BUMI TRENGGALEK dalam ancaman kerusakan. Kabupaten di Jawa Timur yang kaya dengan ekosistem karstnya ini sedang diincar ambisi perluasan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Cerita ini bermula sejak terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Trenggalek nomor 702/2005. Lewat SK Bupati itu, PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) mengantongi izin konsesi eksplorasi pertambangan seluas 17.586 hektare.
Pada 2007, Pemerintah Kabupaten Trenggalek memberikan perpanjangan kuasa pertambangan wilayah eksplorasi SMN dan memperluasnya hingga mencapai 30.044 hektare. Luasan mencaplok seperempat dari wilayah Kabupaten Trenggalek.
Kemudian, saat bupati tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan, SMN kembali mengantongi izin terbaru melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor P2T/70/15.01.III/2016. Izin dengan luasan 29.969 hektare itu, diketahui berlaku hingga 2018.
Izin kembali diperbarui dan diperluas melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor P2T/57/15.02/VI/2019. Izin berlaku hingga 2029, dengan wilayah konsesi mencapai 12.813,41 hektare yang tersebar di sembilan kecamatan, yakni Tugu, Karangan, Suruh, Pule, Gandusari, Dongko, Kampak, Munjungan, dan Watulimo.
Kawasan karst menjadi tangki penyimpanan alami cadangan air bersih. Bila rusak, maka ratusan sumber mata air yang mengairi puluhan ribu hektare area pertanian dan lahan perkebunan sumber kehidupan masyarakat sekitarnya bakal terganggu.
Di Trenggalek, luas kawasan ekosistem karst mencapai 53.506,67 hektare yang tersebar di 13 kecamatan dan 108 desa dari proses evolusi jutaan tahun. Dokumen Rencana Program Infrastruktur Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten Trenggalek 2016-2020, menyebutkan terdapat 361 potensi sumber air yang tersebar di 14 kecamatan. Seluruhnya memiliki debit rata-rata 658 liter per detik.
Tetapi bukan hanya ekosistem karst yang terancam dengan rencana ekspansi tambang emas ini. Dari 120.500 hektare luas keseluruhan wilayah Trenggalek, setengahnya merupakan areal kawasan hutan. Luasan hutan itu terdiri atas 17.988,40 hektare hutan lindung, 44.036,10 hektare hutan produksi, dan hutan wisata seluas 64,3 hektare.
Warga menolak rencana ekspansi pertambangan emas dengan luas konsesi terbesar di Pulau Jawa ini. Namun, relasi kuasa berkata lain.
Sumber Mata Air Terakhir
Penelitian lapangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur sepanjang Maret-Mei 2022, mengindikasikan potensi sumber air di Kabupaten Trenggalek melebihi dari apa yang tertulis dalam dokumen RPIJM.
Semisalnya di Kecamatan Watulimo. Merujuk dokumen yang sama, di Kecamatan Watulimo disebutkan terdapat 18 mata air. Namun, seorang pengurus desa yang kami temui di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo pada awal Maret 2022, mengatakan di Dukuh terdapat setidaknya 43 mata air.
“Mata air di desa kami tidak hanya mengairi pertanian dan kebutuhan rumah tangga warga Dukuh, tetapi juga untuk desa-desa lainnya. Kalau seluruh Kecamatan Watulimo jumlahnya bisa mencapai ratusan,” katanya.
Begitu juga dengan temuan kami di Kecamatan Kampak. Dari penelitian lapangan yang kami lakukan sepanjang Maret-Mei 2022, kami menemukan 26 sumber mata air dengan total debit 587 liter per detik. Padahal, di dalam dokumen RPIJM Trenggalek 2016-2020, Kecamatan Kampak disebutkan hanya memiliki 6 mata air.
Mengapa ini bisa terjadi? Narasi umum pemerintah kerap menyimpulkan bahwa desa-desa di bentang kawasan karst memiliki karakter wilayah yang kering, kekurangan air, dan gersang. Padahal, beragam studi menunjukkan sebaliknya.
Selain itu, kawasan karst juga dikenal sebagai rumah bagi beragam spesies yang membantu penyerbukan tanaman yang dibutuhkan untuk kegiatan pertanian. Di seluruh Indonesia, luasan kawasan karst mencapai sekitar 15,4 juta hektare.
Oleh karenanya, kehancuran kawasan karst di Trenggalek bakal turut memicu krisis pangan di Jawa Timur pada masa mendatang, sekaligus mendorong terjadinya ledakan pengungsi sosial-ekologis dari wilayah pedesaan ke berbagai wilayah termasuk ke luar negeri.
“Tambang tidak akan memberikan kesejahteraan bagi warga setempat. Sudah banyak contohnya, dan kami tidak ingin itu terjadi disini. Kami ingin menjaga mata air dan kampung untuk generasi selanjutnya,” ungkap Nusi, warga Desa Bendoagung, Kecamatan Kampak, pada April 2022.
Di Kampak, ada sejumlah desa yang masuk wilayah konsesi SMN, salah satunya Desa Bendoagung. Di wilayah ini berdiri gugusan perbukitan karst dan gunung yang cukup terkenal, yakni Manikoro dan Prongos, keduanya menjadi tumpuan warga sebagai kawasan resapan dan pusat mata air.
Sepanjang tahun ini, warga memasang puluhan spanduk menolak kehadiran tambang di desa mereka. Selama periode itu pula, orang-orang yang mengaku dari pihak perusahaan gencar menemui sejumlah tokoh masyarakat.
Namun, dua warga yang mengaku pernah ditemui oknum tersebut mengatakan upaya lobi perusahaan akan berujung sia-sia. “Tidak banyak hutan dan kawasan karst yang tersisa di Jawa. Trenggalek adalah salah satu benteng terakhir untuk menjaga Jawa dari bencana krisis air,” kata Nusi.
Kami bersepakat dengan itu. Urat air tidak bisa dibaca dan dilihat begitu saja melalui kacamata kartografi modern. Tapal batas yang merangkai titik-titik koordinat dan garis imajiner justru menyebabkan keretakan, membuat jarak antara manusia dengan alam, dan mengaburkan hubungan timbal balik antar-makhluk hidup.
Batas-batas buatan itu selama ini digunakan negara maupun swasta untuk menunjukkan peran dan fungsinya sebagai alat kontrol, penundukkan, serta eksploitasi atas air, tanah, dan ruang hidup. Maka tak mengherankan negara kerap menemui kegagalan dalam memecahkan krisis air karena bertumpu pada logika “http://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi tapal batas” warisan kolonial, terlebih dalam semangat akumulasi keuntungan.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019, memprediksi pada tahun 2040, Pulau Jawa akan mengalami krisis air yang dipicu oleh berbagai faktor. Di antaranya perubahan iklim dan alih fungsi kawasan resapan.
Lewat proyeksi iklim Representative Concentration Pathways 4.5, LIPI menegaskan bahwa rata-rata defisit air dalam setahun di Jawa bakal terus meningkat sampai tahun 2070.
Dalam menghadapi ancaman krisis air itu, alangkah baiknya kita memilih jalan panjang dengan membaca dan mengurut kembali urat air dari hulu sampai hilir secara integral. Kemudian, untuk menemukan agenda pemulihannya, kita harus memeriksa dengan sumber permasalahan dan krisis ekologis lain yang turut menyertainya. Kami meyakini, krisis yang terjadi di alam juga disebabkan oleh ketidakseimbangan dari apa yang kita produksi di dunia sosial.
Ancaman Bencana Industri
Bagi warga Trenggalek, hutan dan karst adalah jantung utama penggerak seluruh urat nadi kehidupan yang menopang keberlangsungan dan kekayaan keanekaragaman hayati di hulu dan hilirnya.
Kawasan karst dikenal memiliki sifat batuan karbonat yang mempunyai banyak rongga percelahan dan mudah larut dalam air serta memiliki kemampuan resapan air yang tinggi dan membentuk sistem hidrologi yang unik.
Dalam penelusuran yang kami lakukan, warga Trenggalek memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keselamatan sumber daya air dari kawasan pegunungan karst yang menjadi kawasan IUP SMN.
Data sumber air warga Kabupaten Trenggalek menunjukkan hanya 0,94 dari rumah tangga di sana yang menggunakan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sisanya, masih mengandalkan sumber mata air dari kawasan karst dan air sumur bawah tanah.
Kawasan hutan dan karst juga dikenal memiliki peran penting dalam menahan laju perubahan iklim karena kemampuannya menyerap dan mengikat karbon. Maka bukan tidak mungkin, aktivitas pertambangan SMN bakal mempercepat laju pemanasan global dan krisis iklim. Bila itu terjadi, maka kelas-kelas sosial yang paling rentan, seperti buruh tani dan petani pemilik lahan kecil akan menanggung dampaknya yang paling besar, termasuk perempuan.
Selain itu, hampir seluruh kawasan di Trenggalek juga memiliki karakter pegunungan dan perbukitan yang didominasi oleh lereng-lereng terjal. Setidaknya terdapat 32076,13 hektare yang tercatat memiliki tingkat kemiringan 25-40 persen, dan 28378,11 hektare lainnya memiliki tingkat kemiringan di atas 40 persen.
Peraturan Daerah nomor 15/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Trenggalek 2012-2032 telah menggarisbawahi bahwa 9 kecamatan yang berada dan berbatasan langsung dengan wilayah IUP SMN merupakan kecamatan-kecamatan berstatus rawan bencana tanah longsor dan banjir.
Dengan aspek risiko sedimentasi dan suspensi yang dapat terjadi dalam wilayah pertambangan, seperti perubahan bentang lahan dan kestabilan tanah, maka operasi pertambangan emas di Trenggalek akan meningkatkan angka kerentanan bencana terhadap 9 kecamatan tersebut, dan 5 kecamatan lainnya.
Rekam Jejak Sang Pengeruk
Selain di Jawa Timur, operasional SMN juga berlangsung di Bima, Nusa Tenggara Barat. Pada 2011, bentrokan terjadi menyusul penolakan warga atas kehadiran tambang yang menyebabkan kerusakan lahan pertanian dan sumber air minum.
Mengutip KOMPAS.com, perlawanan itu berujung bentrok warga dengan aparat keamanan dan mengakibatkan 3 warga meninggal dunia, serta puluhan lainnya mengalami luka-luka.
Bentrokan itu mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan desakan dan rekomendasi agar pemerintah mencabut izin SMN pada 3 Januari 2012.
Dengan rekam jejak SMN di Bima, warga Trenggalek merasa khawatir peristiwa kekerasan serupa dan krisis sosial-ekologis yang ditinggalkannya dapat terjadi di kampung mereka.
Terakhir diketahui, SMN berafiliasi dengan Far East Gold (FEG), sebuah perusahaan yang berbasis di Australia. Selain di Australia dan Trenggalek, FEG juga tengah mengincar Provinsi Aceh dan Wonogiri di Jawa Tengah. Di Pulau Jawa, konsesi pertambangan emas milik SMN menjadi yang terluas, menyusul PT Merdeka Copper Gold (MCG) di Banyuwangi.
Rekomendasi WALHI Jawa Timur
Pada awal Juni tahun lalu, WALHI Jawa Timur dan Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) pernah mendesak Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin untuk menerbitkan payung hukum yang memastikan perlindungan terhadap kawasan karst, hutan, area rawan bencana, dan cagar budaya. Salah satunya dengan mengusulkan penetapan Kawasan Ekosistem Esensial.
Namun, usulan itu sepertinya terganjal oleh pemerintah pusat. Pada 18 Mei 2021, Nur Arifin pernah mengajukan permohonan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) agar meninjau ulang IUP Operasi Produksi SMN. Namun, upaya itu berujung buntu.
“Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sesuai kewenangannya memastikan PT SMN melakukan kegiatan pertambangan dengan menerapkan kaidah pertambangan yang baik dan benar (good mining practice)…,” tulis KESDM dalam surat tanggapannya, 12 Februari 2022.
Mantra-mantra pembangunan berbasis industri ekstraktif tampaknya lebih menjanjikan bagi pemerintah. Sementara bagi warga, sepertinya tak ada jalan lain selain menguatkan perlawanan dan memukul “kentongan” solidaritas antar kampung lebih keras untuk menghadang rencana perusakan itu.
Mereka tak ingin Trenggalek bernasib sama seperti Banyuwangi yang tersandera modal dan negara, serta menuju kebangkrutan sosial-ekologis.
Kami mencatat, ancaman pembangkrutan serupa kini terus ditebar di seluruh selatan Jawa Timur. Salah satu stempel keruknya telah dicetak melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) Tahun 2011-2031. Dalam Pasal 79, disebutkan ada 8 kabupaten di pesisir selatan yang menjadi kawasan pertambangan mineral logam.
Dengan demikian, tidak mengagetkan jika dalam satu dekade terakhir, industri pertambangan terus meluas dan memicu peningkatan konflik agraria di pesisir selatan Jawa Timur. Kasus pembunuhan Salim Kancil pada 2015 di Lumajang, dan kriminalisasi Budi Pego pada 2017 di Banyuwangi telah menjadi dua penandanya.
Kisah serupa sangat mungkin terulang kembali pada tahun-tahun mendatang, seirama dengan kecepatan langkah kapitalisme dan denyut jantung neoliberal yang menggerakannya.
Muhammad Afandi adalah peneliti independen dan Kepala Advokasi WALHI Jatim.