Kota Surakarta mendapat predikat tertinggi dari Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan untuk kota yang melindungi hak anak sejak 2018. Sayangnya, tren perkawinan anak meningkat setiap tahun di Surakarta. Tren itu juga terjadi di Karanganyar yang masih dalam wilayah Solo Raya. Mirisnya praktik perkawinan anak justru menjauhkan hak dasar anak.
Jarum jam di dinding ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Kota Surakarta baru menunjukkan pukul 08.40 WIB, tapi ruangan tersebut sudah penuh. Pasangan muda-mudi ditemani orang tuanya memenuhi ruangan tersebut. Hari itu Senin, 14 Juni 2021 PA Kota Surakarta dijadwalkan menyidang lima permohonan dispensasi perkawinan.
Sidang permohonan dispensasi perkawinan hanya terjadi ketika salah satu atau kedua calon pengantin masih dalam usia anak. Dalam Undang-undang No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan batas usia seseorang bisa melakukan perkawinan adalah 19 tahun. Sebelumnya batas usia perkawinan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, perubahan tersebut dilakukan untuk mengurangi praktik perkawinan anak.
Pengeras suara PA Kota Surakarta memanggil Hartini, bukan nama sebenarnya, tepat pukul 09.00 WIB. Hartini bersama anaknya, Annisa, bukan nama sebenarnya, dan seorang anak laki-laki yang ditemani kedua orang tuanya memasuki ruang persidangan. Dalam ruangan 6 x 8 meter tersebut, hakim tunggal Sarsini sudah menunggu.
Tanpa toga persidangan dan berpakaian kantor biasa, Sarsini memulai persidangan dengan membacakan syarat permohonan dispensasi perkawinan yang sudah komplit. Syarat yang dimaksud antara lain: akte kelahiran, surat penolakan KUA, ijazah terakhir, dan surat keterangan hamil. Hartini tampak lega, sedangkan Annisa tanpa ekspresi mendengar hal tersebut.
Hanya dalam 30 menit persidangan selesai dengan keputusan permohonan dikabulkan. Separuh lebih persidangan hanya berisi nasihat hakim ke anak calon pengantin dan orang tua masing-masing. “Jadi orang tua masing-masing siap mendampingi secara materil dan nonmateril dalam pernikahan kedua anak ini ya,” pungkas Sarsini.
Majelis Hakim PA Kota Surakarta Ali Mahfud menyebutkan permohonan dispensasi perkawinan anak selalu meningkat. Terutama sejak 2019 ketika Undang-undang Perkawinan mengalami perubahan. Sementara itu, Ali menyebutkan selalu berpegang pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan.
“Termasuk hakim yang bertugas tidak diperkenankan memakai toga untuk menjaga suasana persidangan lebih nyaman dan santai bagi anak,” jelas Ali.
Namun ketika ditanya soal syarat surat keterangan psikologis anak yang mengajukan dispensasi perkawinan, Ali tidak memberlakukannya. Padahal dalam Perma Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Perkawinan, surat keterangan psikologis jadi syarat mengadakan persidangan.
Annisa tak sendirian. Per Juni 2021 setidaknya ada 77 permohonan dispensasi perkawinan, dibanding setahun penuh pada 2019 angkanya lebih tinggi. Sebelumnya, pada 2020 total 143 permohonan. Lalu pada 2019 dengan 70 dan 2018 terdapat 43 permohonan.
Tren peningkatan perkawinan anak dan banyaknya dispensasi perkawinan anak ini belum dijadikan permasalahan serius oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk segera ditangani. Sampai sekarang belum ada program dan kebijakan khusus yang ditelurkan untuk menangani permasalahan ini. “Sementara ini fokus kami pada kawasan bebas rokok untuk anak-anak,” ujar Reni Lestari Kepala Bidang Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Surakarta.
Kawasan bebas rokok untuk anak diprioritaskan karena untuk mempertahankan predikat Kota Layak Anak Utama. Sementara saat ditanya soal perkawinan anak yang menyebabkan hilangnya hak anak yang berbanding terbalik dengan visi kota layak anak, Reni bingung menjawabnya. “Perlu ada FGD dan kajian dulu untuk menentukan strategi mengatasinya,” jelasnya.
Gelar Kota Layak Anak Utama ini menafikan fakta perkawinan anak yang menurut banyak lembaga berdampak buruk pada anak. Misalnya, Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2018 menjelaskan dalam rumah tangga kawin anak, posisi anak perempuan rentan mengalami kekerasan domestik. Penelitian UNICEF 2012 juga menyebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun lima kali lebih berisiko meninggal pada saat hamil dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan berumur 20-24 tahun.
Penelitian itu bukan isapan jempol belaka, Dewi Surani nyaris menjadi korbannya. Ia nyaris kehilangan nyawanya saat melahirkan anak pertama pada usia 17 tahun. Dewi mengalami pendarahan saat melahirkan hingga dirujuk ke rumah sakit dan rawat inap seminggu untuk memulihkan kesehatannya.
“Waktu itu dokter bilang karena terlalu muda untuk melahirkan,” kata Dewi. Terlambat sedikit saja dilarikan dari bidan desa ke rumah sakit, jelasnya, nyawanya bisa melayang. Dewi menikah saat berusia 16 tahun dan masih duduk di kelas X SMA negeri Karanganyar, Jawa Tengah.
Kondisi di Karanganyar yang masih sama-sama dalam wilayah Solo Raya, tidak jauh berbeda dengan di Surakarta. Sejak 2018 tren perkawinan anak di Karanganyar meningkat drastis. Data Pengadilan Agama (PA) Karanganyar menunjukkan 78 permohonan dispensasi perkawinan pada 2018 yang meroket jadi 124 pada 2019. Kemudian di tahun 2020 angkanya makin mengkhawatirkan, yaitu 303. Sedangkan per Juni 2021 sudah ada 157 permohonan dispensasi, lebih tinggi dibanding setahun penuh pada 2019.
Muh. Wahid Jatmika Panitera Muda PA Karanganyar bilang permohonan dispensasi perkawinan karena terhalang syarat umur hampir semuanya diterima. “Syaratnya mudah dan alasanya kebanyakan diperhitungkan untuk diterima seperti kehamilan tidak direncanakan,” ungkapnya. Menurut Wahid pasangan dalam perkawinan anak jika tidak dinikahkan akan banyak resiko buruk yang terjadi.
“Misalnya anak perempuan akan melahirkan anak tanpa bapak, sedangkan untuk yang tidak hamil lebih berisiko melakukan zina karena mungkin waktunya menikah” terang Wahid.
Saat ditanya soal akibat buruk perkawinan anak yang menyebabkan permasalahan kesehatan, ekonomi, hingga pendidikan yang mestinya menjadi hak dasar anak, Wahid tak menampiknya. Namun, Wahid tetap pada penelitiannya bahwa perkawinan anak jadi solusi untuk beberapa permasalahan, terutama kehamilan tidak direncanakan. “Untuk akibat buruk seperti kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan, kami selalu menasehati dan menantang orang tua anak untuk tetap memperhatikan dan membantu memenuhi kebutuhan anak meskipun sudah berkeluarga” jelasnya.
Nasihat Wahid itu tidak berlaku buat Dewi yang sudah enam tahun ini bekerja sebagai pedagang angkringan sembari mengasuh anaknya.
“Kalau panas (anaknya) sering nangis, pengap ra gelem (tidak mau) digendong,” katanya mengeluh sambil membuatkan es teh untuk pelanggan. “Sejak nikah itu udah tak sekolah, terus buka angkringan sama suami” ujarnya.
“Waktu itu nikah karena diminta orang tua, untuk mengurangi bebannya,” jelas Dewi mengenang kedua orang tuanya yang sudah tiada. Ia adalah anak terakhir dari lima bersaudara. Kondisi orang tuanya yang sudah sakit tak mampu menghidupinya. Padahal sekolah memberikan beasiswa sampai ia lulus.
“Sekarang kondisi ekonominya sama aja kayak dulu, bedanya sekarang jadi orang tua dulu jadi anak,” terang Dewi. Bukannya selamat dari masalah ekonomi, Dewi makin terperosok dalam kemiskinan. Bahkan lebih parah, dulu ia tinggal di rumahnya sendiri dan kini di sepetak kost bersama dua anak dan suaminya di Colomadu, Karanganyar.
Program Gagal Jo Kawin Bocah
Baik di Surakarta dan Karanganyar keduanya menggantungkan masalah perkawinan anak ini lewat program Jo Kawin Bocah milik pemerintah provinsi Jawa Tengah. Pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kabupaten Karanganyar tak memiliki program sendiri.
Agam Bintoro Kepala Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan Karanganyar melihat solusi tingginya perkawinan anak di daerahnya dengan mengikuti instruksi provinsi. “Jawa Tengah punya program Jo Kawin Bocah, sementara kita ikut itu dulu” ujarnya. Dalam kebijakan tersebut, Agam menjelaskan, setidaknya ada tiga program yaitu: Bina Keluarga Remaja (BKR), Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja (PIK-R), dan Duta Generasi Berencana (Genre).
Semua program tersebut menyasar remaja. “Gunanya memberi wadah edukasi dan konseling bagi remaja karena mereka ujung tombak mengatasi permasalahan ini,” terang Agam. Menurutnya ketika remaja mengetahui resiko dan cara-cara menghindari perkawinan anak masalah akan terselesaikan.
“Program-program itu berjalan dengan baik,” klaim Agam. Namun, ketika ditanya mengapa tren perkawinan anak masih terus meningkat, Agam mengaku bingung.
Agam menjelaskan bahwa mereka tengah mempersiapkan peraturan bupati untuk permasalahan ini.
“Sedang di tahap FGD dengan mengundang lembaga-lembaga lain untuk memberikan masukan terhadap rencana peraturan tersebut,” ungkap Agam. Sayangnya, Agam tak mau menjelaskan lebih rinci bagaimana peraturan tersebut menyelesaikan permasalahan perkawinan anak karena belum disahkan.
Soal akar masalah tingginya perkawinan anak, menurut Agam, karena sosialisasi masih minim. “Terutama setelah perubahan undang-undang perkawinan, belum banyak masyarakat yang tahu syarat usia dinaikkan” katanya. Padahal lewat program BKR, PIK-R, dan Genre, sosialisasi terus dilakukan. Lalu saat ditanya indikator sosialisasi yang dimaksud Agam minim, ia bingung menjelaskan.
Reni Lestari sependapat dengan Agam. Ia bilang penyebab utama tren peningkatan perkawinan anak di Surakarta karena minimnya sosialisasi. “Dari sosialisasi perundangan perkawinan, sosialisasi akibat buruk perkawinan anak, dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak,” kata Reni.
Ditanya soal indikator minimnya sosialisasi dalam kuantitas atau kualitas yang terukur, Reni juga tak bisa menjelaskan sama seperti Agam. Sedangkan lambannya penanganan tren perkawinan anak, jelas Reni, dikarenakan tidak ada tindak lanjut setelah perubahan undang-undang perkawinan. Sementara koordinasi dengan dinas terkait, misal, Dinas Pendidikan, Kesehatan, atau Sosial soal permasalahan ini, Reni menyebut belum ada.
Masalah Multisektor
Dalam buku “Berbagi Ruang Berbagi Peran” terbitan Rifka Annisa 2016, dituliskan oleh Muhammad Thanthowi Koordinator Advokasi 2013 – 2017 bahwa perlu ada tolak ukur lengkap dengan rencana program yang jelas untuk menghapus perkawinan anak. Sehingga masyarakat luas dapat berpartisipasi secara maksimal dan berbagai stakeholder dapat ambil peran sesuai fungsinya.
Thanthowi menjelaskan untuk mengefektifkan rencana program dan tolak ukur penghapusan perkawinan anak perlu kekuatan hukum yang mengikat. Bisa berupa peraturan daerah atau peraturan bupati. Setidaknya dengan legalitas tersebut menunjukkan komitmen pemerintah daerah mengatasi masalah ini. Selain itu untuk mengintegrasikan program antar dinas karena perkawinan anak adalah masalah multisektor.
Dalam pengalaman mendampingi pemerintah daerah di Gunungkidul dan Rembang, Nurmawati Kordinatar Advokasi Rifka Annisa 2017 – 2020 menjelaskan solusi perkawinan anak bukan hanya sosialisasi. “Lebih dari sosialisasi, solusinya adalah integrasi pendidikan kritis untuk masyarakat dari semua level,” jelasnya. Tidak hanya pada anak tapi pada semua orang.
“Pendidikan kritis ini dilakukan dengan segala macam bentuk dari informal, nonformal, dan formal,” terang Nurmawati. Caranya bisa dengan pendekatan budaya, seni, hingga agama. Melalui obrolan sehari-hari di pos ronda, pertemuan PKK, hingga pengajian. Sehingga dimensi kultural dan struktural saling mendukung untuk menghapus perkawinan anak.
Integrasi program, menurutnya menjadi kunci utama. “Karena perkawinan anak bukan hanya masalah sektor tertentu, misalnya hanya perlindungan anak, tapi juga menyangkut kesehatan, pendidikan, hukum, hingga ekonomi,” jelasnya. Sehingga harus ditangani bersama-sama tanpa ego sektoral.
Selama mendampingi Pemda Gunungkidul dan Rembang, Nurmawati menghadapi masalah ego sektoral dan kurangnya perspektif gender dari birokrasi. Dua hal tersebut mempengaruhi perencanaan program dan kebijakan Pemda. “Jadinya harus beresin birokrasi dulu, bikin pelatihan pengarusutamaan gender dalam pembentukan kebijakan kalau tidak ya jalan di tempat,” bebernya.
Sedangkan akibat yang ditimbulkan perkawinan anak multisektor. Dari kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, hingga stunting pada bayi dalam perkawinan anak. “Terutama risiko yang dihadapi anak perempuan karena stigma buruk yang ditempelkannya,” ungkap Nurmawati.
Jika tak tertangani karena dua masalah internal tersebut, jelas Nurmawati, banyak masalah lain akan muncul dan pemerintah sendiri yang kewalahan. “Maka penting sekali mengatasi ini dengan bersama-sama dengan berpegang teguh pada prinsip gender,” serunya.
Lingkaran Setan Kemiskinan
Sementara itu Dewi menunggu pembeli angkringannya sambil was-was dengan kondisi kesehatan anaknya. Pasalnya akhir-akhir ini anaknya sering batuk tak kunjung sembuh, “Sejak bayi ikut jualan jadi sering kena asap kendaran pinggir jalan angkringan” ungkapnya.
Dewi tak punya pilihan lain karena tak ada yang menjaga anaknya selain dirinya. Omongan tak mengenakkan orang lain tentang dirinya sudah biasa ia terima. Beban gandanya sebagai ibu dan pekerja memaksanya demikian.
“Sekarang yang penting membesarkan anak sekuatnya-semampunya, paling tidak biar tidak seperti saya,” pungkasnya.
Dewi membayangkan andai tak menikah pada usia anak, ia dapat menyelesaikan sekolahnya dan mendapat pekerjaan yang lebih mapan.
Bagi Dewi, lakonnya sebagai seorang ibu dan istri terlalu dini yang kini baru berumur 22 tahun. Anak pertamanya sudah masuk SD, anak keduanya tahun depan masuk TK. “Makin kesini tambah pusing, karena anak sudah mulai banyak kebutuhan terus kemampuan ekonomi begini saja,” jelasnya.
Untuk itu, kini cita-cita Dewi cuman satu: jangan sampai anaknya menikah pada usia anak. “Biarkan sekolah selesai dulu, bekerja dulu, dan banyak pengalaman biar tidak seperti saya terutama anak terakhir yang perempuan” ungkapnya.
Nasib seperti itu yang kini berada di depan mata Annisa. Usai mendapatkan persetujuan dari pengadilan Annisa menangis saat keluar pintu ruang sidang. Masker yang ia kenakan tampak basah.
“Soalnya masih pingin sekolah,” ujar ibunya. Annisa baru naik bangku ke kelas XII SMK, sayangnya kelas terakhir sekolah menengahnya tersebut tak dapat ia selesaikan. Awal Juli ini ia harus berganti status sebagai ibu rumah tangga.
“Memang keputusan sulit, kondisi mengharuskan seperti ini,” ujar Hartini. Meskipun berpisah Kartu Keluarga, Hartini akan tetap membantu Annisa, terutama soal ekonomi.
Liputan ini merupakan hasil Fellowship yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI Mataram) bersama Plan Internasional Indonesia dan dimentori oleh Luviana.