Lewat pendekatan hukum humaniter internasional, para pihak yang bertikai antara TNI dan TPNPB di Papua bisa digolongkan sebagai konflik bersenjata non-internasional.
- TPNPB-OPM adalah kelompok bersenjata non-negara dengan model desentralistik
- Perlawanan bersenjata di Papua sudah berlangsung sejak 1960-an
- Sampai Agustus 2025, jumlah pengungsi internal orang Papua akibat konflik bersenjata melebihi 100.000 jiwa
- Pemberlakuan humaniter internasional di Papua adalah perangkat terakhir yang menyelamatkan nilai kemanusiaan kita yang masih tersisa di medan pertempuran
DI SELA-SELA menghadiri sidang gugatan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pangan dan Energi Merauke, dan Undang-Undang Cipta Kerja, di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 19 & 25 Agustus 2025, Vincent Kwipalo, ketua marga, menyempatkan diri menceritakan situasi terkini di tanah airnya Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke. Selain tanahnya terkena PSN, kini marganya harus melihat tanahnya digerus pembangunan Kodam XXIV/Trikora Mandala.
“Semua kita tahu di balik PSN ini ada militer, bahkan tenaga kerjanya militer. Operatornya juga militer. Lahan masyarakat digusur untuk Kodam. Penggusuran tetap jalan meski tidak ada izin. Truk hijau kawal, basecamp perusahaan jadi pos. Saya sakit melihat hutan rusak”
Jika militer merangsek masuk di dunia pangan dan energi melalui PSN di Papua Selatan yang bukan ranah pertahanan negara, kiranya tidak terlalu mengherankan bahwa TNI mengambil alih lahan masyarakat adat untuk pembangunan Kodam XXIV/ Trikora Mandala. Lalu, bagaimana keberadaan TNI di Pegunungan Tengah Papua dari Maybrat sampai Pegunungan Bintang?
Laporan terbaru Human Rights Monitor (HRM) Triwulan III Agustus 2025 memberikan jawaban kepada kita: “Hingga Agustus 2025, lebih dari 100.313 warga terpaksa mengungsi akibat konflik bersenjata antara pasukan TNI dan TPNPB. Pengungsi Internal terbaru akibat operasi militer dilaporkan terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, Puncak Jaya, dan Pegunungan Bintang.”
Laporan itu merinci data pengungsi internal Papua tersebar di 8 Kabupaten: Nduga, Puncak, Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Teluk Bintuni, dan Jayawijaya.
Merujuk total jumlah kabupaten se-Tanah Papua, yakni 28 dan 7 kota, maka 23% wilayah di Papua memiliki pengungsi internal. Tentu saja laporan itu bukan yang pertama muncul di publik. Sebelumnya ada film dokumenter produksi Jubi, Sa Pu Nama Pengungsi (2023); laporan dari KWI, PGI dan Dewan Gereja Papua, “Pengungsi Internal adalah Masalah Kronis di Papua” (2024), dan laporan berkala HRM.
Namun demikian, publik umumnya tidak sadar atas gelombang pengungsi orang Papua. Pengungsi internal Papua jadi sekadar data statistik. Nama, wajah, dan ceritanya luput dari kesadaran publik.
Ketua Departemen Perempuan Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Jayapura, Rode Wanimbo, mengisahkan bagaimana gereja terus mengirimkan bantuan kemanusiaan dan tenaga medis untuk menangani pengungsi di wilayah Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang.
“[…] mendengar cerita ibu-ibu, aduh, mereka punya pergumulan berat. Mereka harus ke kebun sudah ada rasa takut karena diintimidasi tentara dan polisi, nokennya diperiksa, KTP-nya diminta, ditanya tujuannya dan segala macam. Setelah dengar kesaksian itu, kami pikir kami tidak bisa doa saja.”
Sementara Eneko Pahabol, staf hukum dan HAM Sinode GIDI dan staf Sekretariat Dewan Gereja Papua di Jayapura, merefleksikan situasi Papua dulu dan sekarang yang jauh berbeda.
“Dulu waktu saya di kampung, misionaris datang, orang dari mana-mana datang. Tidak ada masalah. Tapi begitu ada konflik sekarang, macam hidup dalam bara api begitu. Sekarang harga nyawa manusia tidak ada.”
Di tengah tanggap darurat dari pihak gereja yang bersifat terbatas, pihak pemerintah di wilayah-wilayah pengungsian tidak melakukan aksi tanggap darurat, kecuali Pemda Intan Jaya.
Melalui SK Bupati No. 100.3.3.2-50 Tahun 2025, Bupati Aner Maisini membentuk tim tanggap darurat, dengan judul “Pembentukan Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Operasi Penegakan Hukum Tegas dan Terukur TNI/Polri terhadap KKSB-OPM di Wilayah Kabupaten Intan Jaya Tahun 2025.”
Judul SK Bupati Intan Jaya ini memang tidak menyebut ‘konflik’ atau ‘konflik bersenjata’ atau ‘pengungsi’, melainkan memakai istilah ‘dampak sosial’ karena merujuk Undang-Undang No. 7/2012 tentang penanganan konflik sosial. Namun, dalam jabaran tupoksi Tim Terpadu, jelas-jelas dinyatakan tim ditugaskan untuk melakukan tanggap darurat pengungsi.
Artinya, pemerintah di tingkat kabupaten mengakui ada masalah pengungsi akibat konflik senjata antara TNI dan TPNPB.
Serpihan-serpihan informasi ini seakan tak tersambung satu sama lain. Seakan bersifat kasuistik dan terlokalisir. Namun, jika ditilik dari kacamata hukum humaniter internasional, realitas lapangan itu menjadi penanda ada konflik bersenjata non-Internasional.
Apa itu Konflik Bersenjata Non-Internasional
Dalam hukum humaniter internasional alias HHI, istilah ‘konflik bersenjata’ memiliki arti khusus. Dalam ‘How is the term “armed conflict” defined in International Humanitarian Law?’ (International Committee of the Red Cross Opinion Paper, 2024), Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mendefinisikannya sebagai “keadaan permusuhan secara de facto yang tidak bergantung pada ada atau tidak ada pernyataan perang atau pengakuan perang dari para pihak yang bertikai.”
Tiga frasa penting di sini perlu digarisbawahi: keadaan permusuhan, de facto, dan pernyataan perang.
Konflik bersenjata adalah keadaan nyata di lapangan di mana terjadi permusuhan atau peperangan (hostilities). Titik beratnya ada pada keadaan de facto. Artinya, fakta yang nyata-nyata terjadi di lapangan, bukan apa yang diakui secara hukum atau secara politik.
Keadaan itu juga tidak ada sangkut pautnya dengan ada tidaknya pernyataan perang atau pengakuan ada perang dari para pihak bertikai. Dengan demikian, konflik bersenjata yang dimaksudkan HHI terfokus pada realitas peperangan dan tidak dibatasi oleh pernyataan hukum atau politik.
Lebih jauh kita merujuk pada putusan banding Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) atas Kasus Duško Tadić, penjahat perang Serbia (IT-94-1). Dia diputus bersalah pengadilan banding ICTY atas empat kejahatan berat:
- Tanggung jawab pidana (Pasal 7 ayat 1 Statuta ICTY)
- Pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 (Pasal 2 Statuta ICTY – pembunuhan terencana; penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi; secara sengaja menyebabkan penderitaan atau melukai tubuh atau kesehatan serius)
- Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 5 Statuta ICTY – pembunuhan),
- Pelanggaran hukum atau kebiasan perang (Pasal 3 Statuta ICTY – pembunuhan).
Putusan ini dinilai terobosan. Ia meletakkan pondasi hukum bagi berbagai putusan hukum internasional sejak saat itu (Cullen 2010: 118-120). Alinea 70 Putusan ICTY secara khusus menjadi rumus baku konflik bersenjata internasional sehingga disebut Rumus Tadić.
ICTC menetapkan: “Konflik bersenjata ada bilamana ada penggunaan kekuatan bersenjata antara negara-negara atau kekerasan bersenjata berkepanjangan antara otoritas pemerintah dan kelompok-kelompok bersenjata terorganisir atau antar kelompok-kelompok tersebut dalam satu negara.” (Putusan ICTY Tadić alinea 70)
Definisi ini memberikan panduan jernih dan tegas untuk menilai situasi konflik bersenjata di seluruh dunia, khususnya di Papua yang hingga kini belum pernah dikaji dari sudut pandang hukum humaniter internasional. Dalam putusan itu ICTY secara sederhana mendefinisikan tiga jenis penggunaan kekuatan bersenjata.
Pertama adalah konflik bersenjata antara negara-negara atau yang biasa disebut konflik bersenjata internasional (KBI). Kedua adalah kekerasan bersenjata berkepanjangan antara pemerintah dengan satu atau lebih kelompok bersenjata terorganisir dalam satu negara. Ketiga adalah kekerasan bersenjata antar kelompok-kelompok bersenjata terorganisir dalam satu negara. Jenis kedua dan ketiga biasa disebut konflik bersenjata non-internasional alias KBNI.
Sama halnya pemahaman ICRC tentang konflik bersenjata yang menekankan pada fakta dan bukan status hukum, ICTY menunjuk unsur penentu utama adalah “penggunaan kekuatan bersenjata” dan bukan pernyataan perang atau pengakuan ada perang.
Untuk KBNI, ada dua syarat utama: kekerasan bersenjata berkepanjangan dan kelompok bersenjata terorganisir. ICTY menegaskan, “Kriteria ini berlaku pada semua konflik, baik internasional maupun internal. Tidak perlu menetapkan ada konflik bersenjata di setiap kota. Cukup menetapkan keberadaan konflik dalam seluruh wilayah yang mencakup kota-kota itu.”
Penetapan ini menjadi relevan untuk mengukur apakah penetapan daerah konflik di Papua diberlakukan per kabupaten atau cukup satu status saja.
Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional
ICTY menjelaskan konsekuensi hukum bagi suatu daerah yang tergolong wilayah konflik bersenjata: pemberlakuan HHI.
“Hukum humaniter internasional berlaku sejak permulaan ada konflik bersenjata dan berlanjut melampaui gencatan senjata hingga tercapai perdamaian menyeluruh; atau dalam hal konflik internal, penyelesaian damai telah dicapai. Hukum humaniter internasional tetap berlaku di seluruh wilayah negara-negara yang bertikai, atau dalam hal konflik internal, seluruh wilayah yang dikuasai pihak yang bertikai, entah ada tidaknya pertempuran di situ.” (Putusan ICTY Tadić alinea 70)
Fatwa ICTY ini penting kita cermati untuk melihat batas awal dan batas akhir pemberlakuan hukum humaniter internasional. Secara jelas batas awal adalah permulaan bentrokan bersenjata dan berakhir saat tercapai penyelesaian damai.
ICTY menegaskan ketiadaan pertempuran tidak menjadi ukuran berakhirnya konflik bersenjata. Dengan penegasan ini, ICTY seakan mengamini konsep Johan Galtung tentang negative peace, yakni tanpa ada perang sekalipun tidak seketika keadaan sudah damai. Harus ada fakta resmi perjanjian damai yang mengakhiri penggunaan kekerasan bersenjata dari para pihak.
Kriteria Konflik Bersenjata Non-Internasional
Dari kesaksian Vincent Kwipalo, para pelayan gereja di Tanah Papua seperti Rode Wanimbo dan Eneko Pahabol, laporan-laporan organisasi gereja dan organisasi HAM, dan SK Bupati Intan Jaya di atas—semuanya mengindikasikan ada konflik bersenjata di Tanah Papua.
Di antaranya penetrasi militer di ranah non-pertahanan; penguasaan lahan masyarakat; gelombang pengungsi internal yang terus-menerus; tanggap darurat gereja-gereja di Papua, operasi penegakan hukum TNI/Polri atas KKSB-OPM.
Namun pertanyaannya adalah apakah indikasi ini cukup untuk mengkategorikan Tanah Papua sebagai wilayah konflik bersenjata non-internasional?
Dua kriteria kunci yang ditetapkan oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia (ICTY) adalah kekerasan berkepanjangan atau biasa disebut “intensitas kekerasan” dan kelompok bersenjata non-negara yang terorganisir.
ICTY tidak merincikan kedua batasan itu sehingga kita perlu menilik kajian Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dengan caveat bahwa rinciannya tidak bersifat kumulatif tetapi selektif. Artinya, untuk mencapai tahap kekerasan yang berpanjangan, suatu keadaan tidak harus memenuhi semua kriteria tetapi cukup salah satu indikator saja. Sama halnya untuk masuk dalam definisi kelompok bersenjata non-negara, suatu kelompok bersenjata tidak diwajibkan memenuhi seluruh persyaratan yang ada.
Apa indikator-indikator itu? ICRC merangkum kriteria yang ditetapkan ICTY tentang intensitas kekerasan meliputi delapan indikator berikut:
- Jumlah, durasi, intensitas, konfrontasi para pihak
- Jenis persenjataan dan peralatan militer yang digunakan
- Jumlah dan kaliber amunisi
- Jumlah personel dan tipe pasukan yang terlibat pertempuran
- Jumlah korban (termasuk yang meninggal, terluka, mengungsi atau hilang)
- Cakupan kerugian material
- Jumlah pengungsi warga sipil dari wilayah pertempuran
- Keterlibatan Dewan Keamanan PBB bisa menjadi salah satu cerminan intensitas konflik
Sementara untuk terorganisir tidaknya kelompok bersenjata, ICTY menawarkan 7 indikator:
- Keberadaan struktur komando dan aturan kedisiplinan
- Keberadaan markas besar
- Fakta bahwa kelompok menguasai wilayah tertentu
- Kemampuan kelompok untuk mendapatkan senjata atau peralatan militer, perekrutan dan pelatihan militer
- Kemampuan kelompok dalam menyusun strategi militer terpadu dan menggunakan taktik militer
- Kemampuan kelompok untuk merencanakan, mengkoordinasikan, melaksanakan operasi militer termasuk pengerahan pasukan dan logistiknya
- Kemampuan kelompok untuk berbicara dalam satu suara dan berunding serta menyepakati perjanjian seperti gencatan senjata atau pakta perdamaian
Apakah Konflik Bersenjata Non-Internasional Berlaku bagi Tanah Papua?
Berbekal landasan hukum ICTY dan penjabaran ICRC, kita memiliki pegangan yang jelas untuk menilai situasi yang dialami oleh Vincent Kwipalo, Rode Wanimbo, Eneko Pahabol, Bupati Intan Jaya Aner Mansiri, dan seluruh penduduk di Papua, baik orang asli maupun pendatang, baik yang tinggal di wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Indikator intensitas kekerasan
Indikator pertama yang paling menonjol adalah durasi perlawanan bersenjata orang Papua tidak dimulai dari 10 tahun terakhir melainkan sudah dari 60 tahun lalu (lihat Ondawame, Otto. 2010. One People, One Soul, West Papua Nationalism and the Organisasi Papua Merdeka). Dokumen TNI seperti Sejarah TNI Jilid IV (1966-1983) mencatat serangan OPM di Pos Militer di Kebar, pinggiran Manokwari pada 1965, sebagai serangan militer yang tidak bisa dipandang enteng.
Laporan-laporan HAM terkini menjabarkan pola-pola kekerasan yang menjadi indikator kedua untuk mengukur intensitas kekerasan akibat konflik bersenjata antara TNI dan TPNPB.
Pola-pola ini meliputi pembunuhan, penyiksaan (seperti terjadi Yahukimo yang viral di medsos), perusakan objek sipil seperti sekolah, fasilitas kesehatan, penyerangan nakes di Kiwirok (2020), penyerangan guru-guru di Angguruk (2025), atau pembunuhan tokoh agama seperti Pdt. Yeremia Zanambani (2020).
Laporan-laporan ini mendokumentasikan indikator ketiga yang menunjukkan intensitas kekerasan, yakni penggunaan artileri medan seperti mortir, penggunaan helikopter militer TNI untuk menyerang TPNPB seperti terjadi di Kiwirok. (Lihat HRM 2023, Destroy them first, talk human rights later: an investigation of Indonesia security forces operations in Papua’s Kiwirok under International Law)
Indikator keempat adalah pengungsi internal. Laporan Human Rights Monitor 2023-2025 menyajikan data naiknya jumlah pengungsi internal yang diabaikan dan tidak ditangani pemerintah sejak 2018. Jumlah yang tercatat dari 70.000 hingga kini lebih dari 100.000 jiwa. Ini belum termasuk pengungsi orang Papua yang melintasi perbatasan Papua Nugini.
Lebih-lebih ada SK Bupati Intan Jaya menjadi indikator kelima yakni pengakuan hukum dan politis ada pengungsi internal, ada konflik bersenjata, dan ada para pihak yang berkonflik, yakni “TNI/Polri dengan KKSB-OPM”. Meski ranah SK tingkat kabupaten, bupati mewakili pemerintah.
Indikator Organisasi Kelompok Bersenjata Non-Negara
Mengenai perihal organisasi, kita perlu bersikap kritis atas narasi yang selalu berkembang di banyak analisis tentang Papua yang mendalilkan bahwa kelompok bersenjata papua terfragmentasi, tidak ada kepemimpinan tunggal sehingga sulit mengadakan perundingan.
Untuk menjawab argumen itu, kita perlu merujuk riset ICRC, The Roots of Restraint in War (2018). Ia mengkaji keberadaan lebih 350 kelompok bersenjata non-negara di seluruh dunia guna memahami ciri corak kelompok ini. Hasil riset memberikan pemahaman baru sekaligus mematahkan dalil di atas.
Pemahaman umum selama ini beranggapan kelompok bersenjata dinilai seperti halnya lembaga militer negara yang bersifat piramidal. Pemahaman ini dilatarbelakangi dominasi pemahaman negara atas aktor non-negara dan telah diyakini sebagai kebenaran sehingga grup bersenjata non-negara mengukur dirinya sesuai ukuran lembaga militer negara.
Faktanya, struktur kelompok bersenjata non-negara berbeda dengan lembaga militer negara. Laporan ICRC menggolongkannya menjadi tiga jenis: sentralistik (centralised), terdesentralisasi (decentralised), menyatu dengan masyarakat (community-embedded). Perbedaan utama terletak pada model kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan, dan sifat otoritasnya.
Model sentralistik memiliki sistem kepemimpinan yang berpusat pada komandan utama, pengambilan keputusan secara hierarkis dari atas ke bawah, dan sifat otoritasnya adalah birokratis. Contohnya Moro National Liberation Front di Filipina atau Macan Tamil Eelam di Sri Lanka.
Model desentralistik memiliki sistem kepemimpinan di tangan komandan-komandan setempat, pengambilan keputusan melalui permufakatan para komandan setempat, sifat otoritasnya karismatik dan lemah dalam segi birokrasi. Misalnya, Movement for the Emancipation of the Niger Delta (Nigeria) dan Anti-Balaka militia (Central African Republic).
Model menyatu dengan masyarakat memiliki sistem kepemimpinan yang dinegosiasikan di antara berbagai otoritas dalam dan luar kelompok, pengambilan keputusan secara bersama dengan melibatkan tokoh berpengaruh, dan sifat otoritasnya karismatik. Contohnya kelompok-kelompok pejuang di Papua Nugini atau Kelompok Mai-Mai di Kongo.
Berbekal ketiga model itu, saya berpendapat TPNPB-OPM cenderung mengikuti model desentralistik: sistem kepemimpinan aktual berada di tangan komandan-komandan lapangan sesuai wilayah adat masing-masing, pengambilan keputusan ditentukan komandan-komandan itu dan bersifat karismatik, juga cair dalam perencanaan militer.
Dengan kata lain, model desentralistik memberikan pendasaran bahwa TPNPB bersifat terorganisir dalam kacamata hukum humaniter internasional. TPNPB berhak menyandang status ‘pihak yang berkonflik’ dan memiliki hak dan kewajiban untuk mematuhi HHI sama dengan pihak TNI. (Lihat Vite & Galino, 2024, “Decentralized armed groups: Can they be classified as parties to non-international armed conflicts?”)

Indikator kedua, TPNPB memiliki struktur komando di mana para komandan lapangan menentukan panglima tertinggi. Nama Goliat Tabuni selalu disebut sebagai panglima tertinggi di berbagai pernyataan TPNPB yang dikeluarkan sekurang-kurangnya selamat 25 tahun terakhir, sedangkan di tiap wilayah adat, masing-masing kelompok memiliki komandannya.
Struktur ini mirip dengan kelompok bersenjata di Myanmar yang berbasis etnis sehingga etnis Kachin memiliki Kachin Independence Army, etnis Karen memiliki Karen National Unity, dsb. Perbedaannya adalah kelompok-kelompok bersenjata Myanmar tidak menunjuk seseorang sebagai panglima tertinggi untuk seluruh kelompok-kelompok itu.
Indikator ketiga adalah penguasaan wilayah. Berbeda dengan situasi Mindanao, Filipina Selatan, di mana kelompok bersenjata seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Moro National Liberation Front (MNLF) menguasai wilayah secara penuh di wilayah yang sekarang di bawah Otoritas Bangsa Moro Muslim Mindanao (BARMM), penguasaan wilayah TPNPB di berbagai tempat di Papua berada di wilayah hutan yang sejauh ini tidak ditembus oleh pasukan TNI atau Polri. Sedangkan di wilayah penduduk, penguasaan wilayah TPNPB terbatas pada sejumlah kampung atau lokasi tertentu.
Indikator keempat adalah kemampuan melaksanakan serangan terkoordinasi yang terdokumentasikan oleh media. Misalnya pembobolan gudang senjata di Wamena pada 2003, serangan terhadap fasilitas Koramil Kisor di Kabupaten Maybrat pada 2021, atau serangan terhadap Pos TNI Intan Jaya pada 2025.
Indikator kelima adalah ada juru bicara TPNPB Sebby Sambom yang menjadi saluran komunikasi antara TPNPB dan publik. Keberadaan jubir menunjukkan TPNPB berbicara melalui satu suara meski setiap wilayah adat memiliki komandannya masing-masing.
Indikator keenam yang relevan adalah kemampuan mendapatkan senjata dan melakukan rekrutmen anggota baru. Liputan Project Multatuli, “Di Balik Bisnis Perdagangan Senjata Api di Papua” (2023), yang sumber datanya dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (2022), menyingkapkan realitas yang selama ini tersembunyi bahwa jalur perdagangan senjata sudah lama terbangun dan sebagian besar tidak terdeteksi hingga hari ini.
Dengan terpenuhinya indikator intensitas kekerasan dan organisasi kelompok bersenjata non-negara, TPNPB memenuhi syarat sebagai kelompok bersenjata terorganisir, dan konflik bersenjata di Papua telah memenuhi ambang batas sebagai konflik bersenjata non-Internasional.
Dengan fakta ada konflik bersenjata ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka, para pihak yang bertikai wajib menerapkan dan mematuhi hukum humaniter internasional.
Konsekuensi Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional
Dibandingkan perangkat HAM, hukum humaniter internasional tidak melarang para pihak terlibat dalam tindak permusuhan. Ruang ini dapat dimanipulasi oleh para pihak untuk mengelak dari tanggung jawab hukum saat melakukan serangan kepada pihak lawan dan ternyata mengenai sasaran sipil atau objek sipil dengan dalih dampak ikutan (collateral damage).
Namun demikian, dalam situasi nyata di lapangan di mana telah terjadi konflik bersenjata secara berkepanjangan dan tidak dapat dihentikan seketika oleh para pihak yang bertikai, hukum humaniter internasional (HHI) adalah perangkat terakhir yang menyelamatkan nilai kemanusiaan kita yang masih tersisa di medan pertempuran.
HHI mengikat secara universal semua pihak yang berkonflik, baik TNI maupun TPNPB, sehingga hanya boleh menyasar sasaran dan objek militer dari para pihak yang bertikai.
Pasal 3 kembar Konvensi Jenewa 1949 menjadi rujukan utama karena Indonesia belum meratifikasi Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban dalam konflik bersenjata non-internasional. Dengan demikian, baik TNI maupun TPNPB dilarang menyasar warga sipil dan objek sipil seperti terjadi selama ini. Dengan ada pengakuan para pihak yang berkonflik, serangan terhadap warga sipil dapat dihindari dan korban di pihak warga sipil dan objek sipil bisa diminimalisir.
Yang tak kalah penting sebagai konsekuensi pengakuan pemberlakuan HHI adalah kewajiban pihak-pihak yang bertikai untuk meninggalkan lokasi-lokasi pemukiman warga sipil, objek-objek sipil seperti sekolah, kantor distrik, gedung gereja, kebun-kebun masyarakat, atau dusun-dusun masyarakat, sehingga mereka tidak dapat dijadikan dalih sebagai dampak ikutan.
Selanjutnya, hukum kebiasaan HHI aturan no. 55 mewajibkan para pihak yang bertikai wajib memberikan akses yang cepat dan tak terhalang untuk penyaluran bantuan kemanusiaan bagi warga sipil yang terdampak.
Selanjutnya, aturan No. 56 mengatur para pihak yang berkonflik harus memastikan agar pekerja kemanusiaan, yang telah mendapatkan izin untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, memiliki kebebasan bergerak secara penuh untuk menjangkau warga sipil yang terdampak.
Dengan demikian lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Humanitarian Forum Indonesia, Palang Merah Indonesia, Komite Internasional Palang Merah, Medicine Sans Frontier, dan organisasi kemanusiaan lain dapat memobilisasi sumber daya mereka guna melakukan tanggap darurat secara bebas kepada seluruh warga terdampak.
Tidak hanya pengungsi di wilayah Kabupaten Intan Jaya, tapi juga seluruh kantung pengungsi sekarang di Papua sehingga kelumpuhan fasilitas-fasilitas sipil di seluruh Tanah Papua dapat dipulihkan.
Pengakuan pemberlakuan HHI menuntut pertanggungjawaban hukum terhadap para pihak yang berkonflik. Serangan-serangan terhadap warga sipil dan objek sipil perlu segera diinvestigasi oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Anak, dalam kacamata HHI agar warga yang terdampak mulai memiliki dan mengalami perlindungan hukum yang efektif.
Akhirnya, pemberlakuan HHI akan menjadi langkah pertama menuju jeda kemanusiaan yang baru segera setelah para pihak yang berkonflik bersepakat.
Jeda kemanusiaan dari paradigma HHI kiranya menjadi basis upaya-upaya perdamaian yang sudah dimulai sejak gerakan Papua Tanah Damai pada 2000-an, Jaringan Damai Papua pada 2010, dan Jeda Kemanusiaan yang dirintis Komnas HAM pada 2022. Semua upaya perdamaian dan dialog ini bisa dihidupkan kembali. Bukan pendekatan keamanan dan kekerasan.
Bagaimanapun pengalaman perundingan damai Patani di Thailand Selatan mengajarkan proses perundingan damai sejak 2013, meski belum mencapai kesepakatan damai, mampu menurunkan angka kekerasan bersenjata secara drastis.*
Budi Hernawan adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta