Pada suatu pagi yang kering di Pulau Sumba, saya memacu motor pinjaman dari Kota Waingapu menuju Desa Kotak Kawau, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sepanjang perjalanan sejauh 45 kilometer itu, angin bertiup keras menggoyang-goyang motor, membuat rasa kantuk hilang.
Sesekali, saya menurunkan kecepatan untuk menikmati pemandangan sabana, padang rumput luas, khas pulau di kawasan Indonesia bagian timur ini. Kawanan kuda, sapi, dan kambing asyik melahap rumput yang mengering terpanggang sinar matahari musim kemarau. Di atasnya, langit berwarna biru pekat dan awan putih yang melayang-layang dengan tenang.
Pagi itu saya mendatangi SD Negeri Nari untuk melihat praktik layanan pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Layanan ini khusus diberikan kepada murid-murid pemeluk Marapu, nama kepercayaan atau agama lokal yang dipeluk “warga asli” Pulau Sumba (Tau Humba) sejak zaman nenek moyang.
Sayangnya, pemenuhan hak pendidikan kepercayaan bagi pelajar Marapu di Sumba Timur masih minim. Konstitusi Indonesia menghormati kepercayaan tetapi politik hukum yang bias agama resmi menyebabkan pemenuhan hak bagi penghayat kepercayaan masih terabaikan.
Sumba Integrated Development (SID), sebuah lembaga di Waingapu yang mengadvokasi isu Marapu, mencatat pada tahun 2023 jumlah murid SD pemeluk Merapu di Sumba Timur berjumlah 1.003 anak. Namun baru tujuh murid yang mendapat layanan pendidikan kepercayaan, semuanya pelajar di SDN Nari. Ini adalah satu-satunya SD di Kabupaten Sumba Timur dan bahkan di Pulau Sumba yang menyediakan layanan pendidikan ini.
SID mencatat jumlah warga Marapu di Pulau Sumba sekira 30 ribu orang. Mereka tersebar di empat kabupaten, yaitu Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Tetapi mayoritas berada di Sumba Timur, menurut BPS pada tahun 2023, jumlahnya mencapai 16.314 jiwa.
Di rumahnya yang khas Sumba di Kampung Raja Prailiu, Waingapu, tokoh muda Marapu, Umbu Remi Deta mengatakan, sebenarnya jumlah pemeluk Marapu lebih banyak dari yang terdata. Warga yang sudah mencantumkan Kepercayaan Terhadap TYME (Marapu) pada kolom Kepercayaan di KTP, ada 11.793 dari 12.319 orang.
“Kalau anak-anak mereka juga dihitung, jumlahnya jauh lebih banyak lagi,” ujar Wakil Ketua Badan Pengurus Marapu (BPM) Kabupaten Sumba Timur itu, Senin (5/8).
Dahulu kala, semua orang asli di Pulau Sumba beragama Marapu. Agama lokal ini menjadi minoritas sejak agama-agama samawi masuk ke pulau ini, terutama Kristen pada tahun 1800-an. Tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) NTT mencatat mayoritas penduduk Pulau Sumba yang berjumlah 835.339 jiwa itu, sekira 70% beragama Kristen.
Apa arti Marapu? Peneliti budaya Sumba yang terkemuka, Hina Kapita dalam bukunya, Masyarakat Sumba dan Adat-Istiadatnya (1976), mengatakan Marapu artinya roh nenek moyang. Para pemeluk Marapu berkomunikasi dengan Sang Maha Kuasa melalui perantaraan roh nenek moyang (animisme).
Ajaran Marapu tidak tertulis, melainkan diwariskan secara lisan sejak zaman nenek moyang tiba di pulau yang bertanah kapur itu. Marapu mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam yang menubuh dalam adat istiadat mereka.
Di mata pemerintah, Marapu adalah salah satu dari 187 aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia yang masih mengalami diskriminasi. Diskriminasi ini berawal dari anggapan yang bias agama samawi, bahwa kepercayaan bukan agama meskipun memiliki ritual dan meyakini adanya Sang Pencipta.
Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.97/PPU-XIV/2016 sudah memutuskan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa setara dengan agama. Di negara yang berideologi Pancasila ini, aturan hukum memang masih sering bertolak belakang dengan praktik di lapangan.
Kisah di SDN Nari
Tepat pukul 7.30, saya berhenti di halaman SDN Nari yang luas dan dihiasi taman kecil di depan ruang kelasnya. Sekolah ini berada di pemukiman penduduk yang mempunyai lebih dari lima gereja.
Seorang penyuluh Marapu di SDN Nari, Arman Lawatu Ranja Muda (23) menyambut saya di mulut halaman sekolah. “Selamat pagi, mari masuk,” ujarnya ramah, Kamis (8/8).
Ia mengajak saya masuk ke ruangan berukuran 6X7 meter yang bercat krem muda. Bekas ruang kelas dan tempat menyimpan berbagai perabot usang itu dijadikan ruang belajar anak-anak pemeluk Marapu.
Pada salah satu dinding, bersandar sebuah papan tulis besar. Di sebelahnya, ada gambar Yesus berdiri, mengenakan jubah putih, dan mengangkat dua tangannya. Ada pula tulisan,”Berkatilah Kami Tuhan” dan gambar seekor burung merpati.
Tepat di depan gambar Yesus, dua murid kelas 5, Ikensel Pura Uruta (10) dan Aryo Domu Kahu (11) duduk di belakang sebuah meja butut. Mereka mengenakan seragam SD yang dipadu rompi berhiaskan motif sumba.
Arman membuka dengan salam, Rahayu, “milik” para penghayat kepercayaan. “Di kelas 5 ini, kita akan belajar tentang pendidikan kepercayaan dan budi pekerti. Artinya kita akan bicara tentang hubungan kita dengan Tuhan,” ujarnya, Kamis (8/8).
Topik Tuhan sebagai sumber kehidupan menjadi materi pertama pada awal tahun ajaran baru ini. Arman menjelaskan Tuhan adalah sumber kehidupan karena memberi nafas kehidupan, kekuatan, kesehatan, akal budi, dan keistimewaan kepada manusia.
Ikensel dan Aryo mendengarkan dengan seksama. Beberapa kali mereka menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arman.
Menjelang akhir pelajaran, Arman memberikan tugas. Ia minta mereka menuliskan di buku masing-masing, apa saja kewajiban manusia kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Setelah beberapa menit, Ikensel dan Aryo menunjukkan hasilnya kepada Arman, tidak ada yang meleset. Dua anak itu menjawab, salah satu kewajiban manusia terhadap alam adalah menanam pohon.
Saat Ikensel dan Aryo belajar ajaran Marapu, teman-temannya dan para guru sedang membersihkan halaman dan memperbaiki pagar taman. Sekolah ini sedang mematut diri untuk ikut lomba sekolah sehat, menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke-79.
Kepada saya, Linda Bili (59), guru dan wakil kepala sekolah mengatakan SDN Nari memiliki 136 murid. Ada tujuh anak (dua perempuan dan lima pria) mengakses layanan pendidikan Marapu, rinciannya masing-masing dua anak di kelas 3, 4 dan 5 serta 1 anak di kelas 6.
Sepanjang berbincang dengan saya, Linda merekam dengan telepon pintarnya. Ia terlihat tegang.
Guru yang enam bulan lagi pensiun itu mengatakan layanan pendidikan kepercayaan di SDN Nari sudah berjalan selama 3 tahun. Awalnya, ada pejabat pemerintah datang ke sekolah dan minta SDN Nari menyediakan layanan pendidikan kepercayaan kepada murid-murid yang memeluk Marapu.
“Katanya, kepercayaan sudah diakui sehingga harus ada penyuluh Marapu di sekolah ini karena ada murid SDN Nari yang memeluk Marapu,” ujar perempuan yang sudah menjadi guru selama 36 tahun itu, Rabu (7/8).
Di Kecamatan Kahaungu Eti dimana SD Nari berada, masih banyak warga menganut Marapu. BPS mencatat ada 1.053 jiwa (2023).
Arman mengatakan para orang tua dari murid-murid pemeluk Marapu, merasa bergembira karena anaknya mendapat pelajaran Marapu dan bukan agama lain.
“Mereka bilang mengapa tidak dari dulu?” ujar Arman menirukan.
Sayang, layanan pendidikan kepercayaan bagi pelajar Marapu di Kabupaten Sumba Timur masih minim. Dari 156 sekolah di Kabupaten Sumba Timur, baru empat SMA dan satu SD yang menyelenggarakan pendidikan kepercayaan bagi siswa Marapu.
Data SID mencatat pada 2023 ada 1.425 murid di Kabupaten Sumba Timur yang memeluk Marapu. Tetapi baru 202 anak (14%) yang mendapat layanan pendidikan Marapu.
Awal pemenuhan hak pendidikan kepercayaan
Ikensel dan Aryo adalah anak yang beruntung karena mendapat pelajaran kepercayaan sesuai keyakinannya. Mereka bisa belajar tentang Marapu yang jadi akar kebudayaan sukunya.
Hingga tahun 2018, semua pelajar pemeluk Marapu di Sumba Timur tidak ada satu pun yang mendapat pelajaran Marapu. Penguasa kolonial yang dilanjutkan pemerintah Indonesia, menganggap Marapu bukan agama sehingga mereka harus mengikuti pelajaran salah satu agama yang diakui penguasa.
Sindi Kahi Leba (18), siswi kelas 12, SMA Negeri Rindi Umalu yang tinggal di Desa Watuhadang, Kabupaten Sumba Timur mengalaminya saat duduk di bangku SD dan SMP. Keluarganya memeluk Marapu tapi ia tidak mendapat layanan pendidikan kepercayaan, Marapu.
“Saya mengikuti pelajaran agama Kristen,” ujarnya.
Wacana layanan pendidikan agama bagi siswa penghayat kepercayaan di Indonesia muncul setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Aturan ini mewajibkan pendidik menyelenggarakan pelajaran pendidikan kepercayaan sesuai kepercayaan peserta didik.
Anna Amalia dalam tulisan berjudul Pendidikan Kepercayaan: Antara Kerelawanan dan Tanggung Jawab Negara mengatakan peraturan ini muncul sebagai respon terhadap kritik yang menyatakan negara gagal memenuhi layanan pendidikan kepercayaan bagi pelajar yang memeluknya. Misalnya, ada kasus seorang murid pemeluk kepercayaan yang tidak naik kelas karena tidak mampu mengerjakan soal ujian agama yang tidak diyakininya.
Wacana pemenuhan hak ini makin kuat setelah Mahkamah Konstitusi meluluskan judicial review (JR) terhadap UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pasal 61 ayat 1 dan 2 dan UU No.24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pasal 64 ayat 1 dan ayat 5.
Pasal-pasal yang digugat mengatur soal kolom agama dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanpa Penduduk elektronik (KTP-el), dan tidak ada kolom kepercayaan. Selanjutnya, penganut kepercayaan harus mengosongkan pada kolom agama di dua dokumen kependudukan itu.
Pemohon JR adalah empat penghayat kepercayaan, salah satunya Nggay Meha Tana, pemeluk Marapu dari Sumba Timur pada 28 September 2016. Mereka mengajukan JR karena hak-hak sipil warga penghayat kepercayaan tidak terpenuhi karena kolom agama dalam KTP harus dikosongkan.
Pada 7 November 2017, MK melalui putusan No. 97/PPU-XIV/2016 menyatakan kata “agama” dalam pasal-pasal yang dimohonkan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.
Implementasi keputusan ini adalah kolom agama dalam KTP milik penghayat kepercayaan diganti dengan kepercayaan dan diisi dengan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di depan hukum, pemeluk agama dan penghayat kepercayaan memiliki kedudukan yang sama.
Di Kabupaten Sumba Timur, keputusan MK dan Permendikbud ini membawa kegembiraan, seperti hujan pertama di ujung musim kemarau. Warga Marapu dan pegiat hak asasi manusia di Sumba Timur melihat ada peluang bagi pelajar Marapu mendapat layanan pendidikan sesuai keyakinannya.
Kesempatan pertama itu muncul saat seorang perempuan pemeluk Marapu, Rambu Kahi Ata Minya (43) dari Desa Leimanda menjadi penyuluh di SMA Negeri 1 Rindi Umalulu, Agustus 2018. Ia menjadi penyuluh Marapu pertama di Pulau Sumba setelah mengikuti bimbingan teknis di Surabaya atas rekomendasi Yayasan Wali Ati (Yasalti). Yayasan ini memilih Rambu Kahi karena ia tokoh di desanya yang punya perhatian terhadap pendidikan generasi muda Marapu.
SMA Negeri 1 Rindi Umalulu adalah sekolah pertama yang memberi layanan pendidikan Marapu di Kabupaten Sumba Timur dan di Pulau Sumba.
Sayang, ia hanya mengajar hingga September 2020. Waktu itu, ada pergantian pimpinan sekolah dan kepala sekolah baru tidak berkenan dengan pelajaran kepercayaan. Rambu Kahi memilih mengundurkan diri.
“Saya sakit hati karena anak-anak yang ikut kepercayaan sudah bersemangat dan bangga dengan kebudayaan Marapu,” ujarnya.
Tetapi selalu ada jalan bagi kebaikan, begitu kata orang bijak.
Fase baru pemenuhan hak pendidikan kepercayaan Marapu berlanjut setelah Marungga Foundation dan SID membuat bimbingan teknis (bimtek) bagi calon penyuluh Marapu pada pertengahan 2022. Mereka menggandeng Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) dan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Direktorat KMA), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
“Di level nasional sudah ada putusan MK dan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tetapi implementasi di daerah tidak jalan,” ujar Koordinator SID, Anton Jawamara di rumahnya, Senin (5/8).
Bimbingan teknis diikuti 18 peserta pemeluk Marapu, lulusan SMA yang mendapat rekomendasi dari BPM tingkat desa. Mereka terdiri dari dua peserta pengawas dan 16 calon penyuluh. Namun ada 4 peserta mengundurkan diri, sehingga sisa 12 orang.
Setelah mengikuti bimtek, para penyuluh langsung menjalani uji sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Kebudayaan, Kemendikbud. Selain itu, Anton dan timnya juga membuat kurikulum pengajaran Marapu bagi SMA.
“Ini adalah sebuah model, semoga bisa dilanjutkan oleh pemerintah,” ujar Anton.
Dari 12 penyuluh ini, enam orang langsung mengajar sejak Juni 2022. Mereka mengajar di empat SMA dan dua sekolah dasar, yaitu SMA Negeri 1 Haharu, SMA Negeri 1 Kahaungu Eti, SMA Negeri 1 Rindi Umalulu, SMA Negeri 1 Rindi, SD Negeri Wainggai, dan SD Negeri Nari.
Sayang, setelah berjalan satu tahun, penyuluh di SD Negeri Wainggai mengundurkan diri sehingga tinggal lima sekolah saja.
Sisa penyuluh lainnya tidak mendapat kesempatan mengajar. Anton mengatakan pemerintah Kabupaten Sumba Timur belum punya regulasi tentang layanan pendidikan kepercayaan dan banyak sekolah menyatakan belum siap secara teknis.
Kendala pemenuhan hak
Harapan Anton agar pemerintah Kabupaten Sumba Timur mereplikasi programnya, seperti pungguk merindukan bulan. Pemerintah daerah tak kunjung menciptakan penyuluh-penyuluh baru dan membuat kurikulum.
“Ini soal komitmen dan keterpanggilan,” ujar Anton.
Padahal Bupati Kabupaten Sumba Timur, Khristofel Praeng sudah membuat kemajuan dengan mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 33 Tahun 2023 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan di Kabupaten Sumba Timur. Khristofel yang menjadi bupati sejak 2021 itu dikenal sebagai orang yang peduli terhadap warga Marapu.
Ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Penduduk dan Catatan Sipil, Kabupaten Sumba Timur, pria beragama Kristen ini adalah saksi yang diajukan para penghayat untuk perkara JR terhadap UU Administrasi dan Kependudukan di MK.
“Kabupaten Sumba Timur adalah satu-satunya pemerintah daerah yang punya aturan soal layanan pendidikan bagi penghayat,” ujar Anton.
Tetapi ia mengingatkan pemerintah perlu menjalankan semua kewajiban yang muncul dari peraturan ini. Sejak berlaku pada 23 Agustus 2023 itu, pemerintah Kabupaten Sumba Timur wajib menyediakan tenaga pendidik, membuat kurikulum, dan menyediakan anggaran.
“Peraturan ini memberikan peluang pemenuhan hak pendidikan kepercayaan di tingkat SD dan SMP. Karena kalau SMA itu wewenang Dinas Pendidikan di level Provinsi,” tambah Anton.
Dari tiga kewajiban itu, pemerintah daerah baru menyediakan anggaran, sebesar Rp120 juta pada tahun anggaran 2024. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Timur, Erwin Pardede mengatakan dana ini untuk insentif para penyuluh Marapu yang sudah mengikuti bimtek yang diadakan oleh Anton.
Sayangnya, anggaran ini dibuat tanpa ada koordinasi sehingga belum bisa digunakan sama sekali. Jika ada enam penyuluh yang belum bekerja, mengapa ada pos anggaran untuk mereka?
“Setelah koordinasi dengan Pak Anton, katanya para penyuluh itu sudah bekerja (di tempat lain) sehingga sulit direkrut lagi,” ujar Erwin.
Erwin mengatakan insentif juga belum bisa diberikan kepada Arman yang sudah bekerja. Alasannya, ia tidak bisa sendirian menerima, harus bersama dengan para penyuluh lainnya.
Anton menjelaskan pemerintah tak kunjung memberikan kepastian penempatan kerja bagi sisa penyuluh yang belum bekerja. Padahal mereka harus bekerja untuk menyambung hidup, ada yang kemudian jadi pamong desa.
“Saya sudah mengusulkan dana itu dialihkan untuk bimtek bagi penyuluh baru,” kata Anton.
Penyuluh sangat dibutuhkan karena jadi ujung tombak pemenuhan hak pendidikan kepercayaan bagi para pelajar Marapu. Jika guru kepercayaan Marapu harus diisi oleh guru bergelar akademik sarjana seperti diamanatkan UU Sisdiknas, itu setidaknya butuh waktu 4 tahun.
Tetapi tahun ini, Erwin tidak mengalihkan dana itu untuk membuat bimtek bagi calon penyuluh Marapu. Bahkan Dinas Pendidikan juga belum punya kepastian kapan akan mengadakan bimtek bagi calon penyuluh.
Erwin menginginkan para penyuluh Marapu berasal dari pemeluk Marapu sendiri. Tetapi di situlah letak persoalannya.
“Rata-rata masyarakat Marapu itu miskin dan tertinggal, jadi dari sumber daya manusia, sulit didapatkan,” ujarnya.
Benarkah? Sepertinya Erwin terlalu berlebihan.
Pada 2022, saya menyaksikan lima remaja Marapu dari desa di Kabupaten Sumba Timur, berhasil meraih beasiswa dari Beasiswa Pemerintah Indonesia (BPI) untuk kuliah di Program Studi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang.
Tahun 2024, ada delapan remaja lagi yang mencoba mendapatkan beasiswa ini. Mereka bercita-cita menjadi guru Marapu di Sumba Timur bila selesai nanti.
Kepada saya, Erwin mengatakan pemerintah daerah juga belum berpikir memberikan beasiswa bagi putra daerah untuk kuliah di Untag. Ini adalah satu-satunya universitas yang memiliki program studi pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan baru dibuka pada 2021.
“Ya nanti akan kita telaah untuk disampaikan ke Bupati. Kalau ada yang ingin (beasiswa) kita fasilitasi,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi NTT juga setali tiga uang. Dinas Pendidikan Provinsi NTT juga belum menambah jumlah SMA Negeri yang memberikan layanan pendidikan Marapu, masih empat SMA Negeri di seluruh Pulau Sumba.
Kendala lain yang ikut menghambat pemenuhan hak pendidikan kepercayaan bagi pelajar Marapu adalah masih hidupnya persepsi negatif terhadap Marapu. Persepsi ini terbentuk sejak agama-agama samawi masuk ke Sumba dan menganggap Marapu bukan agama.
Sindi, pelajar di SMA Negeri 1 Rindi Umalulu pernah menjadi korban ketika teman di sekolahnya mengatakan Marapu adalah agama yang menyembah setan. Tetapi ia hanya berdiam diri saja.
“Padahal tidak seperti itu,” ujarnya.
Di kalangan para pendidik pun masih ada perasaan laten “tidak rela” dengan pelajaran kepercayaan. Alberto Ranja Awang (32) yang pernah menjadi penyuluh Marapu di SMAN Rindi Umalulu merasa diasingkan, dianggap sebagai “anak tiri”.
“Butuh mental yang kuat untuk mengajar,” ujarnya saat bertemu di rumahnya di Desa Watu Puda.
Persepsi seperti ini juga tersirat dalam pikiran Linda, guru di SDN Nari. Ia mengatakan sekolah tidak bisa menolak kewajiban memberikan pelajaran kepercayaan karena sudah ada pengakuan dari pemerintah.
“Bersyukur, tapi tidak juga sebenarnya, lebih baik hanya mengenal Tuhan saja to,” ujarnya.
Para penyuluh tangguh
Bila saat ini, ada sedikit pelajar Marapu bisa mendapat pendidikan agama sesuai keyakinannya, itu karena jasa para penyuluh yang tangguh. Mereka mau mengabdikan dirinya tanpa memedulikan besarnya pendapatan yang diterima.
Di teras sebuah rumah adat Marapu di Desa Leruru, saya bertemu Rambu Kahi Ata Minya, Kamis (8/8). Di kiri depan rumah yang besar itu terdapat katuada, sebuah patung kecil dari kayu berujud kepala manusia, tempat pemeluk Marapu melakukan hamayang (berdoa).
Saya mendengarkan kisah Rambu Kahi. Sesekali saya menyeruput kopi Sumba yang hitam dan mengunyah sirih pinang yang dihidangkan.
Rasa lelah masih membayang di wajahnya. Sehari sebelumnya, ia dan keluarga punya hajat menikahkan anak sulungnya. Seluruh ritual ini memerlukan puluhan ternak bernilai ratusan juta rupiah untuk belis (mas kawin).
“Butuh lima kali proses (ritual adat) karena ini adalah kawin lari. Perkawinan yang disetujui keluarga laki-laki tapi keluarga perempuan belum tahu,” ujarnya membuka perbincangan.
Setiap hari, Rambu Kahi menempuh jarak 19 km dari rumahnya di Desa Leimandar ke SMA Negeri 1 Umalulu. Dengan mengendarai motor matic usang, ia berangkat pukul 5.30 pagi dan tiba di sekolah sebelum jam 7.30.
Jangan membayangkan Rambu Kahi melalui jalan mulus seperti di pedesaan di Pulau Jawa. Kondisinya seperti sungai kering, penuh bongkahan batu putih, siap melemparkan pengendara motor yang lengah.
Apalagi ia harus melewati jalan menurun karena rumahnya di perbukitan. Butuh waktu dua jam untuk menempuh jarak tidak terlalu jauh itu.
“Saya harus berjalan pelan, pernah juga jatuh dari motor,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Selain itu motornya juga boros bensin. Setiap hari ia harus membeli bahan bakar seharga Rp30.000 untuk pulang pergi dari rumah ke sekolah atau rata-rata Rp720.000 per bulan.
Padahal per bulan, ia hanya mendapat imbalan Rp300.000 dari Direktorat KMA, (potong pajak), Rp600.000 dari Komite Sekolah, dan Rp300.000 dari Yasalti. Untuk menopang kehidupan keluarga, Ia membuat kain tenun dan bersama suaminya memelihara ternak, dan bekebun.
“Tentu rugi sekali (dari segi pendapatan), tetapi yang membuat saya semangat, pemerintah sudah menganggap kami (Marapu) satu rahim dengan agama-agama lain,” ujar Rambu Kahi.
Kondisi Arman Lawatu Ranja Muda lebih baik. Rumahnya hanya berjarak 1 kilometer dari SDN Nari.
Setiap minggu, ia mengajar empat hari dengan durasi pelajaran 3 X 45 menit. Arman perlu berimprovisasi karena kurikulum Marapu untuk siswa SD yang jadi tanggung jawab Kabupaten Sumba Timur, belum dibuat.
Untuk kerjanya ini, ia mendapat insentif dari Direktorat KMA sebesar Rp300.000 dan potong pajak jadi Rp285.000 per bulan. Pendapatan ini jauh dari standar upah minimum regional (UMR) Sumba Timur sebesar Rp2,2 juta.
“Tentu ini sangat tidak cukup, minim sekali,” ujar Arman sambil tersenyum.
Bungsu dari empat bersaudara ini mempunyai ternak dan membuat tenun khas Sumba untuk menopang hidupnya.
Arman bertahan menjadi penyuluh karena kecintaannya pada Marapu. Saat saya bertemu Arman, ia tengah berjuang mendapat beasiswa dari BPI untuk kuliah di Program Studi Pendidikan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME di Untag, Semarang. Arman punya cita-cita menjadi guru Marapu sampai tua nanti.
“Semoga nilai-nilai luhur Marapu bisa lestari, Marapu adalah jati diri orang Sumba,” ungkapnya.
Irmawati Day Luda (27) juga pernah menjadi penyuluh Marapu. Setiap hari ia mengendarai motor dan menempuh jarak 10 kilometer dari rumahnya ke SDN Wainggai di Desa Hamba Praing, Kota Waingapu.
“Saya menjadi penyuluh selama satu tahun,” ujarnya.
Setiap hari, Irmawati harus merogoh kocek Rp20.000 untuk membeli sebotol bensin. Padahal, seperti Arman, ia hanya mendapat insentif sebesar Rp300.000 dan potong pajak jadi Rp285.000 per bulan.
Jika dihitung, insentifnya hanya cukup untuk membeli bensin hampir tiga minggu saja. Artinya dalam satu bulan, Irmawati harus nombok Rp 125.000. Situasi ini membuatnya memilih berhenti menjadi penyuluh Marapu.
“Kendalanya adalah uang transportasi yang sangat minim, belum lagi biaya untuk keluarga,” ujarnya memberi alasan.
Jika diakumulasi, selama setahun bekerja, ia mengeluarkan biaya tambahan beli bensin sebesar Rp1.500.000. Irmawati justru memberikan subsidi kepada negara.
Padahal anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Timur selama setahun mencapai Rp300 miliar. Ironis.
Harapan dan solusi
Ingin mendengarkan suara para orangtua dari keluarga Marapu, saya ditemani Adi Tarandima (23), seorang generasi muda Marapu, mengunjungi pemukiman warga di Kampung Praiwangga, Desa Umalulu. Tak ada fasilitas listrik dan sinyal HP di kampung yang dihuni sekira 30 kepala keluarga ini.
Kami menuju rumah Jekson, rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jekson, Adi dan dua temannya, Kristo, dan Nisa adalah generasi muda pertama dari kalangan Marapu yang kuliah di Prodi Pendidikan Kepercayaan, Untag Semarang. Mereka bercita-cita menjadi guru Marapu di sekolah-sekolah di Sumba Timur.
Para mahasiswa itu duduk di teras rumah, berbaur dengan beberapa penduduk setempat, termasuk orang tua Jekson. Kopi hitam dan sirih pinang menemani obrolan dalam bahasa lokal dan Indonesia tentang budaya orang Sumba.
“Warga di sini mayoritas masih memeluk Marapu,” ujar Jekson.
Di Praiwangga, budaya Sumba belum luntur. Ada kubur batu, warisan budaya megalit berdiri di samping rumah. Di beranda rumah, para perempuan duduk selonjor, membuat kain tenun Sumba yang indah.
Rumah adat tempat warga berkumpul, masih ada. Di tengah tanah terbuka, ada katuada yang berbentuk patung kecil, tempat warga desa melakukan hamayang atau doa bersama.
Niwalepir (41), seorang ibu rumah tangga yang menganut Marapu mengatakan Sances Olimangili, anaknya yang duduk di SDN Praiwangga mendapat pelajaran agama Kristen. Sebenarnya ia ingin anaknya mendapat pelajaran Marapu agar mengetahui budaya orang Sumba.
“Kalau jadi Kristen semua, nanti kalau kami mati, tidak ada orang Marapu lagi,” ujar perempuan yang tidak berhenti menyirih itu.
Di sebelahnya, duduk seorang pria tua bernama Handi Jangga Mewa. Ia merasa prihatin, keponakannya, Arga Takadiwa yang masih duduk di SD juga tidak mendapat pelajaran Marapu.
“Jangan sampai budaya orang Marapu hilang,” ujarnya.
Sayang, perbincangan seru soal “nasib” warga Marapu harus berhenti karena matahari mulai tergelincir di barat. Saya pamit pulang.
Ini adalah waktu pulang yang “terlambat” karena keluarga Jekson menyembelih seekor ayam dan memasak untuk makan siang bersama. Ini cara mereka menghormati tamunya. Ah, betapa ramahnya mereka.
Bertemu di sebuah café di Waingapu, Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, pria berbadan tinggi itu berharap pendidikan kepercayaan bagi pelajar pemeluk Marapu segera dipenuhi. Tetapi ia mengingatkan materi pelajaran tidak menekankan aspek privat tapi publik, seperti menjaga kelestarian alam.
Tokoh yang dekat dengan masyarakat itu mengatakan bila Marapu hilang, adat istiadat seperti cara merawat lingkungan juga lenyap. Ia memberikan contoh hutan Pamburu di Sumba Timur yang hancur ketika masyarakat di sekitarnya meninggalkan Marapu.
“Ajaran Marapu itu keren sekali,” ujar mantan aktivis pers mahasiswa di Yogyakarta ini.
Saya menanyakan cara agar para siswa di Marapu di Sumba Timur bisa dipenuhi hak layanan pendidikan kepercayaannya, kepada Samsul Maarif, dosen di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada (CRCS-UGM). Pria berambut panjang ini adalah ilmuwan yang mendalami isu aliran kepercayaan atau ia sebut agama lokal.
Usai menjadi pembicara dalam seminar internasional tentang memedi sawah di Pusat Studi Javanologi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Selasa (24/9). Samsul. Ia mengatakan Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan dan Perbup Nomor 33 Tahun 2023 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan di Kabupaten Sumba Timur adalah suatu capaian positif.
“Bagus dari segi advokasi, tetapi dari aspek negara, ini bentuk kebijakan yang sporadis,” ujar pria dari Sulawesi Selatan ini.
Sayangnya, Perbup tidak efektif karena infrastruktur pendidikan yang dibutuhkan seperti guru, materi, kurikulum dan lainnya belum tersedia. Berbeda dengan pelajaran agama (yang diakui negara) sudah lengkap infrastrukturnya karena ada landasan hukum, yaitu UU Sisdiknas.
“Kalau mau tuntas, UU Sisdiknas harus beri jaminan hak pendidikan kepercayaan. Tanpa ada jaminan ini, pendidikan bagi penghayat akan sulit berkembang,” ujarnya.
UU Sisdiknas memang tidak memberi jaminan hak pendidikan kepercayaan sesuai keyakinan pelajar. Saat ini pemerintah sedang merevisi UU Sisdiknas tetapi lagi-lagi jaminan pendidikan bagi penghayat kepercayaan belum diakomodir.
“Dengan situasi ini, negara masih melanggar hak asasi manusia (para penghayat kepercayaan),” tegasnya.
Ia mengatakan sulit bergantung kepada kebaikan aparat pemerintah untuk memperbaiki situasi ini. Rezim Joko Widodo-Ma’ruf Amin terbukti tidak memberikan perhatian pada persoalan ini. Rezim penggantinya, Prabowo-Gibran juga tidak punya perhatian terhadap persoalan hak asasi manusia.
“Saya kira negara ini punya kita. Perlu ada dorongan kencang kepada aparat bahwa ini (pengabaian hak pendidikan kepercayaan) adalah pelanggaran hak asasi manusia. Agar aparat negara sadar sedikit demi sedikit,” ujar Samsul.
Awal November 2024, Adi memberi kabar gembira. Dari delapan remaja Marapu, lima berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Prodi Studi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Untag Semarang. Tetapi bukan BPI yang memberikan beasiswa, melainkan dari MLKI.
Kini ada 10 remaja Marapu yang kuliah di Untag. Sumba Timur membutuhkan banyak guru kepercayaan, entah berapa puluh tahun lagi bisa terpenuhi. Jalan bagi para siswa Marapu mendapat layanan pendidikan kepercayaan memang masih panjang, berliku, dan entah mau berujung ke mana.
“Saya berharap setiap tahun ada (generasi muda Marapu) yang menjadi mahasiswa di Untag dan pulang menjadi guru,” tulis Adi lewat pesan Whatsapp.
Semoga semesta mendengar dan mengabulkan harapan Adi beserta para pemeluk Marapu lainnya di Sumba Timur. Marapu dan Sumba adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Liputan ini dibiayai oleh Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta dan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) dalam program Politik Identitas dan Perlindungan Kelompok Minoritas di Tahun Politik.