JAM delapan pagi, belasan pemuda memadati halaman depan sebuah musala di Desa Bakal, Kabupaten Dieng Banjarnegara, Jawa Tengah. Ikut bersama mereka para tetua dan pemuka agama desa.
Mengenakan caping dan membawa kendi, mereka berjalan meninggalkan titik kumpul, menyusuri jalan setapak di ladang kentang warga. Sapaan dari petani yang baru berangkat meladang dan candaan pemuda menemani perjalanan. Sekitar 15 menit berlalu, rombongan tiba di mata air yang terletak di bawah bukit.
Mata air ini bernama Sethulu. Hari itu, para pemuda dan beberapa warga hendak melakukan ruwatan di Sethulu sebagai bentuk rasa syukur karena alirannya menghidupi Desa Bakal dan membuat lahan kentang mereka tidak pernah kekeringan.
Prosesi dimulai dengan membersihkan area sekitar hulu mata air. Selanjutnya mereka mengambil sedikit air dari Sethulu dan dimasukkan ke dalam kendi untuk didoakan bersama tokoh agama dan tetua desa. Selain itu, mereka juga menanam beberapa bibit pohon berakar kuat yang diharapkan dapat melindungi mata air. Ritual ini sudah rutin dilakukan dalam lima tahun terakhir.
Dafiqul Fariq (22), pemuda Desa Bakal, mengatakan ruwat sebagai bentuk rasa syukur warga kepada Tuhan, telah memberikan aset tak ternilai berupa mata air.
“Kita ini sudah diberi sumber kehidupan dalam bentuk mata air yang harus dijaga sampai generasi selanjutnya. Kalau itu ternyata malah dirusak, berarti kita sudah tidak menghargai kehidupan itu sendiri,” kata Dafiq, ia biasa disapa.
Tidak jauh dari Bakal, keberadaan air mulai langka. Di Dusun Pawuhan misalnya, sekitar 10 menit berkendara dari Bakal, warga sudah tidak bisa lagi memanfaatkan sumber air terdekat. Air sudah tercemar dan berbau, tidak layak lagi dikonsumsi. Warga harus mengambil air dari Gunung Prau yang berjarak sekitar 9 km dari permukiman.
Salah satu penyebabnya adalah limbah aktivitas PLTP 1 Dieng yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi. Di tengah kondisi itu, perusahaan berencana melebarkan proyek geothermal di Dieng dengan membangun PLTP 2 dan 3 yang lokasinya tak begitu jauh dari Desa Bakal. Situasi ini yang menimbulkan kekhawatiran anak-anak muda Bakal.
“Jogo alam itu penting, kaya jogo solat,” kata Agung Rizal Setiawan (27).
Rizal, lahir dan besar dari keluarga petani kentang di Bakal, mengatakan kesadaran pemuda terhadap kondisi lingkungan sekitarnya adalah peran yang signifikan pada keberlangsungan. Pengabaian atas hal-hal yang terjadi hanya akan menimbulkan penyesalan.
“Padahal, kita perlu belajar untuk menghargai kondisi tempat kita hidup sekarang. Kalau paham itu sejak awal, hal-hal negatif yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal kita bisa dicegah lebih awal,” ujar Rizal.
Sadar dari Membaca
Keinginan untuk menyebarluaskan kesadaran atas masalah lingkungan di sekitarnya mendorong pemuda Dieng seperti Dafiq dan Rizal untuk memulai komunitas baca di desanya.
Tahun 2018, mereka membentuk komunitas baca dengan nama Perpustakaan Rakjat.
“Saya masih SMA waktu itu, namun sudah tertarik dengan ide untuk membuat perpustakaan. Sebetulnya dulu ada perpustakaan milik salah satu lembaga desa, namun sudah lama tidak digunakan,” kata Dafiq.
Kegiatan komunitas yang awalnya diikuti sepuluh pemuda Dieng itu dimulai dengan membuka perpustakaan jalanan di beberapa titik wisata Dieng seperti Candi Arjuno dan Telaga Warna.
Kegiatan perpustakaan jalanan tidak bertahan lama. Semua kegiatan perpustakaan akhirnya dipindahkan di bekas perpustakaan desa dengan anggota yang bertambah dua kali lipatnya.
“Kami banyak dibantu beberapa lembaga dan donatur pribadi yang menyumbangkan bukunya dengan sukarela bahkan sampai sekarang,” Dafiq melanjutkan.
Namun, kondisi lingkungan yang semakin berubah di antaranya akibat pembukaan lahan yang semakin masif, eksploitasi wisata, dan dampak negatif geothermal, membuat mereka semakin khawatir. Mereka menginginkan kesadaran literasi juga semakin meluas, terutama ke petani dan pelajar.
Inisiatif muncul dengan cara mengajak teman-teman yang tengah menimba ilmu di luar desa untuk turut mendukung kegiatan saat sedang libur atau setelah selesai menempuh studi.
Salah satunya Ickra Suciana Azalia (25). Wanita yang akrab dipanggil Rara ini bergabung dengan komunitas saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Kala itu, ia masih menjalani studi Kesehatan Masyarakat di salah satu kampus di Purwokerto, Jawa Tengah.
“Waktu itu, saya coba bantu-bantu bikin masker gratis untuk warga desa, kebetulan sesuai dengan bidang yang sedang dipelajari. Semakin bertambah tahun, saya juga semakin mengerti kondisi Dieng sebenarnya seperti apa,” kata Rara.
Meski begitu, banyak masyarakat yang mengabaikan kekhawatiran mereka. Selisih usia yang cukup jauh seringkali membuat mereka masih dianggap muda dan belum punya banyak pengalaman.
“Padahal, para anggota komunitas ini juga sudah berusaha peka dengan lingkungan sekitar desa. Semua memang butuh waktu untuk benar-benar sadar,” lanjut wanita yang kini juga turut menyambi membantu orangtuanya bertani kentang.
***
Bermacam upaya dilakukan Perpustakaan Rakjat. Mereka menggelar diskusi dan audiensi dengan beberapa petani dan sesepuh desa, membuat ruang belajar sederhana tentang ilmu pertanian dan lingkungan bagi anak-anak.
Termasuk agenda adat tahunan seperti ruwatan mata air dan sedekah yang menjadi salah satu wadah untuk membaur dengan masyarakat.
Rizal mengatakan, awalnya acara adat tahunan itu ditujukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap sumber daya alam yang ada di sekitar desa. “Awalnya kami cuma ingin nandur (menanam) kebaikan,” kata Rizal.
Namun, mata air Sethulu yang hanya berjarak 300 meter dari rencana ekspansi geothermal mendorong mereka untuk berfokus pada upaya membangun kesadaran warga dalam menyelamatkan sumber air.
“Karena ada yang lebih penting: menyelamatkan Sethulu. Makanya tahun ini (2024) jadi Sethulu Festival,” katanya.
Selain itu, mereka juga rutin menggelar pemutaran film dokumenter tentang kehidupan desa dan kondisi lingkungan sekitarnya. Film dibuat oleh para anggota, berkolaborasi dengan warga, petani, dan beberapa elemen masyarakat lainnya.
Namun Rizal menolak mengatakan apa yang dilakukan Perpustakaan Rakjat sebagai bentuk advokasi.
“Kami pengen panjang umur saja. Makanya dinamakan perpustakaan. Kami bagian dari masyarakat, bukan koordinator. Kami berkewajiban memberikan ini [kesadaran] ke masyarakat juga,” kata Rizal.
“Memanusiakan” Alam
Berbekal hasil riset dan kolektif data dari desa-desa yang sudah terdampak aktivitas geothermal di dataran tinggi Dieng, warga dan pemuda di Desa Bakal, juga Karangtengah — desa yang menjadi lokasi ekspansi, menginisiasi dan menyatukan suara untuk menolak rencana ekspansi geothermal di dekat desa.
Tahun 2019, mereka melakukan aksi protes untuk menghentikan aktivitas dan mengadang alat-alat berat milik perusahaan yang hendak masuk ke kawasan proyek. Mereka juga memasang berbagai poster penolakan di sepanjang desa.
Sejumlah intimidasi, tuduhan, dan upaya pelemahan Perpustakaan Rakjat pernah mereka alami. Mereka pernah dicap sebagai penyebar paham komunis hingga kekerasan fisik. Puncaknya terjadi 2019-2020 ketika muncul konflik sosial antara warga pro dan kontra.
“2019-2020 itu tahun yang sibuk,” katanya, seraya melanjutkan, “Warga yang tetap menolak tapi gak tau apa yang harus dilakukan. Kami solat tahajud dan doa bersama setiap malam, supaya gagal itu.”
Berbagai upaya pelemahan dan intimidasi membuatnya takut dan khawatir, tetapi bagi Rizal dan warga, ketakutan terbesar adalah membiarkan ruang hidup dan hak atas air dirusak tanpa berikhtiar melawannya.
“Ada hal yang lebih penting ditakutkan: air yang tercemar. Jadi ada atensi yang harus lebih ditakuti ketimbang perusahaan atau pihak lain,” katanya.
Rizal memandang sebagai generasi penerus Dieng, ia perlu menaruh perhatian lebih pada alam yang membesarkannya. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan pascasarjana untuk jurusan pertanian. Cita-citanya sederhana, ia ingin membuat inovasi yang lebih unggul untuk pertanian kentang.
Lebih lanjut Rizal menambahkan, kalau tanaman itu dimanusiakan, hasil panennya nanti juga pasti akan jauh lebih baik. Saat ini ia tengah fokus mengelola screen house dan kebun kentangnya. “Ada yang sedang saya coba silangkan juga, saya ingin tahu apakah kualitas bibitnya dapat menjadi lebih baik atau tidak,” katanya.
Keinginannya membuat screen house berawal dari keresahan saat melihat bibit kentang yang berkualitas tinggi masih sulit didapatkan di Dieng. Banyak petani yang akhirnya harus mengeluarkan modal lebih banyak untuk sekadar mendapatkan bibit. Petani dengan modal terbatas juga terpaksa menggunakan sisa bibit dari hasil panen sebelumnya.
“Semoga apa yang saya lakukan dapat memudahkan petani lokal untuk memaksimalkan potensi kentang yang mereka kembangkan sehari-hari.” harapnya.
***
Rizal, Dafiq, Rara, dan pemuda Dieng yang tergabung dalam Perpustakaan Rakjat tengah menjalankan peran sebagai agen perubahan untuk lingkungannya dengan konsisten. Langkah mereka memang tak selalu mulus karena beberapa keterbatasan, namun setidaknya apa yang mereka kerjakan didukung orang-orang terdekat.
Di rumahnya, Rara kadang mendengar orangtuanya sedang sambat tentang hasil tani yang cenderung fluktuatif. Mereka tetap meminta dirinya untuk terus aktif berkegiatan dan menyuarakan tentang lingkungan di sekitar Dieng bersama teman-teman komunitasnya.
“Keluarga saya juga petani. Mereka yang merasakan langsung bagaimana situasi di ladang. Setidaknya, apa yang saya lakukan di sini sudah mewakili suara mereka juga,” tukas Rara.