MENGAWALI tahun 2022, pemerintah mengumumkan kebijakan yang efek riuhnya menjalar tak hanya di dalam negeri tetapi hingga ke negara-negara pelanggan batubara Indonesia.
Kala itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melarang semua perusahaan penambang batubara mengekspor hasil produksinya keluar negeri dengan alasan Indonesia tengah terancam krisis pasokan batubara. Jika pasokan tidak segera terpenuhi, maka sebanyak 20 pembangkit terancam tidak beroperasi yang berakibat pada pemadaman bagi sekitar 10 juta pelanggan listrik.
Indonesia masuk dalam lima besar negara penghasil batubara terbesar di dunia. Produksi per tahunnya bisa mencapai lebih dari 600 juta ton batubara, sementara kebutuhan untuk pembangkit listrik di dalam negeri kemungkinan hanya berkisar sepertiga dari total itu.
Kemudian mengapa Indonesia mengalami kekurangan pasokan sementara yang dihasilkan begitu melimpah?
Pemerintah mengatakan penyebabnya pada kepatuhan perusahan batubara menjalankan kewajiban menyetorkan 25% dari total produksi tahunan atau yang kemudian dikenal dengan istilah domestic market obligation (DMO).
Selama bulan Januari, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pembangkit listrik swasta atau independent power producer (IPP) membutuhkan sekitar 5,1 juta ton batubara untuk mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mereka. Akan tetapi, pasokan batubara yang seharusnya cukup untuk mengamankan minimal 20 hari masa operasi pembangkit, hanya terpenuhi kurang dari 1%.
Alhasil, langkah tegas untuk melarang ekspor selama bulan Januari pun diambil.
Perusahaan batubara dalam negeri kelabakan. Sejumlah perusahaan besar menyatakan force majeure atas larangan ekspor. Salah satu produsen batubara terbesar Indonesia, PT Bayan Resources Tbk (BYAN), mengaku harus menelan kerugian karena kebijakan pelarangan. Estimasi kerugiannya mencapai $260 juta atau setara Rp3,72 triliun.
Tak sampai di situ. Larangan ekspor juga menjadi gelombang kejut bagi negara-negara importir batubara Indonesia. Tidak kurang tujuh negara melayangkan protes. Empat di antaranya menjadi bagian dari sepuluh besar negara tujuan ekspor batubara Indonesia yakni Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia.
China dan India yang menempati dua teratas negara tujuan ekspor ikut ketar-ketir meski tidak protes terbuka. Kedua negara yang menolak kesepakatan untuk menghentikan penggunaan batubara pada Konferensi Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada November tahun lalu itu, memilih menaikkan produksi batubara dalam negeri mereka.
China sepertinya bersikap lembut kepada Indonesia, mungkin demi menjaga hubungan baik dengan salah satu mitra strategisnya di Asia Pasifik dan menghormati kontrak dengan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) untuk ekspor batubara senilai $1,46 miliar atau setara Rp20,4 triliun selama tiga tahun sejak 2021.
Kebijakan DMO pertama kali diberlakukan pada 2010, awalnya menyasar untuk beberapa perusahaan saja. Delapan tahun setelahnya, pemerintah meluaskan jangkauan DMO untuk seluruh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tahap operasi produksi.
Seturut dengan perluasan kebijakan itu, Kementerian ESDM juga mengatur harga acuan batubara (HBA) yang menjadi nilai maksimal bagi PLN untuk membeli dari penambang batubara di angka $70 per ton. Hanya saja, sejak ditetapkan pada 2018, HBA masih tak berubah meski harga batubara pasar global melonjak drastis.
Di sisi lain, pelanggaran DMO oleh perusahaan bersamaan dengan melejitnya harga batubara. Sepanjang 2021, rata-rata harga acuan batubara yang berlaku di pasar global berada pada rentang $108,97 hingga $215 per tonnya. Angka itu naik dua sampai tiga kali lipatnya dibandingkan pada periode 2019-2020.
Maka alamiah bila perusahaan tergiur untuk fokus ke pasar global karena harganya jauh lebih menguntungkan dibandingkan nilai beli PLN. Ketika itulah terjadi moral hazard dari para penambang dimulai pada pertengahan tahun dan puncaknya terjadi pada awal 2022.
Sinyal ketidakpatuhan atas DMO sebetulnya sudah terlihat sejak pertengahan 2021, sehingga muncul larangan ekspor batubara bagi 34 perusahaan. Namun, melonjaknya harga batubara tidak membuat sanksi larangan dan denda tidak menimbulkan jera. Dengan pendapatan jumbo, membayar denda jadi urusan kecil.
Maka dengan mengabaikan kewajiban DMO, mereka berduyun-duyun mengirim batubara ke luar negeri, ke negara-negara yang ekonominya mulai bangkit dari pandemi dan memiliki ketergantungan pada energi fosil ini untuk menyalakan listrik di pabrik-pabrik serta pemanas musim dingin.
Puasa dari Candu Perekonomian
Pemerintah Indonesia punya ketergantungan yang tidak wajar dengan sumber energi yang tak bisa diperbarui ini. Potensi cuan dari komoditas emas hitam ini memang tak terkira.
Sepanjang 2021, Indonesia mengekspor 315,69 juta ton atau sekitar 65% dari total produksi nasional. Porsi yang menggiurkan bagi devisa negara. Pemerintah pun berambisi menaikkan porsi itu dengan menggenjot target produksi nasional pada tahun ini menjadi 663 juta ton, eksploitasi terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.
Padahal cadangan batubara Indonesia juga tidak kompetitif. Indonesia berada di urutan keempat setelah China, India, dan Amerika Serikat untuk cadangan batubara. Terlebih cadangan itu pada akhirnya akan habis dan tidak bisa diperbarui lagi.
Melalui kenaikan produksi, Indonesia membidik pertumbuhan PLTU seperti halnya di China yang baru saja mengoperasikan PLTU 1.000 MW di wilayah barat laut Inner Mongolia serta Pakistan dalam program China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Nilai ekspor batubaranya diduga bisa mencapai $1 miliar.
Ketergantungan negara pada batubara telah menjadi candu yang menutup peluang pendapatan lain yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Mineral dan batubara memberi kontribusi hingga 16,5% atau setara Rp75,16 triliun dari total Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai Rp452 triliun. Kontribusi itu melebihi target yang dipasang pada angka Rp39,1 triliun.
Maka larangan ekspor menjadi pertaruhan besar bagi Indonesia di tengah terkontraksinya ekonomi akibat pandemi.
Negara rela berpuasa dari cuan batubara yang amat candu selama masa pelarangan. Hitungan kasarnya, potensi hilangnya devisa negara selama pelarangan ekspor bisa mencapai $3 miliar atau setara Rp42,9 triliun. Belum lagi potensi kehilangan PNBP dan pajaknya.
Perusahaan batubara masuk ke golongan penyumbang pajak terbesar negara. Sebagai contoh, PT Adaro Energy Tbk membayar royalti dan pajak penghasilan hingga $510 juta atau setara Rp7,29 triliun selama periode Januari-September 2021.
Pemerintah juga punya risiko lain berupa isu diplomatik yang mungkin timbul dari protes negara tujuan ekspor batubara seperti Jepang yang terang-terangan memprotes larangan ekspor. Belum lagi isu neraca perdagangan antarnegara dan stabilitas nilai rupiah yang menjadi pertaruhan.
Beragam isu yang berkelindan pasca-pengumuman pelarangan itu yang tampaknya menggoyahkan ketegasan pemerintah. Diskresi pun muncul. Pintu ekspor yang awalnya tertutup amat rapat, perlahan dibuka dengan kunci pengecualian.
Baru empat hari setelah larangan berlaku, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, provinsi yang menghasilkan 50% batubara dan sekaligus menjadi hub arus pengiriman barang, menyatakan 25 perusahaan dapat izin untuk mengekspor.
Pemprov Kaltim tentu ikut merasakan candunya batubara tetapi menyadari keterbatasan mereka dalam pembuatan keputusan. Larangan ekspor setidaknya juga melibatkan dua kementerian di luar ESDM. Keduanya adalah Kementerian Perdagangan yang berwenang atas izin eksportir terdaftar, dan Kementerian Perhubungan yang mengatur izin berlayar.
Tanpa restu ketiganya, keinginan Pemprov Kaltim membuka ekspor hanyalah sebuah prolog munculnya diskresi izin ekspor di tengah larangan.
Kejanggalan Diskresi
Bila Kementerian ESDM mengumumkan pelarangan ekspornya, maka Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) yang kemudian mengumumkan bahwa kebijakan itu negotiable.
Berselang dua pekan setelah pelarangan, Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan menggunting pita larangan ekspor bagi 37 kapal dari 21 perusahaan tambang dengan total volume 5,72 juta ton batubara–kendati hanya 18 kapal di antaranya yang jadi berangkat karena pemegang IUP dan PKP2B-nya telah memenuhi syarat DMO.
Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Kideco Jaya Agung, Bukit Asam, Ganda Alam Makmur, Bayan Resources, Bara Tabang, Adaro Indonesia, dan Gunung Bara Utama. Kapal-kapal mereka umumnya menuju negara-negara pelanggan batubara seperti Thailand, China, Bangladesh, Korea Selatan, Singapura, Jepang, Filipina, India, Vietnam, dan Hong Kong.
Setelahnya, berturut-turut izin diberikan dengan alasan perusahaan batubara sudah patuh syarat DMO. Pada 19 Januari, terdapat 48 kapal kargo batubara dari 29 perusahaan tambang dapat izin ekspor kembali. Sehari setelahnya, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, menyatakan total izin kapal kargo naik menjadi 75 dari total 139 perusahaan yang diklaim telah memenuhi 100% DMO untuk tahun 2021.
Penetapan ke-139 perusahaan merujuk pada surat Dirjen Minerba Nomor T-276/MB.05/DJB.B/2022 tanggal 20 Januari 2022 tentang pencabutan pelarangan penjualan batubara ke luar negeri.
Bersamaan pelepasan ratusan perusahaan, rupanya ada 12 kapal dari perusahaan yang belum memenuhi DMO juga diizinkan. Alibi kementerian perusahaan itu sudah menyampaikan surat siap kena sanksi denda dan akan memenuhi DMO. Ditambah sembilan kapal dari perusahaan perdagangan (traders) dapat izin dengan dalih mereka bukan perusahaan batubara, sehingga tak ada kewajiban DMO.
Pangkal pengecualian larangan 12 kapal di atas dan 139 perusahaan adalah kehadiran Kepmen ESDM No 13.K/HK.02/MEM.B/2022 tanggal 19 Januari 2022 tentang Pedoman Pengenaan Sanksi Administratif, Pelarangan Penjualan Batubara Ke Luar Negeri dan Pengenaan Denda Serta Dana Kompensasi Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri.
Kepmen itu memuat syarat pencabutan larangan ekspor yang tergolong mudah bagi pemain tambang besar, yakni menyertakan surat komitmen memenuhi DMO dan membayar denda.
Tentang pemenuhan DMO dari perusahaan mana saja, rupanya dinamis, untuk tidak mengatakan tertutup bagi publik, meski kenyataan demikian.
Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian ESDM, yang turut terkonfirmasi oleh pernyataan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, menunjukkan per 1 Januari 2022, terdapat 418 atau 68,18% dari 613 perusahaan dengan yang sama sekali tidak mematuhi DMO.
Perusahaan dengan DMO lebih dari 100% sebanyak 93 atau 15,17%. Data tersebut terus diperbarui, hingga pada 20 Januari, muncul 139 perusahaan yang dinyatakan sudah memenuhi DMO.
Kami menemukan adanya perubahan yang cukup drastis terkait data kepatuhan perusahaan tambang atas DMO. Temuan itu menunjukkan dari 139 perusahaan yang diklaim Kementerian ESDM memenuhi DMO 100% per 20 Januari, sebanyak 17 di antaranya memiliki capaian DMO nol persen pada 1 Januari.
Kemudian, ada dua perusahaan DMO masing-masing 19% dan 37%, dan tujuh lainnya DMO 60-87% per 1 Januari, lalu berubah menjadi 100% berselang sekitar tiga pekan setelahnya.
Perubahan data tanpa adanya transparansi dari Kementerian ESDM memicu kecurigaan kebijakan diskresi larangan ekspor hanya ditujukan bagi perusahaan batubara tertentu, alih-alih menerapkannya secara akuntabel dan setara.
Kini setelah keran ekspor batubara telah dibuka sepenuhnya. Akan tetapi, krisis pasokan seperti Januari lalu bukan tidak mungkin kembali terjadi ketika pemerintah tidak tegas dalam menerapkan aturan. Inkonsistensi terhadap aturan adalah pangkal dari masalah dari ketidakpatuhan.
Di sisi lain, sudah saatnya juga pemerintah meninggalkan batubara sebagai energi primer dan beralih ke energi terbarukan untuk menghasilkan listrik. Batubara tidak bisa lagi menjadi candu bagi pertumbuhan ekonomi karena emas hitam itu pada suatu ketika akan habis dan tidak bisa terbarukan.
Ahmad Ashov Birry menjabat sebagai Direktur Program Trend Asia dan Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia.