Rata-rata penenun saat ini berusia lebih dari 50 tahun. Perempuan muda di Kerek enggan belajar menenun karena sulit, selain upahnya tergolong rendah.
SEJAK abad 14, terdapat sentra kerajinan tangan tenun gedog di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kain tenun gedog awalnya digunakan sebagai pakaian raja, para bangsawan, dan mereka yang memiliki keturunan darah biru pada era Kerajaan Majapahit.
Dulunya, setiap warga di Kerek wajib memiliki kain tenun gedog. Untuk sebuah pernikahan, ada tradisi saling menukar 100 lembar kain Tenun Gedog antara pengantin perempuan dan laki-laki, seperti diceritakan Uswatun Chasanah, pengelola Sanggar Batik Tenun Gedog Sekar Ayu dalam Pesona Kain Indonesia Tenun Gedog Tuban (2018). Kain Gedog juga digunakan sebagai pakaian ritual hingga sekarang, salah satunya di Desa Kedungrejo untuk upacara adat “Sedekah Bumi”.
Namun, sulitnya proses membuat kain tenun gedog membuat harganya kian mahal. Pembuatan kain di Kerek dimulai dari menanam kapas, membuat benang, menenun hingga akhirnya menjadi selembar kain. Perbedaan mendasar dibandingkan daerah lain, kain tenun biasanya langsung digunakan untuk bahan pakaian; di Kerek, kain tersebut diberi motif menjadi batik.
Saat ini, harga selembar kain tenun gedog ukuran 90 cm x 250 cm antara Rp 300 ribu (polos) hingga Rp 5 juta (batik). Harga ini tidak mampu dibeli semua kalangan, sehingga agaknya tradisi “wajib memiliki” tenun gedog bagi masyarakat Kerek mulai luntur.
Sebagian besar lahan pertanian di Kerek adalah ladang tadah hujan, sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh. Salah satunya kapas. Perubahan iklim membuat suhu udara memanas di Kerek; musim hujan menjadi lebih panjang durasinya.
“Kalau musim hujan saya menjadi buruh tani, juga menanam jagung di ladang sendiri. Nanti, menjelang kemarau, saya menanam kapas, merawat sampai memanennya sendiri. Terus saya anteh (pintal) menjadi lawe (benang), baru saya gedog menjadi kain. Namun, saya tidak bisa membatik, jadi kain polosan itu saya jual ke juragan batik,” kata Karsiyem, 80 tahun, di Dusun Luwuk.
“Biasanya petani menanam kapas di bulan Januari. Harapannya saat bulan Maret atau April, hujan telah berhenti. Tahun ini bahkan hingga Juni masih ada hujan, sehingga bakal bunga atau pentil bunga kapas tidak bisa berkembang bahkan rontok. Jadinya para petani terpaksa harus menyulami tanamannya”, ujar Moh. Nanang Qasim (26 tahun), pemilik merk Gedog Lowo di Desa Gaji.
“Sebenarnya saat musim kemarau itu tanaman kapas bisa mekar secara sempurna. Makanya petani menanamnya saat musim hujan hampir selesai. Namun, jika suhu udara panas sekali seperti sekarang, petani butuh menyirami tanamannya. Rata-rata petani di sini tidak memiliki irigasi teknis. Yang masih memiliki lahan luas dan bisa menyirami biasanya hanya para juragan,” tambah Nanang.
Solusi sumur pompa juga bukan alternatif yang murah karena perlu bahan bakar, sehingga petani memilih bercocok tanam pada tanaman yang lebih memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga kapas kering yang sudah dipilah bijinya dan siap pintal di Kerek dihargai Rp20.000/kg.
Selain kapas, problem yang mengancam Tenun Gedog di Kerek adalah regenerasi.
Rata-rata penenun saat ini berusia lebih dari 50 tahun, bahkan ada yang sudah di atas 100 tahun. Perempuan muda di Kerek enggan belajar menenun karena sulit, selain upahnya tergolong rendah. Para perempuan lebih memilih menjadi buruh migran karena daya pikat penghasilan besar.
Upah pekerja migran Indonesia di Taiwan, misalkan, per Agustus 2022 sebesar NTD 20.000 atau setara Rp 9,9 juta/bulan. Sementara, kalau dibandingkan upah mlunthu (mengurai gulungan benang), pekerja hanya mendapatkan upah Rp12.000 per gulung. Satu gulung benang berisi 39 helai benang dikali lima (195 helai). Sehari buruh mlunthu maksimal hanya bisa menyelesaikan lima gulung.
“Hitungan benangnya harus 39, enggak boleh 38 atau 40, itu sudah menjadi tradisi sejak lama. Kalau anak-anak muda udah enggak mau kerja seperti ini, milih jaga toko atau jadi TKI,” ujar Rusmi (50 tahun) di ruang tamu rumahnya sambil menggulung benang dengan pahanya.
“Kalau regenerasi pembatik atau petani kapas mungkin masih bisa, tapi untuk penenun gedog dan proses teknis lain dari kapas menjadi benang tampaknya memang menuju kepunahan, terutama dengan teknik tenun gedog yang memakai alat tenun model dipangku,” jelas Nanang.
Esai foto ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.
Koreksi: Artikel ini diperbarui pada 28 Mei 2024 (pkl. 11.00) dengan menghapus satu kalimat yang tidak akurat.