Mengungkap Dugaan Markup Proyek Pelontar Gas Air Mata Milik Polisi

Suara.com, Liputan 6, Tempo, Jaring.id dan Narasi TV
Mawa Kresna
11 menit
Polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa dalam aksi penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Jalan Trunojoyo, Bandung, Rabu, 7 Oktober 2020. Ribuan pengunjuk rasa membubarkan diri setelah polisi menembakkan gas air mata. [Project M/Adi Marsiela]

Tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI) menemukan sejumlah kejanggalan dalam paket pengadaan pelontar gas air mata Polri. Temuan ini memperkuat laporan ICW terkait dugaan korupsi pengadaan gas air mata pada 2022-2023. Ada dugaan kongkalikong dan penggelembungan harga Rp26,45 miliar.


Tony tampak ketakutan. Dia bingung sekaligus kaget saat diberitahu namanya ada dalam akta perusahaan penyedia gas air mata untuk Mabes Polri, PT Tri Manunggal Daya Cipta (TMDC). Tony mengaku benar-benar tidak tahu kenapa namanya ada dalam perusahaan tersebut. Selama ini Tony merasa tidak pernah punya saham di perusahaan apapun. Dia hanya menjalankan bisnis daring kecil di rumahnya, berdagang makanan beku.

“Kalau bapak mau ngecek nama saya di online (bisnis daring miliknya) itu ada. Saya tidak terlibat apa-apa,” tutur Tony saat ditemui tim KJI di rumahnya kawasan Tangerang bulan lalu.

TMDC menjadi pemenang proyek pengadaan pepper projectile launcher alias pelontar gas air mata Polri pada 2022-2023. Nama Tony muncul dalam dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) perusahaan sebagai komisaris. Dia memegang 11 ribu lembar saham dengan modal disetor Rp1,1 miliar. Sisanya, dimiliki direktur perusahaan, yakni Suwito Latifah dengan modal disetor Rp9,9 miliar.

Perusahaan ini didirikan pada 1986 dengan modal Rp12,5 juta. Ada tiga nama tercatat sebagai pemegang saham awal perusahaan, mereka adalah Siti Romlah, Chong Arnessen Bastian, dan Ridwan Arifin Praha Surya.

Sejak itu, pemegang saham perusahaan terus berubah-ubah. Hanya nama Suwito masuk sebagai pemegang saham pada 2007 dan konsisten ada dalam akta perusahaan sampai sekarang. Sedangkan nama lainnya terus berganti.

Tim KJI menelusuri hampir semua nama yang pernah menjadi pemegang saham di TMDC, namun hanya tiga yang dapat terlacak: Romlah, Tony, dan Suwito.

Romlah tinggal di Asrama Polri, Cipinang, Jakarta Timur. Dia sudah meninggal dunia pada 2014. Suaminya merupakan anggota Polri bernama Yaya Kuswaya. Yaya juga sudah meninggal dunia pada 1983. Sebelum wafat, Yaya merupakan perwira menengah Polri dengan pangkat Letnan Kolonel. Saat ini, pangkat tersebut setara dengan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP).

Saat berkunjung ke rumahnya pada awal Oktober lalu, KJI hanya dapat menemui anak keempat Romlah, Rini Kustiawati. Rini mengaku kalau ibunya memang pernah bercerita soal TMDC. Perusahaan itu, kata Rini, dimiliki Suwito. Nama ibunya hanya dipinjam sebagai pemegang saham lantaran Suwito cukup dekat dengan mendiang ayahnya. Tetapi untuk urusan bisnis maupun operasional perusahaan, Romlah tidak pernah ikut campur.

Sepanjang yang pernah diceritakan ibunya, Rini hanya tahu kalau perusahaan ini punya banyak kerja sama dengan kepolisian. Itu, menurut Rini, karena Suwito punya banyak kenalan orang-orang penting.

Meski begitu, Rini mengatakan ibunya tidak terlalu peduli dengan urusan bisnis TMDC. Terpenting bagi ibunya adalah dia bisa menerima honor dari Suwito setiap bulan untuk tambahan biaya hidup kelima anaknya.

“Pokoknya, honor ya lumayan lah buat dia (Romlah) sehari-hari ngurusin anaknya. Dulu kan tinggal anaknya masih kecil-kecil kan, jadi lumayan,” tutur Rini saat ditemui KJI pertengahan Oktober lalu.

Saat ini, Rini sudah tidak pernah lagi bertemu Suwito. Terakhir kali bertemu pada 2014 sebelum Romlah meninggal dunia. Tidak pernah ada kabar lagi dari Suwito semenjak saat itu. Honor untuk Romlah juga tidak pernah diterima keluarganya lagi.

Dalam dokumen akta perusahaan, TMDC memang sudah menghapus nama Romlah sebagai pemegang saham pada 2014. Namanya digantikan seseorang bernama Sonny Wibowo. KJI juga sudah berupaya melacak keberadaan Sonny tapi belum berhasil ditemukan.

Penelusuran KJI terhadap nama-nama di balik TMDC dilakukan untuk mendalami laporan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) untuk Reformasi Kepolisian terkait dugaan korupsi pengadaan gas air mata pada 2022-2023. Laporan tersebut disampaikan KMS kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal September 2024.

Nilai anggaran yang dikeluarkan dalam dua kali proyek pengadaan ini Rp99,78 miliar. Masing-masing Rp49,86 miliar pada 2022 dan Rp49,92 miliar pada 2023.

Tiga nama terlapor dalam laporan dugaan korupsi ini adalah Suwito Latifah, Yosafat Sunaryanto, dan Rivai Sinambela. Suwito menjabat sebagai Direktur TMDC, sedangkan Yosafat dan Rivai merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) saat proses pengadaan itu dilakukan. Yosafat berposisi sebagai Kabag Inventaris Biro Peralatan Slog Polri dan Rivai sebagai Kepala Biro Pengadaan Barang/Jasa Polri.

Koordinator Pengelolaan Pengetahuan Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah memandang wawancara KJI dengan Rini dan Tony semakin memperkuat dugaan korupsi tersebut. Wana melihat ada upaya untuk menyamarkan penerima manfaat sesungguhnya dari bisnis TMDC. Tujuannya, kata Wana, agar sulit dilacak. Praktik ini jamak dilakukan dalam proses-proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.

“Ini semakin jelas dengan bukti pernyataan anak Siti Romlah. Kalau Tony masih perdebatan. Karena bisa jadi dia dibuat atau dikondisikan untuk tidak mengaku dengan sejumlah insentif yang mungkin juga didapatkan Siti Romlah. Hanya, kita kan belum punya buktinya,” tutur Wana kepada KJI pekan lalu.

Dugaan Pemahalan Harga 

Dugaan korupsi ini muncul setelah ICW menelusuri sekitar 45 paket pengadaan terkait gas air mata di Polri. Saat proses penelusuran, ICW menemukan adanya dugaan harga yang tidak masuk akal dalam pengadaan gas air mata pada 2022.

Dalam dokumen pengadaan proyek tersebut tertulis Polri membeli 187 paket pelontar gas air mata bermerek Byrna. Harganya sekitar Rp49,86 miliar.

Apabila dihitung secara sederhana, kata Wana, harga paket gas air mata ini terbilang amat mahal, sekitar Rp266,6 juta per unit. Padahal, dalam laman resmi Byrna, harga satu unit pelontar gas air mata dengan tipe yang sama hanya Rp6,92 juta per unit.

Wana mengatakan dengan penghitungan itu, seharusnya harga yang dibayarkan Polri hanya Rp1,29-1,42 miliar. Ada potensi kelebihan harga sekitar Rp48 miliar.

“Berdampak pada potensi pemborosan dan dugaan kemahalan harga sekitar 30 kali lipat,” kata Wana.

Wana mengatakan ICW sudah bersurat resmi kepada Polri agar membuka secara detail dokumen pengadaan. Tetapi permohonan itu ditolak dengan dalih dokumen pengadaan termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan.

Meski begitu, pada 14 Juli 2023, Polri akhirnya memberikan klarifikasi atas tudingan tersebut. Mantan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan—sekarang Wakapolda Lampung—mengatakan yang terjadi sesungguhnya hanyalah kesalahan input angka dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Aslinya, imbuh Ramadhan, Polri membeli sebanyak 1.857 unit pelontar gas air mata. Angka 187 unit itu hanya salah ketik.

“Itu telah diperbaiki ya. Ini bisa dilihat di aplikasi LKPP,” terang Ramadhan ketika itu.

Dalam konferensi pers yang digelar di Mabes Polri itu, Ramadhan juga menyampaikan rincian penggunaan anggaran untuk pembelian pelontar gas air mata tersebut. Dari total Rp49,86 miliar anggaran yang disiapkan, sekitar Rp17,56 miliar digunakan untuk membeli 1.857 unit senjata pepper projectile launcher atau Rp9,4 juta per unit. Sisanya, sekitar Rp32,29 miliar digunakan untuk membeli alat pendukungnya berupa 2 unit extra magazine, kantong, holder, 55 unit amunisi bubuk lada, dan 55 unit amunisi bubuk lada dan gas air mata.

Massa dan mahasiswa berlarian setelah polisi menembakkan gas air mata pada saat unjuk rasa penolakan revisi RKUHP dan UU KPK pada hari Jumat 27 September 2019. Aksi berlangsung di depan gedung DPRD Sulsel, Makassar Sulawesi Selatan. (Project M/Iqbal Lubis)

Ramadhan juga memerinci spesifikasi produk yang dibeli dari TMDC tersebut. Untuk senjata utama, Polri membeli tipe Byrna LE Launcher-Universal Kit. Sementara untuk alat pendukungnya, ada Byrna 10CT 12 gram CO2 cartridges+oiler cartridges, Byrna 7-round magazine, Byrna Pepper and Max Projectiles, serta holster dan magazine pouch.

“Tidak ada kelebihan pembayaran atas kegiatan pengadaan tersebut. Seluruh pekerjaan telah selesai dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2022,” tegas Ramadhan.

Sebaliknya, ICW justru menganggap keterangan Polri justru semakin mempertegas adanya dugaan penggelembungan harga dalam proyek pengadaan gas air mata. Jumlahnya barangkali tidak sebesar temuan awal, tetapi masih cukup signifikan.

Dari penelusuran laman resmi Byrna Technologies, ICW menemukan harga beli untuk produk seperti spesifikasi yang disebutkan Ramadhan masih terbilang mahal. Misal saja untuk harga Byrna LE Launcher-Universal Kit, dalam katalog resmi Byrna, harga asli produk ini hanya $479,99, setara Rp6,9 juta jika dikonversi ke rupiah dengan kurs Februari 2022. 

Jika dibandingkan dengan harga yang diklaim Polisi per unit Rp9,4 juta, itu artinya masih ada selisih harga lebih mahal sebesar Rp2,5 juta.

Kelebihan harga ini juga diduga terjadi di alat pendukung lainnya yang dibeli Polri. Secara keseluruhan, ICW menghitung anggaran maksimal yang dikeluarkan Polri untuk membeli pepper projectile launcher dan alat pendukungnya tahun itu seharusnya hanya sekitar Rp38,97 miliar. Angka ini sudah dihitung dengan mempertimbangkan komponen biaya tambahan seperti administrasi 5 persen, ongkos kirim 5 persen, dan keuntungan 10 persen.

“Jadi patut diduga pengadaan pepper projectile launcher tahun anggaran 2022 yang telah dilaksanakan oleh Polri terindikasi mark-up dengan kerugian negara sekitar Rp10,81 miliar,” terang Wana.

ICW menduga penggelembungan harga juga dilakukan pada paket pengadaan pepper projectile launcher 2023. Penghitungan ICW dengan metode yang sama juga menemukan indikasi kelebihan harga sekitar Rp15,62 miliar.

Total unit pengadaan pada tahun 2023 sebanyak 1.564 unit, dengan asumsi harga satuan sesuai dalam website Byrna, ICW menghitung harga yang dikeluarkan Polri seharusnya hanya Rp34,29 miliar. Sementara nilai proyek pengadaan ini sebesar seharga Rp49,92 miliar.

“Menurut perhitungan dan analisis ICW, perhitungan keuntungan secara melawan hukum yang dirasakan oleh terlapor I (Suwito) setidak-tidaknya berjumlah Rp26,45 miliar,” terang ICW dalam laporannya kepada KPK.

Dugaan Keterlibatan Orang Dalam

Selain dugaan pemahalan harga, ICW juga menduga ada  persekongkolan dalam proses penentuan spesifikasi pepper projectile launcher yang dibeli Polri ini. Spesifikasinya diduga sengaja disesuaikan dengan produk-produk yang dijual Byrna. Meski sebetulnya, menurut ICW, paling tidak dua perusahaan luar negeri yang punya produk serupa, yakni Byrna dan Sabre.

Ini membuat proses pengadaan terjadi secara tidak adil. Sebab kebetulan, pemegang lisensi Byrna di Indonesia saat ini hanya TMDC. Terbukti, dalam dua kali paket pengadaan pada 2022 dan 2023—dari total 13 peserta—hanya TMDC satu-satunya peserta yang mampu mengajukan penawaran harga.

Di luar tudingan ICW tersebut, KJI menemukan adanya kejanggalan terkait perubahan klasifikasi bisnis TMDC. Dalam akta perusahaan, TMDC menambah satu klasifikasi bisnis baru, yakni industri senjata dan amunisi pada 7 September 2021. Tiga bulan sebelum paket pengadaan pepper projectile launcher Polri diumumkan pada 28 Desember 2021.

Menanggapi temuan KJI itu, Wana menduga kalau TMDC memiliki hubungan erat atau kekerabatan dengan pejabat kepolisian. Ini membuat mereka punya akses lebih dulu untuk mengetahui proyek pengadaan di Polri meski belum diumumkan secara resmi.

Dugaan hubungan TMDC dengan pejabat Polri ini semakin diperkuat dengan temuan foto mobil Pajero Sport hitam berplat kuning yang identik dengan milik kepolisian di depan pagar rumah Direktur TMDC Suwito Latifah di Pluit, Jakarta Barat. Foto tersebut dapat terlihat melalui penelusuran di Google Street.

Saat KJI berkunjung ke rumah Suwito pada pertengahan Oktober lalu, seorang warga dan ketua rumah tangga setempat juga membenarkan kalau di rumah Suwito memang kerap terparkir mobil berplat polisi. Melalui penelusuran Google Street, KJI turut menemukan mobil dengan tipe dan plat serupa di kantor TMDC.

Sayangnya, dalam tiga kali kunjungan ke rumah Suwito sepanjang Oktober lalu, kami tidak berhasil menemui Suwito. Tetangga Suwito, Dito (bukan nama sebenarnya) mengatakan kalau rumah Suwito sedang dalam proses renovasi. Hanya sopir Suwito yang kerap berkunjung untuk mengontrol pekerja renovasinya. Sementara Suwito, kata Dito, sudah pindah ke Pantai Indah Kapuk (PIK).

“Tiga tahun kayaknya deh (pindah ke PIK). Pas COVID lah,” kata Dito.

Kami juga tidak berhasil menemui Suwito dalam tiga kali kunjungan ke kantor TMDC. Pagar kantor ini selalu tertutup. Hanya ada satu atau dua orang yang sesekali terlihat bolak-balik keluar pagar kantor.

Kami menemui seorang perempuan yang keluar dari pagar kantor itu untuk menanyakan terkait aktivitas perusahaan dan Suwito. Yuli, nama perempuan itu, mengatakan kalau perusahaan sudah tidak lagi beraktivitas dan Suwito sudah tidak pernah lagi datang ke kantor ini. Di kantor, kata Yuli, hanya ada bosnya yang dipanggil Cici Evi. Evi kemungkinan merujuk kepada nama istri Suwito, Evy Chandra.

KJI meminta Yuli untuk memanggil Evy tetapi dia menolak untuk ditemui. Kami lantas menitipkan surat permohonan wawancara untuk Suwito kepada Yuli. Namun, sampai tenggat artikel ini ditayangkan, Suwito masih belum membalas surat kami.

Kami juga sudah berupaya menghubungi Suwito melalui nomor ponsel anaknya Juwita Latifah. Tetapi pesan singkat dan telepon kami juga belum dijawab.

Sejak pertengahan Oktober 2024, KJI juga sudah berupaya menghubungi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dan Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho untuk memberikan klarifikasi sekaligus membuka data detail terkait paket pengadaan pepper projectile launcher 2022-2023 ini. Surat permohonan wawancara resmi juga sudah kami kirimkan sejak pekan lalu. Tetapi sampai artikel ini diterbitkan, keduanya belum memberikan tanggapan.

Beberapa proyektil gas air mata yang ditemukan warga Dago Elos. Polisi menembakkan gas air mata ke kerumunan warga dan pemukiman pada tanggal 14 Agustus 2023. Aksi itu membuat banyak warga terluka akibat panik berusaha menyelamatkan diri dari kepulan gas air mata. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bay)

Trunoyudo hanya pernah menyampaikan keterangan tertulis kepada awak media kalau pengadaan pelontar gas air mata yang dilakukan Polri sudah sesuai peraturan perundang-undangan. Keterangan itu disampaikan Trunoyudo pada Selasa, 3 September 2024 atau sehari setelah laporan ICW ke KPK.

“Dan memastikan bahwa pengadaan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku,” terang Trunoyudo ketika itu.

Sementara itu, sampai hari ini—dua bulan setelah laporan ICW—KPK belum mengumumkan perkembangan apapun terkait kasus dugaan korupsi tersebut. Saat dihubungi KJI pekan lalu, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengaku belum tahu sampai sejauh mana proses penelusuran lembaganya dalam kasus ini.

“Saya kalau ditanya tidak akan bisa memberikan apa-apa terkait itu. Hal tersebut karena semua laporan/pengaduan yang masuk sampai dengan tahapan penyelidikan bersifat rahasia,” pungkas Tessa melalui pesan tertulis kepada KJI.


Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Klub Jurnalis Investigasi (Suara.com, Liputan 6, Tempo, Jaring.id, Narasi, dan Project Multatuli).

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Suara.com, Liputan 6, Tempo, Jaring.id dan Narasi TV
Mawa Kresna
11 menit