Babak Belur Aksi Anak Muda Dihajar Polisi di Bandung

Mawa Kresna
11 menit
Brutalitas Polisi
Ilustrasi Brutalitas Polisi (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Anak muda di Bandung jadi bulan-bulanan polisi dalam berbagai aksi demonstrasi. Saat May Day 2019 polisi menangkap 619 orang dan pada aksi penolakan Omnibus Law 2020, 288 orang melapor ke LBH Bandung karena mengalami kekerasan. Polisi menuding mereka sebagai anarko.


Ari (23), bukan nama sebenarnya, tidak bisa melupakan penganiayaan yang dialaminya saat mengikuti aksi May Day atau Hari Buruh, 1 Mei 2019 lalu. Hari itu ia bersama temannya datang ke Bandung mengendarai motor dari arah selatan Bandung untuk mengikuti aksi May Day. 

Sebelum berangkat aksi, ia meminta izin dulu pada ibunya, satu-satunya orang tua yang ia miliki setelah ayahnya meninggal ketika ia masih SMP. Ibunya bekerja sebagai buruh di pabrik garmen alias pakaian jadi.

“Hati-hati, jangan terlalu depan,” ujar Ari menirukan pesan ibunya.

Berbekal restu ibu, ia berangkat ke Bandung dengan semangat. Di dalam tas sudah disiapkan beberapa poster aksi Hari Buruh dan air minum. 

Sesampainya di Bandung, dia memarkirkan motornya di salah satu kampus. Bersama temannya, dia berjalan kaki, menuju Jalan Cikapayang, lokasi berkumpulnya sebagian massa aksi. Mayoritas peserta aksi berpakaian serba hitam. Sementara Ari memakai flannel, sangat kontras dengan massa. 

Selain di jalan Cikapayang, massa aksi juga berkumpul di Jalan Hasanudin, Jalan Dipatiukur, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Progo, Jalan Cimalaya, hingga Jalan Hayam Wuruk. Tujuan massa aksi adalah merapat ke depan Gedung Sate di Jalan Diponegoro, Bandung yang saat itu sudah dipenuhi elemen buruh.

“Tidak bisa ke Gedung Sate, sudah diblokir jalannya. Diputar-putar terus sama polisi. Ada yang seragam, ada yang dari Brimob, ada juga tim Prabu,” tutur Ari. 

Tim Prabu merupakan unit khusus di Kepolisian Resor Kota Besar Bandung yang dibentuk pada 2016 guna memberikan rasa aman bagi warga. Saat itu marak kejahatan yang disebut-sebut akibat aksi geng motor di jalanan. Sebagian publik mengenal tim ini lewat tayangan 86 di NET.TV.

Saat mencari akses ke Gedung Sate, Ari merasa pelan-pelan kelompok massa dipecah oleh polisi. Saat kepala barisan sudah melewati barisan polisi, maka ada petugas yang menyekat dan menyuruh barisan massa ke jalan yang lain. 

Ari juga sempat mengingatkan beberapa orang yang mencorat-coret dinding sekolah luar biasa untuk menghentikan aktivitasnya saat melintas di Jalan Singa Perbangsa. “Ga layak itu dicoret-coret,” kata Ari yang meneruskan jalan ke arah Dipatiukur. 

Saat menuju ke Jalan Dago atau Ir. H.Djuanda, Ari melihat ada truk polisi yang berjalan kencang di tengah jalan. Arahnya menuju ke massa. “Untung ga ada yang ketabrak,” ungkapnya. 

Brutalitas Polisi
Sejumlah polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat aksi penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Jalan Trunojoyo, Bandung pada Oktober 2020 lalu. (Project M/Adi Marsiela)

Tidak lama dari kejadian itu, Ari mendengar sirene polisi dari arah belakangnya. Massa tiba-tiba berlarian melewati Ari. “Saya ya jalan biasa sampai kesenggol yang lari dan jatuh. Tahu-tahu pas jatuh itu, ada polisi yang narik saya,” terang Ari.

“Ayo kamu ikut saya, ikut saya,” kata polisi berseragam yang menariknya. 

Ari melawan. Dia merasa dirinya tidak punya masalah kenapa harus ditarik polisi. 

Bukannya dilepaskan, polisi itu malah menantang adu jotos lalu melayangkan pukulan. Ari terpelanting ke arah empat polisi lain yang membawa tameng dekat situ.

“Polisi yang bawa tameng mungkin merasa saya menantang mereka. Langsung saja saya dipukuli dengan tameng sampai jatuh. Di situ masuk tongkat, kepala kena pukul, saya coba bangun,” tutur Ari.

Sembari menahan sakit, Ari bisa menghindar dari amukan polisi. Dia berlari ke Jalan Kyai Gede Utama. Sesekali dia melihat ke belakang untuk mengecek kondisi. Saat pandangannya kembali ke depan, Ari terkena sabetan dari depan pada tulang keringnya. 

Pukulan itu membuat Ari sempoyongan. Ia terus lari sambil menahan bersin. Begitu bersin, darah mengocor dari hidungnya.Click To Tweet

Ari tersungkur, badannya terguling. Tangannya menutupi kepala, kakinya dia tekuk ke arah perut untuk meredam pukulan polisi. Entah berapa banyak pukulan yang dia terima. Ari sempat bangun dan coba melawan kekerasan oleh polisi-polisi itu. Saat ada kesempatan dan celah terbuka, dia mencoba berlari lagi.

“Saat bangun, seperti ada yang mau main baseball, langsung kena (pukul) di muka, dari sana langsung lari lagi,” imbuh Ari. 

Pukulan itu membuatnya sempoyongan. Ia terus lari sambil menahan bersin. Begitu bersin, darah mengocor dari hidungnya. “Ada yang menggumpal, ada juga yang mengalir keluar terus, tangan dua-dua juga sudah merah dan basah (usai memegang hidung), mulai pusing,” terangnya. 

Teman Ari yang sedari awal datang bersamanya lantas membopongnya. Meski sudah kena pukulan dari polisi, temannya masih kuat dan lebih baik kondisinya dibanding Ari. Keduanya sempat tenang sejenak saat bertemu rombongan lain. 

Mereka membawakan air untuk Ari. Dia minum dan membasuh mukanya yang sebagian tertutup masker. Tidak lama, orang-orang yang ada di sana berlarian karena melihat tim Prabu. Ari coba berlari sembari dipapah temannya. 

Pelarian keduanya berakhir di sekitar Taman Panatayuda. Ari dan temannya memilih diam dan beristirahat di situ sebelum akhirnya polisi mengumpulkan banyak remaja berpakaian hitam di lokasi yang sama. Ia melihat mereka disuruh melucuti pakaiannya hingga tersisa celana dalam saja.

Ari yang masih mengenakan masker disamperi polisi, diminta membukanya, lalu dipukul hingga terjatuh. 

“Oh sudah babak belur, mau saya tambah bonyok lagi?” kata seorang polisi. 

Polisi menggeledah barang-barang bawaan para remaja yang ditangkap dalam kondisi setengah telanjang itu. Begitu ditemukan cat semprot, polisi mengambilnya lalu menyemprotkannya ke punggung para remaja itu, termasuk Ari. 

Polisi lalu mengangkut mereka ke mobil patroli. Sembilan orang sekali jalan. Mereka semua dibawa ke kantor Kepolisian Resor Kota Besar Bandung di Jalan Jawa. “Hanya pakai celana dalam saja,” kata Ari. 

Brutalitas Polisi
Sejumlah polisi berpakaian kasual meringkus seorang pengunjuk rasa di Gedung Sate, Bandung pada Oktober 2020 lalu. Sedikitnya dua ribu massa mahasiswa, pemuda, dan buruh menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh dan masyarakat. (Project M/Adi Marsiela)

Sesampainya di sana, Ari melihat ada rombongan remaja bercelana dalam yang disuruh turun dan berjalan bebek. Sebagian lagi ada yang disuruh berguling-guling di atas aspal di halaman kantor polisi. “Itu sekitar jam satu siang, lagi panas-panasnya,” tambah Ari.

Selama di kantor polisi, Ari beberapa kali meminta agar luka-lukanya ditangani. Polisi akhirnya mengabulkan keinginan Ari. Dia digiring ke klinik yang ada di markas itu. Ari merasa sangat direndahkan martabatnya karena polisi itu malah menepak-nepak kepalanya. Dia marah. 

“Diam pak, ga perlu nepakan kepala juga, biasa we, ga perlu begitu juga, da saya bukan bangsat,” kata Ari. 

“Ah, baru luka segitu juga, tidak ada apa-apanya,” jawab polisi itu.

Ari menanggapi lagi. “Penanganan (luka) itu gercep (gerak cepat),” tuturnya.

Saat di ruangan itu, Ari mengaku dirinya hanya dibersihkan lukanya. 

“Cuma begini saja pak? Dijawab sama polisinya, sudah diam saja, nanti juga kempes sendiri (benjol). Makin bonyok ini hati saya,” ujar Ari.

Kekesalan Ari semakin bertambah saat polisi menggunduli kepalanya. Bersama ratusan orang lainnya, Ari dicatat data dirinya oleh polisi. 

Memasuki waktu salat Ashar, polisi membagikan nasi bungkus. “Cuma saya makan tiga suap,” kata Ari. 

Saat hari mulai gelap, polisi memindahkan rombongan tersebut ke Markas Satuan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Barat di Jalan Sayang, Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Sebelum masuk ke truk, mereka diminta mengambil barang-barang dan memakai bajunya kembali.

Pengawalan buat rombongan itu kali ini oleh tentara. Penyiksaan kembali berlanjut. Ari jadi saksinya. 

“Ada yang disangka merokok, padahal itu supir. Dikiranya anak yang ada di situ, dihantam sama tentara, ada yang kena bagian punggung, ada yang kena gaplok. Ada juga yang anak tentara di situ, dihajar sama empat tentara di mobil. Chaos pisan di truk saya,” terang Ari. 

Selama perjalanan, tentara-tentara itu juga menakut-nakuti. Mereka bilang, perlakuan kepada rombongan yang mayoritas masih berusia belasan tahun itu akan lebih parah di markas Brimob. 

Sesampainya di Brimob, kata Ari, ada petugas kesehatan yang bertanya apa ada yang sakit atau tidak. Satu orang mengangkat tangan. 

“Memangnya kamu udah mau mati? Baru segitu aja. Kalau belum mau mati, ga usah mengacungkan tangan,” kata Ari menirukan perkataan petugas tadi. 

Polisi mengumpulkan mereka di satu ruangan besar, sekilas seperti aula. Di situ Ari baru tahu banyak orang yang nasibnya serupa. Sama-sama belum mencapai titik aksi May Day tapi sudah ditangkap dan disiksa sebelum dibawa ke markas polisi. 

Semasa di Brimob, polisi menanyai mereka satu persatu. Pertanyaan seputar identitas, asal daerah. “Tidak ada yang aneh-aneh. Dapat makan malam dan bisa ngambil HP yang sudah dikumpulkan sebelumnya sejak di Jalan Jawa,” tegas Ari.

Setelah menunggu berjam-jam, polisi baru melepaskan Ari sekitar pukul satu malam, 2 Mei 2021. “Yang sudah dijemput boleh keluar,” tutur Ari. 

Brutalitas Polisi
Seorang polisi berpistol menggiring seorang pemuda di kawasan gedung DPRD Jawa Barat di Bandung pada Oktober 2020 lalu. Polisi secara khusus mencegat mereka yang berpakaian hitam sebelum bergabung dalam aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja. (Project M/Adi Marsiela)

Kepolisian Resor Kota Besar Bandung di bawah Komisaris Besar Irman Sugema mencatat setidaknya ada 619 orang yang mereka tangkap pada May Day 2019 lalu. Sebagian besar di antaranya masih duduk di bangku sekolah. Dua orang jurnalis yang tengah meliput aksi kekerasan oleh aparat juga sempat jadi korban penganiayaan. Pengusutan kasusnya masih belum tuntas hingga saat ini. 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat saat itu, Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko menyebut orang-orang yang ditangkap dan berpakaian hitam-hitam itu bagian dari kelompok Anarko Sindikalis. 

Soal kelompok Anarko ini, Kabag Penum Divhumas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan polisi tidak mengincar satu kelompok tertentu. 

“Prinsipnya, Polri itu dapat menangani objeknya itu bukan kepada anarko tapi prosedur yaitu terhadap kasus-kasus kriminalitas, kasus kejahatan ya. Prosedurnya ketika kita menerima laporan kejadian/laporan polisi, tentu akan melakukan penyelidikan,” kata Ahmad Ramadan saat dikonfirmasi reporter Project Multatuli. 

Ahmad Ramadan beralasan aksi penangkapan kelompok berpakaian hitam dan kekerasan seperti yang dilakukan kepada Ari itu dilakukan untuk melindungi objek-objek di sekitar tempat aksi supaya tidak menjadi sasaran. 

“Mungkin ketika terjadi unjuk rasa yang mengarah kepada tindakan-tindakan yang brutal misalnya. Terkait dengan Tindakan-tindakan para pengunjuk rasa, bila diperkirakan dia membahayakan orang, bila diperkirakan dia akan merusak fasilitas umum, maka aparat kepolisan mengamankan,” katanya. 

Ari sempat berpikir memperkarakan penganiayaan yang terjadi pada dirinya. Dia tidak terima semua anak-anak muda yang mau mengikuti May Day dianggap sebagai perusuh dan pantas menerima penganiayaan. Namun hal itu urung dilakukannya. “Ibu khawatir nantinya jadi masalah, kasihan ibu. Jadi tidak dilanjut,” paparnya.

Koalisi Masyarakat Sipil Kota Bandung yang terdiri dari 10 organisasi mengecam tindakan aparat keamanan saat May Day 2019. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung saat itu, Willy Hanafi menyoroti tindakan sewenang-wenang aparat keamanan yang membubarkan paksa massa aksi secara membabi buta. Penangkapan, menelanjangi, menyuruh jalan jongkok, menggunduli, mengecat tubuh, serta mempermalukan massa aksi di depan umum merupakan perlakukan tidak manusiawi oleh polisi. 

Banyak pelanggaran yang dilakukan polisi. Mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil Politik, Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Penyampaian Pendapat di Muka Umum, hingga Undang-Undang Pers terkait penganiayaan dan penghalangan kepada jurnalis.

Brutalitas Polisi
Polisi menangkap sembilan pengunjuk rasa di Gedung Sate, Bandung pada Oktober 2020 lalu. Sedikitnya dua ribu massa mahasiswa, pemuda, dan buruh menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh dan masyarakat. (Project M/Adi Marsiela)

Apakah Ari kapok untuk turun ke jalan buat menyampaikan ekspresinya?

“Tidak,” tegas Ari.

Dia meyakini, demonstrasi atau aksi turun ke jalan sebagai salah satu cara untuk menyuarakan pendapatnya sebagai anak muda. Dia juga tidak sependapat dengan pernyataan-pernyataan yang memberi stigma pengacau kepada orang-orang berpakaian hitam di saat May Day. “Ngaco kalau bilang May Day hanya buat buruh,” ujarnya. 

Menurutnya, peringatan Hari Buruh seharusnya diikuti oleh banyak orang. Mereka bisa mewakili aspirasi kelas pekerja yang kerap dirugikan oleh kebijakan dari pemerintah dan perusahaan. Jika ada pelajar yang ikut menyuarakan hal itu, Ari memandangnya sebagai sebuah kewajaran. Bisa saja, pelajar itu anak buruh seperti dirinya. 

Saat ikut May Day 2019, Ari sudah setahun bekerja di perusahaan teknologi informasi. Dia merasa ada kebijakan yang kurang adil di kantornya. Gaji yang dia terima di bawah Rp3,7 juta, upah minimum Kota Bandung. 

“Apalagi sekarang di masa Covid-19, udah jauh dari UMK (upah minimum kota), kena potong juga,” tambah Ari. 

Jika ada yang perlu diperbaiki dari polisi, kata Ari, adalah slogan ‘Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat’.

“Mana bentuk mengayomi? Mana bentuk melindungi? Malah sebaliknya, menghantam, ngarusak masyarakat, jadi korban kekerasan mereka,” ujar Ari.

Alih-alih membenahi diri pasca-sorotan penanganan aksi May Day 2019, polisi kembali mengulangi perbuatannya. LBH Bandung mencatat dalam rangkaian aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020, setidaknya ada 288 pengaduan yang masuk lewat hotline mereka. 

Sebanyak 68 dari 288 pengaduan itu berkaitan dengan kekerasan dan perampasan yang menimpa peserta aksi, relawan medis, dan orang-orang yang kebetulan ada di lokasi aksi. Catatan ini melingkupi kejadian-kejadian di wilayah Jawa Barat. Mayoritas korbannya, lagi-lagi anak muda seperti Ari.


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Yayasan Kurawal.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
11 menit