Kiamat Iklim Itu Nyata: Dakwah Hijau adalah Wajah Baru Aktivisme Islam

Purpose & Islamic Climate Movement (ICM)
Miftah Faridl
9 menit
Ilustrasi Hijrah Iklim (Project M/Herra Frimawati)

Pemuka agama adalah suara yang paling dipercaya umat dalam isu iklim, mengungguli aktivis lingkungan dan presiden. Tapi sayang, keterlibatan pemuka agama masih minim dalam percakapan iklim yang semakin mendesak.

Indonesia telah berkomitmen terlibat aktif dalam aksi perubahan iklim. Di forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of The Parties 29 (COP29) 2024 di Baku, Azerbaijan, Indonesia kembali menegaskan komitmennya. Di antaranya adalah meningkatkan kontribusi penurunan emisi yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, apakah betul demikian? 

Faktanya, Indonesia dianggap masih jauh mencapai target Net Zero Emissions (NZE) 2060 dan transisi energi untuk merespons perubahan iklim. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu lingkungan menilai Indonesia tak memiliki komitmen jelas dan serius dalam isu perubahan iklim. Agenda yang dibawa delegasi Indonesia pada COP29, bahkan dinilai penuh kontradiksi.

Kritik tersebut dilontarkan setelah melihat konfigurasi delegasi Indonesia yang lebih banyak diisi perusahaan-perusahaan besar pelaku deforestasi dan penyumbang emisi besar. Indonesia juga dianggap sekadar jualan karbon ketimbang memaparkan peta jalan terkait peningkatan pendidikan, penumbuhan kesadaran, kapasitas manusia, dan kelembagaan terkait mitigasi, adaptasi, pengurangan dampak, dan peringatan dini perubahan iklim. 

Purpose, lembaga kampanye global yang bertujuan menggerakkan partisipasi publik untuk perubahan dunia, menyoroti sulitnya isu perubahan iklim menembus perhatian masyarakat luas. Hal itu lantaran wacana iklim terperangkap dalam ruang gema kalangan aktivis, akademisi, dan birokrat semata. Akibatnya, isu perubahan iklim tidak menjadi perbincangan di berbagai kalangan.

Isu iklim masih dianggap sebagai perbincangan elitis, yang seolah-olah tidak relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Daya kritis masyarakat pun rendah. Kondisi ini semakin membiarkan pemerintah semakin menjauh dari target aksi iklim, alih-alih mendesak pemerintah untuk bertindak progresif. 

Belakangan, agama dianggap bisa menjadi medium untuk menumbuhkembangkan gagasan dan aksi kritis soal isu iklim. 

Tiga tahun terakhir, Purpose, bekerja sama dengan sejumlah organisasi keagamaan Islam dalam program Islamic Climate Movement (ICM), berupaya membangun daya kritis masyarakat terkait isu-isu iklim di Indonesia. Salah satunya melalui penyusunan riset. 

Riset yang melibatkan YouGov Indonesia dan Tenggara Strategics ini berlangsung selama Agustus hingga September 2024. Metode survei kuantitatif dalam riset ini melibatkan 3 ribu muslim dan studi kualitatif terhadap hampir 100 pemimpin Islam. Upaya ini bertujuan memperdalam pemahaman tentang bagaimana umat Islam memandang dan merespons aksi iklim. 

Diakui atau tidak, agama masih menjadi hal penting bagi masyarakat Indonesia. Dengan memasukkan isu iklim di kehidupan beragama, menjadikan isu ini lebih dekat dengan kehidupan masyarakat.

Riset ini diharapkan menjadi rujukan bagi pemangku kepentingan di ICM.

“Bersama-sama, kami berupaya mempopulerkan mandat Islam untuk menjadi penjaga Bumi dan memanfaatkan kekuatan komunitas Muslim Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta jiwa guna mendorong aksi iklim,” tulis Purpose dalam hasil risetnya. 

Ada lima poin penting yang didapat dari hasil studi ini. Lima poin ini, selain menunjukkan sejauh mana isu iklim diterima para responden, juga menjadi panduan strategi apa yang bisa dilakukan di masa mendatang untuk mempopulerkan isu iklim di kalangan umat Islam. Termasuk pula, mengurai hambatan-hambatan yang ada dan mendorong langkah-langkah kolektif atau bersama.

  • Pertama, perubahan iklim belum menjadi isu prioritas 

Untuk mengukur skala prioritas di tengah masyarakat, responden mendapatkan pertanyaan, “Dari isu berikut, manakah yang paling anda khawatirkan?”

Isu yang disajikan sebagai pilihan adalah kesehatan, pendidikan, pekerjaan, lingkungan atau iklim, kemiskinan dan hak asasi manusia. Ternyata, mayoritas responden memilih urusan pekerjaan sebagai isu yang paling mereka khawatirkan. 

Disusul empat isu teratas lainnya yakni kesehatan, kemiskinan, pendidikan, dan hak asasi manusia. Sedangkan isu lingkungan atau iklim, hanya berada di peringkat keenam. Hasil ini menunjukkan lebarnya kesenjangan antara urgensi perubahan iklim yang sebenarnya dihadapi bumi, dengan persepsi publik terhadap isu tersebut. Penyebabnya beragam.

Misalnya, pembahasan isu iklim masih bersifat teoritis dan sulit dipahami. Misalnya, belum tersedianya jawaban taktis dari pertanyaan: “Apa dampak pemanasan global terhadap kehidupan laut di masa depan?” Atau juga karena terlalu teknis, seperti: “Bagaimana mendanai pembangunan energi terbarukan untuk mengurangi sekian kiloton emisi karbon?” 

Padahal, isu iklim dan lingkungan seharusnya bisa menjadi perbincangan umum ketika semakin didekatkan dengan masalah-masalah keseharian masyarakat. Misalnya, “Berapa banyak lapangan kerja layak yang dapat dihasilkan industri energi bersih? Bagaimana menjaga laut sebagai sumber pangan yang sehat? Apa dampak perubahan iklim terhadap pengeluaran bulanan pekerja?”

Sudah seharusnya publik disodori fakta. Jika dibiarkan, maka krisis iklim akan menambah beban ekonomi, meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, dan memperparah ketimpangan sosial ekonomi. Dalam mengkampanyekan isu iklim, publik perlu mendapat informasi lebih jelas, sehingga isu ini bisa menjadi agenda prioritas mereka. Tentu dengan bahasa yang masyarakat pahami.

  • Kedua, pemimpin Islam adalah sekutu penting dalam isu iklim

Pemuka agama adalah pihak yang paling dipercaya untuk menyampaikan pesan iklim di kalangan umat Islam di Indonesia. Fakta ini merujuk pada studi yang berjudul Survei Nasional Iklim yang dilakukan Purpose di kalangan pemimpin Islam dan komunitas Muslim 2024. 

Pemuka agama menduduki peringkat pertama dengan persentase 22%, diikuti aktivis lingkungan 19%, dan presiden atau menteri 11%. Sayangnya, pemuka agama jarang dilibatkan dalam diskusi iklim. Padahal, posisi mereka strategis untuk berbicara dan menginspirasi komunitas muslim. 

Hasil dari studi kualitatif menunjukkan, para pemimpin di kalangan umat Islam sepakat, bahwa agama ini memiliki ajaran yang jelas tentang pentingnya menjaga lingkungan. Seorang ulama di Jawa Barat yang menjadi responden, mengatakan, “Sebagai khalifah di bumi, kita tidak boleh merusak bumi. Dakwah Islam bukan hanya mencetak orang saleh yang berakhlak mulia untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan sesama.” 

Masih di studi yang sama, para pemimpin Islam ini juga percaya, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan disebabkan oleh perilaku manusia. Responden lain asal Aceh mengatakan, “Perubahan iklim tidak bisa dipisahkan dari perilaku manusia. Manusia bertanggung jawab untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.” 

Hal ini menunjukkan, para pemuka agama sebenarnya memiliki kesadaran dan pemahaman tentang tantangan iklim. 

Melibatkan mereka sebagai penggerak perubahan, dapat memperluas dukungan terhadap aksi iklim dan membantu membangun daya kritis masyarakat. Para pemuka agama memiliki panggung dan forum khusus dalam kegiatan yang bisa dimanfaatkan untuk membahas isu iklim dalam konteks keagamaan. Pengetahuan dan kepercayaan terhadap mereka, menjadi kombinasi yang tepat untuk mempopulerkan isu iklim di kalangan umat Islam. 

  • Ketiga, dukungan terhadap aksi iklim tinggi. Sebaliknya, dukungan politik masih rendah

Mayoritas responden mendukung penggunaan energi terbarukan, yang merupakan tindakan penting dalam menghadapi perubahan iklim. Survei mengungkapkan, sebanyak 52% responden sangat mendukung dan 28% mendukung implementasi energi terbarukan. Namun, dukungan ini belum tercermin dalam bentuk tekanan politik yang mendorong pembuat kebijakan untuk berinvestasi pada solusi iklim. 

Yang menarik, meski 84% responden cenderung mendukung renewable energy, namun yang memahami isu transisi energi berkeadilan hanya 15% saja. Climate Action Tracker menilai, kebijakan, aksi, dan target iklim Indonesia sangat tidak memadai. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara keinginan publik dan sikap pemerintah sebagai pengambil kebijakan. 

Para aktivis iklim perlu mendorong dukungan publik ke permukaan untuk mendesak pemerintah mengambil tindakan yang lebih berani dan konkrit. Pasalnya, tekanan politik sulit terjadi jika pemahaman pada isu-isu iklim di kalangan masyarakat masih minim. Dukungan politik, setidaknya membuka partisipasi publik dalam menyampaikan, sekaligus mengakomodir aspirasi tersebut sebagai bahan pengambilan kebijakan terkait isu iklim.

  • Keempat, mendorong aksi individu ke kolektif 

Studi ini berupaya mengungkap aksi responden, baik secara individu, maupun kolektif dalam mengatasi masalah lingkungan. Sebagian besar responden telah melakukan sejumlah aksi, meski lebih banyak dilakukan secara individu. Di antaranya seperti mengurangi penggunaan plastik sebanyak 50%, menghemat energi 49%, mengelola sampah dengan menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle) sebanyak 42%, menanam pohon 40%, hingga aksi terkecil, yakni memilih bank yang tidak membiayai energi kotor atau fosil sebanyak 7%.

Sedangkan, aksi kolektif terbanyak yang dilakukan responden adalah berbagi unggahan tentang isu lingkungan sebanyak 26% dan terkecil, menulis isu lingkungan 7%.  Sementara, hanya 4% responden yang tidak pernah melakukan aksi iklim apapun, baik secara individu, maupun kolektif. Inisiatif bersama, bisa diwujudkan dalam bentuk gerakan-gerakan filantropi di kalangan umat Islam untuk pembiayaan aksi iklim, seperti zakat, infaq dan sedekah.

Riset ini juga menunjukkan, upaya menjaga lingkungan yang paling mudah dan praktis menjadi bentuk aksi yang paling umum dilakukan responden. Meski upaya ini penting, tapi ada kebutuhan yang lebih penting untuk mendorong individu melakukan tindakan kolektif, yang melibatkan partisipasi kelompok lebih besar agar menghasilkan perubahan sistemik.

  • Kelima, temui audiensi di mana mereka berada

Studi ini berhasil mengidentifikasi empat segmen audiens muslim dalam isu iklim. Pertama, Khalifah Iklim, yang teridentifikasi sebagai muslim taat yang sangat peduli terhadap lingkungan. Kedua, Komunitas Eco-Hijrah, muslim yang juga taat beragama, tapi belum menjadikan isu iklim sebagai prioritas. 

Ketiga, Umat Aspiratif, yaitu muslim yang cukup religius, tapi tidak terlalu peduli terhadap isu iklim. Terakhir, Warga Negara yang Bertanggung Jawab, yakni muslim yang tidak terlalu religius dan memiliki kesadaran dasar tentang lingkungan, tapi sulit beraksi karena dibatasi waktu dan sumber daya.

Inti segmentasi ini adalah, setiap kelompok berada di titik berbeda dalam perjalanan spiritual, maupun kesadarannya terhadap isu iklim. Kendati demikian, semua orang memiliki peran. Hal ini dapat menjadi gambaran bagi para aktivis iklim saat melibatkan mereka dalam aksi iklim, agar disesuaikan dengan kapasitas masing-masing.

Poin terpenting adalah mengenali audiens, menyesuaikan pesan dengan harapan, kebutuhan, dan keinginan mereka. Kemudian, merancang aksi bersama yang sesuai karakter setiap kelompok. Identifikasi ini membuka jalan untuk memulai komunikasi dan bagaimana pesan soal isu iklim bisa disampaikan dengan efektif.

Apa Upaya Selanjutnya? 

Purpose berharap penelitian ini dapat membuka wawasan dan membantu memperkuat inisiatif Gerakan Iklim Islam yang diinisiasi lembaga tersebut di Indonesia. Program seperti kampanye digital Umat untuk Semesta, Sedekah Energi, Wakaf Hutan, dan Bengkel Hijrah Iklim, dapat terus memperluas dukungan terhadap isu iklim di kalangan komunitas beragama, khususnya Islam. 

“Kami berharap temuan ini dapat menginspirasi dan mendorong kolaborasi yang lebih kuat antar-berbagai pemangku kepentingan iklim di Indonesia maupun di tingkat global,” tulis Purpose. Diperlukan gerakan untuk memutus mata rantai pembiaran isu lingkungan serta tata kelola yang tidak berkeadilan atas isu ini. 

Melibatkan agama dalam aksi-aksi isu iklim tidak serta merta lepas dari kontradiksi. Ini setelah, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 memberikan keistimewaan kepada organisasi masyarakat atau ormas keagamaan, untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Ini menjadi tantangan sekaligus peluang dalam gerakan isu iklim.

Namun, masa depan isu iklim di kalangan umat Islam masih memiliki harapan cerah. Kader-kader muda ormas keagamaan Islam mulai mengarusutamakan isu iklim dan lingkungan sebagai bagian dari dakwah. Misalnya menggunakan pendekatan fikih lingkungan.


Tulisan ini merujuk pada hasil riset Purpose bertajuk, “Climate Actions Through the Eyes of Indonesian Muslims,” yang bisa dilihat secara lengkap di tautan ini.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Purpose & Islamic Climate Movement (ICM)
Miftah Faridl
9 menit