Jargon satu suara menentukan masa depan dalam tiap kali momentum politik. Namun apakah dalam realitas keputusan politik itu benar-benar memengaruhi masa depan, khususnya anak muda?
ARGUMEN bahwa perubahan nasib ditentukan dari suara dalam kotak pemilu mungkin saja terjadi jika demokrasi tidak dibajak oleh para politisi yang membangun dinasti politik. Di level nasional, Joko Widodo mempertontonkan bagaimana demokrasi dikangkangi demi ambisi membangun dinasti, meloloskan anaknya, Gibran Rakabuming, menjadi wakil presiden.
Kepentingan dinasti politik, di banyak tempat dan kasus, menunjukan ketidakpedulian penguasa terhadap kondisi rakyatnya, terlebih lagi pada anak muda.
Misalnya masalah pengangguran di kalangan anak muda atau NEET (Not in Education, Employment, or Training) yang tidak mendapat perhatian serius.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2023, masih ada 9,9 juta pemuda Indonesia berusia 15–24 tahun yang termasuk dalam kategori NEET. Jumlah ini setara 22,25% dari total populasi pemuda di Indonesia. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata global di kisaran 21,6%.
Selama rentang 2015-2023, di bawah kepemimpinan Jokowi, angka penurunan NEET tidak signifikan. Sebaliknya, peningkatan NEET terjadi di beberapa daerah.
Misalnya provinsi dengan persentase NEET tertinggi tahun 2023 adalah Maluku (35,38%), Sulawesi Utara (30,73%), Maluku Utara (29,71%), Aceh (29,02%), dan Banten (28,80%). Tingginya angka NEET di provinsi-provinsi ini menunjukkan ada ketimpangan serius antara kebutuhan masyarakat dan kebijakan publik.
Jika dilihat, beberapa provinsi dengan persentase NEET tinggi di Indonesia adalah daerah yang kuat rezim dinasti politiknya. Selama 10 tahun di daerah itu NEET cenderung stagnan, bahkan beberapa meningkat.
Contohnya di Banten, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara, keberadaan politik dinasti tidak memberikan dampak signifikan dalam mengurangi angka pengangguran, khususnya anak muda.
Di Banten, tren NEET menunjukkan pola fluktuatif. Pada 2015, persentase NEET di angka 29,45% dan 28,8% pada 2023. Terjadi penurunan tapi sangat kecil. Dinasti politik di Banten yang dibangun Ratu Atut Chosiyah terbukti tidak memberikan dampak positif bagi anak muda.
Atut pernah menjabat sebagai Gubernur Banten selama dua periode sampai akhirnya terlibat kasus suap terhadap hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada tahun 2013. Setelah bebas, keluarga Atut tetap berkuasa.
Adik kandungnya, Ratu Tatu Chasanah, menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar sekaligus Bupati Serang. Anak pertama Atut, Andika Hazrumy, adalah mantan Wakil Gubernur Banten dan kini maju sebagai calon Bupati Serang. Istri Andika, Adde Rosi Khoerunnisa, kini menjadi anggota DPR RI dari Dapil Banten I. Adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany, juga mendominasi dengan elektabilitas tinggi sebagai calon Gubernur Banten setelah sebelumnya menjabat Wali Kota Tangerang Selatan.
Sementara di Sulawesi Utara, di bawah kepemimpinan Gubernur Olly Dondokambey, persentase NEET justru meningkat: 27,21% pada 2015 dan 30,73% pada 2023. Meski Olly tidak lagi mencalonkan diri dalam Pilkada 2024, tapi sejumlah kerabat dan anaknya berada di sirkel eksekutif dan legislatif.
Putra Olly, Rio Dondokambey, menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029. Sementara saudara-saudaranya mendominasi berbagai posisi politik, seperti Adriana Dondokambey di DPD RI periode 2024-2029, Aaltje Dondokambey di DPRD Manado periode 2024-2029, dan Robby Dondokambey di DPRD Sulawesi Utara periode 2024-2029; iparnya, Sherly Tamuntuan, di DPRD Minahasa untuk periode yang sama. Dua keponakannya, Sarah Dondokambey, menjadi anggota DPRD Minahasa periode 2024-2029; dan Kevin Lotulung menjabat Wakil Bupati Minahasa Utara periode 2021-2026.
Di Maluku Utara, keluarga Kasuba merupakan contoh nyata dinasti politik. Abdul Gani Kasuba pernah menjabat Gubernur Maluku Utara, sementara saudaranya, Muhammad Kasuba, menjabat Bupati Halmahera Selatan. Saat ini Muhammad Kasuba maju menjadi calon Gubernur Maluku Utara. Tren NEET di Maluku Utara meningkat signifikan pada 2015 ke 2023.
Kalimantan Timur, kini menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara, juga menghadapi tantangan dinasti politik. Keluarga Mas’ud, misalnya, punya pengaruh politik di wilayah ini. Rudy Mas’ud, Ketua DPD Golkar Kalimantan Timur, mencalonkan diri sebagai gubernur, sementara saudaranya, Rahmad Mas’ud, menjabat Wali Kota Balikpapan.
Data BPS tahun 2023 menunjukkan pemuda berusia 15-24 tahun dalam kategori NEET di Kalimantan Timur mencapai 18,66%. Angka ini memang menurun dibandingkan tahun 2015 (22,25%). Sebagai kawasan IKN, Kalimantan Timur memiliki peluang besar untuk melakukan reformasi struktural yang dapat mengurangi angka NEET. Namun, dominasi dinasti politik dapat menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
Keberadaan dinasti politik di daerah-daerah ini menjadi tantangan serius dalam membangun pemerintahan yang berorientasi pada kebutuhan rakyat. Sayangnya, dalam Pilkada 2024, dinasti politik masih mendominasi di sejumlah daerah.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, dari total 582 kandidat kepala daerah, sebanyak 26,6% atau 155 kandidat terindikasi bagian dari dinasti politik. Rinciannya, 100 calon kepala daerah dan 55 calon wakil kepala daerah.
Relasi kekerabatan di antaranya orang tua-anak sebanyak 70 kandidat, suami-istri 39 kandidat, adik-kakak 34 kandidat, saudara (keponakan, sepupu, ipar) 8 kandidat, dan mertua-menantu 4 kandidat.
Sementara daerah terbanyak dengan dinasti politik di antaranya Nusa Tenggara Barat (11 kandidat), Sulawesi Tenggara (11 kandidat), Sulawesi Selatan (10 kandidat), Sulawesi Barat (9 kandidat), dan Sulawesi Utara (7 kandidat). Lebih menyedihkan lagi, dari 37 daerah dengan pilihan kotak kosong dalam Pilkada 2024, 12 di antaranya terindikasi terkait dinasti politik.
Riset yang dilakukan oleh kolaborasi antara Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Election Corner Fisipol UGM, dan PolGov UGM terkait dinasti politik di Pilkada 2024 menunjukkan jumlahnya jauh lebih banyak dari temuan ICW. Mereka menemukan ada 605 kandidat dalam Pilkada 2024 yang menjadi bagian dari dinasti politik, dengan rincian 384 calon kepala daerah dan 221 calon wakil kepala daerah.
Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dari politisi dinasti dibandingkan dengan tiga Pilkada serentak sebelumnya, tahun 2017, 2018 dan 2020 yang totalnya mencapai 306 kandidat. Dengan hitungan ini, maka lebih dari 65 persen daerah yang menggelar Pilkada memiliki calon dari dinasti politik.
Kondisi ini membuat masyarakat semakin tak punya pilihan. Pada saat yang sama semakin relevan mempertanyakan bagaimana nasib anak-anak muda di daerah yang dikuasai dinasti politik. Jika benar satu suara dalam pilkada bisa menentukan nasib, maka perubahan itu bisa dilakukan dengan tidak memilih calon dari dinasti politik.
Baca laporan kami mengenai serial pemilu daerah: Cara Prabowo Menanam Kaki di Provinsi Lewat Pilkada