Demi memanjakan kenyamanan wisatawan, para pedagang asongan dibersihkan. Para PKL “ditertibkan” ke kawasan terpusat. Ini semua demi menjadikan Malioboro, bagian dari “sumbu filosofi”, mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda.
JAM 9 malam Ratna meninggalkan kamar kos saat anak perempuannya tertidur lelap. “Bheng, ebok mangkaddheh, yeh,” ujarnya pamit sambil menepuk paha anaknya, gadis berusia 13 tahun. Anaknya bergeming. Masih lelap saat ibunya mengunci pintu kamar dari luar.
Gerobak dagangan Ratna bertengger di tepi halaman kos. Segalanya sudah tertata rapi. Bermacam minuman saset berderet menutupi bagian depan gerobak. Di sisi kanan gerobak ada ceruk yang cukup dalam menampung termos ukuran 30 liter.
“Bismillah, moga-moga enggak ketemu UPT.”
Setiap malam Ratna berjalan kaki selama 20 menit dari kamar kos menuju Malioboro, pusat wisata jantung Kota Yogyakarta. Betis Ratna tak mulus. Ada memar kekuningan menjalari kulit betisnya. “Bukan jatuh,” katanya. “Cuma memar karena banyak jalan.”
Tubuhnya ramping dan pendek. Saat mendorong gerobak, badannya agak merunduk. Ia mengaso sebentar, minum semulut penuh air putih, lalu kembali bergegas. Ia dan gerobak birunya melenggang di atas trotoar.
“Berangkatnya malam gini,” katanya dengan napas ngos-ngosan. “Enggak berani sore. Takut. Ada UPT soalnya.”
Malioboro luar biasa ramai saat Ratna tiba. Musim liburan sekolah. Orang-orang menyemut, datang dari berbagai macam kota dengan berbagai jenis kendaraan, menyusuri dua ruas trotoar sepanjang 2 kilometer; ada yang duduk-duduk di bangku besi, ada yang tengak-tengok melirik etalase dan sebagainya.
Di bawah pendar kuning lentera jalan, Ratna terlihat di tengah-tengah para turis. Kaus oblong lengan panjangnya sewarna suasana malam. Ia memang sengaja tidak memakai baju berwarna cerah. Lagi-lagi alasannya selalu sama, “Biar enggak diingat UPT.”
Seorang bapak memanggilnya menepi. Memesan minuman saset. Ratna menyodorkan gelas plastik berisi minuman pesanan si pembeli, yang agak gemas dengan suara pelan Ratna. “Keras sedikit bicaranya, Bu! Enggak kedengeran, nih!”
Ratna mengangguk. Bibirnya melengkung ke atas dengan ragu-ragu. “Lima ribu, Pak!” ulang Ratna dengan suara lebih keras.
Kendati suaranya pelan dan gerak-geriknya lembut, Ratna adalah pedagang asongan yang cekatan. Tangan-tangan kurusnya bergerak lincah meracik minuman saset dalam gelas plastik. Sembari melayani pembeli, mata Ratna terus awas mengamati sekeliling.
Jika ada sosok laki-laki berseragam serba hitam dengan topi bertuliskan “JOGOBORO” mulai mendekat, ia segera cabut dari tempatnya. Kadang uang kembalian tak dihitung dengan benar. Yang penting ia dan gerobaknya segera bersembunyi di celah-celah gang terdekat.
Di mata Ratna, petugas Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Kawasan Cagar Budaya Malioboro bak arwah kuyang bergentayangan yang gemar mencari mangsa. Gerak-gerik petugas gesit. Dalam sekejap bisa muncul di belakang Ratna. “Cuma bedanya, kalau kuyang isap darah manusia. Nah, kalau petugas UPT isap rezeki saya,” seloroh Ratna.
Satu kali termos minumannya dirampas petugas UPT. Saat itu Ratna melayani tiga pembeli memesan minuman dingin. Saat hendak menciduk es batu di termos, centongnya hanya menyentuh rongga kosong di gerobak. Saat Ratna angkat kepala, ternyata seorang petugas UPT sudah mencangking termosnya.
“Duh, padahal harganya Rp450 ribu,” katanya. “Terpaksa saya pinjam uang dari teman dulu buat beli termos baru.”
“Sudah sebulan ini dagang sampai subuh terus biar bisa ganti modal. Anakku sampai enggak keurus.”
“Aku enggak berani datengin kantor UPT buat minta termos balik. Aku ini pendatang dari Madura. Mereka kejam sama yang bukan orang sini.”
Awal 2023, berbekal sebundel pakaian dan tas ransel dan Rp850 ribu, Ratna nekat merantau dari Madura ke Yogyakarta. Anak perempuannya yang masih SMP turut dibawanya. ia kabur dari suami yang, katanya, kalau marah suka mengacung-acungkan parang.
Hari-hari pertamanya di Yogyakarta adalah bekerja serabutan. Saat siang hari, setelah mengantar anaknya sekolah, Ratna menjaga toko obat tradisional. Saat malam, ia bekerja di warung pecel lele dekat kosnya. Pertengahan 2023, ia punya cukup tabungan untuk modal berdagang asongan di Malioboro. Modal itu dipakai buat membeli gerobak bekas.
Kali pertama berdagang di Malioboro ia sedikit linglung. Ingar-bingar wisatawan beradu suara musisi jalanan membuat telinganya pekak. Belum lagi teror dari petugas UPT Kawasan Cagar Budaya Malioboro setiap hari. Sebelum mulai berdagang, ia tidak tahu sama sekali bahwa pedagang asongan dan pedagang kaki lima dilarang berjualan di Selasar Malioboro. Ia juga tak pernah mendengar informasi bahwa para petugas UPT setiap hari mengusir para pedagang asongan.
Setelah hampir setahun jualan asongan, ia mulai memahami itu semua. Kini ia bisa dengan sekejap mendeteksi kehadiran lelaki berseragam serba hitam yang kerap muncul di tengah keramaian. “Mereka itu orang UPT yang jaga Malioboro. Pokoknya, kalau ada mereka, aku harus ngumpet.”
Kendati demikian, Ratna masih belum tahu mengapa petugas UPT menginginkan para pedagang asongan tidak boleh berjualan di Malioboro. “Dengar-dengar sih karena ada aturannya. Pokoknya dari pemerintah gitu,” ujarnya.
Larangan berjualan yang tak jelas asal muasalnya itu membuat Ratna sedikit melamun. Ia berhenti sejenak saat sedang menuangkan air panas dari termos. Percikan air panas menyengat ujung-ujung jemarinya. “Tapi ya, gimana lagi? Pemerintah memang melarang, tapi, kan, urusan perut yang pasti menang,” canda Ratna sembari mengibas-ngibaskan jemarinya yang kepanasan.
*
Sekitar setengah kilometer dari tempat Ratna rehat, ada sebuah toko batik bertembok putih, yang tampak mencolok, dengan lusinan lampu neon di langit-langit toko, menerangi keremangan di sepanjang Selasar Malioboro. Jajaran kuda penarik andong memantati muka toko. Di koridor sempit di antara lalu-lalang turis, beberapa pedagang asongan dan seniman jalanan sedang rehat, duduk bersila dengan punggung bersandar pada pilar toko.
Seorang pengamen laki-laki jongkok di depan toko. Celana jin robek di bagian lutut. Ia menyetel ulang ukulelenya. Jemarinya terhenti di senar ketika Tari, seorang pedagang asongan, meletakkan keranjang dagangan ke lantai. Terdengar bunyi kelotak riuh saat barang-barang di keranjang itu saling berbenturan.
“Kik, tukokno aku es krim, dong! Ben aku ora galau!” Tari berseru minta dibelikan es krim. Si pengamen cuma membalasnya dengan menyeringai.
Cerita malam itu mengagetkan. Tari baru saja dipukul pacarnya, seorang pengamen Malioboro. Tak cuma sekali, sisi wajah Tari beberapa kali jadi sasaran kepalan tangan si pacar. Saat itu Tari memergoki pacarnya membonceng seorang perempuan. Tari lantas menghampiri pacarnya di sebuah warung burjo di belakang bangunan pertokoan Malioboro.
“Cewek siapa itu?”
“Opo urusanmu?”
Setelahnya Tari dipukul. Lalu ia pergi ke kantor polisi. Disuruh polisi membawa tiga saksi. Urusannya kini, katanya, sudah ditangani polisi unit pelayanan perempuan dan anak. Ia menunjukkan pelipisnya. Memarnya sudah pudar.
Meski harus mengurus kekerasan dalam pacaran yang menimpanya itu, Tari tetap menyambangi Malioboro untuk berdagang. Dagangannya adalah teh celup dan beragam minuman instan lain, diringkas dalam keranjang plastik. Sebuah termos kecil ukuran 750 ml terselip di antaranya.
“Aku single parent, jadi harus kerja sendiri buat biayai hidupku dan anakku,” katanya.
Anak Tari kelas empat SD. Dulu ia kerja ikut orang. Hanya saja jam kerja yang padat bikin dia tidak leluasa mengurus anaknya. Saat sekolah mengadakan pertemuan orangtua, seperti rapat dan pengambilan rapor, ia terpaksa absen.
“Makanya aku ngasong. Kerja gini, kan, fleksibel, meski capek.”
Rutinitasnya mulai terbentuk setelah berjualan asongan. Pagi-pagi ia mengurus segala keperluan sekolah anaknya lalu mengantarnya ke sekolah. Sesudahnya ia bisa membersihkan kamar kos dan menyiapkan makan siang. Setelah menjemput anak, ia punya cukup waktu istirahat, kemudian berangkat kerja ke Malioboro.
Pendapatannya tidak menentu. “Cukup enggak cukup, ya pokoknya harus cukup,” katanya.
Tapi ada saja pengeluaran tak terduga. Ia baru saja membeli termos baru seharga Rp70.000. Termos lama miliknya dirampas petugas UPT Malioboro.
“Lagi ngeladenin pembeli, tiba-tiba diambil sama UPT.”
“Kerja begini harus sembunyi-sembunyi. Kalau UPT kelihatan, harus langsung ngumpet. Kalau enggak, barangnya diambil.”
Perawakan Tari ramping. Meski tak begitu tinggi, kedua kakinya panjang. Ia bisa lari cepat. Tari harus kucing-kucingan dengan petugas UPT Malioboro. Sebab kemunculan petugas itu tak menentu. Kadang siang hari. Kadang malam hari. Hari libur saja patroli. Keselamatan dagangan asongan dan termosnya tergantung seberapa gesit dia bisa bersembunyi dari petugas UPT.
Tari, yang berasal dari Kalimantan, berkata tidak tahu awal mula ada larangan berjualan di Selasar Malioboro bagi PKL dan pedagang asongan. “Kalau sudah ada aturannya, terserah gimana asal-usulnya, mau bagaimana lagi? Enggak bisa, kan, melawan pemerintah?”
*
Termos bukan satu-satunya alat kerja pedagang asongan yang jadi target rampasan petugas UPT Malioboro. Satu lapak dagangan bisa saja diangkut ke kantor petugas.
Meja lapak dagangan Maryam, yang mangkal di depan toko kerajinan kulit, pernah diboyong paksa petugas. Maryam menjajakan kopi dan minuman saset, rokok, penganan kletikan macam kacang gajah dan keciput wijen.
“Dulu aku pernah ketangkep pas jualan siang-siang. Semeja ini diambil!” kisah Maryam menunjuk meja lapak berukuran 35×43 cm.
Maryam mendatangi kantor UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Malioboro. Letak kantor ini di dekat Stasiun Lempuyangan, sekitar 1 km dari Malioboro. Sesudah menunggu lama di tengah terik, ia baru mendapatkan kembali meja dagangannya menjelang petang. “Waktu itu suamiku yang maju. Dia punya kenalan orang situ,” ujar perempuan kelahiran Yogyakarta ini.
Dari perbincangan Maryam dengan teman-teman pedagang asli Yogyakarta, ia pernah mendengar asal mula peraturan larangan berdagang di Malioboro. “Ini semua dhawuhe Sultan. Pokok’e Malioboro harus bersih dari wong dodolan,” katanya. “Padahal sini, tu, cuma wong cilik cari nafkah, ya to?”
Imbas Ide ‘Sumbu Filosofi’
Pembersihan pedagang asongan, juga “penertiban” para pedagang kaki lima di sepanjang Malioboro, semakin gencar sejak ide “sumbu filosofi” dikampanyekan pemerintah Keraton Yogyakarta.
Di Yogyakarta, sebagai daerah istimewa, jabatan monarki kesultanan dan jabatan politik gubernur dipegang satu orang, yakni Sultan Hamengku Buwono. Artinya, sultan sebagai gubernur atau gubernur sebagai sultan.
Tidak seperti provinsi lain di Indonesia, gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta dilakukan berdasarkan penetapan, bukan pemilihan, yakni dipegang oleh Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam. Sejak status istimewa berdasarkan “sejarah dan hak asal-usul” ini dijamin undang-undang pada 2012, Yogyakarta juga mendapatkan dana istimewa setiap tahun, bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Tahun 2024 ini dana istimewa itu sebesar Rp1,42 triliun. Dana ini dipakai untuk mendanai kewenangan urusan keistimewaan termasuk urusan kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
Pada 2022, Gubernur DI Yogyakarta atau Sultan HB X mendaftarkan sumbu filosofi sebagai Warisan Budaya Takbenda pada UNESCO. Sumbu filosofi ini terdiri dari Keraton Yogyakarta, Tugu Golong-Gilig, dan Panggung Krapyak. Malioboro dilintasi garis imajiner sumbu filosofi tersebut.
“Sumbu filosofi ini konsep kebudayaan yang lama muncul di teks-teks sejarah Yogyakarta tapi konsepnya baru menguat lagi ketika ada rencana revitalisasi secara fisik,” ujar Elanto Wijoyono, Direktur Combine Resource Institute, yang kritis atas kebijakan pembangunan di Yogyakarta.
Elanto mengatakan dalam proses penominasian situs-situs budaya ke UNESCO, biasanya terjadi pembenahan untuk mempersiapkan tampilan yang diinginkan. “Di Yogyakarta, pemerintah daerah menerjemahkan pembenahan itu sebagai upaya sterilisasi Malioboro demi mempersiapkan tampilan yang diinginkan UNESCO,” ungkapnya.
Praktiknya, PKL dan pedagang asongan Malioboro kehilangan ruang mereka untuk mencari nafkah. PKL dipaksa angkat kaki dari Selasar Malioboro karena dipindahkan ke Teras Malioboro 1 dan 2. Sementara pedagang asongan harus kucing-kucingan dengan petugas UPT Malioboro.
Elanto menyayangkan keputusan pemerintah Yogyakarta dengan mengusir pedagang asongan demi penominasian sumbu filosofi itu. Malioboro seharusnya terbuka untuk semua kalangan, tambahnya. Proses penominasiannya tidak boleh menghilangkan kualitas sistem sosial yang sudah terbentuk.
“Pedagang itu adalah orang-orang yang sudah tinggal dan hidup di sana. Bahkan telah beregenerasi di Malioboro. Mereka sejatinya memiliki prioritas untuk berkegiatan di sana karena memiliki sejarah yang panjang dengan Malioboro,” ujarnya.
Rakha Ramadhan, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang mendampingi para PKL dan pedagang asongan Malioboro, mengungkapkan ada salah satu unsur terpenting dari regulasi UNESCO yang diterabas begitu saja oleh Pemda Yogyakarta.
Dalam ‘Text of the Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritaged dari UNESO‘, tidak ada pasal yang melarang aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. “Justru mengatur harus ada peran serta masyarakat di dalam perlindungan dan pengelolaan warisan budaya tersebut,” terangnya.
Selain itu, dalam dokumen proposal pengajuan ke UNESCO, ‘The Cosmological Axis of Yogyakarta‘, Pemda Yogya menyebut soal peran komunitas lokal; bahwa pariwisata harus tetap memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat.
“Tapi justru PKL, pedagang asongan, dan seniman jalanan disingkirkan dari Malioboro.”
Rakha juga menyayangkan sikap UPT Malioboro “menertibkan” PKL dan pedagang asongan di Malioboro dengan tindakan represif seperti pemukulan dan perampasan sumber nafkah pedagang asongan. “Seharusnya bisa memakai pendekatan persuasif,” kritiknya.
Dan, keberadaan PKL dan pedagang asongan ini sendiri merupakan kegagalan negara untuk menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, tambahnya. “Harusnya tetap ada ruang buat mereka untuk tetap bisa beraktivitas di jalan.”
Menutup mata atas perampasan ruang hidup para pedagang di Malioboro itu, toh UNESCO tetap meresmikan sumbu filosofi sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 18 September 2023.
“Mungkin sekarang Malioboro cantik secara fisik, tapi tetap saja ada kehidupan sosial yang lenyap dari sana,” kata Elanto.
*
“Sudah capek nangis dia. Waktu aku mandi, nangis terus,” canda Putri menimang-nimang bayi. “Ini anak ketiga. Pokoknya semua rezeki.”
Usia Putri baru menginjak 24 tahun. “Ini aku ngekos. Sebulan 600 ribu,” lanjutnya. “Aku cuma ambil satu kamar buat berlima, sama tiga anak dan suamiku.”
Bangunan kos ini sederhana. Ruang depan sempit dan memanjang. Cat tembok hijau kusam. Lantai dilapisi plester kasar. Cahaya matahari menerobos masuk lewat deretan lubang ventilasi di atas jendela. Di pojok ruangan, teronggok keranjang hijau berisi bungkusan kerupuk-kerupuk ikan. Selendang batik tersampir di atasnya.
“Cari uang sekarang itu sulit,” keluh Putri, memandangi dua anak perempuannya yang kekenyangan setelah menyantap jajanan. “Apalagi kalau punya anak kayak sekarang. Masih harus bayar uang sekolahnya. Belum lagi jajannya.”
“Dulu aku jualan di Malioboro waktu kecilan ini. Dulu dia ikut ke jalan.” Telapak tangannya terentang menunjuk anak sulung.
Tujuh belas tahun silam, Putri dan kakak lelakinya minggat ke Yogyakarta. Saat itu bapaknya menikah lagi, meninggalkan ibu Putri yang merawat tujuh anak seorang diri. Usianya masih tujuh tahun saat ia dan kakak lelakinya meninggalkan ibu mereka yang mengalami guncangan jiwa di Tegal. Bermodal nekat, niat, dan pakaian yang melekat di tubuh, mereka menumpang sebuah kereta yang membawa mereka ke Stasiun Tugu.
Setiba di Yogyakarta, Putri tak punya tujuan. Malioboro menjadi satu-satunya tempat yang terbuka mereka. Di Selasar Malioboro, yang kala itu masih disesaki dagangan PKL, Putri mencari uang dengan mengemis. Sepanjang hari, ia menjelajahi setiap celah Malioboro. Mengumpulkan setiap koin dan lembar uang dalam lembaran amplop yang ia bagikan.
“Waktu itu masih kecil. Jadi enggak malu ngamplopi gitu,” katanya.
Tak setiap hari ia mendapatkan uang dari mengemis. Jika sudah seperti ini, biasanya gadis-gadis lain yang hidup di Malioboro bakal membagi makanan.
Saat malam, ia mencari sudut ternyaman di Malioboro. Tidur di mana saja. Tubuhnya terbiasa meringkuk dan beradu dengan kerasnya trotoar. “Waktu itu mah enak. Di sana enggak ada aturan. Cari uang, tidur di jalan santai aja.”
Saat berusia 14 tahun, ia berkenalan dengan Tejo, pengamen di Malioboro. Putri diajak mengamen di perempatan jalan. Putri yang mengedarkan kotak kaleng, sementara Tejo yang memetik gitar di tepi trotoar dengan pengeras suara. Dua tahun setelahnya, Tejo melamar Putri. Mereka menikah siri karena tidak punya KTP. Putri baru bisa meresmikan pernikahannya di mata negara setelah ia mendapatkan kartu tanda penduduk.
“Umurku waktu itu 18 tahun,” katanya. Ia mendapatkan KTP berkat dibantu Harapan Fian, organisasi nirlaba di Yogyakarta yang melakukan pendampingan dan dukungan untuk anak-anak jalanan.
Setelah anak pertamanya lahir, dengan tabungan serba cukup dari mengamen, ia membelanjakan makanan kecil seperti kerupuk udang, peyek, atau kacang lalu dijual kembali di Malioboro. Meski begitu, ekonomi rumah tangganya yang mengandalkan dari berdagang asongan ini mulai terganggu sejak UPT Kawasan Cagar Budaya Malioboro mulai beroperasi pada 2009. Pedagang-pedagang asongan mulai diwajibkan untuk beli rompi seharga Rp80 ribu. Kalau menolak, mereka tak diizinkan masuk kawasan Malioboro.
“Aneh, ya? Mau cari uang kok malah suruh beli rompi, sih?” ucap Putri.
Ia juga diancam petugas tidak boleh berjualan sebab membawa-bawa anaknya yang masih bayi. “Waktu itu anak pertamaku masih netek. Gimana dong kalau enggak dibawa jualan? Aku suruh enggak kerja?”
Putri akhirnya memilih pindah dari Malioboro. Ia sempat berjualan kerupuk di depan Kopi Joss, angkringan yang sangat ramai di dekat Stasiun Tugu. Tapi, pembersihan areal PKL sekitar stasiun kembali mengusir rezekinya.
Ini terjadi pada 2021. Dengan alasan “semrawut”, Pemkot Yogyakarta bersama manajemen PT Kereta Api Indonesia memindahkan para PKL itu ke kawasan kuliner terpusat bernama Slasar Malioboro.
“Di Malioboro kena. Di Kopi Joss kena. Enggah bisa cari uang lagi, deh,” gerutu Putri.
Kini Putri memang masih seorang pedagang asongan sekalipun tak lagi berjualan di Malioboro. Ia pindah ke warung lesehan di dekat Pasar Kolombo, sekitar 7 km ke arah utara Yogyakarta di Jalan Kaliurang.
Pendapatannya pun berubah drastis. “Kalau Malioboro, kan, daerah wisata, banyak yang dateng. Lha, kalau di Pasar Kolombo ini yang beli nggak mesti.”
Seringkali ia pulang dengan bungkusan kerupuk masih menggunung di keranjang. Sementara suaminya masih mengamen.
Kenapa masih berdagang asongan dan mengamen?
“Biarpun kerjanya seperti ini, tapi uangnya setiap hari ada,” alasan Putri.
Sementara kebutuhan hidup terus mengintai. “Bayar motor, bayar kos, bayar ini-itu,” katanya.
Sambil memandangi bayi di pangkuannya, Putri bertanya dengan suara rendah, “Memangnya kita ini mengganggu, ya? Kayaknya enggak. Kita cuma cari uang kok di Jogja Istimewa ini.”