Peternakan ayam milik keluarga terkaya kedua se-Asia berdiri di Kampung Cibetus, Banten, memicu setumpuk masalah lingkungan dan kesehatan. Warga berangsang. Namun, upaya mereka mencari keadilan justru berujung teror dan pelecehan.
DUBRAKKK!
Sekitar pukul 1 pagi, suara kencang tiba-tiba merobek keheningan rumah Saena pada 7 Februari 2025.
Saena, warga Kampung Cibetus di Padarincang, Serang, Banten, sontak terbangun karenanya.
“De?!” teriak Saena dari kamar, mengira suara itu datang dari anak sulungnya yang baru pulang.
“Ada apa, De?”
Tidak ada yang merespons.
Dalam kondisi masih mengangut di tengah gelap, Saena keluar dari kamar tempat ia dan dua putrinya beristirahat.
Di ruang tamu, tidak ada si sulung. Yang ada empat pria asing bertubuh tinggi-besar dan berpakaian serba hitam. Di belakang para pria, Saena melihat pintu rumahnya sudah retak seperti baru dihantam benda tumpul.
“Ada apa, Pak?” tanya Saena keheranan.
“Bapak siapa?”
Tidak ada yang menjawab.
Mendengar kehebohan di ruang tamu, Nana, suami Saena, muncul dari kamar yang lain. Pria-pria yang sedari tadi diam berubah agresif dan langsung menarik Nana menuju Jalan Raya Palka yang membelah Kampung Cibetus.
Kaget, Saena berusaha mengejar suaminya. Namun, pria-pria itu menahannya di badan pintu. Anak bontot Saena, baru berusia enam tahun, keluar dari kamar, lalu histeris mengejar bapaknya tanpa alas kaki.
Saena berontak, lalu berhasil mengikuti jejak si bontot. Di jalan besar, kondisinya sudah ramai. Tidak hanya rumah Saena, gerombolan orang tak dikenal juga mendobrak pintu-pintu rumah lain dan menciduk paksa warga.
Belakangan diketahui mereka adalah pasukan polisi gabungan dari Polsek Padarincang, Polresta Serang Kota, dan Polda Banten.
Total, polisi menangkap 15 warga Kampung Cibetus atas laporan PT Sinar Ternak Sejahtera, yang tidak terima peternakannya dirusak dan dibakar pada 24 November 2024.
Warga yang ditangkap termasuk Cecep Supriyadi, Nana, Samsul Maarif, Abdul Rohman alias Oman, M. Ridwan, Usup alias Ucup, Didi, Nasir, Sarip, dan Yayat Sutihat. Mereka dijerat pasal-pasal KUHP terkait tindak kekerasan berkelompok dan aksi yang menimbulkan kebakaran secara sengaja.
Sementara itu, lima warga lainnya merupakan santri di bawah umur. Karena itu, mereka hanya divonis enam bulan pengawasan.
Masalahnya, warga bilang polisi melakukan penangkapan secara sewenang-wenang. Tidak ada surat panggilan sebagai saksi sebelumnya. Tidak ada pula surat tugas dan surat perintah penangkapan yang ditunjukkan saat kejadian.

Maka, wajar Saena kalut melihat suaminya dimasukkan paksa ke mobil tahanan. Ia ingat, ia menjerit berulang kali mempertanyakan apa yang terjadi.
“Ada apa, Pak?!”
“Suami saya cuma kuli, Pak!”
Tidak ada yang menanggapi.
Saena hanya bisa menangis, sementara anak bontotnya terpaku menyaksikan semua itu.
Dan, setelah para polisi pergi, hanya si bontot yang bisa sedikit mengembalikan kekuatan Saena. Si bocah memegang tangan Saena, lalu berucap: “Mak, ayo pulang.”
Saena gendong si bontot, sebelum perlahan berjalan pulang.
Sepanjang perjalanan, dalam dekapan Saena, si bontot mengelus-elus pundak ibunya.
“Sabar, Mak.”
Tangan kecil itu, suara yang belum pecah itu, berhasil menenangkan Saena. Setidaknya untuk sesaat.
Peternakan Bawa Petaka
Warga Kampung Cibetus sudah resah sejak awal kemunculan peternakan ayam di 2013. Tiga bangunan kandang dibangun di atas lahan seluas lebih dari dua hektare. Ia bisa menampung 30.000 ekor ayam.
Kata warga, jarak kandang ke permukiman saat itu hanya sekitar 20-30 meter. Imbasnya, mereka kerap merasakan bau tak sedap dan menghadapi serbuan lalat.
Setahun sejak peternakan berdiri, warga mulai mengeluhkan hadirnya penyakit-penyakit seperti iritasi kulit, gangguan pernapasan, dan demam berkepanjangan. Padahal, sebelumnya semua itu tidak pernah mereka alami.
Mulanya, peternakan dimiliki pebisnis individu, yang disebut warga cukup terbuka membicarakan segala permasalahan yang timbul karena usahanya.
“Dia sering ke rumah, tanya keadaan, karena kan jadi banyak lalat. Suka kasih obat anti-lalat. Suka menawarkan, kalau butuh apa-apa bilang ke kandang,” ujar Mumun, warga Kampung Cibetus.
Ipat, warga lainnya, menyampaikan hal senada. Pemilik dahulu, katanya, berulang kali “turun ke warga”, bahkan sempat menawarkan kompensasi.
“Mau kasih kompensasi tapi warga nggak mau,” kata Ipat. “Percuma kalau kita tetap kebauan, penyakitan semua.”
Selama bertahun-tahun, warga rutin memprotes kehadiran peternakan, entah melalui ketua RT setempat atau langsung kepada si pemilik usaha. Hingga akhirnya, peternakan berhenti beroperasi pada 2018.
Warga lega. Namun, itu hanya sementara.
Tanpa mereka sadari, pada tahun yang sama peternakan itu dijual ke PT Sinar Ternak Sejahtera.
PT Sinar Ternak Sejahtera merupakan bagian dari grup konglomerat Charoen Pokphand, yang bergerak di bidang agribisnis dan telekomunikasi di banyak negara.
Pemilik dan pengendali Charoen Pokphand adalah keluarga Jiaravanon asal Thailand, yang didapuk Bloomberg sebagai keluarga terkaya kedua se-Asia pada 2025. Penelusuran Project Multatuli menemukan bahwa Sumet Jiaravanon, salah satu orang terkuat di keluarga Jiaravanon, merupakan pemilik manfaat (beneficial owner) PT Sinar Ternak Sejahtera.
Di Indonesia, Charoen Pokphand menguasai bisnis unggas dari hulu ke hilir melalui puluhan anak usahanya, termasuk produksi pakan ternak, peternakan, pabrik makanan olahan, dan ritel dengan rantai distribusi sampai ke kampung-kampung. Unit bisnis mereka tersebar dari Sumatra hingga Papua.
Produk-produk mereka membanjiri pasar Indonesia, termasuk dengan jenama Fiesta, Champ, dan Okey, yang didistribusikan lewat berbagai jaringan toko ritel, termasuk toko mereka sendiri seperti Prima Freshmart.
Setelah mengambil alih peternakan ayam Cibetus, PT Sinar Ternak Sejahtera memperbesar kandang-kandang yang ada. Setiap bangunan dibuat memiliki tiga lantai. Kapasitasnya pun naik sehingga bisa menampung 120.000 ekor ayam.


Warga bersikeras PT Sinar Ternak Sejahtera tidak pernah mengajak mereka bicara soal rencana operasi peternakannya. Karena itu, mereka heran saat tahu perusahaan telah mendapat izin lokasi usaha dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Serang.
Izin itu bisa keluar karena perusahaan telah mengantongi surat persetujuan bertanda tangan warga, kata Agus Sudrajat, Kepala Bidang Penanaman Modal di DPMPTSP Kabupaten Serang.
Dari sana, muncul dugaan perusahaan telah memanipulasi surat persetujuan warga. Agus mengaku pernah mendengar dugaan tersebut, tapi menegaskan ia tidak punya kewenangan untuk menindaklanjuti.
“Pernah muncul juga warga yang mengaku nggak tanda tangan. Tapi kita bukan tim pemeriksa asli atau palsu. Kalau ada yang merasa tidak tanda tangan, ajukan keberatan ke pihak berwajib. Itu pemalsuan namanya,” ujar Agus.
Yang pasti, peternakan kembali beroperasi, mengusik kehidupan warga dari hari ke hari.
Berdasarkan perhitungan menggunakan aplikasi Google Earth, jarak pagar terluar peternakan dengan rumah warga Kampung Cibetus saat ini sekitar 65 meter. Ini sebenarnya masih sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/2014, yang mewajibkan jarak minimal 25 meter.
Meski demikian, dampak operasi peternakan tetap begitu terasa dalam keseharian. Blower yang digunakan untuk mengatur sirkulasi udara di dalam kandang justru membawa bau menyengat dan bulu-bulu halus ke arah permukiman.
“Posisi kandangnya kan berbaris, blower-nya dibuang ke arah rumah saya. Kalau pagi, bulu-bulunya beterbangan. Kalau kita jemur baju pada nempel bulunya,” ujar Mumun, yang kediamannya paling dekat dengan kandang.
“Apalagi kalau pas subuh, ampun banget. Paracetamol dan Promag standby. Kepala sakit, perut mual nahan bau pur ayam. Saya tidur saja pakai masker saking baunya. Kalau nggak kuat, saya muntah,” ujar Saena.
“Setiap salat, setiap sujud, kita sambil tahan pengap, bau. Nggak kuat,” timpal Entu, warga lainnya.
Tak hanya itu, warga bilang jumlah lalat meningkat drastis dan kualitas air kian memburuk. Penyakit klasik pun bermunculan, entah sesak napas atau peradangan kulit.
Contohnya Sarwiti, ibu dari Oman yang ditangkap polisi pada Februari 2025. Ia mengalami masalah kulit di sekujur badan sejak ayam-ayam memenuhi kandang perusahaan.
Awalnya kulit Sarwiti memerah dan terasa gatal. Lalu kulitnya melenting disertai sensasi panas, yang bila digaruk akan mengeluarkan cairan. Setelah sembuh, bekasnya pun tak hilang begitu saja. Kulitnya jadi menebal dan bercorak.
“Saya berobat terus, sampai bosan,” kata Sarwiti.
“Sakit begini semenjak kandang ada isinya. Kalau kandang lagi nggak ada isi, nggak kenapa-kenapa.”
Project Multatuli telah meminta tanggapan PT Charoen Pokphand Indonesia, induk dari PT Sinar Ternak Sejahtera, tapi hingga kini belum mendapat respons.

Studi menunjukkan paparan amonia yang terbentuk dari dekomposisi kotoran ayam di peternakan memang dapat merusak saluran pernapasan bagian atas atau menyebabkan iritasi kulit dan mata dengan cepat.
Bayi-bayi di Kampung Cibetus lantas jadi rentan terserang penyakit.
Ipat mengatakan, saat baru lahir, anaknya terpaksa rutin mendapat terapi uap karena pernapasannya terganggu. Ipat pun tidak bisa menjemur bayinya tiap pagi karena tidak tahan bila harus berlama-lama berdiri di luar rumah dan menghadapi bau menyengat.
“Anak saya yang baru lahiran itu jadi terpaksa mengungsi ke rumah mertua,” kata Ipat.
Hal serupa disampaikan Fitri. Ia bilang bayinya kerap sakit-sakitan, tapi mendadak sembuh bila dibawa pulang kampung ke Pandeglang.
“Anak kedua, baru dua bulan sudah kena gatal-gatal, sebadan melenting,” kata Fitri.
“Sampai kukunya copot semua.”
Pembakaran
Selama bertahun-tahun, warga rutin menyampaikan keluhan pada perusahaan. Namun, perusahaan tidak pernah serius menanggapi. Mereka justru melihat keluhan tersebut sebagai pernyataan bermotif ekonomi.
“Kita ke sana pantau pas lagi ada truk angkut. Kata pihak kandang, kita disuruh ambil sepuasnya. ‘Nggak usah bayar,’ katanya,” ujar Ipat.
“Kata kita, ‘Sok aja angkut ayamnya semua, jangan diisi lagi. Bilang ke bos kamu. Kita sudah nggak kuat.'”
Warga telah dua kali mengirimkan surat penolakan kepada perusahaan, masing-masing pada Juli 2020 dan Februari 2022. Mereka juga sempat memblokade akses masuk kandang dengan tumpukan batu sembari melakukan istighosah—doa bersama untuk memohon pertolongan—pada Agustus 2023. Harapan mereka satu: perusahaan menghentikan total operasi peternakan.
Namun, respons perusahaan selalu tak sesuai harapan. PT Sinar Ternak Sejahtera justru mengirim surat ke Ratu Tatu Chasanah, Bupati Serang 2016-2024, mengadukan warga Kampung Cibetus yang disebut mengganggu operasi peternakan dan membuat para pekerja mereka ketakutan.
Pemerintah Kabupaten Serang sempat mencoba memediasi, termasuk pada November 2022 dan Agustus 2023. Masalahnya, pembicaraan selalu berputar di situ-situ saja.
Perusahaan mengatakan telah melakukan diseminasi dan memberikan kompensasi melalui perangkat desa dan perwakilan warga. Di sisi lain, warga yang benar-benar terdampak membantah pernah meminta apalagi menerima uang perusahaan.
Andai kata ada yang menerima uang kompensasi, menurut warga, itu hanya segelintir oknum yang mengatasnamakan masyarakat Kampung Cibetus.
“Laki saya nggak tahu apa-apa soal perusahaan kasih uang ke oknum warga itu. Dia cuma tahunya demo, mau hidup sehat saja,” ujar Entu.
“Saya pribadi saja langsung ditanyain nomor rekening, mau dibikinin rumah tiga. Yang nawarin pengacara perusahaan. Cuma saya nggak mau itu. Saya cuma mau sehat,” kata Mumun.
Juhaeni Jajuli, Kepala Desa Curug Goong yang secara administratif menaungi Kampung Cibetus, membenarkan soal turunnya uang kompensasi ke pihak desa. Namun, ia mengaku tidak tahu berapa besarannya atau siapa saja warga yang menerima.
“Saya tidak tahu jelasnya, karena [turunnya] di zaman kepala desa almarhum. Ketika saya ngejabat, kandang sedang tidak beroperasi, terus ketika beroperasi itu dibakar,” ujar Juhaeni.
Sementara itu, salinan risalah rapat pada Agustus 2023 yang diperoleh Project Multatuli menunjukkan sikap plin-plan perusahaan.
Misal, catatan Kepala DPMPTSP menyatakan, “Pihak PT STS tidak ada itikad baik untuk merealisasikan komitmen, di mana malam sepakat tidak boleh ada yang masuk ke kandang, tetapi pagi [subuh] masuk DOC [anak ayam] ke kandang.”
Arifin Turga Atmaja, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian DPMPTSP Kabupaten Serang, yang hadir dalam pertemuan itu membenarkan bahwa perusahaan tidak mematuhi kesepakatan dengan warga dan pemerintah daerah.
“Mereka tidak mendengar imbauan kita. Padahal kita sempat ngobrol sampai magrib di polres. Ternyata pagi-pagi ada info, kandang diisi,” ujar Arifin.
Perusahaan terus saja cuek mengoperasikan peternakan. Hingga kemudian warga tak tahan.
Minggu, 24 November 2024, sekitar pukul 8 pagi, warga Kampung Cibetus berkumpul di depan peternakan. Mereka bakar kandang-kandang ayam di sana.
Selewat lebih dari dua bulan, datanglah malam jentaka itu. Polisi merangsek ke rumah-rumah warga, menangkap belasan orang yang dianggap jadi biang keroknya.
Trauma dan Teror
Setelah para suami dibui, istri-istri terpaksa berjuang sendiri menghidupi keluarga sembari menghadapi teror berkepanjangan.
Kira-kira selama dua bulan pasca-penggerebekan, orang-orang tidak dikenal kerap mendatangi rumah warga secara acak, biasanya antara pukul 1 dan 3 dini hari.
Mereka bakal mengintip melalui celah jendela atau mengetuk pintu-pintu rumah, sebelum menghilang begitu saja. Ada juga yang sengaja meletakkan bola tanah terbungkus kain putih seperti kafan di plafon.
“Sempat dikejar sama anak-anak solidaritas, tapi nggak ketemu,” ujar Mumun, ibu dari salah satu anak di bawah umur yang ditangkap polisi, sekaligus kakak dari Oman.
Istilah “anak-anak solidaritas” merujuk sekumpulan anak muda dari berbagai kampung di Kecamatan Padarincang dan sekitarnya, yang berinisiatif mendampingi warga sejak terjadi penangkapan.
Warga tidak pernah tahu siapa orang-orang itu dan apa maksud tindakan mereka.
“Kayak mau dibikin nggak betah tinggal di sini,” ujar Fitri.

Imbasnya, para perempuan Cibetus jadi tidak kerasan tinggal di rumah, apalagi ketika malam hari. Ketimbang sendiri-sendiri di rumah, mereka kerap saling menginap di satu tempat, entah di rumah salah satu warga atau di amben—semacam pos tempat biasa warga bercengkerama.
“Tiap malam nginep di amben. Untungnya ada anak-anak solidaritas yang datang sendiri, bikin kita sedikit berani lagi,” ujar Saena.
Saat siang, situasi pun bisa tiba-tiba berubah mencekam. Apalagi, pasukan polisi bersenjata kerap bolak-balik Kampung Cibetus, membawa intimidasi dan trauma bagi perempuan dan anak-anak di sana.
Anak bontot Saena sampai tidak mau melanjutkan sekolah—saat itu ia belum beres kelas 1 SD. Hal ini membuat Saena bingung. Apalagi, sebelumnya si bontot rajin sekolah.
“Pokoknya, semenjak kejadian itu nggak mau sekolah lagi. Ditanya kenapa, nggak mau jawab,” ujar Saena.
“Baru kemarin-kemarin dia bilang, ‘Pindah aja sih, Mak, sekolahnya.’”
Begitu juga anak-anak Cibetus lainnya. Fitri, istri Oman, bilang anaknya yang bungsu kerap ketakutan jika melihat orang asing berpenampilan necis. Anaknya bakal bertanya, “Mak, itu siapa?”
“Matanya langsung berkaca-kaca,” kata Fitri.
Anaknya yang sulung pun tidak mau sekolah lagi karena merasa tidak aman.
“Takut katanya, banyak polisi di Cibetus. Jadi nanti sekolahnya di Pandeglang saja,” imbuh Fitri.
Tidak hanya anak-anak, para perempuan dewasa ikut terdampak. Tekanan darah Ita, istri Sarip, belakangan tercatat tinggi. Entu, istri dari Cecep Supriyadi, bahkan sudah berbulan-bulan berhenti menstruasi. Ia tidak pernah mengecek ke dokter karena tidak punya uang.
Sementara itu, Ipat bilang ibunya yang berusia 70 tahun mendadak sakit berkepanjangan. Ia kaget bukan main ketika polisi menggerebek rumah mereka sembari membawa pistol.
“Dia shocked, kirain mau ditembak. Sampai sekarang sakit, sering dibawa berobat tapi namanya kepikiran, susah,” ujar Ipat.
“Mana polisinya nggak copot sepatu waktu gerebek rumah.”
Tersiar kabar bahwa kepolisian telah menetapkan belasan nama warga lain dalam daftar pencarian orang (DPO). Kabar itu menjadi momok. Banyak pria dewasa lantas melarikan diri entah ke mana, meski mereka juga belum tahu kebenaran daftar tersebut. Imbasnya, Kampung Cibetus menjadi kian sepi.
Pengacara warga dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) masih menunggu pernyataan resmi kepolisian terkait kebenaran DPO tersebut. Sejauh ini hanya lima nama warga yang resmi jadi buron.
“Informasi non-formal dari Polda Banten, katanya ada 19 orang lagi yang DPO. Kami mau minta transparansi data DPO itu, karena ini yang menakut-nakuti warga,” ujar Rizal Hakiki, pengacara warga dari LBH Pijar Harapan Rakyat, bagian dari TAUD.
Ketika para pria Cibetus banyak yang dipenjara dan kabur dari kampung, tanggung jawab ekonomi lungsur ke perempuan, membuat mereka menanggung dua beban sekaligus.

Ita, misalnya, terpaksa menjalani jam-jam panjang setiap hari untuk mengurus anak dan usaha untuk menafkahi keluarga.
Saat subuh, Ita membuat sendiri donat, seblak, cireng aneka isi, dan ragam jajanan lainnya. Pagi hingga siang, ia akan berjualan di depan rumah. Siang ke malam, ia mengelilingi kampung menjajakan dagangan sembari membawa anak-anak.
“Saya baru bisa santai itu jam 10 malam. Nanti bangun lagi subuh,” ujar Ita. “Jadi kurang tidur saya tuh. Berat badan saya juga turun sampai 13 kilogram.”
Dulu Ita berjualan hanya untuk mencari uang tambahan jajan anak. Setelah suami dipenjara, ia berjualan dengan target harian yang harus terpenuhi. Minimal Rp100.000 per hari. Itu akan ia bagi menjadi Rp60.000 untuk modal dan Rp40.000 sebagai keuntungan.
“Kadang terpenuhi, kadang nggak. Kalau sepi cuma dapat Rp60.000-Rp80.000. Tapi kalau lagi cepat, keliling tiga rumah sudah sampai target,” ujar Ita.
Tidak semua perempuan Cibetus seperti Ita. Beberapa perempuan tidak punya cukup waktu dan energi untuk bekerja, setelah seharian mesti mengurus anak-anak. Sehingga untuk sementara waktu, mereka mengandalkan bantuan dari kerabat terdekat atau anak mereka yang sudah bekerja.
“Anak ada yang mau PAUD, yang satu mau SD. Butuh biaya banget,” ujar Fitri.
“Kadang ada yang kasihan, kasih beras, kasih uang jajan ke anak-anak,” kata Saena.
Peringatan: Bagian ini memuat deskripsi penyiksaan dan kekerasan seksual yang bisa membuat Anda tidak nyaman. Anda bisa melewatinya dan lanjut membaca bagian selanjutnya sesuai kenyamanan Anda.
‘Sudah, Pak. Saya Nggak Kuat’
Warga Kampung Cibetus yang ditangkap diduga mengalami beragam penyiksaan oleh anggota kepolisian.
Berdasarkan penuturan keluarga, pengacara, dan warga yang menjadi tersangka, ada yang sempat ditutup matanya dengan lakban, badan dan wajahnya dipukuli dengan tangan kosong, kepala dipukul menggunakan helm dan sandal, kaki dan tubuh ditendang, serta kaki diinjak menggunakan sepatu.
Ada yang diancam akan dibunuh dengan cara ditembak senjata api, didiamkan di ruangan suhu rendah berjam-jam, dan dimaki-maki dengan kata-kata kasar. Ada pula yang mengaku tidak diberi makan berjam-jam selama proses interogasi dan hanya diberi air minum yang baunya seperti air comberan.
Anggota kepolisian juga diduga melecehkan salah satu tersangka dengan cara menelanjanginya, menyetrum kelaminnya, dan memaksanya masturbasi.
“Saya cuma bilang, ‘Pak, sudah, Pak. Sudah, Pak. Saya sudah nggak kuat.’ ‘Nggak bisa, Pak, nggak bakal bisa keluar,'” kata salah satu warga yang ditahan kepada Project Multatuli.
“Sudah itu baru mereka berhenti.”
Suaranya bergetar saat menceritakan kejadian brutal itu.
“Baru kali ini saya ngomong. Sama keluarga saya nggak pernah ngomong.”
Akibat penyetruman itu, tangan kirinya tidak bisa mengepal selama tiga bulan. Tidak ada penanganan medis. Penyakit itu dibiarkan sembuh dengan sendirinya.
Dugaan penyiksaan tidak hanya terjadi selama proses pemeriksaan di kantor polisi, tapi juga ketika para tahanan sudah dipindahkan ke rumah tahanan milik Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Polisi diduga menjemput paksa sebagian tahanan dari rutan ke Polda Banten dengan dalih pemeriksaan tambahan, yang kemudian berlangsung selama kurang lebih 12 jam.
“Berdasarkan KUHAP, proses pemeriksaan tambahan itu di rutan, nggak dibawa keluar. Karena di rutan ada ruang khusus untuk penyidik,” ujar Rizal Hakiki, pengacara warga dari TAUD, yang juga mengatakan awalnya polisi tidak memberikan akses bagi timnya untuk melakukan pendampingan.
“Kami juga tanya hasil BAP-nya. Katanya, nggak ada.”
TAUD telah melaporkan dugaan pemidanaan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dilakukan kepolisian ke Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan, KPAI, dan Ombudsman RI.
Tindakan para polisi disebut berpotensi melanggar sejumlah aturan hukum, termasuk yang termuat dalam Peraturan Kapolri Nomor 14/2011 tentang kode etik Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Belum lagi Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 5/1998 yang meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Project Multatuli telah berupaya mengonfirmasi dugaan penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap tahanan warga Cibetus kepada Didik Hariyanto, Kepala Bidang Humas Polda Banten. Namun, hingga naskah ini tayang, yang bersangkutan belum merespons.
TAUD mendesak agar ada perlindungan bagi warga Cibetus yang dijadikan tersangka, sekaligus agar mereka ditetapkan sebagai pembela lingkungan hidup. Selain itu, TAUD mendorong penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM, penyiksaan, dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang dialami para tahanan.
Sebelumnya, TAUD sempat menyampaikan dugaan berbagai penyiksaan itu dalam persidangan. Namun, majelis hakim meminta pembuktian atas dugaan-dugaan tersebut. Hal ini yang dirasakan berat oleh tim kuasa hukum warga.
“Beban pembuktiannya dikembalikan ke terdakwa, yang mana penyiksaannya itu terjadi di ruang tertutup. Mereka kan disiksa dengan mata ditutup. Jadi, kalau ditanya, ‘Siapa yang menyiksa kamu?’ Ya, nggak tahu,” jelas Rizal.
Akibat dugaan penyiksaan yang dilakukan kepolisian, para warga Cibetus yang ditahan mengalami penurunan daya lihat dan dengar, kaki penyok, kepala pusing, pelipis mata terluka, tangan tidak bisa mengepal, dan trauma sampai sulit diajak berkomunikasi.
“Sakit hati banget saya. Padahal kami cuma memperjuangkan lingkungan. Kenapa harus teraniaya dari segala-galanya,” ujar Fitri.
“Selain dampak lingkungan, sekarang kita harus menerima keluarga kita nggak ada, nama baik kita rusak. Kami cuma mau hidup sehat. Nggak ingin apa-apa.”
Entu sepakat dengan Fitri.
“Suami-suami kami sudah kayak teroris!” kata Entu.
“Padahal cuma demo. Itu juga ada alasannya!”
Setelah Ketok Palu
Sepanjang Juni-Juli 2025, majelis hakim Pengadilan Negeri Serang telah memvonis sepuluh warga Cibetus yang sebelumnya ditahan polisi.
Sarip, Usup, Didi, Nasir, Oman, dan Ridwan dihukum penjara satu tahun. Cecep Supriyadi, Nana, dan Samsul Maarif dihukum satu tahun tiga bulan penjara. Lalu, Yayat Sutihat hanya dihukum sepuluh bulan. Semua itu dikurangi masa penangkapan dan penahanan.
Keluarga terdakwa tidak puas dengan vonis itu. Mereka menilai hukumannya masih terlalu berat.

“Kami hanya memperjuangkan lingkungan kami yang dulu sehat, sekarang tercemar. Kami hanya ingin sehat dan berkumpul dengan keluarga kami,” ujar Mumun.
Menyikapi vonis tersebut, Rizal Hakiki selaku pengacara warga juga menyesalkan hakim yang tidak mempertimbangkan banyak hal.
“Hakim gagal menangkap sebab-akibat dalam peristiwa tindak pidana ini. Hakim juga gagal menangkap bahwa ada dugaan tindak pidana penyiksaan atau pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan penyidik kepada terdakwa,” ujar Rizal.
Di sisi lain, PT Sinar Ternak Sejahtera melalui kuasa hukumnya telah mengeluarkan surat yang intinya menegaskan komitmen mereka untuk menghentikan segala kegiatan usaha peternakan di Kampung Cibetus, dan memindahkan sejumlah aset mereka ke Pandeglang.
Satrianus Dembo, salah satu pengacara PT Sinar Ternak Sejahtera, bilang perusahaan telah menjalankan janjinya.
“[Operasi peternakan] sudah berhenti,” kata Satrianus, seraya mengatakan keputusan itu diambil perusahaan dengan mempertimbangkan gejolak yang terjadi di masyarakat.
Meski demikian warga Cibetus tetap mendesak DPMPTSP Kabupaten Serang untuk mencabut izin PT Sinar Ternak Sejahtera. Mereka berharap, ke depan, pemerintah daerah tidak menerbitkan kembali izin peternakan ayam di Kampung Cibetus.
“Rencananya kami akan tetap mengajukan gugatan pembatalan izin apabila DPMPTSP masih belum mau untuk membatalkan izin PT STS,” ujar Rizal. “Masih kita draft dulu gugatan dan persiapkan bukti-buktinya.”
Menurut Arifin Turga Atmaja, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian DPMPTSP Kabupaten Serang, urusannya tidak semudah itu. Ia bilang jika pihaknya seenaknya mencabut izin, perusahaan bisa mempermasalahkan di pengadilan.
“Kita sarankan, coba digugat saja pemdanya, biar pengadilan yang memutuskan dicabut atau nggak,” kata Arifin.
“Jadi dasar pencabutannya dari pengadilan.”
Segala Duka Redam di Amben
Malam itu amben masih ramai. Para perempuan Cibetus bersama pengacara warga dan anak-anak solidaritas sedang melepas lelah, setelah seharian menghadiri persidangan dan menerima kunjungan Komnas Perempuan.
Di tengah-tengah mereka, dua baskom besar berisi seblak tersaji hangat. Ita yang membuatnya.
Sembari makan, mereka saling mengobrol apa saja. Suasana cair dan santai.
“Di sini mah bisa ketawa-ketawa, ngeledekin suami. Pas di kamar mah, duh, nangis. ‘Mana ya suami aku?'” Ita berseloroh, sementara yang lain menimpali dengan tawa.
“Iya ya, kalau deket mah bawaannya kesel melulu sama suami. Kalau jauh begini, apalagi sudah lima bulan nggak pulang, ngangenin,” sahut yang lain.
“Kamu mah jaim kalau di pengadilan. Saya mah nggak. Namanya kangen, peluk-peluk saja, sudah menikah ini,” ujar Ita.
Semenjak suami-suami mereka dipenjara, amben menjadi ruang aman perempuan Cibetus. Ketika teror orang tidak dikenal cukup intens, amben menjadi tempat mereka menginap. Kalau rasa sedih mengingat suami datang, amben juga yang mereka tuju.

“Kalau di rumah, kan, ingat lagi, sedih lagi. Kalau di amben, ngobrol-ngobrol nggak terasa. Memang butuh hiburan biar nggak down terus, nanti gampang sakit. Satu sakit, sakit semuanya,” ujar Ita.
“Di amben banyak anak-anak solidaritas. Mereka kan banyak leluconnya. Kita ngakak,” ujar Entu.
“Pas Lebaran, Teh Entu pulang ke rumah orang tua, anak-anak solidaritas pulang, saya di amben berempat sama anak-anak saja. Nangis saya sampai magrib. Berasa mencekam. Nggak ada orang,” ujar Saena.
Amben itu dibangun oleh Cecep Supriyadi usai ia menyelesaikan pendidikan di pesantren. Bangunannya berbentuk persegi panjang dengan material dominan bambu dan kayu. Letaknya persis di samping rumahnya. Di sana pula, Cecep ditangkap polisi.
Cecep biasa mengajari warga Cibetus ilmu agama Islam, terutama ibu-ibu dan anak-anak di amben. Setiap malam Selasa: pengajian ibu-ibu. Setiap malam Minggu: zikir ataqoh. Setiap malam Rabu: istighosah.
“Dia punya ilmu dari pesantren yang kalau nggak dia curahin nanti dia dosa. Kalau sudah dicurahin, ya kembali lagi ke yang mengaji, mau dipakai silakan, nggak ya nggak apa-apa,” ujar Entu.
Nahasnya, dalam dakwaan jaksa penuntut umum, amben disebut sebagai tempat pemufakatan jahat warga untuk merencanakan pembakaran kandang ayam milik PT Sinar Ternak Sejahtera.
Semenjak Cecep dipenjara, aktivitas di amben diampu oleh anak sulungnya. Si sulung terpaksa mengambil cuti dari pesantren tempatnya menimba ilmu untuk kembali ke rumah, sekalian untuk menemani ibu dan adik-adiknya.
“Dia juga sekarang yang jadi imam di musala, karena nggak ada laki-laki di sini,” ujar Entu.
Saena menimpali, “Saya juga sedih sekarang musala jadi kosong. Isinya anak-anak doang.”
Hampir setiap malam amben selalu ramai. Istighosah yang dahulu rutin diadakan seminggu sekali, kini menjadi setiap hari. Bagi perempuan Cibetus, momentum istighosah bukan sekadar ajang berdoa bersama, tapi juga memperkuat solidaritas.
“Karena kampung kita sepi jadi setiap malam itu kita istighosah, untuk mengobati luka. Biar kita dan ibu-ibu yang lain saling menguatkan,” ujar Mumun.
“Kalau kata anak sekarang, healing,” timpal Saena.
“Kiai bilang harus istighosah terus jangan sampai libur. Walaupun beberapa orang, harus terus,” ujar Ipat. “Senjata kita tinggal doa.”