Siapa yang berani melahirkan di Jakarta? Pertaruhan nyawa dan masa depan buah hati di tengah ancaman polusi yang tak kunjung ditangani.
Jakarta bukan kota yang ramah bagi perempuan hamil. Saya menyadarinya sejak menemani istri mengandung anak pertama. Bukan hanya karena riuh padatnya kota, tetapi juga kualitas udara yang menurun drastis. Dalam beberapa bulan terakhir, kota ini konsisten menempati posisi salah satu dengan udara terburuk di dunia menurut IQAir.
Kementerian Kesehatan pada Juli 2025, mengumumkan bahwa konsentrasi PM2.5, partikel berukuran 36 kali lebih kecil dari sebutir pasir, di Jakarta dari 2022 hingga 2025 rata-rata berada di atas ambang batas mengkhawatirkan.
Puncaknya terjadi pada Juni 2025 dengan 46,6 mikrogram per meter kubik. Sementara itu, kasus ISPA tercatat tertinggi pada Maret 2025, dengan 293.852 kasus.
Menarik napas di Jakarta kini terasa menakutkan, terutama ketika memikirkan janin yang sedang berkembang.
Beragam studi menunjukkan paparan jangka panjang terhadap polusi udara, khususnya PM2.5, berkaitan dengan risiko kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), hingga keguguran. Risiko penyakit pernapasan, asma, kanker paru-paru, dan gangguan jantung juga meningkat seiring paparan kronis.
Studi Nafas dan Halodoc pada 2023, menemukan bahwa saat kualitas udara memburuk, kasus penyakit pernapasan di Jabodetabek naik hingga 41 persen, sementara penyakit bronkitis dan asma meningkat lima kali lipat dalam dua hari sejak terpapar polusi.
Bagi perempuan hamil, polusi ini bukan hanya berisiko melahirkan bayi dengan BBLR, tetapi juga gangguan pertumbuhan, begitu kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman.
Pada 2018, tercatat ada 20 juta kendaraan bermotor di Jakarta, termasuk 13 juta sepeda motor. Angka ini terus meningkat hampir 5 persen setiap tahunnya. Laporan Inventarisasi Emisi menemukan sektor transportasi menyumbang 67 persen emisi PM2.5.
Transportasi bukanlah satu-satunya biang kerok. Studi yang sama, menemukan penyumbang terbesar kedua dan ketiga emisi PM2.5 berasal dari industri manufaktur dan pembangkit listrik tenaga batubara di luar wilayah metropolitan. Dengan kata lain, udara kotor Jakarta adalah hasil gabungan dari polusi internal perkotaan dan polusi lintas-batas.
Fenomena ini diperkuat anomali udara saat pembatasan aktivitas ketika pandemi dan libur Lebaran, yang menunjukkan emisi dari sumber tetap tidak berkurang meski mobilitas warga turun drastis.
Ini menjadi beban serius bagi kelompok rentan, terutamanya perempuan hamil. Greenpeace pada 2017 memperingatkan lebih dari 5.000 kematian prematur dan ribuan kasus kelahiran dengan berat badan rendah (low birth weight) akan terjadi setiap tahun akibat emisi dari PLTU sekitar Jakarta.
Tahun 2019, tren bayi berat badan lahir rendah (BBLR) di Indonesia tercatat sebesar 6 persen menjadikannya peringkat kelima dengan jumlah bayi BBLR tertinggi di antara 88 negara di seluruh dunia.
Studi The Airlangga Center for Health Policy pada tahun yang sama, menemukan bahwa perempuan di perkotaan memiliki risiko lebih tinggi melahirkan bayi BBLR dibandingkan pedesaan, akibat polusi udara.

Namun, yang paling menyesakkan adalah kenyataan bahwa semua data ini terus-menerus diabaikan.
Kita bicara soal nyawa bayi yang bahkan belum sempat lahir, paru-paru anak yang belum genap berkembang, tubuh para perempuan yang dipaksa menanggung racun setiap hari. Bila dikritisi lebih dalam, BBLR juga memiliki kaitan erat dengan stunting, masalah yang kini coba diatasi pemerintah lewat program makan bergizi gratis (MBG).
Tapi negara tetap absen, sibuk mengobral izin industri, sibuk meresmikan PLTU baru, seakan kesehatan publik bisa ditukar dengan pertumbuhan ekonomi. Tidak ada yang lebih kejam daripada negara yang tahu rakyatnya perlahan dibunuh udara kotor, tapi memilih diam.
Kemenangan warga Jakarta, secara berturut-turut sejak 2019 hingga 2023, yang menuntut pemulihan udara di Jakarta merupakan bentuk tegas bahwa persoalan polusi udara perlu mendapat penanganan yang serius.
Dalam tuntutan itu, Presiden, kementerian terkait, serta tiga gubernur di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, wajib melaksanakan strategi pengendalian dan pengawasan jangka panjang. Pasca-pemilu 2024, gugatan ini seharusnya tetap berlaku karena melekat pada jabatan fungsional, meski telah berganti orang.
Pembangunan PLTU di Indonesia, terutama untuk memasok jaringan listrik Pulau Jawa, tidak hanya menyumbang peningkatan polusi, tetapi juga menyebabkan surplus pasokan dan pemborosan anggaran negara.
Data PLN menunjukkan bahwa sistem Jawa-Bali mengalami surplus daya lebih dari 30 persen, jauh melampaui cadangan ideal sebesar 15 persen Artinya, ada ruang yang bisa dikoreksi untuk mulai mengurangi ketergantungan pada pembangkit kotor, baik dari sisi teknis, ekonomi, maupun lingkungan.
Meski dampaknya nyata, pemerintah belum menunjukkan komitmen serius untuk berbenah. Di berbagai wilayah, pembangunan PLTU masih akan terus berlanjut dengan pola yang berulang. Bahwa proyek ini dianggap “mudah dan murah” berkat dukungan insentif dan regulasi yang tentu saja berpihak pada oligarki batubara. Sementara, beban mendasar yang menyangkut kelangsungan hidup dan kualitas kesehatan warga sekitar tidak pernah benar-benar dijawab dengan tuntas.
Udara bersih seharusnya bukan kemewahan tetapi hak dasar setiap manusia. Hak yang semestinya hadir dalam setiap pertimbangan kebijakan. Setiap perempuan hamil berhak menarik napas tanpa rasa takut akan risiko bagi janinnya. Setiap anak berhak tumbuh di lingkungan yang sehat. Setiap warga kota berhak hidup tanpa harus menghadapi ancaman kesehatan kronis yang bisa dicegah.
Di sejumlah negara, masa depan terlihat lebih cerah. Alih energi bersih sudah menjadi prioritas dengan langkah konkret meninggalkan PLTU dan beralih ke energi terbarukan. Tentunya dengan penguatan regulasi terkait lingkungan.
Thailand misalnya. Negara tetangga di ASEAN itu membuka pintu investasi pada sektor energi surya. Baru-baru ini, International Finance Corporation (IFC) menginvestasikan THB 1.476 juta (sekitar Rp730 miliar) di CleanMax Energy Thailand untuk memperluas solusi energi surya bagi sektor komersial dan industri.
Begitu juga dengan Filipina yang pada awal tahun ini, menandatangani kerja sama dengan Uni Emirat Arab dalam kesepakatan investasi senilai $15 miliar (Rp245 triliun) untuk mengembangkan proyek energi surya dan angin.
Indonesia seharusnya tidak ketinggalan. Solusi yang diusulkan bisa dimulai dengan memperketat emisi industri, mengurangi ketergantungan batubara, mendorong transportasi publik rendah emisi, serta program perlindungan kesehatan bagi perempuan hamil dan anak. Namun, tentu saja, semua itu harus dijalankan dengan keberanian politik dan komitmen nyata, bukan sekadar retorika.
Selama pemerintah lebih takut kehilangan investasi batu bara dan industri kotor ketimbang kehilangan generasi sehat, polusi akan tetap jadi warisan beracun bagi warga kota.
Sholahudin Al Ayubi adalah Ahli Strategi Kebijakan dan Manajer Proyek dari Yayasan Indonesia Cerah.
Esai ini merupakan bagian dari serial opini #TransisiEnergi yang menghadirkan perspektif peneliti, penggiat, dan praktisi dari beberapa organisasi masyarakat sipil dengan fokus pada kesehatan publik, keadilan lingkungan, dan kebijakan energi bersih.