PERINGATAN: Artikel ini mengandung deskripsi kekerasan seksual.
Esai atas nama Project Multatuli ini berdasarkan testimoni salah satu saksi dalam persidangan kejahatan terhadap kesusilaan, yang terdakwanya adalah Subchi Azal Tsani, di Pengadilan Negeri Surabaya. Redaksi melakukan proses penyuntingan jurnalistik, review legal, serta sudah mendapatkan izin dari pendamping saksi dan korban.
Dugaan kekerasan seksual kepada santri yang dilakukan Subchi Azal Tsani (Bechi) di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah harus dihukum seberat-beratnya. Putra kiai ini diduga memanipulasi dan membayar anak di bawah umur untuk menjadi budak seksual. Kasus yang dilaporkan langsung oleh para santrinya itu diduga merupakan kasus sistemik. Identifikasi tersebut mudah diketahui.
Bechi diduga memiliki tempat “khusus” untuk melakukan kekerasan seksual. Letaknya jauh dari pemukiman warga dan tak bisa dijangkau sembarang orang, masih satu properti milik Shiddiqiyah, di Desa Puri Semanding, Kecamatan Plandaan, sekitar 5 km dari pusat pondok pesantren tersebut.
Bechi diduga memiliki sejumlah ajudan untuk melancarkan berbagai aksi kekerasan serta membungkam para korban agar korban diam. Para ajudannya dibekali air gun, jenis pistol berbahaya, dan drone untuk memantau situasi. Lima orang ini, yang disebut “abdi dalem” dan “simpatisan” Shiddiqiyyah, ditetapkan tersangka karena menghalangi proses penangkapan Bechi oleh Polres Jombang, yang kini diadili di Pengadilan Negeri Jombang.
Bechi juga dilindungi oleh otoritas dan jemaah pesantren. Bechi adalah anak kiai dari pesantren tradisional terkenal di Jombang. Beralamat di Ploso, Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah punya pengaruh ekonomi yang besar di Jombang, salah satu sentra Nahdliyin terbesar di Indonesia. Di sisi lain, pesantren Shiddiqiyyah tidak terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.
Selain memiliki Hotel Yusro, jejaring bisnis Pesantren Shiddiqiyyah meliputi pabrik sigaret Sehat Tentrem, minuman kemasan MAAQO, properti, poliklinik, percetakan, koperasi, rumah makan dan kafe, hingga mempunyai program kegiatan santunan dan pembangunan rumah layak huni. Selain itu, beberapa elite politik pernah datang ke pesantren untuk sowan ke ayahnya, Kiai Muchtar Mu’thi, pemimpin Pondok Pesantren Shiddiqiyyah. Di antaranya Presiden Joko Widodo, Prabowo Subianto, Luhut Pandjaitan, dan Muhadjir Effendy.
Dengan beragam “kekuatan” dan “keistimewaan” yang dimiliki itu, pihak Bechi diduga melakukan berbagai cara untuk menutupi tindakannya. Menjelang persidangan, salah satu keluarga korban menerima surat intimidasi dari Kiai Muchtar. Otoritas Shiddiqiyyah juga mendatangi keluarga saksi dan korban, dan meminta agar tidak memberikan keterangan yang memberatkan Bechi. Pihak Bechi juga mengancam keselamatan beberapa korban.
Dalam persidangan, saksi dan korban dicerca oleh sepuluh pengacara dengan berbagai pertanyaan yang mengintimidasi, menekan, dan seringkali melemparkan pertanyaanya di luar substansi persidangan. Pihak Bechi diduga menyiapkan beberapa saksi palsu untuk menyangkal kesaksian para saksi korban di persidangan, bahkan bangunan tempat kejadian perkara pun diduga dirombak bentuknya oleh pihak Bechi untuk mengaburkan kejahatannya.
Informasi dan catatan ini saya kumpulkan dan sampaikan saat memberi keterangan serta turut menjadi support system bagi kawan-kawan saya yang menjadi saksi dan korban dalam persidangan kasus kekerasan seksual Bechi.
Sebagai saksi, saya memberikan keterangan di Pengadilan Negeri Surabaya, ruang Garuda, pada 19 Agustus 2022, sejak pukul 14.00 hingga pukul 19.40. Di bawah sumpah Al-Qur’an, dalam persidangan tertutup itu, saya mengungkapkan berbagai hal yang saya ketahui dan alami bersama kawan-kawan saya yang menjadi korban, dengan sebenar-benarnya.
Karena saya turut menyebarkan informasi bahwa Bechi adalah predator seksual, di dalam persidangan pada 19 Agustus itu, saya diancam oleh pengacaranya akan dilaporkan pencemaran nama baik dan berbuat fitnah.
Mengklaim Diri Punya Ilmu ‘Metafakta’
Ceritanya bermula sekitar April 2017. Saya beberapa kali diminta oleh Bechi untuk menghadiri sebuah rapat di Hotel Yusro, hotel paling besar di Kabupaten Jombang milik keluarga Bechi. Bechi meminta saya secara khusus menjadi sekretaris di klinik Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC), klinik yang menggabungkan pengobatan medis dan non-medis. Klinik yang hendak didirikan oleh Bechi itu membutuhkan anggota.
Saya diminta membantu rekrutmen anggota RSTMC. Saya diajak menyeleksi anggota bersama ajudan Bechi. Saya mengetahui ada sekitar 30 santri yang mendaftar menjadi anggota klinik tersebut, tapi tak banyak yang bisa diterima. Bechi justru memaksakan enam santriwati untuk menjadi bagian dari RSTMC, meski santriwati itu menolak dan tidak mendaftarkan diri.
Setelah 15 orang tergabung dalam tim RSTMC, Bechi meminta tim datang ke Pesantren Cinta Tanah Air Jati Diri Bangsa, yang terletak di Desa Purisemanding, Kecamatan Plandaan. Saban malam, Bechi meminta tim mendengarkan wejangan-wejangannya. Bahkan, dalam beberapa pertemuan, Bechi mengaku dan mengklaim dirinya mempunyai ilmu khusus yang tingkatannya lebih tinggi daripada ilmu metafisika.
Bechi menamai ilmu itu dengan sebutan ilmu “metafakta.” Klaimnya, ilmu itu didapatkan setelah melakukan puasa dan mengamalkan wirid tertentu selama 12 tahun. Bechi juga mengklaim ilmu metafakta sudah ada sejak 100 ribu tahun lalu. Ilmu ini, katanya, hanya ada di Indonesia. Klaimnya lagi, ilmu ini mampu menguatkan mental seseorang, menjauhkan dari bahaya, dan bisa membuat seseorang lebih terhormat.
Mendengar penjelasan itu, saya merasa bingung dan janggal. Namun, rasanya teman-teman saya merasa percaya begitu saja. Sosok Bechi yang merupakan putra kiai Pesantren Shiddiqiyyah menjadi salah satu alasan teman-teman saya percaya saja, kala itu.
Pada awal Mei 2017, Bechi menyampaikan keinginannya untuk memberikan ilmu metafakta kepada tim RSTMC dengan cara lebih instan. Cara yang bisa ditempuh dengan tahap-tahap lebih mudah. Tahap pertama adalah penyeimbangan otak kiri dan otak kanan. Dalam tahap ini, Bechi meminta agar tim melakukan apa yang disebutnya “personal interview” kedua. Lalu, ada proses penyucian diri dengan menggunakan batik motif Sidomukti. Terakhir, tim RSTMC diminta menggunakan kalung atau cincin dari tembaga dan batu merah delima.
Di dalam wawancara personal, Bechi membagi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri lima orang. Saya masuk di kelompok pertama. Wawancara personal itu dimulai pukul 3 dini hari. Alasan Bechi, waktu fajar itu merupakan waktu terbaik untuk melakukan wawancara personal. Lima orang pun dipanggil. Bechi melemparkan berbagai pertanyaan. Dari pertanyaan umum hingga privasi. Ia menanyakan usia dan kesiapan mental menghadapi masyarakat di pelosok desa.
Menjelang pagi, di sela wawancara, Bechi meminta lima anak untuk berani berjalan di jalan gelap tanpa satu pun penerangan menuju sebuah tempat bernama Gubuk Cokro. Gubuk ini, kata Bechi, dianggap sakral karena tak sembarangan orang bisa masuk. Bechi mengatakan hanya orang-orang dengan keistimewaan tertentu yang bisa memasuki gubuk itu.
Bechi meminta satu orang berjalan sendirian. Namun, teman saya ketakutan karena jalannya gelap di tengah-tengah rimbun pepohonan. Bechi tetap memaksa. Secara terpaksa, teman saya memilih menuruti kemauan Bechi. Sementara Bechi menuju Gubuk Cokro dengan mengendarai sepeda motor.
Wawancara pribadi itu berlangsung dari jam 3 dini hari hingga jam 7 pagi. Kemudian, dilanjutkan kawan selanjutnya yang memakan waktu kurang lebih satu jam. Sekitar pukul 8 pagi, salah satu kawan saya dipanggil ke Gubuk Cokro. Ia di sana sampai sekitar pukul 1 siang. Sementara ajudan Bechi meminta saya pulang.
Pada saat itu, saya merasa tubuh saya sangat lelah. Sore hari, saya diminta hadir lagi ke tempat tersebut. Saya curiga atas tindakan Bechi. Saya mencoba bertanya kepada kawan-kawan yang sudah melakukan tahapan wawancara pribadi. Namun, tidak ada yang memberi penjelasan sama sekali. Keadaan itu membuat saya kebingungan dan ketakutan. Menyikapi kondisi itu, saya bercerita dan meminta pendapat beberapa kawan. Mereka meminta saya untuk “berhati-hati dan jaga diri”.
Perbudakan Seksual
Beberapa kawan mengingatkan saya atas kejadian salah seorang kawan sekelas saya pada 2012, yang diduga menjadi korban kekerasan seksual Bechi pada tahun itu.
Kala itu kawan saya baru berusia 14 tahun. Modus yang dilakukan Bechi adalah dengan menyatakan perasaan cinta. Namun, Bechi diduga menelanjangi kawan saya. Bechi memberikan uang ke kawan saya. Bechi diduga memaksa berhubungan seksual, bahkan memaksa beberapa kali berhubungan seksual dengan tiga orang. Bila tidak menuruti kemauan Bechi, kawan saya akan dianiaya. Bechi juga mengancam akan menghancurkan keluarganya.
Pada Maret 2017, kawan saya itu mencoba mencari bantuan kawan yang lain. Ia meminta ada yang bisa menyelamatkannya. Bechi tampaknya mengetahui tindakan kawan saya. Bechi membawanya ke Gubuk Cokro. Kawan saya disekap. Tidak diberi makan. Dipaksa berhubungan seksual. Saat menolak, Bechi menginjak tubuh kecil dan memelintir tangan kawan saya. Melempar asbak, rokok, dan botol minum ke arah kawan saya. Bahkan Bechi melempar tubuh kawan saya ke sudut ruangan.
Kawan saya berusaha kabur, tapi ajudan-ajudan Bechi mengejarnya. Kawan saya pun pingsan. Dibawa masuk lagi ke Gubuk Cokro. Esok harinya, kawan saya dikeluarkan dari penyekapan di Gubuk Cokro. Tubuh kawan saya banyak luka memar.
Tak cuma itu, kawan saya justru dilaporkan dan ditahan di Polsek Ploso atas dugaan penyebaran konten pornografi. Ayah kawan saya menyarankan untuk melaporkan balik dan meminta visum atas berbagai luka di tubuhnya. Namun, upaya ini diketahui ajudan Bechi.
Si ajudan itu menyuruhnya pulang dan melarang menceritakan luka-luka memarnya. Si ajudan itu juga memaksa kawan saya membuat pernyataan palsu bahwa kabar penyekapan dan berbagai kekerasan yang dialaminya itu tidaklah benar. Kemudian, kawan saya dikeluarkan dari Pesantren Shiddiqiyyah. Kejadian ini ditutup rapat oleh otoritas Shiddiqiyyah. Semua bungkam.
Kawan sekelas saya yang menjadi korban sejak di bawah umur itu mengetahui saya berada dalam lingkaran yang dekat dengan Bechi di Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC). Ia meminta saya untuk berhati-hati. Ia menyarankan saya untuk segera mengundurkan diri dari RSTMC. Ia menjelaskan berbagai dugaan tindak kekerasan seksual dan kekerasan lain yang dialaminya di Gubuk Cokro.
Pada Mei 2017, Bechi memanggil saya. Saya yang ketakutan, membawa alat perekam. Saya tetap mendatangi panggilan Bechi. Saya diminta menemui Bechi di sebuah ruangan yang berbeda dengan kawan lain; ruangan ini bernama “gubuk terapi”.
Di ruangan itu, tanpa izin, Bechi memegang bagian depan kepala saya. Bechi berkata, “Aku sudah tahu semua soal kamu. Di mana rumahmu. Siapa keluargamu. Karakter orangnya kayak apa. Siapa saja yang dekat sama kamu.”
Dalam hati, saya berkata: Orang ini kok bisa banyak tahu soal saya?
Bechi melanjutkan, “Bagaimana kalau kamu gabung sama aku?”
Sebenarnya saya tak paham “gabung” yang Bechi maksud. Namun, saya menjawab, “Pesan orangtua saya, kalau baik ya teruskan. Kalau enggak baik, ya jangan diteruskan.”
Mendengar jawaban itu, Bechi meminta saya untuk keluar dari gubuk terapi.
Beberapa hari berikutnya, saya mengetahui Bechi memaksa Tim RSTMC untuk minum wine. Sebelum memaksa, Bechi menyatakan, “Di Surga itu ada sumber mata air. Salah satu air itu adalah air khamr. Maka, kita harus mencicipi dulu khamr ini di dunia.”
Pernyataan Bechi itu membuat saya janggal dan bertanya-tanya. Saya mempertanyaan kepada Bechi terkait kebolehan meminum wine. Ia menjelaskan dan berusaha meyakinkan tim RSTMC. Bechi mengklaim tanpa bukti bahwa lima botol wine itu sudah dinetralisir sehingga sudah tidak mengandung alkohol. Namun, Bechi meminta tidak dibeberkan ke orang luar karena, katanya, bisa terjadi salah paham. Saya merasa janggal. Saya pun memotret kejadian tersebut. Dan foto itu saya jadikan barang bukti di persidangan.
Namun, kejanggalan dan tindakan aneh terus dilancarkan Bechi.
Suatu malam, ia meminta saya berdiam diri dan tidur sendirian di tengah hutan. Ia berdalih tindakan itu agar saya mempunyai mental yang kuat. Namun, saya menolak karena saya merasa aneh dan ketakutan akan kegelapan. Hal itu membuat Bechi menyiapkan proses ritual lain, yakni ritual penyucian diri dengan berendam menggunakan batik motif Sidomukti. Saya bertanya detail tentang tindakan yang Bechi anggap sebagai proses ritual itu. Namun, ia menganggap saya terlalu banyak bertanya.
Pemerkosaan di Gubuk Cokro
Saya memilih mundur dari tim Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC) karena saya meragukan tindakan-tindakan aneh Bechi. Selain itu, kecelakaan dan patah tulang yang diderita ibu menjadi alasan saya mundur. Saya mundur pada 14 Mei 2017. Bechi mengizinkan saya merawat ibu. Namun, ia tidak memperbolehkan saya keluar dari Tim RSTMC. Saya tetap kekeh mundur.
Setelah mundur, saya mendapatkan dua informasi bahwa dua kawan saya yang lain menjadi korban kekerasan seksual Bechi.
Modusnya adalah transfer ilmu “metafakta”. Kepada salah satu kawan, Bechi mengaku mempunyai kewenangan untuk bisa menikahkan dirinya sendiri. Bechi mengaku membutuhkan sayap satu lagi untuk bisa terbang. Keinginan tak masuk akal itu ia awali dengan mengucapkan salam. Kemudian, Bechi memaksa kawan saya untuk membuka baju. Namun, kawan saya menolak. Tubuhnya membeku ketakutan. Lalu Bechi diduga memperkosa kawan saya. Peristiwa ini terjadi antara pukul 7 pagi hingga pukul 1 siang.
Kepada kawan saya yang lain, Bechi memainkan manipulasi dengan memuji dan mengolok-olok hingga mental kawan saya down. Setelah itu, Bechi memaksa kawan saya membuka baju. Bechi meraba-raba tubuhnya. Ini terjadi antara pukul 1 dini hari hingga pukul 6 pagi. Kedua pemerkosaan ini diduga dilakukan Bechi di Gubuk Cokro.
Saya juga mendapatkan testimoni satu kawan lain yang bercerita Bechi memintanya melakukan ritual mandi. Dalih Bechi, lagi-lagi transfer ilmu “metafakta”. Bechi menyebut ritual mandi ini proses penyucian diri. Pada saat itu kawan saya diminta membawa batik Sidomukti. Kata Bechi, jika menggunakan batik bermotif tersebut, seseorang akan menjadi mulia.
Kawan saya diminta mencebur ke kolam di bawah Gubuk Cokro dengan telanjang tanpa pakaian dalam. Tubuhnya hanya dibalut batik Sidomukti. Kemudian, kawan saya diminta membaca Surat An-Nur ayat 35. Kawan saya diminta menenggelamkan kepalanya ke dalam air dan mengangkat tangannya. Jarik yang membalut tubuhnya melorot dan membuat tubuh kawan saya terlihat telanjang. Bechi yang menggunakan songkok dan baju batik melihat tubuh kawan saya yang telanjang.
Salah seorang korban lain bercerita mengalami dugaan kekerasan seksual pada 2015. Motif Bechi adalah perbaikan nilai pendidikan. Kala itu Bechi memanggil kawan saya. Ia dijemput dan diantar ke Gubuk Cokro oleh ajudan Bechi sekaligus ketua kelas. Hanya ia dan Bechi di gubuk itu. Ia diminta Bechi membuka baju. Namun, ia menolak. Bechi meraba-raba kakinya dan membuka paksa bajunya. Ia melawan semampunya. Setelahnya, kawan saya menolak bertemu Bechi. Yang kawan saya dapatkan setelahnya justru dikeluarkan dari lembaga pendidikannya.
Difitnah Setelah Melaporkan Kejahatan Seksual Bechi ke Ayahnya
Saya dan kawan-kawan menilai kejahatan seksual Bechi harus dihentikan. Tidak boleh ada korban dari santri-santri lain. Maka kami mencoba mencari keadilan dengan melaporkan Bechi kepada ayahnya, Kiai Muchtar Mu’thi, pimpinan Pondok Pesantren Shiddiqiyyah. Namun, kesaksian kami tidak dipercaya.
Kami dituduh membuat fitnah, lalu saya bersama tiga belas kawan lain dikeluarkan dari pesantren Shiddiqiyyah pada Januari 2018, tempat saya belajar sejak 2003. Tak hanya itu, foto kami disebar dan kami disebut “musuh” yang hendak “menghancurkan” pesantren Shiddiqiyyah hingga “dituduh menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia”—sesuatu yang selain tidak masuk akal juga mengada-ada karena partai ini sudah bubar sejak 1965. (Melemparkan tudingan “komunis” dan “komunisme” biasa dipakai penguasa membungkam suara kritis.)
Selain itu, pengaruh keluarga Kiai Muchtar, secara agama-kultural maupun ekonomi-politik di Jombang, telah menciptakan kondisi di mana semua santri Shiddiqiyyah percaya kepada pimpinan pesantren; nyaris semuanya tunduk, tak ada yang membantah, apalagi meminta klarifikasi soal kebenaran kekerasan seksual yang dilakukan Bechi.
Kendati laporan saya dan kawan-kawan diinvalidasi oleh ayahnya, saya tidak bisa diam begitu saja atas berbagai peristiwa kejahatan yang saya ketahui itu. Saya terus menyebarkan informasi kepada kawan-kawan saya yang rentan dan berada dalam Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC). Saya tidak ingin ada lebih banyak korban. Saya tidak ingin serial pemerkosaan Bechi terus berlanjut.
Saya menghubungi dan mengonfirmasi orang-orang yang menjadi korban Bechi. Saya bertemu belasan korban dari setidaknya, dalam catatan saya hari ini, ada 20 korban kekerasan seksual yang dilakukan Bechi. Mereka tidak berani bersuara, tapi beberapa turut solidaritas dan mendoakan proses hukum yang sedang berjalan di pengadilan.
Intimidasi dan Kekerasan setelah Melapor ke Polisi
Pada Juni 2017, saya mengetahui kawan saya mendapatkan berbagai intimidasi dari jemaah Shiddiqiyyah hingga mengalami depresi. Waktu itu saya diminta menemani sepanjang siang dan malam salah satu kawan saya yang menjadi korban kekerasan seksual oleh Bechi tersebut. Ia merasa kehilangan teman dan orang yang dipercayainya.
Ia pernah bertanya kepada saya, “Kenapa harus aku yang menjadi korban? Aku, kan, jelek tidak pernah menggunakan make-up. Aku, kan, tidak pernah menggoda dia. Aku selalu berpakaian tertutup. Aku malu dengan semuanya.” Saya berkata ia sebagai korban tidak bersalah, yang bersalah adalah Bechi.
Pada satu waktu, saya diminta keluarganya berkunjung ke tempatnya. Saya menemuinya di lantai dua. Saya melihatnya duduk di pojok kamar. Wajahnya terlihat layu memeluk bantal, rambut panjangnya berantakan dan kaku karena lama tidak dicuci. Ia tidak mau makan, tidak mau diajak bicara, tidak mau mandi, kata neneknya kepada saya. Ia hanya keluar kamar jika hendak buang air besar dan kencing. Neneknya minta tolong kepada saya supaya ia mau makan dan mandi.
Pada bulan dan tahun yang sama, satu kawan yang menjadi korban kekerasan seksual didatangi delapan ajudan Bechi. Ia dipaksa menulis permohonan maaf karena dianggap telah “memfitnah” Bechi sebagai pemerkosa. Kawan saya menurutinya karena ia merasa sendirian dan tidak ada yang membelanya di pesantren Shiddiqiyyah. Setelahnya, kawan saya ini melarikan diri dari pesantren tersebut.
Pada November 2017, saya didatangi enam orang dari pihak Bechi yang memaksa saya masuk ke dalam mobil untuk dibawa ke satu pertemuan di Puri Semanding. Di tempat ini saya dan tiga kawan lain dihukum dengan mengulum batu kerikil putih. Sejengkal rambut dan kuku saya dipotong oleh para ajudan Bechi.
Tak berhenti melakukan intimidasi, otoritas Shiddiqiyyah berusaha menciptakan konflik antara korban dan keluarganya, sehingga beberapa keluarga korban lebih mempercayai keluarga Bechi, kepada Kiai Muchtar Mu’thi, notabene pemimpin pondok pesantren, ketimbang anaknya yang menjadi korban. Akibatnya, posisi korban menderita dalam kesendirian. Beberapa kawan saya juga dimiskinkan karena jemaah Shiddiqiyyah di sekitar rumahnya melarang warga berkunjung atau membeli ke warung tempatnya menggantungkan perekonomiannya.
Salah satu korban yang saya temui ingin melaporkan kejahatan Bechi ke jalur hukum. Alasannya, ia ingin menghentikan tindakan Bechi; apa yang terjadi padanya jangan sampai dialami orang lain. Kala itu kami sebagai santri yang terbatas pengetahuan dan pengalaman, kebingungan harus melakukan apa; sempat juga hendak bersuara di salah satu siaran radio di Surabaya.
Pada 15 Mei 2018, untuk pertama kalinya kami melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada korban di bawah umur itu ke Polres Jombang. Saya dan kawan-kawan lain menjadi saksi dalam pelaporan tersebut. Kami memberikan keterangan di Polres Jombang mulai dari jam 9 pagi sampai 1 dini hari.
Tapi, hal yang tidak pernah saya bayangkan datang. Korban diancam. Diintimidasi. Diikuti dari satu kota ke kota lain.
Pada satu waktu, saat berada di rumah orangtuanya, korban didatangi pengacara yang menakut-nakuti bahwa pelaporannya tidak akan bisa menang. Tak hanya itu, para wakil mursyid Tariqah Shiddiqiyyah menceramahi korban tentang dosa melawan mursyid (guru); bahwa korban telah membuka aib. Mereka dikirim oleh otoritas pesantren Shiddiqiyyah. Tujuannya, agar korban mencabut laporannya.
Dalam ketakutan berhari-hari, secara terpaksa korban memilih damai dengan menerima Rp60 juta ditambah Rp15 juta. Orangtua korban yang awam soal hukum pun ketakutan.
Sebelumnya, Shofwatul Ummah, ibu Bechi atau istri Kiai Muchtar, juga menjanjikan akan memberikan rumah mewah dan membangunkan tempat kerja untuk korban. Ini sebagai bentuk perjanjian damai. Kenyataanya, tidak diberi. Percakapan antar ibu Bechi dan korban ini direkam. Dan rekaman ini menjadi barang bukti tambahan di persidangan.
Setelah laporan itu dicabut, saya bersama saksi lain dipanggil Kapolres Jombang AKBP Fadli Widiyanto. Ia meminta saya menjadi pelapor atas tindak kekerasan seksual yang menimpa korban. Saya menjadi pelapor karena saat itu kawan-kawan saya yang lain belum mempunyai keberanian. Maka terbitlah pelaporan dengan nomor LPB/233/VII/2018/JATIM/RES.JBG. Karena saya bukan korban kekerasan seksual, setahun berikutnya pada 29 Oktober 2019, saya dan korban lain dipanggil oleh Polres Jombang untuk melakukan pelaporan ulang dengan nomor LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RES.JBG. Saat itu status saya sebagai saksi sementara korban melakukan pelaporan.
Menghindari pelaporan yang tumpang tindih, Polres Jombang menghentikan pelaporan saya sebelumnya pada 31 Oktober 2019. Kemudian, laporan kawan saya sebagai korban diproses dan dipersidangkan. Laporan korban inilah yang dinaikkan Polres Jombang untuk menetapkan Bechi sebagai tersangka pada 12 November 2019.
Dakwaan terhadap Bechi adalah kejahatan pemerkosaan dengan paksaan atau di bawah ancaman kekerasan serta pencabulan terhadap santri di bawah umur. Sejak pertama kali dilaporkan ke polisi, Bechi selalu mangkir dari panggilan polisi. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, kasusnya kemudian ditangani Polda Jawa Timur pada 15 Januari 2020. Dua tahun kemudian, pada 13 Januari 2022, Bechi ditetapkan sebagai buron.
Bechi tidak taat hukum. Ia memilih menyerang pihak saksi dan korban serta membangun narasi bahwa dirinya tidak bersalah. Bahkan, ketika berstatus sebagai DPO pun, ia masih bisa menggelar konser jaz dua kali.
Sejak kabar Bechi jadi tersangka muncul di media, pihak Shiddiqiyyah diduga melakukan beragam mobilisasi dan intimidasi demi sebisa mungkin patron mereka terlepas jerat pidana. Mereka menggalang demonstrasi dan menggiring opini masyarakat bahwa Bechi sedang difitnah, pesantren sedang dikriminalisasi.
Pada 9 Mei 2021, saat saya sedang menghadiri khataman Al-Qur’an, saya didatangi enam ajudan Bechi. Mereka menganiaya dengan membenturkan kepala saya ke tembok sampai lima kali. Mereka mengancam keselamatan nyawa saya dan merampas ponsel saya.
Kejadian itu saya laporkan ke Polsek Ploso dengan nomor pelaporan LPB/15/V/RES.1.6/2021/RESKRIM/SPKT POLSEK PLOSO. Selama saya melaporkan, kantor polisi digeruduk ratusan jemaah Shiddiqiyyah. Selama dua hari dua malam, rumah saya digeruduk. Karena itulah, sampai hari ini, orangtua saya turut dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, selain saya.
Di sisi lain, pada pertengahan 2018, satu kawan saya ditawari oleh pihak Shiddiqiyyah berupa uang sekoper yang tidak tahu jumlah nominal tepatnya berapa, juga ditawari mobil dan disuruh memilih merek mobil tertentu. Pada 22 Juli 2022, salah satu keluarga kawan saya menerima Rp20 juta ditambah ponsel merek Samsung keluaran terbaru. Dengan uang dan ponsel itu, pihak Bechi meminta korban memberi kesaksian di persidangan dengan kesaksian yang meringankan Bechi.
Penangkapan dan Persidangan Bechi
Mungkin tak pernah ada dugaan kasus kekerasan seksual, yang terjadi di institusi pesantren belakangan ini, yang tersangkanya dilindungi dan penangkapannya dihalang-halangi ratusan orang seperti yang terjadi pada Bechi.
Pada 7 Juli 2022, ratusan jemaah Shiddiqiyyah membentuk barisan manusia di depan gerbang pesantren untuk menghalangi polisi. Sebaliknya, ratusan polisi dari Polda Jawa Timur harus memecah blokade itu. Sebanyak 320 jemaah Shiddiqiyyah ditangkap polisi karena melawan aparat, sementara Kasat Reskrim Polres Jombang AKP Giadi Nugraha disiram kopi panas dan mengalami luka bakar di tubuhnya. Polisi dan perusahaan listrik negara sampai harus memutus aliran listrik pesantren.
Butuh 18 jam akhirnya polisi bisa mendapatkan Bechi. Itu pun bukan ditangkap, tapi Shofwatul Ummah dan Kiai Muchtar Mu’thi, orangtua Bechi, yang menyerahkan putranya itu ke polisi setelah negosiasi saat tengah malam.
Setelahnya Bechi dibawa ke Rumah Tahanan Kelas I Surabaya di Medaeng. Sidang perdananya digelar pada 18 Juli 2022. Sidang dengan nomor perkara 1361/Pid.B/2022/PN Sby ini sudah menggelar 28 agenda sidang. Sidang vonis direncanakan pada 17 November 2022.
Dalam persidangan, beberapa saksi lain menyampaikan bahwa mereka mendengar secara langsung dan merekam obrolan Bechi; bahwa Bechi bisa menikahkan dirinya sendiri; menjadi penghulu sekaligus pengantin dan saksi. Tak hanya itu, Bechi menganggap santriwati adalah “produk unggul”; berhak menjadikannya sebagai objek seksual. Bechi berkata dia membutuhkan santriwati untuk menjadi “pendingin” ketika otaknya panas karena—apa yang disebutnya—”banyak berjuang untuk masyarakat”.
Saksi lain menyampaikan di pengadilan bahwa ia menjadi saksi di lapangan. Awalnya, ia mengetahui kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Bechi saat diminta Bechi “mengondisikan” saya dan beberapa kawan saya yang menjadi korban. Saat itu saya dituduh “PKI” dan orang yang akan “menghancurkan pesantren”; tuduhan yang disebar oleh Bechi dan para pengikutnya untuk membungkam saya dan kawan-kawan.
Kami punya bukti-bukti seperti visum et repertum, visum et psikiatrikum, chat ancaman, serta rekaman dan foto kedatangan otoritas Shiddiqiyyah ke para saksi dan korban. Juga bukti kartu tanda murid, baju saat kejadian kekerasan seksual, batik Sidomukti yang digunakan untuk praktik mandi kemben saat Bechi memanipulasi korban. Bukti-bukti ini sudah masuk dalam persidangan. Ini diperkuat oleh para jaksa yang mendakwa Bechi di persidangan.
Selama persidangan, saya mengetahui pengacara Bechi, tokoh-tokoh agama, dan influencer menyebarkan propaganda bahwa pernyataan saksi dan korban merupakan karangan cerita tak masuk akal. Macam-macam propagandanya, dari narasi “motif perang dagang”, “mengambil alih jabatan organisasi pemuda Shiddiqiyyah”, hingga “mencemarkan nama baik pesantren Shiddiqiyyah”. Mereka menuduh tanpa bukti bahwa kasus kekerasan ini “rekayasa” untuk menjatuhkan “nama baik” Bechi.
Tak cuma itu, saya dan kawan-kawan saya dituduh menjadi “suruhan” Endang Yuniati, istri Kiai Muchtar Mu’thi, ibu tiri Bechi. Kenyataannya, Endang memusuhi kami sebagai korban karena kami telah melaporkan kasus kekerasan seksual kepada polisi. Kami sempat mengadu kepada Endang, tapi ia tak peduli. Endang sempat dimintai keterangan oleh kepolisian; ia tidak memberikan keterangan yang benar dan turut menutupi kasus ini.
Saya mengetahui sebaran pesan WhatsApp dari otoritas Shiddiqiyyah yang mengajak para jemaahnya, secara individu maupun organisasi, di berbagai daerah untuk mengumpulkan kartu identitasnya dan menandatangani petisi. Otoritas Shiddiqiyyah juga mengajak para jemaahnya untuk ramai-ramai membuat video dukungan kepada Bechi; berpesan agar video dibuat senatural mungkin agar terlihat asli dan tidak settingan. Mereka memohon agar hakim membebaskan Bechi.
Dalam persidangan ke-25, 10 Oktober 2022, dengan agenda pembacaan tuntutan, jaksa mendakwa Bechi terbukti melanggar pasal 285 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP. Jaksa menuntut Bechi pidana penjara selama 16 tahun.
Tak terima atas tuntutan jaksa, dalam sidang berikutnya, pengacara Bechi, Gede Pasek Suardika, menyampaikan nota pembelaan (pledoi), disusun setebal 438 halaman, dalam sampul dokumennya tertulis judul “Ketika Pelakor Menjadi Pelapor”. Ia bersama tim pengacaranya bersuara di berbagai media bahwa tuntutan 16 tahun itu terlalu “sadis dan tidak manusiawi”.
Selain itu, ada puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Pemantau Hukum dan Konstitusi melakukan demonstrasi menuntut membebaskan Bechi pada 18 Oktober 2022. Pada sidang tanggal 24 Oktober dan 31 Oktober, ratusan anggota organisasi Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia, organisasi lintas agama yang diorganisir oleh Shiddiqiyyah, juga melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka melakukan orasi dan doa bersama untuk pembebasan Bechi.
Tak hanya itu, saat proses sidang masih berlangsung, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengunjungi Pondok Pesantren Shiddiqiyyah pada 12 September 2022. Muhadjir disambut langsung oleh Kiai Muchtar Mu’thi dan menitipkan salam dari Presiden Jokowi. Tujuan Muhadjir, katanya ke media, “mengecek kondisi ponpes yang, alhamdulillah, proses belajar mengajarnya sudah baik seperti sediakala.”
Izin operasional pesantren Shiddiqiyyah sempat dicabut oleh Kementerian Agama di hari massa santri menghalang-halangi polisi menangkap Bechi. Sebagai regulator, Kemenag punya kuasa administratif untuk “membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono.
Pencabulan, katanya melanjutkan, bukan hanya tindakan kriminal yang melanggar hukum tapi juga perilaku yang dilarang ajaran agama.
Tapi, empat hari setelahnya, pencabutan ini dibatalkan oleh Muhadjir, saat itu menteri agama ad interim, dengan alasan kasus kekerasan seksual Bechi merupakan “tindakan individual dan tidak melibatkan lembaga ponpes.” Muhadjir menyebut kasus Bechi sebagai tindakan “oknum” meski mengakui Bechi adalah bagian dari pesantren Shiddiqiyyah dan menjadi orang penting di pesantren.
Pembatalan pencabutan izin ini, diakui Muhadjir, atas “arahan Presiden Jokowi”.
Keputusan pemerintah ini seolah menutup mata bahwa jemaah Shiddiqiyah melakukan beberapa kali demonstrasi membela Bechi, menghalangi aparat penegak hukum ketika upaya penangkapan, bahkan Kiai Muchtar menuduh pelapor berbuat fitnah dan menyerukan jemaah untuk memeranginya.
Melihat kekerasan yang sistemik tersebut, saya merasa, jika Bechi diputus terbukti bersalah dan dihukum 16 tahun penjara, tidak sebanding penderitaan yang dialami para saksi dan korban. Saya juga ragu hukuman itu akan membuat Bechi jera dan mengakui kesalahannya ketika para jemaah Shiddiqiyyah masih tetap kuat pendiriannya membela Bechi, menganggap Bechi mutlak benar dan sempurna tanpa cacat, terus menyebarkan propaganda bahwa kasusnya adalah kasus rekayasa.
Jika Bechi akhirnya dipenjara, pengaruhnya pun mungkin masih kuat jika perekonomian yang menyokongnya tetap kuat dari iuran jemaah Shiddiqiyyah, dari penghasilan pabrik rokok, pabrik air minum kemasan, bisnis perhotelan, dan berbagai sumber perekonomian lain.
Bechi juga tidak akan jera ketika para penguasa di negeri ini memberikan puji-pujian kepada para pembela Bechi, sehingga merasa ada para penguasa yang membelanya. Dengan begitu, Bechi masih bisa melakukan berbagai upaya pembelaan dengan berbagai keistimewaan yang dimilikinya dan bisa hidup normal tanpa masalah setelah di penjara. Apalagi, jika hakim memutuskan Bechi tidak terbukti bersalah dan dibebaskan, Bechi akan semakin merasa punya kuasa bisa mengendalikan lembaga hukum negara.
Saya memang masih muda, tapi mata saya tidak buta, telinga saya tidak tuli, hati saya bisa merasakan penderitaan luar biasa. Trauma dan berbagai ancaman terhadap saya dan kawan-kawan, membuat saya dan kawan-kawan saya didiagnosis menderita post-traumatic stress disorder (PTSD, gangguan stres pasca trauma). Sehingga kami membutuhkan pendampingan psikologis secara khusus. Meskipun begitu, saya tetap melawan berbagai ketidakadilan yang terjadi pada saya, pada korban, pada kawan-kawan saya.
Saya yakin kebenaran akan datang. Yang sewenang-wenang akan hilang. Perjuangan saya dan kawan-kawan saya pada hari ini bisa mengobati luka-luka yang kami hadapi. Kami selalu optimis kebenaran pasti menemukan jalan meskipun banyak halang rintang.
Semoga hakim memutuskan hukuman penjara maksimal kepada Bechi.*
Laporan ini terbit berkat pendanaan Kawan M, program keanggotaan pembaca Project Multatuli yang memungkinkan Kawan M bisa terlibat dalam rapat redaksi dan mengusulkan ide liputan.