Mbah Marsono, 63 tahun, bergegas berjalan menuju kebunnya. Tubuhnya yang kurus membuatnya bisa berjalan dengan ringan dan cepat. Jalan setapak tanah yang licin karena hujan semalam dilibasnya dengan mudah.
“Saya mau mencari durian untuk Ganjar, katanya mau datang hari ini,” ujarnya menjawab pertanyaan saya sambil berjalan cepat.
Setelah menyeberangi sungai berair dingin, Marsono yang diikuti beberapa mahasiswa pendamping warga Wadas itu, sampai di kebunnya. Tidak lama, ia menemukan buah durian yang sudah jatuh di semak-semak di bawah pohonnya menjulang tinggi.
Durian sebesar bola voli itu sudah berlubang karena dimakan tupai. Ini tandanya sudah masak dan rasanya dijamin enak. Alam sudah menitahkan tupai hanya memilih buah durian yang istimewa.
“Tapi ini kok masih bau durian, ya? Pasti ada yang sudah jatuh lagi.”
Mata Mbah Marsono yang kelabu itu kembali menelisik semak-semak. Semua ikut membantunya, tiba-tiba, Widya, seorang mahasiswa dari Yogyakarta berteriak gembira, “Aku menemukannya!”
Sungguh beruntung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang akan mendapat durian itu secara gratis. Yayak Yatmaka, seniman kritis yang pernah buron pada masa Orde Baru, bilang durian Wadas adalah durian paling enak di dunia.
Hari Minggu pagi, 13 Februari 2022, warga mendapat informasi Ganjar akan datang ke Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah untuk menemui warga yang menolak tambang andesit. Saat ini, warga Wadas sedang terbelah akibat rencana pemerintah yang akan menambang batu andesit di Wadas: ada kelompok yang setuju dan tidak.
Pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) sebagai pemrakarsanya akan menggunakan batu andesit itu sebagai material pembangunan Bendungan Bener di Desa Guntur, tak jauh dari Wadas. Bendungan yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) itu akan mengairi sawah seluas 15 ribu ha, pembangkit listrik berkekuatan 6 MV, dan memasok air bagi aerotropolis Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ganjar datang dengan agenda minta maaf atas peristiwa kekerasan dan penahanan terhadap 67 warga yang menolak tambang. Peristiwa pada Selasa, 8 Februari 2022, ini terjadi ketika pasukan polisi gabungan Polda Jawa Tengah mengawal Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dan BBWSSO mengukuran tanah milik warga yang setuju dibeli pemerintah untuk ditambang.
Sontak peristiwa kekerasan ini membuat Wadas yang tersembunyi di Perbukitan Menoreh yang hijau itu terkenal di seluruh Indonesia. Di Twitter, tagar ##WadasMelawan menjadi trending topic. Liputan media massa dan video yang beredar luas di media sosial mempertontonkan bagaimana pemerintah bertindak represif agar PSN berjalan.
Peristiwa “Selasa kelabu” itu adalah kali kedua aparat kepolisian melakukan kekerasan terhadap warga penolak tambang. Sebelumnya, polisi membubarkan Wadon Wadas yang bermujahadah di jalan untuk menghalangi polisi mengawal tim sosialisasi pemerintah datang ke Wadas, 23 April 2021.
Sebenarnya, Ganjar sudah minta maaf saat jumpa pers di Polres Purworejo, sehari setelah pengepungan. Tetapi bertemu secara khusus kepada warga penolak tambang adalah kesempatan emas agar ia bisa membuka komunikasi dengan kelompok warga. Siapa tahu ini adalah cara menaklukan warga Wadas yang masih menolak tambang andesit.
Menurut dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bendungan Bener, perut bukit di Wadas mengandung batu andesit kualitas premium sebanyak 41 juta meter kubik. Bendungan Bener sendiri hanya membutuhkan sekitar 8 juta meter kubik. Wadas dianggap jadi pilihan terbaik karena jaraknya hanya 12 km dari tapak bendungan sehingga bisa menekan ongkos transportasi.
Sejak 2018, mayoritas warga Wadas yang berjumlah sekitar 400 kepala keluarga (KK) itu sudah menolak tambang batu andesit. Tetapi setelah peristiwa “Selasa kelabu” meledak, Ganjar mengklaim tanpa bukti hanya 25 orang yang menolak.
Mayoritas warga menolak tambang andesit karena akan melenyapkan tanah pertanian yang menjadi gantungan hidup mereka. Tambang andesit itu akan mengambil tanah pertanian warga seluas 114 ha atau kira-kira 106 kali lapangan sepakbola.
Selain itu bukit di Wadas rawan longsor sehingga pertambangan akan meningkatkan potensi bencana, merusak lingkungan, dan menghilangkan ikatan sejarah dan kultural warga dengan tanahnya. Dengan kata lain, aktivitas pertambangan akan mengancam ruang hidup warga Wadas.
‘Tanah Surga’ Wadas Dijadikan Tambang: ‘Mengapa Pemerintah Menindas Petani?’
Menyambut “Gubernur Cuma Mandat”
Untuk menyambut kedatangan Ganjar, warga berinisiatif mengumpulkan berbagai macam hasil bumi di Wadas. Dalam waktu singkat terkumpul belasan hasil bumi. Ada durian, rambutan, pete, pisang, kemukus, kopi, gula aren dan lainnya yang jadi sumber penghasilan warga Wadas.
Para pemuda sibuk memasang lagi spanduk-spanduk berisi pesan penolakan tambang andesit di sekitar Masjid Nurul Huda yang jadi lokasi pertemuan antara Ganjar dan warga penolak tambang. Saat pengepungan untuk pengukuran tanah, polisi melepas semua spanduk penolakan tambang andesit yang sudah lama dipasang di sepanjang jalan utama Desa Wadas. Mereka menggantinya dengan poster agar masyarakat tidak ragu menjual tanahnya karena akan mendapat banyak uang.
Sebuah spanduk besar bergambar pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari dengan tulisan “Petani itulah penolong negeri” digantungkan di teras rumah Kiai Bahrudin di seberang masjid. Di rumah ini juga ada tulisan yang mendorong eco spiritual, “Jogo alam iku podo koyo sholat, wajib hukume …!!!” (Menjaga alam itu sama seperti salat, wajib hukumnya.)
Siang hari, Ganjar tiba tanpa pengawalan di Masjid Nurul Huda yang berada di tengah desa, tepat di pinggir jalan utama yang membelah desa seluas 4,6 kilometer persegi. Ia mengenakan peci hitam dan masih menggendong tangan kanannya yang patah akibat jatuh dari sepeda.
Warga menyambut Ganjar dengan hangat walaupun Ganjar yang bertanggung jawab atas keluarnya Izin Penetapan Lokasi (IPL) penambangan batu Andesit di Wadas sejak 2018. Mars Gempa Dewa (Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas) berkumandang menyambut kedatangannya.
Sebelum dialog, Ganjar sempat menanyakan kesehatan Nurhadi, warga yang ditangkap dengan cara diseret polisi hingga celana dan pakaiannya hampir terlepas. Videonya viral. Akun Instagram Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta langsung diretas setelah menayangkan video Nurhadi yang ditangkap di kamar rumah Kiai Bahrudin. Peretasan juga terjadi terhadap akun-akun media sosial yang menyuarakan perlawanan warga Wadas.
Aneka hasil bumi yang dikumpulkan warga itu diletakkan di tengah serambi masjid yang berisi ratusan warga penolak tambang. Siswanto, seorang pemuda dan petani Wadas, mengatakan Ganjar boleh membawa semua hasil bumi ini.
“Ini menunjukkan Wadas itu banyak hasil buminya, tetapi semua itu akan hilang kalau ada tambang,” ujarnya.
Pertemuan Ganjar dengan warga penolak tambang ini adalah pertemuan pertama. Sebelumnya, permintaan dialog—saat menggelar aksi demonstrasi di Semarang—atau surat keberatan warga tidak pernah digubris Ganjar. Mediasi yang akan difasilitasi Komnas HAM juga belum terlaksana.
Setelah menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ dan sambutan dari Kiai Bahrudin, Ganjar mulai berbicara dalam bahasa Jawa halus. Suaranya lirih.
“Saya dengan kejadian kemarin itu, sebenarnya malu,” ujarnya.
Pukul, Seret, dan Tangkap
Kejadian kemarin yang dimaksud Ganjar adalah saat ratusan polisi ditambah ratusan orang berpakaian sipil mengawal proses pengukuran tanah milik warga pro tambang sejak Selasa (8/2) hingga Kamis (10/2). Tidak hanya mengawal, mereka juga melakukan kekerasan, penangkapan, dan teror terhadap warga yang menolak tambang.
Suasana pertemuan menjadi haru saat para perempuan mulai terisak-isak mendengarkan Sriyana (Ana) bercerita soal dua anaknya yang mencari ibunya karena harus menginap di Polres Purworejo.
Selasa pagi (8/2), suaminya, Muh Suud (Uud), ditangkap usai makan sate di desa tetangga, Kaliboto. Ia adalah warga Wadas pertama yang ditangkap polisi sedangkan Ana ditangkap saat berdoa di makam Kiai Syamsul Bahri, siang hari.
Di kantor polisi, petugas menginterogasi dirinya dengan suara tinggi, mengapa ia menolak program pembangunan pemerintah. Ana menjawab, ia tidak menolak Bendungan Bener, tetapi hanya minta jangan mengambil batu andesit di Wadas.
“Jangan berani-berani menolak program pemerintah, hidupmu akan sengsara jika menolak program pemerintah,” ujar Ana menirukan polisi yang membentak-bentaknya.
Kali ini, Ana memilih diam saja. Ia tak merespons model interogasi polisi yang lazim terjadi pada zaman Orde Baru yang represif.
Dari informasi yang dikumpulkan di lapangan, warga Wadas tahu rencana pengukuran tanah sejak Senin sore (7/2). Hari itu ada gelar pasukan di Polres Purworejo dan polisi mendirikan tenda-tenda di lapangan di Desa Kaliboto.
Malam hari, listrik mati. Warga menduga pemadaman sengaja dilakukan agar mereka tidak bisa mengisi baterai handphone yang bisa digunakan merekam peristiwa pengukuran tanah esok hari. Selain itu akses internet mendadak menjadi terbatas. Warga menduga ini dilakukan agar mereka sulit mengabarkan situasi desanya ke dunia luar.
Saat bertemu tim Kantor Sekretariat Presiden (KSP) yang dipimpin Joanes Joko di Masjid Nurul Huda, Jumat (11/2), Kiai Bahrudin mengatakan warga yang menolak tambang memilih berkumpul di Masjid Nurul Huda supaya aman setelah mengetahui Uud ditangkap di Kaliboto.
Warga menggelar mujahadah untuk berdoa minta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa karena tidak mungkin menghadapi jumlah polisi yang banyak sekali. Warga Wadas yang semuanya Nahdliyin itu memang rutin menggelar mujahadah.
“Mujahadah mulai jam 8 pagi,” ujar Bahrudin.
Sekitar pukul 10.30, Bahrudin menyaksikan banyak anggota polisi masuk ke Wadas dan memenuhi jalanan utama desa. Sedangkan aparat polisi berperisai masuk ke halaman masjid dan berdiri membelakangi masjid seolah-olah melindungi warga yang sedang mujahadah di masjid.
Dalam jumpa pers di aula Polres Purworejo, Rabu (9/2), Kapolda Jawa Tengah Irjen Polisi Ahmad Luthfi menjelaskan polisi berperisai itu melindungi warga di dalam masjid untuk mencegah terjadi benturan dengan warga pro tambang andesit.
Tetapi Bahrudin yang memimpin mujahadah di Masjid Nurul Huda memberikan kesaksian berbeda.
“Saya melihat pemuda-pemuda di depan rumah saya ditangkap. Padahal tidak ada yang menghalangi pengukuran tanah atau demo,” tambahnya.
Kesaksian Bahrudin ini diperkuat Dhanil Al Ghifari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Ia menegaskan tidak ada bentrokan antara warga pro dan kontra tambang di sekitar Masjid Nurul Huda.
“Waktu itu semua orang pro pergi ke hutan untuk menunjukkan tanahnya yang sedang diukur. Jadi tidak mungkin ada bentrokan antar orang pro dan kontra,” ujarnya.
Informasi soal bentrokan fisik di masjid itu juga tidak muncul saat beberapa warga pro tambang bertemu anggota DPR RI Komisi III di depan Masjid Al Hidayah, Kamis (10/2). Mereka mengakui ada konflik tetapi tidak ada konflik fisik.
Bahkan Mbah Hamim, seorang warga yang menolak tambang, mengatakan menjelang pengukuran tanah, seorang warga pro tambang berkirim pesan lewat anggota keluarganya yang meminta Mbah Hamim berhati-hati dan tidak memperlihatkan diri untuk sementara.
“Katanya saya sudah diincar,” ujar Mbah Hamim.
Sebagian besar aksi penangkapan semena-mena itu terjadi di sekitar masjid. Polisi tak berseragam menangkap para pemuda yang ikut mujahadah, saat mengambil wudu, dan waktu mau pulang ke rumah.
Amat Ardianto diborgol sejak siang hingga malam hari. Ia tidak diizinkan salat zuhur dan asar, bahkan makan malam pun dengan posisi tangan diborgol.
Setiawan dipukul mukanya saat berjalan dengan tangan diborgol. Sedangkan Fajar ditangkap di kamar rumah Bahrudin; ia diseret, dihantam, dan diinjak perutnya.
“Saya sampai sesak napas,” ujar Fajar saat bercerita kepada Ketua Gusdurian, Alissa Wahid di Masjid Nurul Huda, Sabtu (12/2).
Sore hari ketika warga yang mujahadah pulang, polisi kembali menangkapi para pemuda. Padahal polisi sudah berjanji tidak akan menangkap dan mempersilakan warga pulang.
Salah satunya adalah Anton (bukan nama sebenarnya) yang masih berumur 16 tahun. Ia ditangkap setelah keluar dari masjid dan sedang mencari sandalnya.
“Ini ditangkap saja sebagai tambahan, kata polisi sambil memegang tangan saya. Ya, saya menurut saja agar tidak dipukuli,” ujar Anton yang selalu berwajah ceria itu.
Hari itu total ada 67 orang yang ditangkap, 10 diantaranya anak-anak. Yayak Yatmaka yang mendampingi anak-anak di Wadas dan Dhanil dari LBH Yogyakarta, kuasa hukum warga penolak tambang, juga diangkut ke Polres Purworejo.
Polisi juga sempat mengambil senjata tajam yang ada di rumah penduduk atau yang diselipkan pada motor untuk digunakan saat bekerja di hutan. Namun, kepada wartawan, polisi mengatakan warga ditangkap karena membawa senjata tajam. Padahal senjata tajam itu adalah alat kerja para petani yang biasa diselipkan di motor.
Hampir semua warga yang ditahan mengatakan polisi menginterogasi mereka dengan pertanyaan mengapa melawan petugas. Mereka menyangkalnya karena mereka sedang mujahadah.
Dalam interogasi itu, polisi juga menanyakan apakah mereka memiliki tanah, berapa luasnya, dan mengapa menolak tambang. Anton yang masih usia anak, ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
“Saya hanya bisa menjawab tiga pertanyaan polisi, yaitu nama saya, bapak dan ibu,” ujarnya dalam bahasa jawa Banyumasan.
Semua tahanan baru dibebaskan pada Rabu (9/2). Ganjar mengklaim ia yang meminta Kapolda Jawa Tengah agar membebaskan semua warga Wadas.
Silat Lidah Poli(ti)si
Warga bersaksi jumlah polisi dan pria berpenampilan “seram” yang masuk Wadas jumlahnya mungkin mendekati 1.000 orang. Mereka memenuhi jalan utama Desa Wadas sepanjang 4 km. Di setiap perbatasan desa dan posko-posko milik warga penolak tambang juga dipenuhi polisi.
Pria-pria berbadan tegap, besar, dan berpakaian sipil itu mengepung rumah warga yang menolak tambang. Bahkan, pintu belakang rumah Ketua Gempa Dewa, Insin Sutrisno, didobrak dan rumahnya diacak-acak.
“Hari Rabu, jumlah pria yang berpakaian sipil bertambah banyak,” ujar Siswanto, seorang petani kopi di Wadas.
Informasi yang diterima Project Multatuli, orang-orang berpakaian preman itu berasal dari dua ormas di Purworejo.
Kehadiran mereka membuat warga Wadas ketakutan sehingga banyak yang meninggalkan rumahnya untuk menyelamatkan diri sejak Selasa (8/2). Ada yang bersembunyi di hutan atau tinggal di rumah saudara di luar Wadas.
Ketika saya masuk Desa Wadas pada Rabu malam, 9 Februari, sehari setelah pengepungan, desa ini diselimuti gelap dan sunyi. Hujan yang turun pada sore hari membuat jalan desa menjadi licin.
Semua rumah mematikan lampu dan menutup rapat pintunya. Ketika malam kian merambat, suara burung hantu yang hinggap di pohon-pohon besar membuat suasana kian mencekam.
Warga Wadas yang menolak tambang merasa mengalami teror selama tiga hari. Apalagi polisi menerjunkan anjing-anjing pelacak seperti sedang mengejar teroris.
“Anjing-anjing pelacak itu sangat menyakitkan kami dan membuat warga Wadas ketakutan,” ujar Fahrur kepada Ganjar.
Ketika menemani warga berdialog dengan Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, Yayak Yatmaka menggambarkan Wadas jadi “desa hantu” selama tiga hari. Anak-anak kecil banyak menjadi korban karena harus tinggal bersama keluarga yang menyelamatkan diri di hutan.
“Ini tekanan psikologis agar warga harus menerima dan menuruti permintaan pemerintah,” ujarnya.
Kapolda Jawa Tengah tidak mengakui soal jumlah polisi yang ribuan itu. Luthfi menegaskan jumlah polisi yang diterjunkan ke Wadas hanya 250 personel. Ada 10 tim pengukur tanah, setiap tim dikawal 20 personel polisi.
“Jadi polisinya habis di tim,” ujarnya. Keterangan Luthfi bertentangan dengan kesaksian warga.
Warga pun mempertanyakan, siapa otak di balik banyak polisi yang masuk ke Wadas dan melakukan penangkapan? Salah seorang warga bertanya kepada Ganjar ihwal tersebut, tapi Ganjar tidak memberikan jawaban tegas soal itu.
“Kalau saya yang nyuruh, tidak mungkin saya telepon Kapolda (Jawa Tengah) supaya anda (warga Wadas yang ditahan) keluar,” ujarnya.
Omongan Ganjar mengisyaratkan ia tidak ikut campur soal banyak polisi dan penangkapan itu. Namun, saat jumpa pers di Polres Purworejo, Kapolda Jawa Tengah menyatakan sudah membahas secara matang operasi pengukuran tanah ini dengan Ganjar dan pihak lain.
Publik berspekulasi ada kemungkinan lawan politik Ganjar dalam pemilu 2024 “membonceng” kasus ini untuk menghancurkan reputasi Ganjar. Setelah “Selasa kelabu”, citra Ganjar yang banyak disebut sebagai salah satu kandidat presiden itu babak-belur di media sosial. Dengan minta maaf langsung kepada warga penolak tambang di Wadas, ia berharap bisa memperbaiki citranya itu.
Di luar spekulasi itu, di hadapan warga Wadas, Ganjar membenarkan bahwa ia yang memberikan izin pengukuran tanah milik warga yang setuju tambang andesit oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo dan bertanggung jawab atas peristiwa “Selasa Kelabu” itu.
Cacat Amdal dan Manipulasi Patriotisme PSN
Setelah peristiwa di Wadas meledak, banyak pihak mulai dari mahasiswa, organisasi non-pemerintah, ormas keagamaan hingga para akademisi universitas memberikan perhatian kepada Wadas. Cara pemerintah yang represif dalam menjalankan pembangunan juga jadi sorotan serius.
Para akademisi dari Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor, Akademisi Peduli Wadas, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Walhi Yogyakarta, LBH Yogyakarta, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM) bertemu dan membedah dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) Bendungan Bener di Pukat UGM, Kamis (17/2). Kesimpulannya dokumen Amdal Bendungan Bener tidak valid baik secara materiil dan formil.
Temuan aspek formil, misalnya pembangunan Bendungan Bener dan penambangan andesit adalah dua kegiatan berbeda sehingga Amdalnya tidak dijadikan satu dan penyusunan Amdal mengabaikan penolakan warga Wadas. Sedangkan aspek materiilnya, penyusunan Amdal tidak memperhatikan relasi sejarah warga Wadas dengan lingkungannya dan tidak memperhatikan secara serius dampak pertambangan yang berpotensi merampas ruang hidup perempuan, anak, dan ketidakadilan lintas generasi.
Berdasarkan temuan itu, mereka merekomendasikan Gubernur Jawa Tengah untuk mencabut izin lingkungan Amdal, menolak penambangan andesit di Wadas dan mengubah watak pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan manusia dan lingkungannya.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, yang berkunjung ke Wadas, mengatakan hatinya sedih mendengarkan nasib warga Wadas. Ia sudah menyampaikan kepada Gubernur Jawa Tengah agar pengukuran tanah ditunda dulu, harus ada kesepakatan dengan rakyat (tambang andesit) mau diterima atau tidak, dan solusi harus dicari tanpa harus mengambil hak-hak warga negara.
“Keputusan pemimpin itu tergantung dari kemaslahatan rakyat,” ujarnya.
Dalam diskusi berjudul “Meretas Petaka Wadas” yang diselenggarakan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM), Senin (14/2), Alissa Wahid mengatakan ada relasi kuasa saat pemerintah melakukan sosialisasi pembangunan di Wadas. Dari perbincangannya dengan warga pro tambang, mereka mengatakan batu, tanah dan air itu milik negara, kalau negara minta ya harus diberikan.
“Jika (pemerintah) ketemu dengan rakyat yang tidak tahu haknya, ya (rakyat) akan apes,” tambahnya.
Beberapa warga pro tambang di Wadas yang ditemui Project Multatuli juga memberikan jawaban “patriotik” atau mungkin justru pasrah seperti didengar Alissa.
Wagimin, warga Kaligendol, mengatakan empat bidang tanahnya sudah diukur dan ia telah mendapat sosialisasi sehingga bisa menerima. Padahal dari panen kemukus sekali setahun, ia bisa mengantongi keuntungan bersih sekira Rp30 juta. Belum hasil dari panen kelapa, pete, temulawak dan lainnya.
“Saya sangat setuju menjual tanah saya karena untuk kepentingan negara,” tegasnya.
Sedangkan Ponijah yang sedang mencari rumput di tanahnya di bukit, mengatakan akan membeli tanah lagi dari hasil penjualan tanahnya. Kemukus juga jadi panen utamanya, ia bisa meraup keuntungan belasan juta rupiah setiap panen.
Kamis siang (10/2), petugas dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo yang dikawal 20 polisi baru saja mengukur tanahnya dengan alat GPS geodetic yang menggunakan metode real time kinematic (RTK). Setelah diukur, ia menandatangani formulir Lembar Ukur (Sporadik) dari Kantor Pertanahan Purworejo yang masih kosong data-datanya.
“Mau menolak bagaimana karena itu milik pemerintah,” ujarnya.
“Karena dibutuhkan negara,” ujar anak lelakinya menimpali.
Ketika warga pro tambang bertemu Komisi III DPR RI, mereka juga mengklaim diri sebagai warga yang NKRI. Saat bicara, Taufik Basari meminta agar jangan main klaim NKRI karena baik yang pro dan kontra adalah NKRI.
Desmond J. Mahesa yang memimpin kunjungan para wakil rakyat itu berpesan tambang andesit di Wadas bukan PSN. Tambang ini hanya pendukung Bendungan Bener.
“Jadi karena bukan PSN, masyarakat boleh saja menolak,” katanya.
Sementara ahli hukum tata negara dari UGM, Herlambang P. Wiratraman dalam diskusi “Meretas Petaka Wadas”, mengatakan tindakan represif di Wadas mengulang kasus serupa di zaman Orde Baru seperti Waduk Nipah di Madura dan Kedungombo di Jawa Tengah. Dalam makalah berjudul “Hukum Represif dan Upaya Mendorong Pertanggungjawaban HAM, Belajar dari Kasus Wadas”, ia melihat ada 14 macam dugaan pelanggaran hak asasi manusia, seperti pelambatan internet, hak anak-anak, teror pembela ham, dan mematikan listrik tanpa alasan jelas.
“Saya melihat ini sebagai represi, sebuah kejahatan hak asasi manusia dan bukan pelanggaran hukum biasa karena dilakukan secara terencana dan sistematis,” tandasnya.
Herlambang berharap kasus kekerasan di Wadas ini tidak berhenti dengan permintaan maaf dari Ganjar.
Sayangnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyelidiki kasus Wadas tidak menunjuk siapa yang bertanggung jawab.
Saat membeberkan hasil penyelidikannya soal Wadas, Komnas HAM mengeluarkan pernyataan lunak dan rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah dalam melanjutkan proyek pembangunan Bendungan Bener.
Komisioner Beka Ulung Hapsara menegaskan Polda Jawa Tengah telah menggunakan kekuatan secara berlebihan atau excessive use of force saat mengamankan pengukuran tanah. Tandanya, ada pengerahan personel dalam jumlah besar dan melakukan tindakan kekerasan dalam proses penangkapan.
“Sikap penolakan warga atas penambangan quarry harusnya tetap dihargai dan tidak disikapi aparat Kepolisian secara berlebihan,” ujar Beka.
Dalam kesimpulannya, Komnas Ham menyatakan ada pengabaian hak free and prior informed consent (FPIC), pengabaian hak perlindungan integritas personal warga dalam mempertahankan lingkungan dan kehidupannya, pelanggaran hak memperoleh keadilan dan hak atas rasa aman, pengabaian hak anak untuk diperlakukan berbeda dengan orang dewasa saat berhadapan dengan proses hukum (penangkapan), tidak dipenuhinya hak warga yang ditangkap oleh kepolisian, dan masyarakat mengalami luka fisik dan traumatik, khususnya perempuan dan anak.
8 Februari 2022, aparat mengepung Desa Wadas. Puluhan orang ditangkap, tak sedikit yang mengalami kekerasan. Menyisakan trauma.
Project Multatuli menemui warga Wadas, mendapatkan pernyataan langsung dari para korban.
Segera. Reportase #WadasMelawan di https://t.co/qUW4Mt0LHk pic.twitter.com/WQoYoWa09v
— Project Multatuli (@projectm_org) March 1, 2022
Yel-yel “cabut, cabut, cabut IPL, cabut IPL sekarang juga,” yang disuarakan warga sambil tepuk tangan mengantarkan Ganjar meninggalkan Wadas. Tetapi kepada wartawan, ia belum bisa memastikan nasib IPL tambang andesit di Wadas, dicabut atau tidak.
“Saya akan melakukan evaluasi teknis, mendekati warga yang menolak dan membuka dialog antara warga pro dan kontra tambang,” ujarnya.
Aneka macam hasil bumi dari Wadas yang sudah dilihat Ganjar dan berpindah ke mobilnya ternyata belum mampu menggoyahkan pendiriannya. Perjuangan warga mempertahankan bukit di Wadas yang dipercaya pernah menjadi markas Pangeran Diponegoro itu sepertinya masih panjang.
Peristiwa ini mengingatkan para sesepuh desa dengan cerita leluhur. Dahulu nenek moyang mereka pernah menolak rencana Belanda menambang di Wadas. Bila dulu warga menghadapi penjajah, kini mereka menghadapi bangsa sendiri.
Jalinan eco spiritualism yang bersumber dari ajaran agama dan keyakinan lokal adalah energi warga Wadas mempertahankan lingkungannya. Mereka tidak rela bila alas (hutan) Sedudo yang lebat dan wingit dan pohon randu alas (Bombax ceiba) berumur ratusan tahun yang keramat itu hilang karena tambang andesit. Pohon dengan batang pokok yang baru bisa dikelilingi oleh 10 orang bergandengan tangan itu tumbuh di tubir bukit.
Pohon randu alas ini menjadi lambang dari Gempa Dewa, organisasi perjuangan warga Wadas. Tetapi, siklus hidup pohon ini juga menjadi tanda-tanda musim. Bila daunnya mulai gugur dan muncul bunga merah, itu tandanya musim kemarau tiba. Tetapi jika daunnya mulai bersemi, warga Wadas tahu musim penghujan akan segera tiba.
Dunia roh sudah mengirimkan pesannya melalui seorang penari Baongan dari kelompok “Kebo Ireng” yang kesurupan saat pentas pada hari pertama tahun 2022 di halaman rumah Mbah Hamim di Wadas.
Baongan adalah pentas tari tradisional khas Wadas yang dibawakan beberapa pemain dengan iringan musik gamelan. Ikonnya adalah dua orang yang mengenakan kostum kerbau dengan muka menyeramkan.
Dalam pentas babak terakhir, ada seorang penari yang kesurupan dan sulit disembuhkan. Setelah berdialog dengan Mbah Hamim sebagai sesepuh “Kebo Ireng”, roh itu mengatakan mau pulang jika sudah berbicara dengan Dhanil dari LBH Yogyakarta yang menjadi kuasa hukum warga penolak tambang. Dengan menggunakan bahasa Jawa, roh Mbah Manto, seorang leluhur warga Wadas itu berpesan kepada Dhanil agar seluruh warga Wadas menjaga kelestarian alam di Wadas.
“Roh Mbah Manto ingin mengatakan itu karena dia tahu ada orang pro tambang yang sedang nonton Baongan,” ujar Mbah Hamim.