Beberapa hari setelah polisi mengepung Desa Wadas pada 8 Februari 2022, kita menyaksikan bagaimana pertunjukan bahasa dan kekuasaan melalui permainan kata-kata kunci tertentu sedang dioperasikan oleh pihak-pihak lebih berkuasa untuk mengecilkan penolakan warga Wadas atas rencana tambang andesit di desa mereka.
Pejabat-pejabat publik bahkan turut menyangkal kesaksian versi warga mengenai apa yang terjadi hari itu. Salah satunya adalah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang mengatakan tidak benar situasi di Desa Wadas mencekam, juga tidak benar ada kekerasan. Belakangan Mahfud menyebutnya “sempat ada gesekan”.
Perkara main kata ini bukan sekadar ceplosan kosong, tapi adalah perkara serius.
Pada 1996, penerbit Mizan menerbitkan sebuah buku berjudul Bahasa dan Kekuasaan. Buku itu berisi kumpulan tulisan dari 14 pemikir, tiga di antaranya adalah almarhum Daniel Dhakidae, Jalaluddin Rakhmat, dan Benedict Anderson, tentang bagaimana Orde Baru menguasai bahasa untuk mengukuhkan kekuatan negara.
Dua kutipan “highlight” dari beberapa tulisan dalam buku tersebut yakni:
“Jika benar kontrol bahasa secara terlembaga penting bagi pembentukan dan pengukuhan kekuatan negara, khususnya negara yang anti-rakyat, maka bisa dibayangkan gejala itu menonjol pada negara yang berwatak totalitarianisme,” tulis Ariel Heryanto.
“Demokrasi hanya mungkin kalau kita mampu mengadakan sesuatu debunking secara ideologis gejala-gejala berbahasa sebagai cetusan permainan kekuasaan. Membongkar semuanya itu adalah suatu jalan kecil menuju demokrasi, karena demokrasi tidak lain dari adanya suatu political communication antara pihak-pihak yang setara, atau menganggap dirinya setara,” tulis Daniel Dhakidae.
Apa yang diungkapkan Ariel dan Daniel inilah yang sekarang tergambar dalam konflik di Wadas. Dalam hari-hari ekskalasi kekerasan di Wadas meningkat, kita bisa membaca “cetusan permainan kekuasaan” dan narasi dikendalikan oleh pihak yang berkuasa itu dalam berita di harian Kompas, Jawa Pos, surat pernyataan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, serta ucapan-ucapan pihak kepolisian dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di berbagai media.
“Cetusan permainan kekuasaan itu” adalah respons setelah suara warga yang menolak menggema keras di media-media, terutama media sosial, yang menunjukkan ada kekerasan negara atau konflik vertikal antara warga dan negara, terutama kepolisian.
Vertikal Jadi Horizontal
Pada 8 Februari 2022, polisi masuk ke Desa Wadas, menangkap puluhan warga yang menolak tambang. Video dan kesaksian warga yang menolak tersebar melalui akun-akun media sosial juga dari kuasa hukum warga yang menolak, LBH Yogyakarta.
Dalam peristiwa itu ada dua aktor utama: warga yang menolak vs polisi sebagai representasi negara. Ini adalah konflik vertikal, menurut warga yang menolak.
Tapi, narasi ini segera “dijatuhkan” atau “direbahkan” dari vertikal menjadi horizontal.
Hari Rabu, 9 Februari, halaman pertama harian Kompas, harian nasional terbesar di Indonesia, memuat berita di sebuah kotak kecil yang bersambung. Judulnya, “Harmoni di Wadas Buyar Saat Semua Merasa Benar”. Ada enam kode penulis di akhir berita ini, tapi untuk menjelaskan situasi lapangan, Kompas memilih mengutip Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi yang menyangkal ada “represi” dan mengklaim polisi memenuhi halaman masjid untuk “melindungi warga pro penambangan yang berlari menyelamatkan diri dari amuk kelompok kontra.”
Dengan kekuasaannya sebagai harian terbesar, Kompas dengan cukup efektif menggeser konflik vertikal—-sebagaimana yang disuarakan warga yang menolak tambang—-menjadi konflik horizontal antar warga. Editor juga memilih untuk mengutip polisi, dan menyematkan kata “amuk” pada warga yang menolak tambang.
Hasil penelusuran lapangan di Desa Wadas oleh jurnalis lepas Project Multatuli, Bambang Muryanto, menemukan tidak ada kekerasan fisik antar warga yang pro dan kontra di hari Selasa, 8 Februari. Bambang mengatakan hal ini kepada saya pada 15 Februari 2022 setelah berhari-hari berada di Desa Wadas.
Pada hari yang sama, PBNU mengeluarkan surat pernyataan yang bisa dikatakan mengirim pesan campur aduk atau “mixed signal”. Di beberapa poin PBNU secara halus menegur polisi untuk menggunakan pendekatan humanis, juga menyebut-nyebut keadilan bagi rakyat, tapi di sisi lain, PBNU mengatakan “mengimbau pada semua pihak agar mengedepankan persaudaraan” dalam menyelesaikan permasalahan. PBNU juga “menganjurkan kepada seluruh warga NU di Desa Wadas agar dapat menahan diri serta memperbanyak zikir dan taqarrub pada Allah.”
Pernyataan ini mengisyaratkan ada persaudaraan yang terganggu di Desa Wadas, juga ada warga NU di Desa Wadas yang sempat tidak dapat “menahan diri” sehingga mengganggu persaudaraan itu.
Sikap PBNU sebagai satu organisasi memang tidak sepenuhnya sama dengan para tokoh yang ada dalam organisasi tersebut. Ada beberapa pentolan NU seperti para aktivis Gusdurian yang aktif di Twitter yang tidak menggunakan narasi konflik horizontal, dan tidak mengabaikan konflik antara warga dan negara di Desa Wadas.
Warga yang Menolak = ‘Amuk’, Tak Bisa ‘Menahan Diri’, ‘Petentengan’, Negatif
Masih pada hari Rabu, 9 Februari, Gubernur Ganjar datang ke Desa Wadas. Humas Pemprov Jateng menuliskan laporannya di portal resmi provinsi, berjudul “Jaga Kerukunan, Gubernur Ganjar Temui Warga Desa Wadas”. Isi rilis humas kebanyakan tentang dialog antara Ganjar dan warga yang pro, yang sempat mimpi mau beli “mobil mewah” dengan uang “ganti untung”.
Yang menarik, ada lagi kata-kata kunci yang mirip dengan Kompas dan PBNU yang dikatakan Ganjar: “Sing penting rukun ya, ada yang setuju, ada yang tidak setuju tidak apa-apa. Yang penting rukun. Kalau rukun kan enak, agar persaudaraan nanti tidak gontok-gontokan. Saling menghormati dan menghargai saja, ora usah dha petentengan (tidak perlu marah-marahan),” katanya.
Saya tidak mengatakan ini konspirasi, tetapi yang pasti, sehari setelah kejadian penangkapan 67 warga penolak tambang, para pihak yang punya kuasa besar ini, kompak dengan narasi bahwa konflik yang terjadi di Wadas bukan vertikal antara negara (polisi, Pemprov Jawa Tengah, Kementerian Pekerjaan Umum) dengan warga yang menolak, tapi konflik antar warga yang merusak persaudaraan, harmoni. Siapa yang merusak harmoni ini? Ya itu, warga yang menolak tambang yang “amuk”, yang tak bisa “menahan diri”, yang “petentengan”.
Berita tanggal 14 Februari yang diterbitkan Jawa Pos, juga salah satu media terbesar di Indonesia, mempertebal narasi ini. Judulnya, “TNI-Polisi Beri Psikoedukasi Agar Warga Wadas Bisa Berpikir Positif”. Sumber berita ini adalah polisi. Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol M Iqbal Alqudusy mengatakan konselor dari Polres Purworejo memberikan “psikoedukasi” kepada warga “agar warga senantiasa termotivasi untuk berkarya dan berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari.”
Pergeseran narasi dari vertikal ke horizontal, dan pelabelan warga yang menolak, ini juga dibarengi gempuran penyangkalan bahwa tak ada tanda-tanda kekerasan negara pada 8 Februari tersebut. Salah satu suara yang lantang adalah pernyataan Mahfud MD itu.
Komunikasi Politik Tak Setara
Daniel Dhakidae menulis dalam Bahasa dan Kekuasaan bahwa demokrasi bisa terjadi kalau komunikasi politik dilakukan pihak-pihak yang setara.
Narasi pertama yang mengemuka di publik pada 8 Februari dikomunikasikan oleh akun Twitter Wadas Melawan bersama LBH Yogyakarta dan diamplifikasi para kelompok aktivis, termasuk sebagian aktivis NU, menggunakan jalur-jalur organik yang bisa dikatakan gratisan.
Lalu, narasi ini diambil alih dan berusaha ditumbangkan oleh sekelompok orang berkuasa lintas disiplin, dengan sumber daya mereka yang mahal dan tentu sulit diakses para petani dan LBH Yogyakarta.
Komunikasi politik yang timpang memperlihatkan upaya pembungkaman kelompok warga yang menolak, digeser dari perjuangan mempertahankan ruang hidup sampai anak cucu menjadi aksi reaksioner sekelompok orang dengan masalah mental dan “petentengan” serta tidak bisa menahan diri lalu “amuk”.
Dalam komunikasi yang diucapkan mereka yang berkuasa, tidak lagi membutuhkan fakta. Yang dibutuhkan adalah menyampaikan pesan bahwa lebih baik mendengarkan orang-orang yang membela persaudaraan, harmoni, dan ketenangan hidup, daripada mereka yang reaksioner.
Tidak penting apakah yang mereka katakan sesuai fakta lapangan. Tidak penting apakah narasi dan kata-kata kunci yang mereka ulang-ulang dan paksakan ini membajak deliberasi publik yang demokratis atau tidak (relasi kuasa timpang = tidak demokratis).
Sumber daya polisi, Ganjar, PBNU, Kompas, dan Jawa Pos cukup besar masing-masing, apalagi kalau bersama-sama, untuk mengendalikan bahasa dan arah komunikasi politik. Mereka tahu betul, siapa yang mengendalikan bahasa, akan memenangkan sejarah.
Penulis adalah jurnalis dan pemimpin umum Project Multatuli.
Simak reportase terkait Wadas pada tautan berikut:
‘Tanah Surga’ Wadas Dijadikan Tambang: ‘Mengapa Pemerintah Menindas Petani?’