Banyak orang Jakarta mungkin tidak tahu bahwa kota besar ini sedang mengalami satu kehilangan besar di April 2022. Jakarta telah kehilangan Rasdullah, pemimpin serikat becak di Jakarta, pengorganisasi rakyat, bakal calon gubernur Jakarta di tahun 2002, dan seseorang yang cerdas serta jenaka.
Rasdullah meninggal di Jakarta tanggal 5 April 2022 malam hari, di tempat tinggalnya yang hanya sepetak di Jakarta Utara. Usianya 57 tahun. Ia meninggalkan anggota keluarga, ratusan penarik becak di Jakarta, dan ribuan warga yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota.
Jenazahnya dikebumikan di Indramayu, kampung halamannya.
Kami berempat adalah bagian dari mereka yang merasakan kehilangannya. Kami adalah bagian dari warga kota yang mengenal Rasdullah melalui pekerjaan kami sebagai aktivis, dosen, dan jurnalis. Kami berempat menulis kenangan kami atas Rasdullah sebagai satu catatan bagi warga Jakarta, mengapa perlu bagi kita untuk mengingat seberapa penting Rasdullah untuk Jakarta dan Indonesia.
* * *
Rasdullah, koordinator Sebaja, Serikat Becak Jakarta, telah berpindah ke rumah abadinya sekitar jam 21:15, pada 5 April 2022.
Tahun 2000 sampai 2002 adalah puncak pertarungan head on becak-becak Jakarta yang berkoordinasi dalam organisasi Sebaja, Serikat Becak Jakarta melawan pemerintah DKI Jakarta di bawah gubernur Sutiyoso.
Ketika itu Sutiyoso menerapkan strategi obat nyamuk, yaitu menyerang dari lingkaran paling luar (wilayah-wilayah becak yang paling lemah) lanjut sampai wilayah inti yang mampu membuat perlawanan dan memiliki pimpinan-pimpinan paling kuat. Pemprov DKI menyerang dengan brutal dan semena-mena: bahkan jam 2 pagi, becak di dalam rumah dan digembok juga dirampas.
Rasdullah berteriak kepada kawan-kawannya, para tukang becak: “Kawan-kawan, kita mau damai atau rame?”
Jawaban mayoritas anggota Sebaja, yang ketika itu berjumlah sekitar 10.000, adalah mengawali perlawanan fisik berdarah-darah: ada korban nyawa dari Satpol PP dan becak, beberapa tukang becak dipenjara, hampir semua kehilangan sumber nafkah karena becaknya digaruk, dirampas, yang sebagian dirumponkan di Teluk Jakarta.
Tahun 2002 juga saat Rasdullah menjadi dikenal luas karena ia dicalonkan oleh para tukang becak kawan-kawannya, didukung UPC (Urban Poor Consortium), sebagai gubernur Jakarta melawan Sutiyoso yang inkumben. Tindakan sarkasme simbolik itu dimaksudkan untuk mengatakan pejabat publik haruslah bersih jujur, cerdas, dan berpihak kepada rakyat miskin. Demikian itulah Rasdullah. Ditambah ia witty. Menggunakan kata-katanya, “Pejabat publik itu jangan seperti tugu Pancoran, bengkok artinya, tidak jujur, korup. Pejabat publik harus seperti tugu Monas, lurus, tegak artinya, adil dan berani dalam membela kepentingan rakyat.”
Kesulitan hidup tidak membuatnya patah. Ia bekerja apapun untuk bertahan hidup, tetap gembira walaupun tinggal, dan meninggal, di gubuk sempit di kolong tol Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara.
Ia tetap cerdas dengan rasa humor tinggi. Satu hari dia bilang, “Pantat tukang becak itu seperti pelabuhan, banyak kapalnya.” Kapal dalam bahasa Jawa berarti kulit yang keras menebal. Tentang tuduhan becak penyebab macet, ia menukas, “Itu jalan tol, tidak ada becak, macet.” Dan saat mengomentari jalur busway, dia bilang, “Becak wae, jangan buswae.”
Rasdullah adalah personifikasi rakyat yang penuh potensi kuat tetapi dipinggirkan oleh sistem sosial politik dan budaya yang tidak adil, yang elitis, yang feodalistik, dan korup.
Dengan segenap kekuatan kelasnya yang terorganisasi, kesadaran politik dan kesadaran hak, dan kecerdasan, dan kesabaran sebagai rakyat, dan ingenuity, pada akhirnya ia dan kawan-kawannya kalah, tergerus oleh kebijakan transportasi kota, oleh otomatisasi, dan oleh kejumudan yang mengutamakan kepentingan elite yang oligarkis. Tetapi Rasdullah bersama para tukang becak Jakarta, telah melawan dengan bermartabat. Dan semua itu, tak mungkin tidak, menyumbang kepada perjuangan gerakan sosial untuk keadilan semesta.
Selamat jalan Ras, terima kasih dan hormatku, berbahagialah di alam barumu.
Wardah Hafidz, aktivis, Urban Poor Consortium
* * *
Saya belum pernah bertemu Rasdullah secara langsung, tetapi sebagai peneliti gerakan sosial perkotaan di Indonesia, saya banyak belajar dari perjuangan Rasdullah. Beliau konsisten memperjuangkan becak di Jakarta. Sejak zaman Sutiyoso hingga Anies, beliau tidak segan-segan menyuarakan kritiknya kepada gubernur DKI Jakarta yang tidak memberi ruang pada becak, juga tidak segan-segan secara terbuka menagih janji politisi dari kubu mana pun.
Banyak orang mungkin berpikir bahwa becak adalah kendaraan yang tidak manusiawi, karena eksploitatif terhadap fisik manusia pengayuhnya. Namun, pembangunan kota yang tidak manusiawilah yang mengkondisikan para manusianya untuk berpikir demikian. Ketidaksinkronan skala perjalanan becak dengan skala jarak mobilitas di kota adalah hasil pembangunan yang melupakan becak.
Becak adalah sarana transportasi kampung kota, embrio-embrio permukiman urban, yang juga semakin dipinggirkan dengan skala kota yang memihak kepada kendaraan bermotor. Keberpihakan pembangunan kepada kendaraan bermotor ini pun tercermin dalam surat Rasdullah di tahun 2016: pembelaan terhadap ojek online, misalnya, tidak diimbangi dengan pembelaan terhadap becak.
Ketika sudah mulai ramai isu lingkungan dan transportasi emisi rendah, juga peningkatan animo masyarakat kelas menengah atas menuju sepeda rekreatif, becak tetap tidak kunjung mendapatkan apresiasi sebagai transportasi ramah lingkungan. Pemikiran hidup berkota telah didominasi oleh model-model pembangunan berskala besar, baik perkantoran, perumahan, maupun pasar dan jasa, sehingga masyarakat semakin dijauhkan dari kemampuan mengapresiasi becak. Namun Rasdullah, yang juga ketua Serikat Becak Jakarta, tetap aktif dalam pemajuan becak, pendataan dan penataannya. Beliau pun terlibat dalam diskusi dengan tim di Universitas Indonesia (sebagaimana dikisahkan Herlily secara lebih detail berikut ini) untuk membuat becak listrik, dengan tujuan meringankan beban pengayuh becak sembari tetap menjaga keramahan lingkungannya.
Dari Rasdullah, kita belajar tentang ketimpangan pembangunan kota. Kita belajar bahwa pembangunan kota yang sekilas tampak rasional ini sebenarnya meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang sebenarnya merupakan bagian sentral kehidupan berkota. Seringkali yang dipinggirkan ini adalah masyarakat miskin, termasuk di dalamnya adalah tukang becak, ketika ruang-ruang kota yang dianggap “kemajuan” itu adalah ruang-ruang yang membunuh becak. Dari Rasdullah, kita belajar bahwa sebenarnya pembangunan alternatif itu ada, di mana suara, pengalaman kehidupan, dan agensi (kesadaran-kapasitas-kemampuan-kemandirian) warga miskin mendapatkan ruang yang layak dalam kota.
Jakarta kehilangan seorang pejuang kota ketika Rasdullah berpulang pada hari Selasa 5 April 2022. Dari Rasdullah, kita belajar bahwa perjuangan belum berakhir untuk menuju kota yang lestari dan berkeadilan.
Rita Padawangi, Associate Professor (Sociology), SUSS
* * *
Pertemuan pertama saya dengan Rasdullah terjadi pada pertengahan 2000an. Saat itu di halaman sekretariat Urban Poor Consortium (UPC) di Billy Moon, ia sibuk mempersiapkan atribut untuk aksi.
Saya menyapa, “Ini Pak Rasdullah ya?”
Ia hanya menoleh menatap tajam sejenak, “iya,” lalu kembali meneruskan mengecat atribut. Saat itu, saya sebetulnya belum mengenalnya, hanya tahu ia adalah ketua Serikat Becak Jakarta (Sebaja) dan mendengar kiprahnya dari berita media saat ada penggusuran becak dan saat pencalonan gubernur. Kemudian, ketemu lagi sejenak pada 5 Juni 2005 saat UPC mengadakan demo besar menolak Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum, di Bundaran Hotel Indonesia.
Hampir 13 tahun berlalu, Jakarta berganti lima gubernur, saya berkesempatan bertemu lagi dengan Rasdullah dan Sebaja-nya. Kala itu di awal tahun 2018, beberapa bulan setelah gubernur baru terpilih, Koordinator UPC Guntoro, yang dikenal juga dengan nama Gugun Muhammad, meminta saya menemani Sebaja melakukan pemetaan pangkalan dan trayek becak di Jakarta Utara, Barat, dan Timur, melengkapi proses tindak lanjut perjanjian politik antara JRMK-Sebaja dan gubernur terpilih. Kami lalu buat janji bertemu di samping Pasar Teluk Gong, Penjaringan. Rasdullah dan rekan-rekannya, beserta kibaran bendera Sebaja telah menunggu saya dan Pak Jachrizal dengan sumringah.
Saya terkejut sekaligus senang, ternyata masih banyak becak di sana! Kami lalu pindah ke area dalam permukiman, naik becak lagi di Jakarta setelah puluhan tahun, menuju ke lokasi rapat (gang yang lebih lega dan sepi) bersama para pengemudi becak.
Kami mengobrol dengan asyik. Rasdullah dengan antusias dan gembira, menceritakan betapa becak masih sangat diminati dan dibutuhkan terutama di area permukiman, mengantar anak-anak sekolah, ibu-ibu ke pasar, emergency ride ibu hamil ketika hampir tiba saat melahirkan. Rasdullah pun dengan gembira dan bangga mengatakan, bahwa becak adalah moda transportasi umum perkotaan melayani area permukiman yang paling ramah lingkungan.
Kami lalu menyusun rencana: (1) melakukan pemetaan pangkalan dan rute kayuh; (2) melakukan pendataan becak dan pengemudi bersama Dinas Perhubungan DKI dan (3) bersama-sama mendesain becak baru.
Area Teluk Gong menjadi area pertama yang kami petakan bareng mahasiswa. Hasil pemetaan mengindikasikan bahwa pangkalan berada di titik fasilitas umum dan sosial seperti pasar, sekolah, tempat ibadah seperti masjid dan gereja dan gerbang kampung yang bersinggungan dengan “jalan besar”, serta di dalam permukiman yang tersebar di ujung-ujung gang.
Sambil memetakan, satu-satu dimusyawarahkan, mana yang boleh, mana yang tidak boleh dilalui. Selama proses, Rasdullah rajin mencatat kesepakatan di buku kecil lusuhnya, dan ia menegur keras anggotanya yang mencoba menawar. Intinya, Rasdullah berkomitmen, becak bisa diatur dan tertib, menepis stigma semrawut tidak bisa diatur. Untuk mendukung ini, Rasdullah minta agar pangkalan dibuatkan rambu halte. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Lurah Pejagalan saat itu.
Setelah pemetaan, kami melakukan pendataan awal di 10 area bersama Dinas Perhubungan, mendata pengemudi dan becaknya: memfoto becak, KTP, dan orangnya. Tanah Pasir, Muara Baru, Teluk Gong, Muara Angke, Jelambar, Semper Barat, Koja, Tanjung Priok, Pademangan Barat, Pademangan Timur jadi sasaran awal. Terdata di Teluk Gong saja, 286 becak aktif beroperasi saat itu. Pendataan ini sempat memicu geger masyarakat dan karena becak berkumpul dalam jumlah besar di beberapa lokasi dan terlihat signifikan!
Pada minggu minggu itu becak kemudian menjadi perbincangan panas, disudutkan oleh hampir sebagian besar media dan para pemuja kemajuan semu kota.
Rencana ketiga tidak kalah menarik: mendesain becak “baru” bersama Rasdullah dan para pengemudi Sebaja. Saya sampaikan, imaji becak sebagai simbol kemiskinan (abang becak), harus diubah citranya menjadi pembawa pesan lestari (duta sustainability) yang membanggakan, seperti yang diyakini Rasdullah. Mereka sepakat. Mereka juga tidak mau bentor (becak motor) karena, “nggak keringetan dan memerlukan biaya bahan bakar”. Bantuan dinamo listrik bisa diterima, karena sejalan dengan sustainability dan membantu pengemudi yang sepuh di tanjakan dan area sulit lainnya.
Saya lalu perlihatkan contoh-contoh “becak” di luar negeri, baik dengan model pengemudi di depan, di samping, di belakang, roda depan 1 atau roda depan 2, pendek kata segala contoh model yang cakep-cakep di negara negara lain. Surprise, surprise, semua tidak disuka! Apa alasannya? Ternyata mereka hanya mau model becak yang sekarang, karena pantatnya bisa diangkat! Ya, pantatnya becak harus bisa diangkat, untuk lalu pivot berputar, karena area layanan mereka memasuki gang-gang permukiman yang kadang buntu atau sempit, sehingga sulit untuk manuver berbalik. Hanya bisa dengan mengangkat pantat becak.
Ini jadi tantangan buat saya yang puluhan tahun melakukan participatory desain untuk hunian, namun belum pernah untuk (participatory) desain kendaraan. Akhirnya saya dan tim dari jurusan mesin dan interior memutuskan untuk lebih jauh melakukan dialog dan riset kecil. Rekan jurusan mesin, Pak Aditya mencoba merasakan langsung kemudikan becaknya, dan rekan desain, Bu Nevine mengukur proporsi ergonomi tubuh pengemudi terhadap becaknya.
Pantat becak bisa diangkat, untuk bisa melayani gang-gang permukiman, menjadi titik tolak. Namun, apa becaknya nyaman dikayuh ya? Ternyata, becak saat ini menyatukan kemudi dengan bak becak, sehingga ketika berbelok menjadi sangat berat karena harus mengarahkan bak penumpang beserta isinya. Namun Rasdullah membantah, “ah biasa aja, ngga berat”. Kedua, mereka ternyata tidak duduk di dudukan sadel namun mundur duduknya di atas spakbor roda belakang supaya kaki tidak mentok ke bak penumpang ketika mengayuh.
Supaya cepat, kami bongkar satu becak bekas dan satu sepeda sebagai uji coba modifikasi. Kemudi kami buat terpisah dengan bak penumpang, roda belakang difungsikan, dinamo listrik dipasang, dan detail-detail ergonomi (ketinggian, jarak, posisi sadel) disesuaikan hasil pengukuran manual dan catatan-catatan.
Setelah selesai, Rasdullah dan rekan-rekannya kami undang ke Lab Mesin di Kampus UI Depok. Mereka mencoba prototype versi 1. Suasana riang gembira sekali saat uji coba. Komentar Rasdullah “Ini kok jadi loncer sekali ya hahaha….!”
Ternyata dengan modifikasi kemudi dan tambahan tenaga listrik, jadi terlalu ringan buat mereka. Di hari yang sama, untuk penyempurnaan mereka kami minta untuk “body scan” di lab ergonomic Departemen Teknik Industri. Ekspresi canda celetukan Rasdullah dkk sesudah keluar dari mesin body scan masih jelas terbayang dan membuat saya tersenyum-senyum geli.
Tapi ternyata dari prototype versi-1 hingga bisa diwujudkan perlu beberapa proses, yang saya sendiri kurang paham. Proses penggambaran teknis secara presisi, proses produksi produk, dan seterusnya. Amanat pekerjaan prioritas yang harus dikerjakan di Lab Mesin, antara lain pekerjaan Bis Listrik Nasional dari Kemenristekdikti saat itu mengalahkan penyelesaian prototype lanjutan becak untuk Sebaja sehingga jadi tertunda-tunda. Rasdullah menemui saya, menagih dan saya katakan, “sabar ya Pak….sedang dikerjakan”. Namun belum selesai pengerjaan, Covid-19 keburu datang. Kampus dan lab tutup.
Satu tahun terakhir Rasdullah memang terlihat tidak seperti biasanya yang jenaka, enerjik, dan cerewet. Ia terlihat lebih pendiam. Istrinya bilang, “Dadanya Bapak suka sesak sejak jatuh dadanya kena setang, jadi kalau banyak bicara rada sesek dan nahan sakit.”
Namun dari resep dokter yang saya lihat untuk Rasdullah, tertulis obat kolesterol statin yang harus dikonsumsi rutin, dan kata istrinya, ada satu macam obat lagi yang harus ditaruh di bawah lidah jika serangan sesak datang. Pada pertemuan terakhir dengannya di Raker Sebaja didampingi UPC di Cianjur, 12 Januari 2022, Rasdullah menyampaikan kepada 2 anggota TGUPP (Pemprov DKI) melalui Zoom:
“Kalau untuk narik yang sekarang ini kayaknya enak ngga pecicilan ngga ada Satpol PP duduk juga santai nyender sampe tidur atau ketiduran…ya kan…tapi ya penumpangnya juga ga ada. Gimana ya pak, akhirnya saya mencari batu loncatan, kalau ada yg nyuruh mijet saya mijet, becaknya saya tinggal, ada yg nyuruh nektokin bangunan becaknya ditinggal jadi ya pada kayak gitu jadi ngga khusus kaya dulu. Kalau dulu kan khusus narik becak jadi uang itu bener-bener hasil keringat dari becak kalau sekarang serabutan. Ada tukang pecel lele udah mau maghrib pasang tenda buru-buru tu bantuin tendanya tukang pecel lele di jalanan. Kadang-kadang tu temen saya pada begitu atau mulung. Jadi uang itu bukan khusus dapat khusus narik. Kalau di DKI jadi sekarang beda lagi, ‘udah lunas janji (Pak Gub), ngga takut ada Satpol PP, udah enak, tapi malah nyari duitnya yang susah. Lha ini gara-garanya apa ni Pak kalau kaya gitu, temen-temen suka pada nanya ke saya. Ya saya bilang karena banyak grab banyak ojol banyak bajaj ada Jaklingko dan orangnya juga udah pada punya motor. Langganan saya aja ni ada tiga. Saya nariknya biasa dari Pasar Ikan ke Tanah Abang tapi sekarang udah pada punya motor KIAT jadi dia pake motor KIAT saya ngga kepake lagi.”
“Tadi saya diskusi gimana becak itu dilestarikan di taman-taman rekreasi, terus kita kepengen kayak supir Jaklingko jadi digaji di pemda, jadi pemda per konsumennya bayar ke pos jadi uangnya ke negara jadi supaya kita tiap bulan ada gaji gitu ngga mikirin ngga ada penumpang. Lah besok juga gajian tapi mangkalnya di taman-taman rekreasi nah kalau begitu untuk masa depan. Kalau misalnya yang sepuh-sepuh ini kan sudah nggak kuat narik becak nah bagaimana pemerintah bisa mengangkat mereka, dimanusiakan ya artinya kalau pemerintahnya makan daging ya rakyatnya makan daging juga dong, jangan pemerintah makan daging rakyat makan tahu-tempe. Nah itu yang untuk ke depannya. Nah ini kan namanya usulan, soal diterima enggaknya ya usulan lillahi-taala, yang penting saya punya usulan yang sukur-sukur kan DKI punya program lansia. Buat yang punya KTP DKI nah terus bagaimana kita-kita ini (yang kebanyakan) tidak punya KTP DKI tapi bisa ngga Pemda ngasih toleransi, supaya jangan pakai KTP dong, pakai domisili saja bisa ngga. Misal saya berdomisili di Pademangan, saya sudah lansia, nah udah harus dapat. Jadi misalnya dapat penghasilannya dikit tapi dapat santunan dari Pemda, begitu kira-kira”
Entah kapan utang janji kami pada Rasdullah dan Sebaja-nya bisa kami lunasi. Becak listrik yang nyaman dikemudikan, ergonomis bagi penumpang dan pengemudinya. Motor, ojol, Jaklingko dan Covid-19 keburu menghantam keras. Becak nyaris mati suri kehilangan penumpang terutama saat Covid-19. Persis seperti kata Rasdullah, walaupun digaruk, dikejar seperti apapun, becak akan tetap ada jika penumpangnya masih ada dan membutuhkan. Mudah-mudahan pesan terakhir Rasdullah, agar becak tetap lestari di Jakarta (melayani tempat rekreasi) dan rekan-rekannya sejahtera karena “bisa bekerja seperti supir Jaklingko,” bisa segera dikabulkan Pemprov DKI Jakarta. Pak Rasdullah, kau membuatku ngenes tak berkesudahan. Selamat jalan Pak Rasdullah, terima kasih banyak telah berbagi pelajaran berharga pada kami semua.
Herlily, Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia
* * *
Sebagai jurnalis yang lama meliput isu perkotaan nama Rasdullah bukan nama yang asing. Bisa jadi dia satu-satunya tukang becak di Jakarta yang nomor kontaknya disimpan di hape sejumlah jurnalis. Dalam kurun waktu kurang lebih dua dekade, Pak Rasdullah adalah seorang newsmaker.
Awalnya ketika di kurun waktu 2000-2002 ketika Rasdullah menjadi salah satu tukang becak paling keras kepala yang melawan Gubernur DKI Sutiyoso yang memusnahkan becak dari bumi Jakarta dengan cara yang menurut aktivis Urban Poor Consortium Wardah Hafidz menyebabkan perlawanan fisik yang “berdarah-darah”, berakibat kematian baik dari pihak becak maupun Satpol PP.
Pada 2018, sejumlah media arus utama menyudutkan becak di Jakarta. Berbagai tuduhan disematkan pada Serikat Becak Jakarta (Sebaja) yang waktu itu meminta Pemprov DKI untuk membiarkan mereka beroperasi di kampung-kampung kota, terutama di Jakarta Utara. Permintaan mereka sebenarnya sederhana: biarkan kami beroperasi seperti biasa.
Saat itu mayoritas orang Jakarta bahkan tak tahu bahwa ratusan becak masih beroperasi dan memiliki pelanggan di kantong-kantong permukiman tertentu. Bisa dibilang, keberadaan becak tidak menimbulkan konflik, sebenarnya. Mereka bisa beroperasi tanpa mengganggu warga Jakarta, bahkan sebenarnya melayani sebagian warga yang menjadi pelanggannya.
Tetapi mereka masih menghadapi garukan karena kebijakan yang membuat mereka ilegal. Begitu jurnalis-jurnalis, kebanyakan kelas menengah yang bias kendaraan bermotor, mendengar ada becak masih beroperasi dan minta jangan digaruk, banyak media dilanda kepanikan bahwa becak akan memenuhi jalan protokol dan menghalangi derum mesin motor dan mobil mereka. Berita-berita yang menyudutkan becak pun bermunculan.
Saya membaca beberapa dan lumayan merasa marah atas kegagalan para jurnalis untuk bersikap objektif. Banyak dari mereka juga reaksioner dan panik tak proporsional, menambah-nambahkan fakta, seolah Sebaja minta becak bisa beroperasi di seluruh Jakarta dan akan beroperasi di jalan-jalan protokol seperti Jl. Jend. Sudirman, meski tidak ada pembicaraan ke arah situ.
Becak dilabeli biang macet, membikin Jakarta tidak kunjung “maju”, dan dikatakan sebagai profesi tidak manusiawi.
Padahal kalau jurnalis bisa berpikir jernih, becak adalah transportasi ramah lingkungan, desainnya inovatif untuk melayani warga kampung padat yang menjemput anak sekolah, membawa belanjaan pasar. Persoalan manusiawi tidak manusiawi pun bisa dilihat tidak secara hitam putih, dan label tukang becak tidak manusiawi juga diliputi bias-bias kelas menengah kantoran yang merendahkan kerja-kerja fisik manual tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan kemajuan zaman. (Para kelas menengah, di sisi lain, merayakan pasukan oranye yang masuk sungai (baca: comberan penuh limbah kita-kita) untuk secara manual memulung sampah padat toksik di tengah limbah cair toksik).
Di saat narasi sedang “kenceng-kencengnya” dan serangan media terhadap rakyat miskin kota tergelar secara lumayan vulgar, Rasdullah malah becanda. Dan seperti karma, mungkin, beberapa jurnalis kena “prank” Rasdullah. Saya yakin pak Rasdullah tidak bermaksud ngerjain atau punya niat jahat. Pernyataannya tentang Sebaja yang akan mengembangkan “Beol Cepirit” atau Becak Online Cepat dan Irit adalah semata siasat dia untuk mengajak jurnalis membayangkan becak dengan cara yang berbeda.
Setahu saya istilah Beol Cepirit dia dapat dari tempat lain, mungkin seliweran, celetukan orang di media sosial. Bisa jadi ini celetukan untuk ngeledek becak, tapi Rasdullah yang dikenal memiliki rasa humor yang istimewa, dengan santai merebut istilah itu untuk mengajak orang membayangkan bahwa becak, jika diberi akses ke teknologi, mungkin lebih bisa diterima oleh kelas menengah dan kelas menengah atas.
Celetukan Rasdullah dikutip secara serius oleh banyak media termasuk media-media besar yang dengan tidak adil “menghajar” becak beberapa hari sebelumnya. Akhirnya Gugun Muhammad, kolega Rasdullah di Urban Poor Consortium (UPC), harus mengklarifikasi bahwa Rasdullah “becanda”. Saya ngakak mendengar ceritanya.
Saya bisa melihat mengapa Rasdullah dengan santai bicara ke wartawan tentang Beol Cepirit. Di catatan tulisan tangan Rasdullah, yang diarsipkan dengan baik oleh Rita Padawangi, Rasdullah membandingkan becak dengan GoJek atau ojek online, yang sama-sama “ilegal”, sama-sama beroperasi tanpa alas hukum yang jelas sebagai transportasi publik. Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri yang membela GoJek hanya dengan satu utas cuit hingga bawahannya bungkam semua dan GoJek terus menjadi perusahaan raksasa di Indonesia.
Ini tidak luput dari perhatian Rasdullah, warga Jakarta yang pernah mendukung Jokowi di tahun 2012 dan 2014, karena Jokowi menjanjikan akan membela becak di Jakarta. Bukan kejutan, Jokowi cacat janji. Rasdullah sempat mendatangi Jokowi, dengan rakyat miskin lainnya, mengenakan jas hujan plastik kresek, ke istana tahun 2016 untuk menagih janji.
Jokowi, tetapi, memilih membela ojek online yang sama-sama ilegal. Mungkin di pikiran Rasdullah, jika ada kata “online” di sebelah becak, sebagaimana halnya ada kata online di sebelah ojek yang dulu pun dianaktirikan pembuat kebijakan, apakah becak bisa mendapatkan kesempatan dan merebut hati warga dan pejabat? Kenapa tidak?
Sikap “kenapa tidak” ini juga yang saya kira membuat Rasdullah percaya diri mengajukan diri menjadi calon gubernur di laga 2002-2003. Didukung oleh UPC, Rasdullah memukau para jurnalis. Waktu itu kolega saya di The Jakarta Post, Damar Harsanto, sampai ditugaskan oleh redakturnya untuk membuat profil Rasdullah.
Dalam pertarungan gubernur, dia tidak lolos kualifikasi tetapi namanya kemudian dikenal orang sebagai salah satu tokoh Jakarta. Memang Rasdullah ditakdirkan bukan menjadi gubernur, tapi justru di sisi seberang, terus melawan Pemprov DKI, tepat seperti yang dia nyanyikan di sebuah video YouTube yang disutradarai oleh Tubagus Rachmat, menampilkan Rasdullah menarik becak dan menyanyi: “Kita bersatu lagi, kita berjuang lagi, lawan Pemprov DKI.”
Ketika industri informasi dan narasi dikuasai mereka yang berduit dan berkuasa, perspektif rakyat miskin seperti Rasdullah dipinggirkan dan tidak didengarkan. Tetapi orang seperti Rasdullah, dengan kecerdasan, kejenakaan, dan imajinasinya yang kaya, berkali-kali mengingatkan kami para jurnalis bahwa yang disebut sebagai objektivitas dalam pemberitaan bukan hanya perkara “both sides” tetapi juga persoalan bagaimana kami bisa mengelola bias kelas menengah kami dan melihat pembangunan kota dari sudut pandang yang adil.
Evi Mariani, jurnalis, Project Multatuli