UU Kesejahteraan Ibu dan Anak memandatkan akses daycare yang mudah dan murah. Mewujudkannya butuh proses panjang, tapi ia harus dimulai sekarang.
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) telah disahkan DPR pada awal Juni 2024. Beberapa pihak menilai regulasi itu progresif dalam mendukung kesejahteraan ibu dalam proses kehamilan hingga pasca persalinan. Ia menyediakan layanan kesehatan dan gizi, hukum, psikologis, hingga sarana dan prasarana.
Di sisi lain, kritik atas UU KIA terkait proporsi cuti ibu dan ayah yang timpang: tiga bulan untuk ibu dan dua hari untuk ayah. Perbedaan ini semakin memperkuat norma gender tradisional bahwa tugas reproduksi dan pengasuhan adalah tugas utama perempuan.
Di balik pro dan kontranya, salah satu hal menjanjikan dalam UU KIA adalah ada pasal yang mengatur “setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya” (pasal 4 ayat 3 huruf e).
Ini adalah perkembangan baik mengingat di Indonesia belum pernah ada kebijakan di tingkat undang-undang yang secara eksplisit mengatur terkait kewajiban penyediaan penitipan anak. Akibatnya, selama ini layanan penitipan anak (atau biasa disebut daycare) cenderung menjadi barang langka yang tidak terjangkau bagi banyak keluarga.
Urgensi Investasi Layanan Penitipan Anak
Riset Bank Dunia pada 2022 menunjukkan alokasi anggaran Indonesia untuk Pendidikan Anak Usia Dini, termasuk di dalamnya layanan penitipan anak, hanya mencapai 0,033% dari total GDP. Angka ini jauh di bawah rerata negara OECD yang mencapai 0,7% dari total GDP.
Hasil riset ini sejalan data Kemdikbud pada 2023 yang menunjukkan keberadaan tempat penitipan anak secara umum masih belum memadai. Ini menggambarkan minimnya komitmen negara berperan memenuhi kebutuhan tempat penitipan anak.
Selain jumlahnya terbatas, sebagian besar tempat penitipan anak di Indonesia disediakan oleh pihak swasta. Sehingga, biayanya cenderung mahal dan hanya dapat diakses oleh keluarga kelas menengah-atas.
Berdasarkan survei Prospera pada 2020, biaya TPA di Jakarta bisa mencapai 45,8% dari upah minimum DKI Jakarta. Sebagai perbandingan, Kementerian Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat merilis standar keterjangkauan biaya daycare seharusnya tidak melebihi 7% dari penerimaan keluarga.
Tidak tersedia layanan penitipan anak yang terjangkau menjadi salah satu alasan mengapa banyak perempuan bekerja yang harus keluar dari pekerjaannya setelah memiliki anak.
Secara tidak langsung, hal ini berpengaruh pada tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan yang stagnan selama satu dekade terakhir, yakni di angka 54,52% pada 2023. Ketimpangannya hampir 30% dengan TPAK laki-kali pada angka 84,26% (BPS, 2024).
Jika negara dapat menyediakan layanan penitipan anak yang terjangkau, dengan begitu sangat mungkin akan berkorelasi positif atas peningkatan TPAK perempuan di Indonesia.
Implikasi Positif
Dilihat dari kacamata kesetaraan gender, mendorong ketersediaan tempat penitipan anak yang terjangkau secara akses dan biaya sebagaimana mandat UU KIA menjadi penting karena beberapa hal.
Pertama, selain memberikan ruang bagi ibu untuk kembali ke pekerjaannya setelah memiliki anak, studi menunjukkan bahwa ibu yang mendapat dukungan di tempat kerja berupa akses TPA dapat bekerja secara lebih produktif, memiliki perkembangan karier yang baik, hingga mendapatkan penghasilan lebih tinggi (Simintzi dkk., 2022).
Di sinilah implementasi penyediaan layanan tempat penitipan anak menjadi krusial, karena di sisi lain, UU KIA masih melanggengkan stereotip gender yang membatasi keterlibatan laki-laki dapat berperan mengasuh anak pasca persalinan. Hal ini tercermin dari aturan tentang cuti bagi ayah yang hanya diberikan selama dua hari dan tambahan tiga hari sesuai kesepakatan, sedangkan ibu diberikan cuti tiga bulan dan maksimal enam bulan.
Kedua, kebijakan TPA yang terjangkau secara akses dan biaya dapat membantu menurunkan gender pay gap yang hingga kini masih tinggi di Indonesia.
Selama ini, salah satu faktor kesenjangan upah gender adalah minim dukungan dari tempat kerja dan pemerintah untuk perempuan pekerja, sehingga banyak dari mereka memilih mengurangi tanggung jawab pekerjaan, atau bahkan keluar dari tempat kerja, setelah memiliki anak.
Penelitian randomized controlled trial di India dan Kenya juga menunjukkan ibu yang diberikan akses mendapatkan layanan daycare terbukti bisa lebih berdaya secara finansial dalam jangka panjang (Clark dkk., 2019; Nandi dkk., 2020).
Ketiga, secara psikologis, ibu yang diberikan akses daycare yang terjangkau terbukti menunjukkan penurunan tingkat stres psikologis (Richardson dkk., 2018). Secara tidak langsung, hal ini berdampak pada penurunan angka kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu, pasangan yang sama-sama bekerja terbukti memiliki pengaruh relatif setara dalam pengambilan keputusan dalam hubungan (Bartley dkk., 2005). Ia bisa berdampak pada kualitas pernikahan, kebahagiaan di dalam hubungan, dan kepuasan pernikahan yang lebih tinggi (Brezsnyak & Whisman, 2004; Bulanda, 2011; Byrne dkk., 2004; LeBaron dkk., 2014; Leonhardt dkk., 2020).
Potensi Masalah
Meski telah disebutkan secara eksplisit dalam UU KIA, perwujudan layanan penitipan anak di Indonesia masih memerlukan proses panjang.
Pertama, pasal terkait TPA di UU KIA belum mengatur secara rigid bagaimana implementasinya di lapangan. Pasal 30, misalnya, hanya menjelaskan dukungan fasilitas, akomodasi yang layak, sarana dan prasarana di tempat kerja yang harus diberikan oleh pemberi kerja, salah satunya tempat penitipan anak.
Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut, apa konsekuensinya jika pemberi kerja tidak menyediakan dukungan ini? Adakah sanksi yang akan diberikan? Atau, di sisi lain, adakah insentif yang akan diberikan pemerintah bagi pemberi kerja yang menyediakan fasilitas penitipan anak? Siapa yang memiliki kewenangan untuk memonitor dan memastikan ketersediaan daycare?
Beberapa pertanyaan teknis di atas penting untuk segera dicari jawabannya jika kita mengharapkan kebijakan penyediaan layanan penitipan anak dapat terlaksana. Maka, pemerintah baru Prabowo Subianto perlu diingatkan untuk memegang peran utama dalam implementasi UU KIA, agar harapan yang digantungkan pada kebijakan ini tidak jauh panggang dari api.
Selain itu, bentuk layanan penitipan anak memiliki beberapa isu teknis yang penting untuk dipecahkan. Salah satunya terkait sumber daya manusia atau pengasuh daycare.
Selama ini banyak pengasuh TPA diklasifikasikan sebagai pekerja informal karena mereka tidak dapat dimasukkan ke dalam kategorisasi guru PAUD. Sebagai konsekuensinya, upah pengasuh TPA cenderung kecil dan berada jauh di bawah upah minimum daerahnya. Padahal, kesejahteraan pengasuh TPA akan berpengaruh terhadap kualitas mereka menyediakan layanan.
Tanpa ada insentif yang mencukupi bagi pengasuh TPA, sulit mengharapkan tempat pelayanan anak berkualitas baik. Hari-hari ini, misalnya, kita bahkan mendengar kasus penganiayaan anak di daycare, suatu masalah yang bisa dicegah melalui mekanisme perlindungan anak yang wajib diterapkan pada TPA.
Lebih jauh lagi, pertanyaan fundamental yang penting untuk dijawab adalah apakah kebijakan ini sudah cukup bebas bias kelas dan dapat diakses oleh semua orang?
Hak untuk mendapatkan akses penitipan anak dalam UU KIA diberikan pada “ibu bekerja”. Pertanyaannya, siapa yang dimaksud sebagai “ibu bekerja” dalam konteks pasal ini?
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2023 menunjukkan mayoritas perempuan bekerja di sektor informal. Jika nanti kebijakan menyediakan TPA diimplementasikan dengan memberikan kewajiban pemberi kerja menyediakan tempat penitipan anak, maka besar kemungkinan perempuan yang bekerja di sektor informal tetap tidak dapat mengaksesnya. Hal ini berisiko akan semakin meningkatkan jurang ketimpangan kelas di masyarakat sehingga perlu ada upaya khusus untuk memitigasinya.
Usulan Solusi
Pemerintah Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain yang telah memiliki kebijakan terkait layanan TPA.
Terdapat beragam metode pemberian dukungan negara terhadap penyediaan layanan TPA, mulai dari penyediaan langsung oleh lembaga pemerintah, subsidi yang diberikan kepada penyedia layanan swasta, potongan biaya penitipan anak untuk kelompok tertentu, dana tunai yang ditargetkan kepada orang tua, hingga keringan pajak untuk pembiayaan penitipan anak.
Berikutnya, hal tidak kalah penting adalah memastikan keterwakilan perempuan dalam posisi-posisi penting di kementerian/lembaga maupun organisasi/perusahaan swasta. Adanya representasi perempuan sebagai pemangku kepentingan dan policy maker dapat membuat pelaksanaan kebijakan UU KIA ini (dan juga kebijakan-kebijakan pro perempuan lain) lebih mudah untuk dijalankan (Huber & Stephens, 2000). Sehingga, ada sosok yang benar-benar peduli dan memastikan bahwa kebijakan ini diimplementasikan di institusi tempatnya bernaung.
Selain itu, dalam penjelasan Pasal 30 UU KIA disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tempat penitipan anak” termasuk TPA berbasis komunitas. Hal ini menarik karena konsep TPA berbasis komunitas telah eksis di beberapa wilayah Indonesia dan banyak membantu ibu bekerja, terutama di sektor informal, yang kesulitan mencari layanan pengasuhan anak selama dia bekerja.
Salah satunya adalah TPA Beringharjo yang dikelola oleh ibu-ibu pedagang di Pasar Beringharjo, Yogyakarta (MAMPU & KOMPAK, 2016). Ada pula Daycare Rumah Bahagia yang dikelola Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) untuk mendukung kebutuhan ibu-ibu pekerja pabrik yang berlokasi di Surabaya.
Sayangnya, keberlanjutan TPA berbasis komunitas ini sangat bergantung dari kondisi finansial yang kebanyakan ditanggung secara swasembada oleh penyelenggara.
Jika pemerintah dapat memberikan dukungan bagi TPA-TPA berbasis komunitas seperti ini, maka keberlangsungannya dapat terjaga dan mampu menjadi pilihan layanan penitipan anak yang lebih aksesibel bagi banyak pihak. Hal ini juga akan meringankan tanggung jawab pemerintah karena tidak perlu mendirikan seluruh TPA dari nol.
Dari Lecah Lari ke Duri
UU KIA, khususnya tentang penyediaan layanan penitipan anak, adalah mandat undang-undang yang harus kita tagih kepada pemerintahan baru Prabowo Subianto. Pergantian kekuasaan pada akhir tahun ini menjadi momentum bagi kita untuk menagih dan menguji komitmen pemerintah dalam isu perempuan dan kesetaraan gender.
Kita harus memastikan bahwa ibu memiliki kesempatan untuk berkarier dan mendapatkan dukungan yang layak, sembari mematahkan stereotip tentang peran perempuan yang hanya terbatas di ranah domestik.
Jangan sampai pemerintah tidak melaksanakan mandat UU yang relatif progresif ini dengan alasan rumitnya birokrasi atau keterbatasan anggaran, tapi justru akan menghadapi permasalahan lebih besar dalam jangka panjang terkait pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender di dunia kerja.
Nabiyla Risfa Izzati adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Cantyo Atindriyo Dannisworo adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.