Menjelang tengah malam, kendaraan yang saya tumpangi berhenti tepat di depan pintu masuk Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Minggu, 2 Oktober 2022. Sehari sebelumnya, pada waktu hampir sama, ratusan Aremania meregang nyawa. Sampai sejauh ini, menurut sumber resmi, ada 131 korban jiwa usai pertandingan Arema melawan Persebaya Surabaya dimenangkan oleh tim tamu dengan skor 2-3.
Bulu kuduk saya merinding saat berdiri di hadapan sebuah bendera putih bergambar singa yang dibentangkan di pagar besi, di bawahnya, di aspal jalan itu, bunga-bunga bertaburan, mengenang bagaimana mereka yang tercekik napasnya oleh gas air mata, terinjak-injak dan terbunuh.
Saya merinding bukan karena takut. Saya marah melihat ini semua. Saya marah mendengar penyebab kematian mereka.
Beberapa jam sebelumnya saya hadir di acara doa bersama Aremania di depan Stadion Gajayana, Kota Malang. Ini adalah stadion kandang mereka sebelum berpindah ke Kanjuruhan karena kapasitasnya tidak mencukupi dengan animo suporter untuk mendukung tim kebanggaannya.
Ada nama besar Yuli Sumpil, dirigen kebanggaan Aremania yang duduk tafakur merenungi kejadian sehari sebelumnya. Usai berdoa bersama, beberapa perwakilan Aremania diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
“Pokoknya, kalau sampai dalam tujuh hari tidak ada yang ditetapkan tersangka …Meskipun hanya sepuluh orang, saya akan macetkan Kota Malang. Ini adalah bentuk genosida,” ungkap suporter bernama Ambon dengan lantang. Yang lain berteriak mengamini.
Saya mendapati grafiti A.C.A.B, alias All Cops Are Bastards, di aspal. Ini adalah bentuk kekesalan mereka atas brutalitas aparat keamanan.
Mereka menanti sikap nyata pemerintah untuk membuka semuanya, melakukan investigasi hingga yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah dan mendapat hukuman setimpal. Para Aremania berharap tidak hanya ucapan duka cita yang memenuhi halaman koran, media online, dan media sosial.
Jangan sampai kematian 131 nyawa itu sia-sia. Mereka berhak mengetahui fakta sebenarnya.
Mereka itu termasuk M. Alfiansyah, bocah berusia 11 tahun yang kehilangan M. Yulianton (40) dan Devi Ratna S (30), yang sekarang (dipaksa) harus hidup sebatang kara setelah pasangan orangtuanya dikubur di satu liang lahat yang sama di TPU Mergan, Kota Malang.
Sementara sebuah mural bergambar singa yang menatap muram di Kampung Biru Arema, Klojen—semoga tidak berlama-lama memendam kesedihan; dan kembali mengaum melihat kegembiraan pertandingan sepakbola.