Konglomerat Sawit di PSN Tebu Merauke: Rebut Hak Ulayat, Dibeking Tentara dan Negara

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
Ronna Nirmala & Ricky Yudhistira
8 menit
Hutan yang sudah dibabat di konsesi PT Global Papua Abadi. Global Papua Abadi adalah satu dari sepuluh perusahaan yang akan mengelola perkebunan tebu di Merauke dengan total luas 637.420 ha. (Project M/Asrida Elisabeth)

Lagi, Merauke diincar atas nama program pangan nasional. Pernah gagal di era SBY, program ini dimulai lagi di era Jokowi dan dilanjutkan Prabowo. Dengan turut menggandeng tentara dan konglomerat sawit, pemerintah membabat hutan tanpa perhitungan dengan dalil ketahanan pangan dan transisi energi. 

LEPAS pukul 10, Yakob Majuze dan Yuliana Basik Basik berangkat ke dusun bersama ketiga anak dan dua sepupunya. Pasangan itu melaju dengan sepeda motor Megapro berwarna hitam, membonceng serta putri bungsunya, Karo. 

Rombongan berencana memancing ikan. Mereka membawa bekal makanan, air, hingga pinang.  Semut-semut seukuran biji jagung yang diambil dari pohon bus dan rahai menjadi umpan. 

Aldo, anak tertua Yakob dan Yuliana, memimpin perjalanan dengan sepeda motor listrik berwarna kuning. Sementara, anak kedua mereka, Tina, dibonceng sepupu Yakob. Debu mengepul dari roda motor.  

Sudah lebih dari sebulan tak turun hujan di Senayu, sebuah kampung di Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke. Di beberapa titik semak belukar di sisi kiri dan kanan jalan mengering. Api melahap sebagiannya, menyisakan asap. 

Terik siang terasa semakin panas. Mereka melaju dengan tangkas. Bongkahan galian tanah yang mengering di tepi parit-parit irigasi selebar kurang lebih dua meter yang baru selesai dikerjakan tentara diterabas. 

Di era Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono, lahan-lahan ini disiapkan sebagai area persawahan untuk warga Papua di Kampung Senayu. Sekali tanam, lalu tak ada lagi. Lahan-lahan ini sudah kembali ditumbuhi pohon-pohon besar, sampai datangnya program Optimalisasi Lahan (OPLAH) tahun 2023. 

OPLAH adalah bagian dari program Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di lahan seluas lebih dari 2 juta hektare (ha) yang termuat dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). 

Spesifiknya, OPLAH dilakukan melalui mekanisasi pertanian, pembuatan saluran irigasi, pemberian alat mesin pertanian pada enam distrik, yakni Kurik, Tanah Miring, Merauke, Semangga, Jagebob, dan Malind. Total lahan yang ditanami mencapai 40 ribu ha dan dikelola Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, TNI, petani, dan Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). 

Yakob Majuze, Yuliana Basik Basik, dan anak-anak mereka berjalan di tepi parit irigasi yang baru selesai dikerjakan TNI untuk program Optimalisasi Lahan (OPLAH) saat hendak memancing ikan di sungai. (Project M/Asrida Elisabeth)

Selain OPLAH, PSN yang juga dikenal dengan sebutan Food Estate Merauke ini juga akan mengembangkan perkebunan tebu oleh sepuluh perusahaan yang didukung Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM dengan pemberian izin lahan seluas 500 ribu ha. Selain untuk industri gula, pemerintah berencana menjadikan tebu sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, bahan bakar alternatif ramah lingkungan. 

Bukan hanya tebu, pemerintah juga mencanangkan proyek cetak sawah baru di lahan seluas 1 juta ha di bawah kelola Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, dan Jhonlin Group – perusahaan swasta milik konglomerat Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. 

Tahun lalu, pemerintah mengabarkan panen raya padi dari program OPLAH berhasil dilakukan. Pemerintah berencana memperluas program itu hingga 100 ribu ha. 

Yakob dan Yuliana adalah petani yang bekerja di lahan OPLAH. Begitu juga dengan orangtua Yuliana. Di lahan itu, mereka tidak hanya menanam padi. Yakob dan Yuliana berencana membuka kebun petatas atau ubi jalar. Mereka juga akan menanam pisang dan sayur. Di musim panas,  menanam petatas lebih mudah karena tak butuh banyak air. Kebutuhan air akan dipompa dari parit. 

“Hari minggu depan sudah bersih. Mungkin tanah separuh sudah dibalik,” ucap Yakob, di bivak (pondok) tempat orangtua Yuliana beristirahat setelah bekerja di OPLAH.

Kemenangan nenek moyang Mahuze dari Suku Marind dalam perang mengayau pada masa lalu, membuat marga keturunan seperti Yakob bisa menguasai wilayah Senayu hingga kini. Mengayau berhubungan dengan perang suku untuk memperluas wilayah kekuasaan. 

Kendati terjadi perang suku, namun, pasca-mengayau, warga dari suku-suku lain seperti Muyu dan Awyu diizinkan untuk mencari makan di wilayah itu. Mereka hidup bersama, membangun kampung, dan memanfaatkan dusun-dusun.

Menggunakan kendaraan bermotor, Kampung Senayu bisa ditempuh kurang lebih satu jam dari Kota Merauke. Senayu adalah dataran sangat luas dengan padang, hutan, rawa, dan kali-kali kecil, dan di sisi timurnya mengalir Kali Maro yang bermuara di Kota Merauke.

Wilayah ini telah lama disasar menjadi kawasan penghasil beras dan kini perusahaan raksasa tebu juga mengambil sebagian besar wilayahnya untuk memproduksi gula dan bioetanol.

***

Sepanjang 1964 hingga 1999, pemerintah mencanangkan program transmigrasi di Papua. Merauke menjadi salah satu daerah tujuan. Ada sekitar 1.500 kepala keluarga atau kurang lebih 7.500 jiwa yang ditempatkan di Distrik Semangga dan Distrik Tanah Miring. 

Interaksi penduduk dengan transmigran membuat orang Marind dan warga Papua lainnya mulai belajar mengelola sawah yang didukung pembangunan infrastruktur seperti saluran irigasi. 

Yakob mengatakan ia baru pertama kali mencoba mengelola sawah pada 2009. 

“Orang Jawa yang pintar jadi kita ikuti saja. Saya tidak terlalu pusing. Kalau bingung telpon minta saran bagaimana. Kalau tidak, mereka datang langsung ke lahan,” kata Yakob. 

Yakob mengaku tertarik mengolah sawah karena tidak perlu lagi membeli beras. “Selama satu tahun tidak beli beras. Gabah tinggal saja. Pas beras habis, tinggal cabut gabah dua karung bawa ke penggilingan,” katanya.

Yakobus Mahuze berada di lahan yang masih menjadi hak ulayat marga Mahuze. Ia harus melepas lahan seluas 5.000 ha untuk PT Global Papua Abadi yang telah diberi izin negara untuk mengambil lahan seluas 30.777,9 ha. (Project M/Asrida Elisabeth)

Kampung Senayu terletak berdampingan dengan kampung-kampung transmigrasi seperti Sermayam Indah, Ngguti Bob, dan Bersehati. Pada kampung-kampung transmigrasi, lahan persawahan sangat mudah dijumpai. Akan tetapi, tidak semuanya berproduksi maksimal. 

Kampung Ngguti Bob, kampung warga transmigran yang bersebelahan dengan Senayu, termasuk yang pertanian sawahnya cukup hidup. 

Rosidin, kepala kampung Ngguti Bob mengatakan, hampir semua rumah di kampung ini memiliki traktor tangan. Kendati demikian, menurutnya, mengolah sawah tetap bukan perkara yang mudah.

Meski sudah punya pengetahuan dan keterampilan mengelola sawah, tingginya harga produksi membuat petani kesulitan. Adapun 1 ha lahan menghasilkan 2,5 ton beras atau 4 ton gabah, hasil yang sangat kecil dibanding produktivitas sawah di Jawa yang bisa menghasilkan 6-8 ton beras.

Permukaan wilayah yang datar membuat sistem pengairan mengandalkan pompa. Di musim hujan bisa banjir, dan kering di musim panas. Ini juga yang menyebabkan warga seringnya menanam dua kali dalam setahun. Umumnya padi bisa panen hingga empat kali dalam setahun.

Rosidin mengaku mengelola lahan seluas 4 ha. Hasil dari 3 ha menutup modal produksi. Hanya 1 ha yang menjadi hasil baik untuk makan maupun modal tanam berikutnya.

“Jadi rata-rata ketergantungan petani di sini kepada bank atau kepada tengkulak. Walaupun diberi kredit besar Rp50 juta bisa garap 5 ha, 4 ha habis untuk bayar biaya produksi,” katanya.

Selain itu, luas lahan juga tidak sebanding dengan tenaga kerja. Luas lahan sawah produktif di Kampung Ngguti Bob mencapai 1.357 ha, sementara warga petaninya hanya berkisar 600 orang atau berkisar dua ha per orang. 

Karenanya Rosidin mempertanyakan OPLAH yang hendak memaksimalkan lahan-lahan ini. Menurutnya, program ini tidak efektif karena meski tentara sudah menyiapkan irigasi dan lahan, tetapi lahan-lahan itu tidak lanjut diolah setelah tentara pergi. 

“Membantu pasti membantu, tapi efektivitas dari program itu bagaimana? Apakah penerima manfaat betul-betul bisa memanfaatkan atau tidak?” tanyanya. 

Kampung Ngguti Bob sempat mengikutsertakan petani-petani mereka, termasuk di antaranya orang Papua, dalam program OPLAH. Ada dua kelompok yang masing-masing mengelola sawah seluas 32 ha. 

“Kalau petani Papua mulai belajar dan ikut cara-cara kita. Ada masih sebagian mereka masih mengandalkan kebun, pisang, keladi, ubi jalar dan lain-lain,” katanya.

Program penyeragaman pangan membuat nasi menduduki posisi yang tinggi sebagai sumber karbohidrat di Papua. Buntutnya, hambatan dalam produksi padi membuat banyak keluarga sangat bergantung pada uang demi bisa membeli beras. 

Beberapa warga Papua seperti Yakob dan Yuliana masih bisa mengandalkan sagu atau pisang. Sagu, yang banyak tumbuh di tepi Kali Maro, masih menjadi simbol bagi marga Mahuze. 

“Sagu dekat di Kali Maro. Turun saja. Ada tempat pukul sagu di situ. Pangkur sagu,” kata Yakob.

Tanah Ulayat Diincar Tebu

Susah payah mengolah sawah, kini marga Mahuze di Kampung Senayu juga dipaksa melepas tanah untuk mendukung PSN tebu. Yakob misalnya, ia harus melepas lahan seluas 5.000 ha untuk PT Global Papua Abadi yang telah diberi izin negara untuk mengambil lahan seluas 30.777,9 ha.

“Untuk areal tebu sebenarnya tidak kasih. Cuma empat kampung sudah desak saya, karena akses mulai dari tanah ulayat kami. Makanya kami kasi 5.000 hektare,” kata Yakob.  

Global Papua Abadi adalah satu dari sepuluh perusahaan yang akan mengelola perkebunan tebu di Merauke dengan total luas 637.420 ha. Global Papua Abadi adalah korporasi swasta yang mayoritas sahamnya dipegang dua pengusaha, Antoni dan Angelia Bonaventure Sudirman. 

Selain Global Papua Abadi, Antoni adalah pemilik saham mayoritas di PT Andalan Manis Nusantara, PT Semesta Gula Nusantara, dan PT Agrindo Gula Nusantara. Angelia juga memiliki saham tetapi minoritas di perusahaan-perusahaan yang juga menggarap proyek tebu di Merauke ini.

Angelia merupakan pemilik saham mayoritas di dua perusahaan lain, PT Sejahtera Gula Nusantara dan PT Global Papua Makmur. Bersamanya, pemilik saham minoritas di kedua perusahaan itu ada pengusaha Tan Keng Liam.

Selain perusahaan-perusahaan itu, juga ada PT Dutamas Resources International dan PT Borneo Citra Persada yang ikut proyek tebu Merauke. Saham PT Dutamas Resources International dimiliki secara merata oleh empat orang yaitu Dudy Christian, Angell Madeleine, Michael Angelo, dan Rita Rushy. Sedangkan PT Borneo Citra Persada secara mayoritas dimiliki oleh Silvia Caroline Fangiono.

Pertengahan Agustus 2024, PT Global Papua Abadi membagikan “tali asih” senilai Rp3,8 miliar kepada salah satu keluarga Mahuze di Senayu sebagai ganti pemberian lahan ulayat. 

Yakob sebenarnya masih berat melepas wilayah adatnya untuk perusahaan. Menurutnya, ada keterlibatan orang-orang yang mengklaim sebagai “ketua adat” menekannya untuk melepaskan tanah.

Menurutnya, pemilik ulayat mendapatkan kompensasi sekitar Rp700 juta yang dibayarkan dalam dua termin oleh perusahaan. Jumlah itu lalu dibagikan untuk semua anggota marga.

“Pertama, kami dapat sekitar Rp300 juta lebih, kami bagi Rp11 juta per orang. Kedua dapat Rp300 juta lagi, bagi Rp16 juta. Adik–adik mereka beli motor. Sa pu anak-anak, saya sudah amankan untuk mereka punya masa sekolah nanti,” kata Yakob. 

Kendati sudah mendapatkan uang ganti rugi, namun Yakob mengaku hingga saat ini, ia tidak pernah menandatangani surat perjanjian pelepasan maupun janji-janji yang dibuat perusahaan. 

“Surat pelepasan kami tidak punya. Cuma konsep-konsep perjanjian saja. Mereka belum kasih. Makanya saya masih desak dorang untuk kasi perjanjian-perjanjian itu,” katanya.

Eskavator PT Global Papua Abadi merobohkan pohon-pohon di lahan yang dibuka untuk perkebunan tebu. Masyarakat adat dipaksa melepas tanah ulayat untuk PSN tebu. (Project M/Asrida Elisabeth)

Yang diingat Yakob, perusahaan mengatakan hanya akan “meminjam” lahan seluas 5.000 ha selama 35 tahun. Sebanyak 4.000 ha akan dikelola perusahaan dan 1.000 ha jadi lahan plasma untuk Marga Mahuze di Kampung Senayu. Perusahaan juga menjanjikan akan membiayai sekolah anak-anak pemilik ulayat.

Perusahaan sempat meminta lahan lebih luas namun ditolaknya. 

“Karena kita orang Papua ini tidak bisa lari dari itu. Kita masih tergantung dengan alam. Paling kalau kekurangan uang kita berburu cari saham (kangguru) ka rusa begitu. Dapat hasil itu yang kita jadikan uang,” ucap Yakob.

***

Delapan tahun sebelum ambisi Food Estate di Merauke diumumkan pemerintah akan dimulai kembali, PT Global Papua Abadi sudah mulai melirik lahan warga. 

Rosidin, Kepala Kampung Ngguti Bob, mengatakan ketika itu perusahaan sempat bernegosiasi membeli lahan seluas 200 ha untuk menanam tebu. Namun, rencana tidak berlanjut karena kondisi tanah tidak cocok untuk tebu.

“Sampai 2023, mulai bergerak lagi dengan skala besar dengan adanya program Food Estate menjadi proyek strategi nasional,” kata Rosidin. 

Mesin garu digerakkan dengan traktor PT Global Papua Abadi untuk menyingkirkan sisa akar dari lahan yang digunduli untuk perkebunan tebu. (Project M/Asrida Elisabeth)

Suharja, Kepala Kampung Sermayam Indah, juga mengaku dirinya pernah didatangi perwakilan humas perusahaan pada masa sosialisasi awal program lumbung pangan ini. Humas perusahaan yang menurutnya berpenampilan seperti tentara itu kemudian langsung berhubungan dengan pemilik ulayat. 

Baik Rosidin maupun Suharja meminta perusahaan agar merekrut tenaga kerja dari kampung-kampung terdampak, terutama pemilik ulayat. Mereka juga meminta syarat bekerjanya dipermudah.

“Dengan mereka tidak usah susah-susah. Cukup KTP dan KK sudah. Kasihan. Masa pemilik dusun [hanya] nonton?,” kata Suharja.

Yakob adalah salah satu pemilik ulayat yang direkrut Global Papua Abadi sebagai pekerja perusahaan. Yakob bilang, bergabungnya ia ke perusahaan untuk memastikan warga juga turut andil dalam proyek ini. Ia juga mengupayakan agar saudara-saudaranya di Senayu juga ikut mendapat bagian. 

“Kita orang Papua sama-sama butuh kerja. Saya enak, tuan dusun, punya uang. Terus saya punya saudara lain mau tiap hari cari makan terus? Tiap hari cari ikan? Jadi sekarang kasi masuk mereka ke perusahaan ini,” katanya. 

Wilayah Merauke pertama kali diincar untuk pengembangan program pangan pada era SBY pada 2008, dengan nama Merauke Integrated Energi Estate (MIFEE). Bukan hanya program itu gagal, tapi juga merusak lahan sagu warga. 

Di era Presiden Joko Widodo, Merauke diincar kembali. Kali ini, program Food Estate Merauke dirancang bukan hanya sebagai lumbung pangan nasional tetapi juga untuk meningkatkan produksi gula dan bioetanol nasional, serta menyediakan energi listrik dengan kapasitas 120 megawatt. Secara keseluruhan, anggaran program ketahanan pangan naik dari Rp114,3 triliun pada 2024, menjadi Rp124,4 triliun pada 2025.

Tebu Dalam Konglomerasi Sawit

Masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan tebu oleh korporasi swasta didukung dengan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke melalui Keppres No. 15/2024 yang ditandatangani Jokowi, April tahun lalu.

Kala itu, Satgas dipimpin Bahlil Lahadalia yang menjabat Menteri Investasi. Tidak ada informasi apakah jabatan Ketua Satgas telah berpindah ke Menteri Investasi dan Hilirisasi era Presiden Prabowo Subianto, Rosan Roeslani, atau masih dipegang Bahlil. 

Sejak sederet regulasi karpet merah dibuat negara untuk korporasi, semakin sering juga pejabat pemerintah dan pengusaha mengunjungi Merauke. 

Juli 2024, Jokowi menghadiri kegiatan penanaman perdana tebu Global Papua Abadi. Mantan presiden itu datang didampingi pengusaha Martua Sitorus serta Martias Fangiono dan anaknya, Wirastuty Fangiono. 

Joko Widodo didampingi Iriana menghadiri penanaman tebu perdana PT Global Papua Abadi di Kampung Sermayam, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pada Selasa, 23 Juli 2024. Mereka disambut Wirastuty Fangiono, Martias Fangiono, dan Martua Sitorus. (BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Menurut Forbes, Martua Sitorus adalah orang terkaya ke-14 di Indonesia. Ia salah satu pendiri Wilmar International, perusahaan sawit paling raksasa sedunia. Pada 2013, Wilmar International pernah mengungkapkan akan bekerja sama dengan Noble Group Ltd. untuk membuka lahan sawit di Papua tetapi rencana itu dikabarkan tidak pernah terwujud.

Kendati demikian, sejak 2010, Wilmar telah mengantongi izin atas lahan seluas 200 ribu ha di Merauke untuk perkebunan tebu. 

Penelusuran Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga menemukan keterkaitan Tan Keng Liam, pengusaha yang memegang saham di sejumlah perusahaan dalam PSN tebu, dengan Martua Sitorus. Tan teridentifikasi sebagai Direktur Katingan Timber Group dan perusahaan hutan tanaman industri di Merauke, PT Wahana Samudera Sentosa. Kedua perusahaan dilaporkan berada di bawah kontrol Wilmar International. 

Friends of the Earth, lembaga nirlaba berbasis di Belanda, melaporkan Wilmar bertanggung jawab atas deforestasi ilegal dan perusakan lingkungan yang melibatkan pembukaan hutan gambut sedalam 4 meter di wilayah operasionalnya di Riau. Selain itu, Greenpeace Indonesia pada 2017 menyebut Wilmar sebagai perusahaan penyebab utama deforestasi di Indonesia. 

Sementara itu, keluarga Fangiono merupakan biliuner yang memiliki perkebunan dan diduga ikut mengontrol perdagangan minyak kelapa sawit di dunia melalui perusahaan bernama First Resources yang berbasis di Singapura. 

Untuk diketahui, Angelina Bonaventure Sudirman, yang namanya tercantum sebagai pemilik saham di tujuh perusahaan yang ikut proyek tebu di Merauke adalah cucu Martias. Sedangkan Silvia Caroline Fangiono, pemilik saham mayoritas di Borneo Citra Persada, merupakan istri Martias. 

Pada 2007, Martias pernah divonis penjara satu setengah tahun dan denda Rp346 miliar dalam kasus korupsi terkait pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Pada 2009, salah satu putranya, Ciliandra Fangiono, menjabat sebagai CEO First Resources. 

Laporan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menunjukkan keluarga Fangiono melalui Ciliandry Anky Abadi (CAA) Group memiliki dua perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong, yakni PT Inti Kebun Sejahtera (38.300 ha) dan PT Inti Kebun Sawit (37.000 ha). 

Perusahaan ini juga memiliki izin baru usaha perkebunan kelapa sawit atas nama PT Sorong Global Lestari (16.305,16 ha) dan PT Papua Agro Mandiri (27.166 ha) serta PT Lestari Papua Perkasa yang mengakuisisi lahan PT Varia Mitra Andalan di Kabupaten Sorong Selatan seluas 19.239 ha.

Pada 2017, CAA diduga berada di balik penebangan hutan hujan habitat orangutan di Kalimantan Tengah. Pada 2020, Wirastuty Fangiono dilaporkan sebagai pemegang saham utama CAA. 

Di atas kertas, First Resources, CAA, maupun perusahaan perkebunan milik keluarga Fangiono lainnya, PT FAP Agri, diklaim tidak memiliki hubungan. Namun, proyek kolaborasi investigasi The Gecko Project menunjukkan keterkaitan bisnis dan pengendalian sistem konglomerasi rumit yang melibatkan individu dan keluarga dalam perusahaan-perusahaan itu. 

Kongkalikong konglomerasi itu juga tergambar dalam proyek tebu di Papua. Laporan Koran Tempo menemukan dugaan bahwa First Resources memperoleh konsesi lahan tebu dan pabrik bioetanol dari Global Papua Abadi. 

Bukan hanya dari Global Papua Abadi, First Resources juga mendapatkan konsesi dari empat perusahaan lainnya: PT Andalan Manis Nusantara, PT Semesta Gula Nusantara, PT Borneo Citra Persada, dan PT Dutamas Resources International. Kelima perusahaan ini membentuk konsorsium kebun tebu di Merauke. 

Kepada Tempo, First Resources membantah memiliki hubungan dengan perusahaan-perusahaan ini. Sementara itu, upaya Project Multatuli meminta konfirmasi dari Global Papua Abadi tidak kunjung mendapat jawaban.

Franky Samparante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan pemilikan saham sembilan perusahaan menggunakan anak perusahaan bayangan sebagai perusahaan cangkang (shell company), seperti: PT Mega Makmur Semesta, PT Merauke Gula Mandiri, PT Merauke Sugar Group, diduga untuk melindungi kepentingan pemilik penerima manfaat (beneficial ownership/BO).

“Perusahaan cangkang atau yang dikenal dengan istilah special purpose vehicle (SPV) kerap berhubungan dengan kegiatan bisnis yang potensial melanggar hukum, seperti penghindaran pajak, pencucian uang hingga penyembunyian atau penyamaran dana hasil tindak pidana,” kata Franky.

“Perusahaan didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti pembelian dan atau pembiayaan investasi dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.”                                                                                                                                                              

Uang dan Melebarnya Jarak Masyarakat Papua dengan Alamnya

Global Papua Abadi yang masuk ke wilayah adat Yakob Mahuze tercatat sebagai perusahaan pertama yang membongkar hutan. Aktivitas pembongkaran hutan berlangsung sejak Juni 2024. 

Pantauan citra satelit Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menunjukkan, hingga 29 Agustus 2024, perusahaan ini sudah membongkar sekitar 2.016 ha. Perusahaan menargetkan pembukaan lahan hingga 5.000 ha hingga akhir 2024.

Saat berkunjung ke lokasi perkebunan Global Papua Abadi pada akhir 2024, berbagai alat berat perusahaan beroperasi terus membabat hutan dan menyiapkan tanah untuk penanaman. Batang hingga akar kayu bertumpuk memanjang membentuk blok-blok. Banyak warga, baik Papua maupun transmigran, yang menjadi buruh.

Warga Papua dan transmigran yang menjadi buruh PT Global Papua Abadi diangkut dengan truk. (Project M/Asrida Elisabeth)

Masyarakat di wilayah ini sekilas menyambut kehadiran perusahaan ini sebagai peluang penghidupan yang baru, mengurangi pengangguran di kampung. Namun, tak dapat dimungkiri, muncul juga kekhawatiran besar tentang banjir dan terganggunya sistem pertanian sawah. 

“Kekhawatiran petani itu sudah pasti. Semua sudah khawatir kalau itu. Pasti suatu saat akan terjadi,” ucap Rosidin.

Pertengahan Mei 2024, banjir melanda Kampung Salor di Merauke yang menenggelamkan ratusan rumah warga juga lahan-lahan sawah. Banjir disebabkan karena rusaknya sistem penyerapan air di lahan sawit yang berada di atas kampung mereka. Pembukaan lahan yang besar untuk tebu disinyalir akan menimbulkan masalah yang sama. 

Di wilayah ini terdapat dua kali. Di sebelah barat ada Kali Kumbe dan di sebelah timur ada Kali Maro. Kali yang terdekat dengan permukiman adalah Maro. Pada musim hujan biasanya debit air di Kali Maro setara rawa di sekitarnya. Karena itu mereka berharap perusahaan membuat sistem pengendali banjir.

“Yang menjadi masalah nanti realisasinya seperti apa? Biasanya mereka kalang kabutnya kan kalau sudah ada kejadian,” Rosidin menambahkan.

Hal yang sama disampaikan oleh Suharja. Sebelum ada tebu, hujan di wilayah atas seperti Distrik Jagebob akan berimbas banjirnya persawahan di wilayah Sermayam. “Apalagi dengan adanya kebun tebu ini. Cuma kita bisa apa? Melawan tembok,” kata Suharja.

***

Sebelum perusahaan tebu datang, orang-orang kaya dari wilayah kota di Merauke maupun Jayapura membeli lahan ulayat di wilayah ini. Harganya yang murah membuat mereka bisa menguasai lahan yang sangat besar. 

Hal ini diakui pula oleh kepala-kepala kampung transmigrasi seperti Rosidin dan Suharja. Sebagian besar tanah di jalan poros wilayah Sermayam sudah dibeli. Satu orang bahkan bisa menguasai hingga 100 ha. 

Sutani Amin, periset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan perubahan besar sedang terjadi menimpa masyarakat adat di Papua. Semua produksi dan konsumsi komoditas yang hanya bisa mereka ambil nilai gunanya melalui pasar berdampak pada ketergantungan terhadap uang. 

Kehadiran perusahaan memperparah kondisi ini. 

“Dengan adanya perkebunan itu penguasaan tanahnya pasti tinggi dan dikontrol penuh oleh perkebunan. Semakin timpang penguasaan lahannya,” kata Sutani.

Warga berharap perusahaan bisa menjadi jawaban bagi pasar tenaga kerja, namun, tidak ada yang bisa memberikan kepastian. Pada akhirnya, ketimpangan pengetahuan dan kemampuan akan jadi penyebab. 

“Mereka [warga] hanya akan menjadi buruh harian lepas. Tidak ada masa depannya. BHL tidak diikat sama UU ketenagakerjaan,” kata Sutani.

Bukan hanya itu, dengan dengan hadirnya perusahaan tebu ini, hubungan masyarakat adat dengan alam sudah benar-benar terpisah dan masuk ke dalam dunia perkebunan. Sayangnya, dunia baru ini tidak selalu menguntungkan dan tidak disadari oleh masyarakat adat.

“Kita hidup dalam sistem ekonomi, kapitalisme baru, di mana tidak menguntungkan semua orang, di mana kemakmuran diciptakan dari penderitaan orang lain,” katanya.

Sophie Chao, seorang antropolog dari Departemen Sejarah Sydney University dalam jurnalnya Gastrocolonialism: the intersections of race, food, and development in West Papua menjelaskan sistem pangan tradisional masyarakat di Merauke dianggap terbelakang oleh negara maupun korporasi. 

Kebijakan pembangunan dari atas, propaganda dan kampanye terus menerus tentang sistem pangan nasional melegitimasi perampasan lahan, penggundulan hutan dan perluasan bisnis pertanian. Hal ini berdampak buruk pada ketersediaan, akses, dan kualitas pangan masyarakat lokal.

Kini perusahaan-perusahaan lain di PSN tebu sedang mengurus izin termasuk izin pelepasan hak ulayat dari masyarakat adat. Salah satunya adalah PT Murni Nusantara Mandiri.

Vinsen Kwipalo, salah satu pemilik ulayat di wilayah izin PT Murni Nusantara Mandiri menolak memberikan lahan. 

Vinsen KWipalo (kanan), pemilik ulayat yang tanahnya masuk dalam konsesi PT Murni Nusantara Mandiri menolak melepas lahan dan tidak mau menandatangani surat pernyataan pelepasan hak ulayat. (Project M/Asrida Elisabeth)

Perusahaan melalui babinsa, telah berulang kali datang memintanya melepaskan lahan marga Kwipalo. Ia tetap menolak. Ia telah memberikan kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendampinginya dalam menghadapi perusahaan, mengajukan protes atas pematokan sepihak di wilayah adatnya, serta bersama masyarakat lainnya mendesak pimpinan TNI menarik pasukannya agar tidak mengintimidasi masyarakat pemilik ulayat yang menolak memberi lahan.

Vinsen mengaku telah banyak mendengar pengalaman masyarakat pemilik ulayat lain yang wilayahnya sudah lebih dulu sudah dimasuki perusahaan. Baginya, tidak ada cerita baik. 

“Siapa yang tidak mau generasi berkembang? Kita semua mau. Tapi caranya? Jangan sampai kita semua masuk jurang. Makanya untuk saya, sejengkal tanah pun saya tidak akan kasih,” tegas Vinsen. 

Laporan kolaborasi bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat ini adalah bagian dari serial #ProyekSengsaraNasional

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
Ronna Nirmala & Ricky Yudhistira
8 menit