Mimpi yang Terkubur

Gevi Noviyanti
Ricky Yudhistira
4 menit

Manda (26 tahun) menikah siri di usia 17 tahun setelah kehamilan di luar nikah. Dia memilih mengundurkan diri dari sekolah, padahal ujian kelulusan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi kehamilannya harus ditutupi dari orang-orang di sekitarnya. 

Memiliki anak di usia muda menjadi pengalaman traumatis bagi Manda. Selama masa kehamilan, dia tidak pernah keluar rumah dan tidak mau menemui siapapun. Dia takut memperoleh hujatan dari lingkungan sekitarnya. Sampai saat ini pun,  Manda masih ingat betapa depresinya dia di masa itu, bingung harus berbuat apa dan tidak tahu masa depannya akan seperti apa. 

“Impianku terkubur. Dulu aku mau jadi orang yang gambar-gambar bangunan (arsitek), tapi sekarang aku cuma jadi penjaga toko. Nyesel dan belum ikhlas kalau inget kejadian itu. Tapi sekarang aku berusaha menjadi ibu yang baik. Semoga di masa depan, anak perempuanku tidak melakukan kesalahan yang sama seperti masa laluku,” 

Manda sadar peristiwa yang memberinya trauma di usia remaja terjadi karena komunikasi dengan orang tuanya tidak begitu baik. Ketika memiliki pasangan, dia tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Dia merasa tidak memiliki pengetahuan sejauh apa batasan menjalin hubungan dengan lawan jenis.

***

Catatan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Cirebon mencapai rata-rata 400 permohonan per tahun dalam empat tahun terakhir. Tingginya permohonan ini mayoritas dilatarbelakangi kehamilan luar nikah.

Catatan tersebut hanya sebagian dari kenyataan yang terjadi. Masih banyak kasus pernikahan anak terjadi diam-diam dengan cara nikah siri atau tidak tercatat dalam hukum negara. Pernikahan siri dipilih orang tua sebagai solusi untuk mengikat pasangan muda-mudi setelah terjadinya hubungan seksual pranikah dan atau kehamilan luar nikah. Selain itu, pernikahan siri juga dilakukan untuk menghindari denda dari pengadilan agama ketika mengajukan dispensasi perkawinan. 

Lila (27 tahun) terpaksa menikah di usia 15 tahun. Saat itu dia  masih duduk di bangku SMP. Hubungan dengan pasangannya baru terjalin beberapa bulan. Mereka dinikahkan setelah ketahuan sudah melakukan hubungan seksual pranikah. Untuk mencegah kehamilan luar nikah, orang tua Lila menikahkannya sesegera mungkin walau usianya masih di bawah peraturan. 

Orang tua Lila berusaha sebisa mungkin menikahkan putri mereka tanpa pengajuan dispensasi perkawinan dengan cara mengubah usia kelahirannya lebih tua satu tahun. Mereka pun mencari penghulu lain setelah KUA setempat menolak pengajuan pernikahan tersebut karena usia calon pengantin perempuan di bawah batas umur legal pernikahan. Usaha itu akhirnya bisa dilakukan walaupun Lila harus menunggu beberapa bulan untuk bisa mendapatkan buku nikah dari KUA setempat. 

“Rasa sesal belum bisa membahagiakan kedua orang tua dengan pekerjaan yang aku impikan. Tapi gimana lagi aku hanya memiliki ijazah lulusan SD dan suamiku pun tak mengizinkanku untuk mencari pekerjaan di luar rumah. Kini aku berharap, anak-anak perempuanku dapat mewujudkan cita-cita mereka dan tidak menikah di usia muda,” ungkap Lila. 

***

Faktor ekonomi keluarga juga mendorong perkawinan anak. Sebagian masyarakat masih percaya anak perempuan yang dinikahkan akan mengurangi beban keluarga. Padahal, ketidaksiapan mental dan finansial anak yang dinikahkan membuat mereka terperangkap dalam kemiskinan struktural. Kesempatan meraih pendidikan lebih tinggi dan pekerjaan lebih baik untuk menyokong ekonomi keluarga pun pupus.

Mima (24 tahun) putus sekolah di bangku SMP. Ia memilih mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya saat itu. Ketika berusia 17 tahun, dia memutuskan menikah dengan harapan  mengurangi beban orang tuanya sekaligus menghindari zina. 

Mima dan pasangannya menikah siri. Kemudian ketika berusia 19 tahun, mereka melakukan pernikahan di KUA. Keluarga Mima memiliki riwayat perkawinan anak, seperti yang dialami orang tuanya dan adik perempuannya. Maka ketika ia hendah menikah di usia dini, orang tuanya dengan memberi izin. 

“Tak mudah membangun rumah tangga di usia muda. Aku kadang kangen main sama temen-temenku. Tapi sekarang aku punya tanggung jawab besar menjadi seorang istri dan ibu. Aku berharap, anak perempuanku bisa menggapai kesuksesannya sebelum ia menikah.” 

Manda, Lila, dan Mima sama-sama memiliki anak perempuan. Dan mereka sama-sama punya harapan serupa, kelak anak perempuan mereka tidak mengikuti jejak langkah  orang tuanya. Sebagai orang tua, mereka berharap anak-anak perempuan mereka kelak bisa bersekolah lebih tinggi dan memiliki pekerjaan lebih layak di masa depan. Untuk itu, mereka berusaha menjadi orang tua yang baik dan mencukupi kebutuhan anak-anak demi kesuksesan mereka di masa depan. Rantai perkawinan anak putus di tangan mereka.


Nama samaran digunakan untuk subjek foto sebagai pertimbangan keamanan.

Cerita foto ini merupakan hasil lokakarya bersama  Musawah Artists Collective .

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Gevi Noviyanti
Ricky Yudhistira
4 menit