Komitmen Berkelanjutan Bank-Bank Indonesia: Menyokong Lingkungan Hidup Sambil Menafkahi Batubara

Ronna Nirmala
23 menit
Batubara
Kaum muda berunjuk rasa di depan Grha BNI, Sudirman, Jakarta, Maret lalu. Mereka menuntut BNI dan bank-bank lainnya berhenti mendanai energi kotor Industri batubara dan memperparah krisis iklim. (Project M/Rangga Firmansyah)

WAHYU AJI adalah nasabah dari empat perbankan besar nasional: Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Central Asia (BCA).

Aktivitas di luar status sebagai mahasiswa jurusan perencanaan wilayah dan kota di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta membuatnya harus berurusan dengan bank-bank tersebut.

“Mandiri dan BRI untuk urusan organisasi dan komunitas. BCA untuk transfer antarbank, dan BNI untuk keperluan kuliah,” kata Wahyu.

Tapi, tiga tahun belakangan, ia mulai gusar dengan laku bank-bank yang menjadi sarana untuknya menabung dan memindahkan uang.

Ini berawal saat Wahyu mulai banyak terlibat dalam beragam diskusi dan kegiatan bersama organisasi non-pemerintah terkait isu lingkungan hidup dan gender. Dari sana, Wahyu baru menyadari bahwa bank-bank yang ia punyai rekeningnya itu, menyokong pengelolaan energi batubara di Indonesia.

“Pertama kali tahu dulu gak begitu kaget, tapi sebel bukan main,” kata Wahyu.

Kejengkelan itu yang kemudian membawanya ikut turun ke jalan dalam sejumlah aksi Climate Strike atau Jeda untuk Iklim bersama anak muda lain di Kota Pelajar.

Akhir Maret lalu, Wahyu menjadi koordinator aksi Jogja Climate Strike yang melibatkan seniman mural Sasenitala.

Mereka menggambar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan menuliskan daftar kota-kota yang terdampak polusi batubara di salah satu sudut tembok di bawah Jembatan Kewek, dekat Malioboro.

Wahyu bilang, mural juga memuat pesan penghentian pendanaan kepada sektor-sektor yang memperburuk krisis iklim, termasuk batubara.

“Gak sampai 24 jam, muralnya dihapus Satpol PP,” lanjut Wahyu.

Aksinya tak terbatas di situ. Wahyu juga menggunakan media sosialnya untuk menyuarakan hal ini. Dalam berbagai postingan baik pribadi maupun atas nama komunitas, ia tak segan menandai akun-akun resmi milik bank dan menyatakan bahwa ia merasa dikhianati, salah satunya oleh BNI yang sudah digunakannya sejak 2015.

“BNI harus ikut bertanggung jawab untuk dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang akan dihadapi anak muda di masa depan,” katanya.

* * *

DWI TAMARA, mahasiswi tahun akhir jurusan geografi di Universitas Indonesia (UI) Depok punya keyakinan penuh. Penghentian dukungan bank terhadap industri batubara tak bisa ditunda lagi.

Beragam studi yang dipelajarinya memperjelas dampak negatif batubara bagi keberadaan hutan hingga pencemaran zat-zat yang membahayakan makhluk hidup.

“Memang batubara sekotor itu,” kata Dwi.

Mahasiswi yang juga bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI ini, pernah ikut mendatangi kantor-kantor pemerintah seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Dewan Energi Nasional (DEN) untuk memaparkan kajian mereka soal kotornya industri batubara.

“Waktu aku jelasin, responsnya ‘kajian kalian terlalu lingkungan. Ga ada ekonominya’,” kenangnya.

Respons itu menantangnya untuk melihat dampak batubara terhadap lingkungan hidup dari perspektif keekonomian.

Ia lalu mengkaji hubungan kegiatan industri batubara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan kegiatan manusia. Dwi mendapati peningkatan emisi gas rumah kaca dari berbagai aktivitas pengelolaan energi berkarbon tinggi erat berkaitan dengan anomali iklim dalam beberapa tahun terakhir yang menghambat dan bahkan memakan korban jiwa manusia.

“Harusnya bulan April ini sudah masuk musim pancaroba. Intensitas hujan mestinya berkurang. Namun, lihat kenyataannya. Hujan deras diikuti angin kencang praktis menyulitkan aktivitas manusia. Semua merasakan dampaknya,” kata Dwi.

Sudut pandangnya pun mengerucut ke pangkal persoalan: industri batubara terus bekerja karena ada modalnya. Karena alasan ini, Dwi menilai saatnya bank punya komitmen nyata untuk secara bertahap menghentikan pendanaan bagi perusahaan batubara.

“Sebagai customer yang punya wewenang lebih tinggi pengen bilang, kok uang gue, lo pake buat batubara. Mendingan gue gak usah nabung di bank lo, deh.”

Batubara
Seorang pemudi memegang kertas potongan berita saat berunjuk rasa di depan Grha BNI, Sudirman, Jakarta, Maret lalu. Sejumlah kaum muda menuntut BNI dan bank-bank lainnya berhenti mendanai energi kotor Industri batubara dan memperparah krisis iklim. (Project M/Rangga Firmansyah)

Tren Kucuran Dana

Kekhawatiran Wahyu dan Dwi bukan semata-mata karena kelabilan emosi masa muda.

Lembaga keuangan, termasuk perbankan, menjadi nyawa bagi keberlangsungan industri batubara di seluruh dunia. Mereka memainkan peran beragam, mulai dari pemberi kredit langsung, underwriter (penjamin), maupun pembeli surat utang yang diterbitkan perusahaan batubara.

Sepanjang periode Januari 2019 hingga November 2021, tercatat sebanyak 376 bank di dunia menyalurkan kredit langsung senilai total 363 miliar dolar AS atau setara Rp5.363,5 triliun (asumsi 1 dolar AS=Rp14.300) untuk industri batubara.

Pada periode yang sama, 484 bank bertindak sebagai underwriter yang melanggengkan penjualan obligasi senilai total 1,2 triliun dolar AS kepada lebih dari 1.000 perusahaan batubara yang masuk dalam Global Coal Exit List 2022. 

Kendati kerjanya di balik layar, bankir atau lembaga jasa keuangan lain yang bertindak sebagai underwriter menjadi bagian terpenting dalam proses penjualan obligasi karena mereka memiliki peran sebagai agen keberhasilan penjualan surat utang itu.

Aktivitas pendanaan itu tentu saja bertentangan dengan komitmen perubahan iklim dalam Paris Agreement yang per Maret 2021, telah disepakati 194 negara dan konsorsium Uni Eropa.

“Bank suka berargumen kalau mereka ingin membantu transisi klien batubara, tetapi kenyataannya hampir tidak ada perusahaan yang melakukan transisi. Dan mereka memiliki sedikit insentif untuk melakukannya selama para bankir terus menulis cek kosong,” kata Katrin Ganswindt, kepala riset keuangan di organisasi nonprofit berfokus pada lingkungan dan HAM di Jerman, Urgewald, dalam laporan Global Coal Exit List 2022, pertengahan Februari 2022.

Global Coal Exit List adalah laporan yang disusun puluhan lembaga non-pemerintah di dunia terkait daftar perusahaan batubara dunia yang meliputi kapasitas produksi, rencana ekspansi, hingga bagi hasil batubara. Daftar itu juga memuat hampir 5.000 lembaga keuangan di dunia yang mendukung pendanaan untuk industri batubara dengan beragam peran.

* * *

Perbankan dan lembaga keuangan lain di Indonesia juga tak ketinggalan. Dari laporan Global Coal Exit List 2022, mereka mencatat 70 perusahaan batubara dengan 16 lembaga keuangan nasional dan multinasional di Indonesia yang memiliki keterkaitan finansial dengan industri ini.

Tentu saja, nama-nama perusahaan batubara kelas kakap Indonesia masuk dalam daftar, seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Adaro Energy Indonesia Tbk, PT Sinar Mas, PT Indika Energy Tbk, PT Berau Coal Energy Tbk, PT Bayan Resources Tbk, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)–kini dikenal dengan Mining Industry Indonesia (MIND ID).

Adapun belasan lembaga keuangan nasional dan multinasional yang masuk sorotan di daftar itu bertindak sebagai pemegang saham di perusahaan batubara selama periode Januari 2019 hingga November 2021.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tercatat sebagai pemegang saham perusahaan batubara terbesar dengan akumulasi nilai mencapai 49 juta dolar AS atau setara Rp704,2 miliar.

BPJS Ketenagakerjaan sebagai salah satu institusi pengelola dana pekerja untuk jaminan keselamatan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan hari tua, menginvestasikan dana yang dipotong dari peserta ke sejumlah instrumen seperti deposito berjangka, surat berharga negara (SBN), hingga saham. Beberapa saham yang dibeli BPJS Ketenagakerjaan di perusahaan batubara berasal dari MIND ID, Bukit Asam, dan Adaro Energy.

PT TASPEN (Persero) yang merupakan perusahaan pelat merah di bidang asuransi untuk tabungan hari tua dan dana pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga masuk dalam daftar sama dengan nilai saham perusahaan batubara mencapai total 11 juta dolar AS atau Rp158,08 miliar.

Selain itu, juga ada bank badan usaha milik negara (BUMN), Mandiri, yang melalui anak usahanya, PT Mandiri Sekuritas, menjadi pemilik saham perusahaan batubara senilai total 4 juta dolar AS atau setara Rp57,4 miliar.

Lembaga keuangan pemegang saham perusahaan batubara. (Project M/Arief Zulfikar & Ruth Kartika)

Kendati demikian, setidaknya selama periode 2016-2020, lembaga keuangan Indonesia bukanlah sumber pendanaan terbesar industri batubara dalam negeri. Merujuk laporan Fair Finance Asia, lembaga keuangan dari Jepang adalah pemberi pinjaman dan underwriter terbesar untuk perusahaan-perusahaan batubara nasional dengan nilai mencapai 20,6 miliar dolar AS atau setara Rp295,2 triliun.

Lembaga keuangan Indonesia berada pada posisi kedua dengan pemberi pinjaman terbesarnya berasal dari dua bank pelat merah, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri.

Kolaborasi Project Multatuli dan tim periset 350.org dari koalisi organisasi masyarakat sipil ##BersihkanBankmu turut menelusuri laporan keuangan perusahaan batubara dan perbankan yang terbuka untuk melihat seberapa besar aliran pinjaman dari perbankan terhadap kelangsungan operasional industri ini.

Kami memfokuskan laporan untuk melihat aliran pendanaan terbesar untuk industri batubara yang diberikan empat perbankan nasional. Keempatnya adalah tiga bank BUMN–Mandiri, BNI, BRI, dan satu bank swasta, BCA. Periode laporan keuangan diambil pada rentang tahun 2015 hingga 2021.

Mandiri, Terdepan dalam Pendanaan

Sebagai bank pencetak laba terbesar di kalangan perbankan pelat merah, Bank Mandiri memainkan peran yang signifikan dan beragam dalam pendanaan industri batubara yakni sebagai bookrunner, pemberi pinjaman, underwriter, pembeli surat utang, pengatur, hingga agen fasilitas.

Laporan Global Coal Exit List 2020 dengan periode data 2018-2020, menunjukkan Mandiri sebagai perbankan pemberi dukungan pendanaan terbanyak untuk perusahaan batubara dengan nilai total 4,62 miliar dolar AS atau setara Rp66,41 triliun. Ditarik lebih panjang ke periode 2016-2020, Mandiri menjadi perbankan terbesar kedua yang mendanai industri batubara dengan nilai total 5,8 miliar dolar AS atau setara Rp83,14 triliun.

Riset 350.org dari koalisi ##BersihkanBankmu, yang turut menelusuri laporan keuangan perusahaan batubara dan empat perbankan, menemukan dana Mandiri sepanjang periode 2015 hingga 2021, sebagian besarnya mengalir untuk PT Dian Swastatika Sentosa (DSS) Tbk yang merupakan anak usaha dari PT Sinar Mas Tunggal.

Mandiri umumnya bertindak sebagai pemberi pinjaman baik melalui fasilitas kredit investasi, pinjaman transaksi, penyedia limit defisit, maupun pinjaman sindikasi. Akumulasi nilai pinjaman sepanjang periode tersebut mencapai 1,16 miliar dolar AS atau setara Rp16,64 triliun.

Jumlah itu termasuk pinjaman untuk PT DSSE Energi Mas Utama, anak usaha DSS, dengan nilai 74 juta dolar AS atau setara Rp1,06 triliun pada tahun 2019.

Kala itu, DSSE menandatangani perjanjian fasilitas pinjaman sindikasi dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), Mandiri, BCA, Bank Permata, dan Shinhan Bank dengan jumlah maksimum mencapai 370 juta dolar AS dengan jangka waktu tujuh tahun.

Pendanaan terbesar kedua Mandiri mengalir ke PT Indika Energy Tbk, salah satu induk usaha batubara terbesar yang dikelola keluarga Sudwikatmono, dengan nilai berkisar 780,5 juta dolar AS atau Rp11,2 triliun.

Mandiri juga bertindak sebagai pembeli awal surat utang dalam denominasi dolar AS yang diterbitkan Indika Energy pada akhir 2020, senilai 675 juta dolar AS atau setara Rp9,83 triliun. Saat penerbitan, Indika Energy turut menunjuk Standard Chartered Bank Ltd. (cabang Singapura), Mandiri Securities Pte Ltd, dan Deutsche Bank AG (cabang Singapura) sebagai joint bookrunners dan pembeli awal surat utang.

Ketiga, dana Mandiri juga masuk ke perusahaan batubara yang dibangun Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, PT Toba Bara Sejahtra–kini berganti nama menjadi PT TBS Energi Utama. Riset laporan keuangan periode 2017 hingga 2020, menemukan Mandiri setidaknya memberikan fasilitas pinjaman dan kredit untuk TBS Energi Utama mencapai 456,27 juta dolar AS atau setara Rp6,54 triliun.

Selain kepada tiga perusahaan tersebut, dana yang dikelola Mandiri juga disalurkan kepada anak usaha Indika Energy yang bergerak di bidang jasa kontrak pertambangan, PT Petrosea Tbk, berkisar 256,5 juta dolar AS atau Rp3,8 triliun.

Kemudian PT Bukit Asam Tbk senilai 197,32 juta dolar AS atau Rp2,83 triliun selama periode 2016-2018, PT Golden Energy Mines Tbk yang terafiliasi dengan Grup Sinar Mas, senilai 182 juta dolar AS atau setara Rp2,61 triliun selama 2017-2019, dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk dengan nilai berkisar 91,48 juta dolar AS untuk periode 2015-2018.

Project Multatuli telah menghubungi Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri untuk meminta konfirmasi perihal aliran dana ini tetapi tidak mendapat jawaban. Kendati begitu, mengutip laporan media awal April, Mandiri mengakui pihaknya masih melihat prospek positif pada sektor batubara dan migas lainnya di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19 dan geliat kenaikan permintaan.

Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri, Ahmad Siddik Badruddin, menyatakan Perseroan akan tetap menyalurkan pendanaannya untuk batubara dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang menjadi syarat bagi para calon debitur untuk mengajukan pinjaman.

“Kita belum akan mengurangi portofolio kredit untuk batubara atau sektor migas lainnya. Tetapi kita sudah menetapkan kriteria yang harus dipenuhi debitur di industri ini. Sehingga, walaupun portofolio kredit kami tumbuh tetapi kami bersama mitra juga full alignment dengan ESG strategy di Indonesia,” kata Ahmad Siddik dalam sesi wawancara dengan CNBC Indonesia, Sabtu (2/4/2022).

Batubara
Truk-truk mengangkut batubara di bekas kawasan transmigrasi Desa Wonorejo di Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan yang seluruh areanya dialihkan menjadi kawasan konsesi tambang PT Adaro Indonesia. (Project M/Harryaldi Kurniawan)

Bank Kampus ‘BNI’

Selasa, 15 Maret 2022. Puluhan anak muda berjalan dari Stasiun BNI City di kawasan Sudirman, Jakarta menuju GRHA BNI.

Mereka membentangkan sejumlah poster bertuliskan “BNI Stop Danai Krisis Iklim”, “Sustainable Finance Lebih Dari Sekadar CSR”, “Investasi untuk Masa Depan adalah yang Tidak Merusak Lingkungan dan Iklim”, dan “BNI, Go Renewable Now”.

Aksi berbarengan dengan momen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bank pelat merah itu.

Tuntutan mereka satu: mendesak BNI menghentikan pendanaan proyek yang merusak lingkungan dan iklim, terutamanya batubara.

“Kita ada pada persimpangan jalan, jika kita memilih jalan yang salah berarti kiamat bagi peradaban kita, kiamat bagi masa depan kita,” kata Kevin Wisnumurthi, dari BEM UI.

Selain dikenal sebagai ‘Bank Kampus’—karena kerja samanya dengan banyak universitas baik negeri maupun swasta—BNI juga memiliki kedekatan dengan sejumlah perusahaan batubara nasional. Global Coal Exit List 2020 menempatkan bank ini sebagai penyokong terbesar kedua industri batubara selama periode 2018-2020.

Selama periode itu, BNI menyalurkan 2,09 miliar dolar AS atau setara Rp30,02 triliun, baik sebagai pemberi pinjaman maupun underwriter.

Merujuk riset laporan keuangan perusahaan dan perbankan oleh tim periset 350.org, tujuan pendanaan BNI juga tidak berbeda jauh dengan Mandiri. Semisalnya untuk Indika Energy.

Pada 1 Juni 2017, Indika Energy memperoleh fasilitas kredit dari BNI cabang Singapura dengan limit kredit gabungan sebesar 5 juta dolar AS (setara Rp71,76 miliar). Tenggat pembayaran perjanjian pinjaman ini diperbarui selama beberapa kali, dengan pembaruan terakhir pada 16 Maret 2020, dengan perpanjangan hingga 20 Maret 2021.

Perseroan juga pernah bertindak sebagai agen fasilitas pinjaman berjangka kepada Adaro Energy pada April 2021.

Saat itu, Adaro Energy mengadakan perjanjian fasilitas kredit senilai total 400 juta dolar AS (Rp5,7 triliun) dengan sindikasi perbankan nasional dan internasional di antaranya BNI, BRI, Bank Danamon, HSBC Holdings PLC (Inggris Raya), dan Bank of China (cabang Jakarta). Dari jumlah itu, BNI memberikan pendanaan senilai 49 juta dolar AS atau setara Rp703,2 miliar.

Pada Desember 2020, BNI juga mencairkan pinjaman kepada Dian Swastatika Sentosa (DSS). Anak usaha Sinar Mas itu memperoleh fasilitas pinjaman dengan jumlah maksimum Rp212,19 miliar untuk jangka waktu tiga tahun. Pinjaman ini dijamin dengan aset tertentu yang dimiliki Perusahaan dan entitas anak usaha. Sekretaris Perusahaan BNI tidak merespons saat dimintai keterangannya.

Tren kucuran bank ke perusahaan batubara. (Project M/Ruth Kartika)

BRI, Besar dan Berarti

Bicara soal jaringan, BRI adalah juaranya. Sebelum Bank Mandiri mendapat limpahan aset dari merger Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2021, BRI selalu menyandang julukan sebagai bank terbesar di Indonesia. Alasannya, bank pemerintah ini punya jaringan layanan perbankan terluas, sampai ke pelosok-pelosok negeri.

BRI juga satu dari tiga perbankan nasional yang punya aset terbesar hingga di atas Rp1.000 triliun, bersama dengan Bank Mandiri dan BCA.

Maka tak heran, BRI, dalam akumulasi kredit selama rentang tahun 2016-2020, menjadi lembaga keuangan pemberi bantuan pendanaan terbesar untuk industri batubara dengan nilai total mencapai 6,9 miliar dolar AS atau setara Rp98,91 triliun, demikian laporan Fair Finance Asia. 

Meski bila dikerucutkan ke periode 2018-2020, seperti yang dirangkum dari data Global Coal Exit List 2020, BRI berada di urutan ketiga pendonor industri batubara nasional terbesar. Sumbangsihnya mencapai 1,76 miliar dolar AS atau Rp25,25 triliun.

Penelusuran kami menemukan, pada April 2019, BRI menyalurkan pendanaan untuk perusahaan kontraktor tambang milik Grup Bakrie, PT Darma Henwa Tbk, dengan nilai total sebesar 116,97 juta AS atau setara Rp1,68 triliun.

Penyaluran itu terjadi pada 22 April 2019. Darma Henwa memperoleh fasilitas kredit transaksi khusus dan kredit modal kerja yang akan digunakan untuk pembiayaan peralatan pertambangan dan mengalihkan utang dari PT Bank Victoria International Tbk.

Jumlah yang disalurkan itu termasuk dengan fasilitas kredit investasi senilai Rp8,75 miliar kepada Darma Henwa untuk mengalihkan utang lain di Bank Victoria yang digunakan untuk pembelian ruang kantor di Bakrie Tower, Jakarta Selatan.

Selain kepada Darma Henwa, BRI juga pernah menyalurkan kredit investasi untuk Bukit Asam senilai total Rp18,8 miliar yang diberikan dalam dua periode terpisah, Juli 2018 dan Januari 2019.

Mundur ke 2016, pengajuan kredit TBS Energi Utama sebesar Rp15,5 miliar disetujui oleh BRI. Bunga atas pinjaman untuk perusahaan batubara milik Luhut ini setara dengan 2,27 juta dolar AS atau Rp32,65 miliar. Tenggat bayar pinjaman ini berakhir pada 31 Desember 2019.

Sekretaris Perusahaan BRI, Aestika Oryza Gunarto, mengungkapkan Perseroan secara bertahap mulai mengalihkan pendanaan mereka dari industri batubara.

“BRI ke depan akan terus fokus di segmen UMKM. Sedangkan sektor pertambangan, termasuk batubara, bukan menjadi prioritas BRI dalam penyaluran kredit,” kata Aestika saat dimintai konfirmasinya, Kamis (7/4/2022).

Aestika mengatakan, hingga akhir Desember 2021, pembiayaan BRI kepada sektor pertambangan dan penggalian memiliki nilai relatif kecil atau sebesar 0,6 persen dari total penyaluran kredit.

BCA, Swasta Unggulan untuk Batubara

BCA menjadi bank swasta yang masuk dalam daftar Global Coal Exit List 2020 sebagai pemberi pinjaman dan underwriter terbesar untuk perusahaan batubara senilai total 316 juta dolar AS atau setara Rp4,53 triliun selama 2018-2020.

Sekitar 88 juta dolar AS (Rp1,26 triliun) di antaranya, disalurkan BCA kepada PT United Tractors Tbk yang merupakan anak usaha PT Astra International Tbk di sektor batubara dan penjualan alat berat.

Perbankan milik orang paling tajir se-Nusantara, Bambang Hartono, terkesan lebih hati-hati ketika menyalurkan pinjaman.

Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja kerap mengingatkan para debiturnya di sektor tambang untuk segera melunasi utang di tengah membaiknya harga komoditas seiring pemulihan ekonomi akibat pandemi.

“Kita tahu harga CPO, harga barang-barang tambang, tembaga, naik cukup tinggi. Bayangkan pengusaha bidang-bidang tersebut, ini kesempatan baik untuk membayar lunas pinjaman existing,” kata Jahja dalam agenda Banking Outlook 2022, awal Maret.

Begitu juga pada Maret 2017, Jahja juga pernah mengeluhkan peningkatan rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) selama tahun 2016 yang mencapai 1,3 persen atau naik 0,7 persen dibanding tahun sebelumnya. Padahal, tingkat NPL itu masih jauh di bawah rata-rata bank nasional lainnya.

Jahja, kala itu, mengatakan debitur di sektor batubara menjadi salah satu kontributor kenaikan tingkat gagal bayar utang.

Data yang ditelusuri tim periset 350.org mendapati selama periode 2018-2020, BCA menyalurkan pinjaman setidaknya kepada dua perusahaan batubara.

Pertama, pada Januari 2019, BCA menyepakati pengalihan fasilitas kredit dari Mandiri sebesar Rp171,71 miliar yang dipinjam Dian Swastatika Sentosa (DSS), anak usaha dari PT Sinar Mas Tunggal, untuk membiayai penambangan dan pembangunan fasilitas tambang batubara.

Pada tahun yang sama, BCA juga menjadi bagian dari sindikasi bersama dengan Mandiri, Permata, PT Sarana Multi Infrastruktur Tbk, dan Shinhan Bank untuk menyalurkan fasilitas pinjaman sindikasi senilai total 370 juta dolar AS untuk DSSE dengan jangka waktu tujuh tahun. Dalam perjanjian itu, BCA bersepakat untuk menyalurkan 74 juta dolar AS atau Rp1,06 triliun.

Selain kepada Grup Sinar Mas, BCA juga memberikan fasilitas kredit berupa rekening koran senilai Rp10 miliar kepada PT Alfa Energy Investama Tbk.

BCA juga masuk ke dalam daftar perbankan yang memberikan dukungan untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar 228 juta dolar AS atau setara Rp3,27 triliun, sebut data Global Coal Exit List 2020. Tapi, angka yang disalurkan BCA itu tidak seberapa dibandingkan dengan Mandiri, BNI, dan BRI, yang masing-masingnya senilai 2,98 miliar dolar AS (Rp42,81 triliun), 1,8 miliar dolar AS (Rp25,89 triliun), dan 1,49 miliar (Rp21,48 triliun).

Sebagai catatan, pinjaman yang disalurkan ke PLN tidak bisa disimpulkan sepenuhnya untuk pendanaan yang berkaitan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Per akhir Desember 2020, persentase kapasitas terpasang per jenis pembangkit milik PLN antara lain PLTU sebesar 32,02 persen, pembangkit listrik tenaga gas dan uap/PLTGU sebesar 17,73 persen, pembangkit listrik tenaga diesel/PLTD (8,76 persen), dan pembangkit listrik tenaga air/PLTA (5,66 persen).

Label ‘Hijau’

RIVANI mengambil mikrofon dari koordinator massa aksi mendesak BNI menghentikan pendanaan batubara di depan Gedung GRHA BNI, Jakarta Pusat, 15 Maret 2022.

Perempuan 23 tahun itu berdiri paling depan. Dalam orasinya, Rivani menekankan betapa tidak adilnya kebijakan bank BUMN, termasuk BNI, yang masih mendanai proyek batubara di tengah banyaknya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Ini tidak adil untuk anak-anak yang meninggal di lubang tambang di Kalimantan,” teriak Rivani.

Orasi Rivani mengacu pada data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang mencatat setidaknya ada 39 anak meninggal dunia di lubang tambang yang tidak direklamasi di Kalimantan Timur.

Tak hanya korban nyawa, Rivani juga menyoroti dampak sulitnya akses air bersih, polusi udara, dan kehilangan mata pencaharian yang jamak terjadi pada masyarakat lingkar tambang. Ekspansi perusahaan batubara juga kerap menyerobot lahan milik masyarakat adat.

“Mereka mengaku Green Bank tapi ternyata di balik itu mereka mendanai tambang batubara,” kata Rivani ketika dihubungi kembali, April 2022.

Batubara
Seorang pemuda memegang poster saat berunjuk rasa di depan Grha BNI, Sudirman, Jakarta, Maret lalu. Sejumlah kaum muda menuntut BNI dan bank-bank lainnya berhenti mendanai energi kotor Industri batubara dan memperparah krisis iklim. (Project M/Rangga Firmansyah)

Label Green Bank sudah diklaim bank-bank nasional bersamaan dengan penandatanganan Paris Agreement yang mencatat komitmen Indonesia untuk ikut menurunkan emisi gas rumah kaca 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dibantu pihak internasional pada 2030.

Pada 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan POJK Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, yang di antaranya mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan yang disertai dengan target waktu penerapan kepada OJK setiap tahunnya.

Selain itu, lembaga jasa keuangan juga harus membuat laporan keberlanjutan yang terpisah dengan laporan keuangan tahunan, terhitung mulai tahun 2019.

Aestika dari BRI mengatakan, Perseroan berkomitmen untuk memenuhi semua peraturan terkait pelestarian lingkungan di dalam operasional bisnis dan pelayanan, termasuk berupaya untuk mengukur konsekuensi lingkungan dalam setiap produk dan layanan yang ditawarkan.

“Misalnya dalam setiap partisipasi pembiayaan atau pun kredit terhadap suatu proyek yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup maka BRI akan menganalisis setiap risiko yang ada dan hanya akan turut berpartisipasi dalam pembiayaan proyek tersebut apabila poin-poin yang perlu dipenuhi oleh debitur telah dipenuhi seperti AMDAL dan sertifikasi sertifikasi lingkungan yang relevan,” kata Aestika.

Sementara Mandiri, terhitung sejak 2019, laporan keuangannya konsisten mengatakan memiliki semangat untuk menjadi perintis perbankan ‘hijau’. Mandiri mengklaim memiliki sejumlah kebijakan yang memperhitungkan aspek lingkungan hidup dalam pengembangan produk atau jasa keuangannya.

Bank Mandiri menyatakan mendukung program-program pembiayaan dan investasi yang ramah lingkungan tetapi dalam kapasitas yang terbatas.

Sulit dimungkiri bahwa implementasi portofolio produk hijau masih memiliki sejumlah tantangan. Hal itu terjadi karena belum adanya aturan yang jelas tentang pemberian standar audit lingkungan maupun sosial kepada debitur,” tertulis di Laporan Keberlanjutan Bank Mandiri 2019.

Pembiayaan perbankan untuk energi terbarukan & proyek-proyek hijau. (Project M/Ruth Kartika)

Senada dengan Mandiri, BNI juga menyatakan bahwa Perseroan selalu berupaya untuk menghindari pemberian kredit kepada proyek atau usaha yang secara nyata dapat membahayakan lingkungan.

“Dalam kegiatan penyaluran kreditnya, selama ini BNI telah menerapkan program Green Banking. Green Banking merupakan sebuah konsep kegiatan pada sebuah institusi keuangan yang selalu memberikan prioritas pada keberlanjutan lingkungan dalam menjalankan praktik bisnisnya,” tulis laporan keberlanjutan Perseroan tahun 2018. 

Begitu juga BCA. Pada laporan tahunan dan laporan keberlanjutan tahun 2020, BCA menyatakan dua di antara sembilan tujuan pembangunan berkelanjutan prioritas BCA adalah energi bersih dan terjangkau, dan penanganan perubahan iklim.

Pada 2018, keempat bank ini dan sembilan lainnya membentuk Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI), sebuah forum terbuka yang bertujuan untuk mendukung penerapan norma keuangan berkelanjutan yang efektif dan inklusif. Ketigabelasnya mewakili 60 persen aset perbankan Indonesia.

Celah Regulasi

Mengapa bank nasional masih mau membiayai perusahaan batubara?

“Karena memang mengisi celah dari bank dan lembaga keuangan internasional yang meninggalkan batubara,” kata Dwi Rahayu Ningrum, peneliti Perkumpulan Prakarsa salah satu lembaga yang menginisiasi Responsi Bank.

Tren global sebetulnya menunjukkan adanya komitmen perbankan untuk menghentikan pendanaan batubara. Saat ini sudah lebih dari 100 lembaga keuangan yang signifikan secara global telah melakukan divestasi dari proyek batubara. Ini termasuk 40 persen dari 40 bank global teratas dan 20 asuransi besar.

Selain mengambil peluang dari absennya aliran dana global, pendanaan perbankan nasional ke industri batu bara juga didukung dengan tak adanya regulasi yang tegas terkait pembiayaan energi fosil, lanjut Dwi.

Ini terlihat dari Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang masih memberikan peluang pembangunan 13,8 gigawatt PLTU batubara di Indonesia, meski ada niat ambisius meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran listrik nasional dari hanya sekitar 15 persen pada 2021, menjadi 51,6 persen pada 2030.

“Pemerintah harus sejalan dengan bank nasional, yang punya uang, untuk mengurangi proyek PLTU. Jika tidak, target net zero 2060 tak akan tercapai,” kata Dwi.

Dalam Taksonomi Hijau yang dikeluarkan OJK pada tahun ini pun, proyek batubara masih masuk dalam kategori ‘kuning’. Artinya, industri ini berada dalam masa transisi antara ‘merah’ dan ‘hijau’ dan masih boleh dibiayai oleh bank nasional.

Alih-alih memberikan panduan industri mana saja yang berkontribusi untuk mitigasi perubahan iklim, taksonomi hijau Indonesia belum eksplisit memandu jenis usaha apa yang ikut menurunkan polusi, punya standar minimum safe guard dan sudah memenuhi panduan-panduan yang disepakati secara internasional.

Pertimbangan tetap memasukkan batubara dan PLTU dalam taksonomi hijau dilakukan dengan memberi persyaratan baku mutu limbah yang diperbolehkan. Jadi, selama PLTU memenuhi standar baku mutu yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka proyek tersebut masih boleh didanai.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) ada 2.733 sektor dan subsektor, ada 919 usaha yang sudah jelas ambang batasnya. Dari 919 usaha ada 904 yang belum bisa dikategorikan hijau. Hanya 15 sektor yang hijau dan 198 usulan subsektor baru untuk dikategorikan hijau.

Keuangan Berkelanjutan VS ‘Tanggung Jawab Sosial’

Jika dibandingkan dengan dukungan finansial kepada industri batubara, pendanaan untuk energi terbarukan dari bank-bank nasional terlihat jauh lebih kecil.

Misal pada 2018, BNI memberikan pinjaman untuk delapan proyek pembangkit listrik tenaga air. Enam proyek untuk PLTMh dengan investasi Rp100-250 juta. Sementara dua lainnya tergolong proyek terbesar, PLTA Poso di Sulawesi Tengah dan PLTA Malea di Sulawesi Selatan masing-masing Rp2,1 miliar dan Rp1,5 miliar.

“Ini kontradiktif,” kata Dwi Rahayu Ningrum, peneliti Perkumpulan Prakarsa salah satu lembaga yang menginisiasi Responsi Bank.

Untuk menyebar risiko, bank-bank nasional ini berinvestasi pada dua sektor yang masing-masing memperparah krisis iklim dan sektor yang menjadi salah satu langkah mitigasi perubahan iklim.

Lembaga keuangan memiliki dua peran dalam mendorong transisi energi, lanjut Dwi. Pertama, dengan meningkatkan pembiayaan di sektor energi terbarukan. Kedua, meningkatkan pembiayaan perusahaan utilitas untuk mendorong penggunaan energi terbarukan.

Namun, sebagian besar lembaga keuangan nasional belum punya daftar aktivitas yang tidak akan didanai. Laporan keberlanjutan (sustainability report/SR) bank-bank nasional umumnya hanya mencantumkan program-program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).

Di bidang energi, laporan keberlanjutan cenderung memaparkan kegiatan internal yang dilakukan bank sebagai sebuah entitas perusahaan dalam melakukan, diantaranya penghematan energi, air dan kertas, gedung yang menggunakan solar panel, green building, dan kebijakan lain semacam ini.

“Laporan keberlanjutan umumnya baru sekadar CSR dari bank. Harapannya tentu laporan keberlanjutan bisa melaporkan hal di luar CSR termasuk berapa besar pembiayaan yang diberikan kepada perusahaan batubara yang punya risiko tidak menguntungkan di masa depan,” katanya.

Risiko ini tak hanya berdampak terhadap target net zero emission secara global namun juga risiko kerugian secara finansial bagi bank dan negara karena risiko aset mangkrak (stranded asset) pada masa depan.

Batubara
Kaum muda berunjuk rasa di depan Grha BNI, Sudirman, Jakarta, Maret lalu. Mereka menuntut BNI dan bank-bank lainnya berhenti mendanai energi kotor Industri batubara dan memperparah krisis iklim. (Project M/Rangga Firmansyah)

Binbin Mariana, Juru Kampanye Keuangan dan Energi dari Market Forces mengingatkan, kebijakan perbankan yang tidak menjadikan perubahan iklim sebagai pertimbangan pemberian pinjaman, jaminan underwriter maupun sindikasi akan berisiko besar pada reputasi, kesehatan bank hingga merugikan masyarakat luas.

Bank-bank ini, kata Binbin tak sepenuhnya menyadari bahwa bisnis yang mereka bantu kembangkan berisiko rugi karena dampak krisis iklim.

Bak telur dan ayam, cuaca ekstrem sejatinya turut mengganggu operasional penambangan. Di sisi lain, industri batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar yang memperparah krisis iklim.

International Energy Agency (IEA)—organisasi antarpemerintah berbasis di Paris, juga telah mengingatkan bahwa permintaan akan batubara ke depan akan menurun. Mengingat produksi batubara Indonesia sekitar 20 persennya digunakan untuk kebutuhan domestik dan sisanya untuk ekspor, risiko kerugian finansial juga menanti.

“Kerugian perusahaan akan berdampak pada kemampuan perusahaan membayar pinjaman dan hutangnya,” kata Binbin.

Lebih lanjut, ketika perusahaan kesulitan membayar pinjaman seperti apa yang dikhawatirkan oleh BCA, akan berpengaruh terhadap NPL dan ujungnya akan mengurangi keuntungan bank.

“Bank harusnya concern dengan itu,” kata Binbin.

Masyarakat juga didorong untuk mengawal uang yang mereka taruh di bank tidak digunakan untuk memperburuk kondisi lingkungan dan memperparah krisis iklim.

Selain berupa setoran modal pemilik saham dan laba ditahan, sumber pendanaan bank juga berasal dari pihak ketiga yakni dari masyarakat atau lembaga lainnya berupa tabungan, giro, dan deposito.

“Karena ada uang kita. Kalau kita mau anak cucu kita hidup dengan layak di masa depan, kita perlu ikut andil meminta bank menghentikan pendanaan ke perusahaan batubara,” tutup Binbin.


Laporan ini adalah bagian dari serial reportase #EnergiKotor yang didukung Change.org dan Koalisi ##BersihkanBankmu.

Periset: Tim periset 350.org, Ronna Nirmala

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
23 menit