“...banyak pabrik saya, aset saya, yang mandek karena saya tidak dapat kredit, karena tidak berkuasa selama 20 tahun,” Prabowo Subianto.
SELAIN transformasi dari penculik aktivis 98 ke opa-opa gemoy, hal yang paling aku ingat selama proses kampanye calon presiden adalah ucapan Prabowo di atas. Sepenggal kalimat itu diucapkan Prabowo pada 20 September 2023, dalam acara Mata Najwa di Yogyakarta.
Setelah Prabowo secara definitif menang, dan sah menjadi presiden Indonesia pada 20 Oktober 2024, kalimat itu tetap nempel di kepala. Bahkan semakin lekat ketika Gecko Project mempublikasi nama-nama perusahaan Prabowo yang sudah tidak aktif dan yang masih aktif. Sebagian besar perusahaan yang sudah tidak aktif itu bergerak di sektor kehutanan dan batubara.
Membaca laporan itu membuat saya yakin dan percaya, bahwa Prabowo tidak berbohong terkait pabrik yang tutup dan aset yang mandek. Selama 20 tahun ini, bisnisnya mandek karena ia tidak berkuasa.
Sulit memang membayangkan, orang yang sejak dari lahir sudah ada di lingkaran kekuasaan, bisa lancar berbisnis tanpa sokongan penguasa. Apalagi di zaman Orde Baru saat nepotisme dan kolusi dalam lingkaran kekuasaan adalah barang yang wajar. Prabowo lahir ketika bapaknya menjadi menteri, lalu tumbuh besar di militer, kemudian menjadi menantu presiden yang berkuasa 32 tahun, tentu ia lebih paham soal itu.
Saya tidak punya niatan mengecilkan pengusaha yang sukses membangun bisnis tanpa campur tangan kekuasaan, pasti ada orang yang demikian. Akan tetapi, tidak perlu juga menutup mata terhadap fakta bahwa ada irisan besar antara kekuasaan dan bisnis. ICW (Indonesia Corruption Watch) baru saja merilis, sebanyak 61 persen anggota DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) terafiliasi dengan bisnis.
Saya pun jadi bertanya-tanya, “Apakah sebanyak 61 persen anggota DPR itu adalah pengusaha yang menjadi politisi yang merapat pada kekuasaan karena punya masalah serupa dengan Prabowo?”
Prabowo beruntung, meski bisnis mandek, ia tidak terjerumus dan terjerat pinjol, seperti para guru yang menduduki pertama profesi korban jeratan maut pinjol. Laporan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 40 persen korban pinjol pada 2023 berprofesi sebagai guru.
Prabowo juga beruntung banget punya jaring pengaman sosial yang kuat, yakni adiknya yang merupakan pengusaha tajir. Tidak seperti 25,22 juta masyarakat miskin di Indonesia yang menyandarkan jaring pengaman pada bansos.
Lebih beruntung lagi, kini Prabowo menjadi presiden. Per 20 Oktober 2024, Prabowo mungkin tidak bakal kesulitan lagi mendapat kredit untuk perusahaan-perusahaannya. Mungkin, warga Indonesia akan menyaksikan perusahaan-perusahaan Prabowo itu segera mendapatkan modal kredit dan berjalan lagi, membuka lapangan pekerjaan, menyerap pengangguran yang sudah hopeless.
Seandainya nanti Prabowo bakal menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk mendapat kredit atau bahkan memperluas usahanya (atau keluarganya), itu semua bakal berjalan mulus tanpa hambatan. Sebab, DPR yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif, sebagian besar isinya adalah pendukung Prabowo. Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang begitu besar, berpotensi melemahkan fungsi pengawasan DPR.
Bayangkan saat ini dari 580 anggota DPR RI sebanyak 470 orang berasal dari partai koalisi KIM Plus. Nyaris mutlak. Tersisa 110 anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, yang juga tidak menyatakan diri sebagai oposisi. Malahan baru-baru ini, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani, mengatakan PDI Perjuangan solid mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Legislatif yang didominasi koalisi gemuk akan sulit melakukan checks and balances dalam pemerintahan presidensial, apalagi tanpa oposisi yang kuat. Itu artinya, Prabowo dan kekuasaannya akan minim pengawasan DPR. Dengan kondisi ini, DPR yang seharusnya mewakili suara rakyat, bakal berubah menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk memuluskan beragam proyek.
Saat itu terjadi, kelas menengah ke bawah Indonesia hidupnya bakal begitu-begitu saja.
Begitu-begitu saja yang saya maksud adalah terbiasa menerima kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan. Bikin kebijakan yang lebih banyak menguntungkan pengusaha ketimbang kelas pekerja, sedikit berbagi bansos untuk jutaan masyarakat miskin, naikin pajak yang terasa banget buat kelas menengah yang kian menipis jumlahnya, kasih subsidi dan keringanan pajak untuk kelas atas yang isinya kaya dan orangnya itu-itu aja.
LPEM FEB UI dalam laporan “Indonesia Economic Outlook triwulan III-2024” menyebutkan, kelas atas di Indonesia jumlahnya hanya 0,4 persen, sementara kelas menengah hanya tersisa 18,8 persen, selebihnya adalah mereka yang berada dalam kategori “calon kelas menengah”, “rentan”, dan “miskin”. Mereka yang ada berada di kelas menengah ke bawah adalah yang selama ini struggling menjalani hidup.
Apa yang mungkin lebih buruk dari itu?
Warga mengkritik pejabat di media sosial potensi dijerat UU ITE, media dan jurnalis kritis di-doxxing atau diserang buzzer, demonstrasi turun ke jalan dihajar aparat polisi, hingga militer mendapat jabatan sipil pun sudah terjadi. Bahkan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, punya wakil presiden jalur putusan MK pun sudah disuguhkan.
Masyarakat pun sudah terbiasa ditempa dengan berbagai macam kondisi. Harga bahan pokok naik 10-25 persen meski gaji hanya naik mengikuti inflasi, itu belum termasuk potongan sana-sini. Potongan Tapera bakal segera dilaksanakan tanpa jaminan bisa punya rumah.
Anak muda bonus demografi pun luar biasa kuatnya. Mereka tetap tegar meski diomongin tetangga karena menganggur lama, susah dapat kerja, begitu dapat kerja mudah di-PHK. Dicibir pemerintah karena doyannya traveling dan ngopi di kala senja, sehingga tak bisa punya tabungan pun tetap berusaha bahagia. UKT mahal pun tetap dijalani dengan berbagai cara. Paling mentok, anak-anak muda nangis saat dengerin Bernadya, bukan karena pemerintah yang tak bisa menyediakan lapangan kerja.
Di atas kertas, para anak muda, sebagian besar Gen Z, mendominasi postur demografi. Sebagian besar dari mereka adalah pengangguran, jika bekerja pun dengan upah yang murah. Berdasarkan data BPS 2023, sebanyak 50 persen pengangguran berasal dari kelompok umur 15-29 tahun. Mereka adalah Gen Z dan sebagian Milenial yang selama ini invisible, ada dan dekat dengan kita namun jarang dibicarakan.
Pemerintah justru memilih Gen Z ber-privileged dengan mengangkat mereka menjadi staf khusus presiden, sebagai gimmick keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap kelompok muda ini.
Semua dilalui selama sepuluh tahun dengan terengah-engah. Tapi kelelahan itu sudah dianggap biasa dan dinormalisasi, sebagai kerja keras sendiri, jika sukses paling juga diklaim sebagai keberhasilan pemerintah. Bagaimana dengan lima tahun mendatang?
Jika ada hal yang bakal paling membuat lelah pada pemerintah baru ini adalah menjaga stamina untuk mengawasi eksekutif, legislatif, yudikatif agar tidak ugal-ugalan menggunakan kekuasaannya. Semua itu harus dilakukan bersama-sama, membangun koalisi masyarakat sipil yang kuat sebagaimana elite membangun koalisi pragmatis di istana.
Mentransformasi gerakan sosial di jagat maya menjadi gerakan masyarakat jangka panjang yang solid. Pengorganisasian masyarakat akar rumput juga perlu dirawat dan membangun jejaring taktis di berbagai isu.
Meski berat, masyarakat harus tetap menempuh hidup yang begitu-begitu saja. Begitu-begitu saja yang saya maksud adalah hidup seperti yang sekarang dijalani. Tetap turun ke jalan meski aparat polisi bakal menembakkan gas air mata, tetap mengkritik pejabat korup meski di bawah ancaman ITE, tetap bersuara meski para wakil rakyat sudah pekak telinganya.
Sekalipun itu gerakan yang kecil, namun jadilah keras seperti batu kerikil yang menyelip di sepatu para oligarki. Kita harus tetap keras kepala, memperjuangkan hak-hak mendasar untuk hidup kita yang begitu-begitu saja, meski Prabowo presidennya.