarah, para nelayan di Kelurahan Manggar pernah melayangkan protes ihwal aktivitas bongkar muat batu bara tersebut pada 2018. Ketika itu, ratusan nelayan melakukan blokade kapal angkutan batu bara yang melintas di Perairan Balikpapan. Para nelayan juga menyampaikan beberapa persoalan yang terjadi akibat aktivitas bongkar muat emas hitam itu–jaring nelayan ada yang tersangkut batu bara hingga rusak. 

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Fatur Roziqin Fen mengatakan aktivitas kapal dengan ukuran besar itu sangat merugikan nelayan yang mencari ikan di perairan Balikpapan. “Aktivitas bongkar muat batu bara itu misalnya, jelas merugikan nelayan, area itu nggak bisa digunakan lagi untuk cari ikan nelayan,” kata pria yang akrab disapa Iqin itu. 

Di samping aktivitas bongkar muat yang merugikan nelayan, Walhi Kaltim menemukan adanya masalah dalam pola penggunaan ruang di perairan Balikpapan. Iqin mengatakan, untuk dasar penetapan lokasi pelabuhan–seperti halnya bongkar muat atau ship to ship batu bara–ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan. Dalam aturan itu, pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. 

“Lantas, apakah aktivitas ship to ship batu bara itu sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional, itu patut diperiksa,” sebut Iqin. Dalam aturan yang sama juga, Pasal 18 ayat 2 menyebutkan bahwa permohonan penetapan lokasi harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan adanya rekomendasi dari pemerintah daerah. 

“Tiga instrumen penting itu tadi harus benar-benar diperhatikan, tidak seenaknya pindahkan muatan batu bara di lautan, ada dasar hukumnya,” tegasnya. 

Iqin menilai dengan adanya keluhan nelayan dan catatan dampak lingkungan, pemerintah seharusnya menghentikan aktivitas bongkar muat batu bara di perairan Balikpapan. Ia pun menyesalkan adanya izin lingkungan yang diberikan pemerintah kendati persoalan lingkungan masih terjadi. Adanya masalah lingkungan di perairan Balikpapan mengindikasikan persoalan serius dari bongkar muat batu bara tersebut. 

Pada akhir Maret 2018, tumpahan minyak yang terjadi di Teluk Balikpapan diduga akibat patahnya pipa minyak bawah laut. Berdasarkan kronologi peristiwa, kapal MV Ever Judger sempat bersandar di dermaga PT Dermaga Perkasapratama. Kapal yang menurut catatan bermuatan 74 ribu Metric Tonnes (MT) batu bara itu sempat berlabuh jangkar di antara beberapa kapal–jaraknya empat kabel, sementara jarak dengan buoy atau penanda di lautan yang berwarna kuning kurang lebih tiga kabel. Itu menandakan adanya pipa minyak bawah laut di area tersebut. Sekitar 6 jam setelahnya, tumpahan minyak terjadi di perairan Balikpapan.

Konglomerat di Balik Ship to Ship Batu bara

Ketika mengunjungi kawasan bongkar muat batu bara itu, atau yang disebut nelayan dengan area ‘lampu merah’, kami juga mengambil titik koordinat menggunakan avenza–sebuah aplikasi yang memudahkan pengambilan data lapangan secara offline. Titik koordinat kami olah lagi menggunakan Geographic Information System (GIS) untuk mengetahui si pemilik konsesi. 

Berdasarkan hasil temuan, pemilik konsesi bongkar muat tersebut adalah PT Dermaga Perkasapratama, salah satu anak perusahaan Bayan Resources tbk milik Low Tuck Kwong, konglomerat yang pernah tercatat sebagai orang terkaya nomor satu di Indonesia pada 2023

Aktivitas alih muat batubara milik PT Dermaga Perkasapratama di perairan Balikpapan, Kalimantan Timur. (Project M/Muhibar Sobary Ardan)

Laman resmi Bayar Resources mencatat bahwa Bayan Group memiliki KFT-1 dan KFT-2 dan mengoperasikan dua floating transfer barge di dekat Balikpapan. KFT-1 memiliki dua kompartemen stockpile yang mampu menampung dua kualitas batu bara berbeda dengan kapasitas gabungan 40.000 metrik ton. KFT-1 juga dapat memuat batu bara hingga ukuran capesize

Adapun KFT-2 memiliki panjang sekitar 192 meter, lebar 50 meter dan lebar terbesar (beam) 15,0 meter. Area KFT-2 terdapat satu kompartemen stockpile yang mampu menampung hingga 60 metrik ton. Area KFT-2  juga memiliki pemuat kapal berjalan ganda yang dapat memuat batu bara hingga ukuran capesize. 

Minerba One Data Indonesia–aplikasi berbasis website besutan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral– juga mencatat PT Dermaga Perkasapratama memiliki izin usaha pertambangan operasi produksi khusus (IUP-OPK) untuk jenis operasi angkut-jual komoditas batu bara. Perizinan itu berlaku sejak 9 Desember 2023 hingga 9 Desember 2028.

Melalui keterangan tertulis, Transportation and Infrastructure Manager PT Dermaga Perkasapratama, Fauzan Kamil membenarkan adanya aktivitas ship to ship perusahaan tersebut di perairan Balikpapan. Adapun peruntukannya berada pada area ship to ship zona A yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan. 

“PT Dermaga Perkasapratama telah memiliki persetujuan kegiatan alih muat ship to ship,” kata Kamil, Selasa, 15 Oktober 2024. “Dan PT Dermaga Perkasapratama juga telah memiliki izin lingkungan (AMDAL) untuk melakukan kegiatan STS (ship to ship) yang diterbitkan oleh Gubernur Kaltim tahun 2020.”

Fauzan membantah bahwa aktivitas ship to ship perusahaan berdampak dan mengganggu area tangkap nelayan. Kegiatan ship to ship tersebut, sambung dia, justru mendapat dukungan dan kelompok nelayan. “Karena memberikan kontribusi positif bagi kelompok nelayan melalui program CSR (corporate social responsibility).” 

Sementara Kepala Bidang Perairan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltim, Petrijansyah Noor tak menampik adanya beberapa kali protes dari nelayan akibat aktivitas dari STS batu bara di perairan Balikpapan. Namun, menurutnya alur pelayarannya telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan. Jika ada protes, opsinya pun hanya mediasi antara nelayan, pengusaha, dan pembuat aturan.

“Misalnya, jika ada dampak nelayan, diharapkan mereka yang melakukan usaha, tetap mengakomodir apa yang menyebabkan mereka (nelayan) kurang hasil tangkapan,” kata Petri ketika ditemui di kantornya, Selasa, 24 September 2024. 

Ia menilai langkah utamanya yang terpenting adalah bagaimana menyikapi persoalan tersebut. Langkah-langkah penanganan diharapkan tidak hanya merugikan nelayan. Apalagi, sambungnya, yang membuat aturan lokasi STS itu Kementerian Perhubungan. Berkoordinasi antar lembaga merupakan sesuatu yang harus dilakukan. 

Petri berpendapat bahwa mengangkat kesejahteraan nelayan di perairan Balikpapan tidaklah mudah. Nelayan harus dihadapkan dengan para tengkulak. Nelayan perairan tangkap juga mayoritas mencari ikan secara tradisional dan menggunakan kapal kecil yang tidak lebih dari 40 gross tonnage (GT), paling banyak hanya menggunakan kapal 5 GT. 

Kondisi itu juga tercermin dalam statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam catatan lembaga pemerintah itu ditemukan ada 1.937 nelayan di Balikpapan, adapun 1.332 di antaranya merupakan nelayan dengan volume ruang kapalnya maksimal 5 GT. 

“Kapal 5 GT ini ‘kan daya jelajahnya terbatas, begitu dengan hasil tangkapannya,” sebut Petri. Berbagai upaya pun telah dilakukan; memberi bantuan, mengajak upaya hilirisasi dan pemberdayaan perempuan nelayan. “Tapi ya begitu, lagi-lagi implementasinya tidaklah mudah.”

Rencana Pemerintah Menambah Pelabuhan

Tujuh perahu nelayan bermesin ganda berjajar rapi sejak pukul tujuh pagi di sepanjang muara Sungai Manggar Besar. Di sebagian sisi bahtera itu terpasang spanduk berukuran 3×1 meter. Isinya; menuntut pembatalan keputusan Kementerian Perhubungan tentang penetapan lokasi pelabuhan alih muat, atau ship-to-ship di perairan Balikpapan. 

Pada Minggu, 15 September 2024, puluhan orang yang terdiri dari nelayan dan aktivis lingkungan menggelar aksi Asia Day of Action di lautan, menyampaikan pesan bahwa ada kebijakan pemerintah yang akan merugikan nasib nelayan. Para nelaran membentangkan spanduk yang bertuliskan “Kembalikan Wilayah Tangkap Nelayan”. 

Tuntutan nelayan itu meminta agar pemerintah untuk mencabut Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KM 54 Tahun 2023. Para nelayan khawatir bahwa aturan itu akan memberikan dampak untuk nelayan; tangkapan semakin menurun dan area tangkapnya semakin tergerus. 

(Tim Klub Jurnalis Investigasi Kalimantan Timur)

Iqin menyebutkan, terbitnya KM 54/2023 memberi tamparan keras bagi masyarakat pesisir Balikpapan. Area itu, sambungnya, telah menjadi sumber penghidupan untuk nelayan. “Nelayan akan dipaksa harus melaut lebih jauh yang berisiko tinggi karena adanya aktivitas kapal-kapal besar di area STS tersebut,” katanya.

Ia menilai, pembangunan pelabuhan STS juga dapat merusak ekosistem laut. Aktivitas bongkar muat batu bara, sambung dia, yang kerap terjadi di area STS menyebabkan tumpahan ‘emas hitam’ ke perairan, perubahan potential of hydrogen (PH) air laut secara signifikan dan beracun untuk makhluk hidup. Situasi itu pun mengancam keberlangsungan hidup biota-biota yang ada di lautan. 

Kawasan nelayan itu juga telah ditetapkan sebagai zona perikanan tangkap berdasarkan Perda 1/2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kaltim. “Perda itu ditetapkan April 2023, Sementara, penetapan lokasi pelabuhan berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 54 Tahun 2023 pada Juni 2023,” kata Iqin. ”Kami menilai ada dugaan pelanggaran administrasi dalam proses tersebut.”

“Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, penetapan lokasi pelabuhan harus sesuai dengan RTRW dan mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah,” terangnya.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 50 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan pun mengamanatkan jika harus sesuai dengan RTRW dan rekomendasi pemerintah daerah. Persisnya tertuang dalam pasal 84 ayat (2) yang menyatakan permohonan penetapan wilayah tertentu di perairan diajukan oleh penyelenggara pelabuhan terdekat setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut; kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah perairan. 

Sementara ayat (4) poin b menyebutkan bahwa, salah satu dokumen usulan adalah dengan adanya rekomendasi pemerintah daerah terkait dengan aspek tata ruang wilayah perairan.

Berdasarkan hasil investigasi data dan fakta Walhi Kaltim, ada dugaan pemelintiran fakta oleh pihak terkait. Dua instansi kemaritiman diduga memutarbalikkan fakta informasi dari organisasi perangkat daerah (OPD) Kaltim, digunakan sebagai rekomendasi pemerintah daerah. 

Walhi Kaltim mendesak Kementerian Perhubungan untuk membatalkan KM 54 Tahun 2023 tentang penetapan lokasi Pelabuhan STS Balikpapan itu. “Teluk Balikpapan merupakan kawasan strategis yang harus dilindungi. Keberadaan pelabuhan STS akan mengancam keberlangsungan hidup nelayan dan merusak lingkungan,” tegas Iqin. 

Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Antoni Arif Priadi mengaku telah mengetahui adanya penolakan KM 54/2023 dari masyarakat pesisir Balikpapan. Namun, ia meminta agar masyarakat seharusnya melihat produk hukum dari Kementerian Perhubungan lebih luas. Menurutnya, konsentrasi aktivitas bongkar muat di satu titik justru akan memudahkan pengawasan dan pengendalian lingkungan.

“Itu ‘kan yang menolak masyarakat pesisir, tapi coba (pakai) helikopter view, berapa kerusakan apabila tidak ditetapkan di satu titik. Batu bara yang terbuang ke laut nggak pernah terdeteksi, kalau terpusat, seandainya ada buangan di situ bisa diambil lagi,” ujarnya, Selasa, 1 Oktober 2024.

Analisis pola ruang menggunakan GIS. (Sumber: Tim KJI Kaltim)

Disinggung soal dugaan pelanggaran dan ketidaksesuaian KM 54/2023 terhadap Perda 1/2023 tentang RTRW Kaltim, Arif membantah tudingan itu. Menurutnya dalam produk hukum Pemprov Kaltim itu menjelaskan tentang zona berlabuh, dan tidak serta merta melarang semua aktivitas.

“Jadi kalau yang Perda (RTRW Kaltim) itu ngomongnya bahwa itu untuk zona berlabuh. Tidak semua aktivitas dilarang di zona berlabuh,” sebutnya.

“Yang dinamakan wilayah tangkap itu apakah semua? KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) kan menetapkan seluruh lautan wilayah tangkap, tapi apa kapal nggak boleh lewat? Kapal nggak boleh berhenti di situ?” sebut Arif.

Ia menekankan KM 54/2023 yang ditetapkan pada 8 Juni 2023 lalu telah melakukan kajian yang mendalam, termasuk dari segi dampak lingkungan. “Sudah lah, pasti ada plus minusnya. Ingat loh ya kita itu plus-minus, namanya wasit kadang ngeluarin kartu kuning kadang kartu merah,” sebut Arif.

“Sampaikan yang seimbang poinnya, contoh yang sudah jalan di Muara Berau, di atas Samarinda, coba lihat dampaknya ke masyarakat kecil, banyak nggak? Banyak nggak yang jadi buruh dan sebagainya, itu lebih jelas penghasilannya dari pada mereka melaut,” tambahnya.


Liputan merupakan hasil kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi Kalimantan Timur (Project Multatuli, Harian Kompas, Tempo, Mediaetam.com, dan Prolog.co.id)

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
17 menit