Akhir Era Kain Tenun Gedog

Adrian Mulya, Ronna Nirmala
5 menit

Rata-rata penenun saat ini berusia lebih dari 50 tahun. Perempuan muda di Kerek enggan belajar menenun karena sulit, selain upahnya tergolong rendah.


SEJAK abad 14, terdapat sentra kerajinan tangan tenun gedog di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kain tenun gedog awalnya digunakan sebagai pakaian raja, para bangsawan, dan mereka yang memiliki keturunan darah biru pada era Kerajaan Majapahit.

Kiri : Artefak purbakala berbentuk patung dewa sedang bermeditasi mengyelempangkan kain di tubuhnya koleksi Museum Kambang Putih, Tuban. Inspirasi kain tenun gedog sudah ada sejak era kerajaan.
Kanan : Alat penggulung benang. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

Dulunya, setiap warga di Kerek wajib memiliki kain tenun gedog. Untuk sebuah pernikahan, ada tradisi saling menukar 100 lembar kain Tenun Gedog antara pengantin perempuan dan laki-laki, seperti diceritakan Uswatun Chasanah, pengelola Sanggar Batik Tenun Gedog Sekar Ayu dalam Pesona Kain Indonesia Tenun Gedog Tuban (2018). Kain Gedog juga digunakan sebagai pakaian ritual hingga sekarang, salah satunya di Desa Kedungrejo untuk upacara adat “Sedekah Bumi”.

Namun, sulitnya proses membuat kain tenun gedog membuat harganya kian mahal. Pembuatan kain di Kerek dimulai dari menanam kapas, membuat benang, menenun hingga akhirnya menjadi selembar kain. Perbedaan mendasar dibandingkan daerah lain, kain tenun biasanya langsung digunakan untuk bahan pakaian; di Kerek, kain tersebut diberi motif menjadi batik.

Saat ini, harga selembar kain tenun gedog ukuran 90 cm x 250 cm antara Rp 300 ribu (polos) hingga Rp 5 juta (batik). Harga ini tidak mampu dibeli semua kalangan, sehingga agaknya tradisi “wajib memiliki” tenun gedog bagi masyarakat Kerek mulai luntur.

Karsiyem, 80 tahun, menjemur benang di halaman rumahnya di Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek. Karsiyem adalah contoh perempuan desa di Kerek yang memproses seorang diri kain mulai dari menanam kapas di ladang, merawat, memanen, memintalnya menjadi benang dan menenunnya hingga menjadi selembar kain. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

Sebagian besar lahan pertanian di Kerek adalah ladang tadah hujan, sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh. Salah satunya kapas. Perubahan iklim membuat suhu udara memanas di Kerek; musim hujan menjadi lebih panjang durasinya.

Kondisi tanah di Kecamatan Kerek, Tuban mayoritas tandus dan berkapur, sehingga tanaman kapas menjadi salah satu alternatif karena relatif bisa hidup dengan cadangan air yang minim. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

“Kalau musim hujan saya menjadi buruh tani, juga menanam jagung di ladang sendiri. Nanti, menjelang kemarau, saya menanam kapas, merawat sampai memanennya sendiri. Terus saya anteh (pintal) menjadi lawe (benang), baru saya gedog menjadi kain. Namun, saya tidak bisa membatik, jadi kain polosan itu saya jual ke juragan batik,” kata Karsiyem, 80 tahun, di Dusun Luwuk.

“Biasanya petani menanam kapas di bulan Januari. Harapannya saat bulan Maret atau April, hujan telah berhenti. Tahun ini bahkan hingga Juni masih ada hujan, sehingga bakal bunga atau pentil bunga kapas tidak bisa berkembang bahkan rontok. Jadinya para petani terpaksa harus menyulami tanamannya”, ujar Moh. Nanang Qasim (26 tahun), pemilik merk Gedog Lowo di Desa Gaji.

Kiri : Petani menyebar benih jagung di Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Tuban. Sebagian petani di Kerek menggunakan sistem tumpangsari tanaman kapas dengan tanaman lainnya yang lebih memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Kanan : Juri, 65 tahun, memisahkan biji dan kotoran dari kapas. Ia membersihkan kapas yang ia tanam sendiri di ladangnya lalu dijual Rp 20.000 per kg. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

“Sebenarnya saat musim kemarau itu tanaman kapas bisa mekar secara sempurna. Makanya petani menanamnya saat musim hujan hampir selesai. Namun, jika suhu udara panas sekali seperti sekarang, petani butuh menyirami tanamannya. Rata-rata petani di sini tidak memiliki irigasi teknis. Yang masih memiliki lahan luas dan bisa menyirami biasanya hanya para juragan,” tambah Nanang.

Juragan yang dimaksud Nanang adalah para pemilik merek besar yang juga ikut menyewa lahan untuk penanaman kapas di Kerek, seperti SukkhaCitta dan Sekar Kawung.

Solusi sumur pompa juga bukan alternatif yang murah karena perlu bahan bakar, sehingga petani memilih bercocok tanam pada tanaman yang lebih memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga kapas kering yang sudah dipilah bijinya dan siap pintal di Kerek dihargai Rp20.000/kg.

Mbah Kawet, usianya sudah 100 tahun lebih masih menenun. Anak-anaknya tidak ada yang meneruskan. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

Selain kapas, problem yang mengancam Tenun Gedog di Kerek adalah regenerasi.

Rata-rata penenun saat ini berusia lebih dari 50 tahun, bahkan ada yang sudah di atas 100 tahun. Perempuan muda di Kerek enggan belajar menenun karena sulit, selain upahnya tergolong rendah. Para perempuan lebih memilih menjadi buruh migran karena daya pikat penghasilan besar.

Upah pekerja migran Indonesia di Taiwan, misalkan, per Agustus 2022 sebesar NTD 20.000 atau setara Rp 9,9 juta/bulan. Sementara, kalau dibandingkan upah mlunthu (mengurai gulungan benang), pekerja hanya mendapatkan upah Rp12.000 per gulung. Satu gulung benang berisi 39 helai benang dikali lima (195 helai). Sehari buruh mlunthu maksimal hanya bisa menyelesaikan lima gulung.

“Hitungan benangnya harus 39, enggak boleh 38 atau 40, itu sudah menjadi tradisi sejak lama. Kalau anak-anak muda udah enggak mau kerja seperti ini, milih jaga toko atau jadi TKI,” ujar Rusmi (50 tahun) di ruang tamu rumahnya sambil menggulung benang dengan pahanya.

Pengrajin menenun benang menjadi kain yang menimbulkan bunyi “dog dog dog”, dari sana kain ini disebut Tenun Gedog. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

“Kalau regenerasi pembatik atau petani kapas mungkin masih bisa, tapi untuk penenun gedog dan proses teknis lain dari kapas menjadi benang tampaknya memang menuju kepunahan, terutama dengan teknik tenun gedog yang memakai alat tenun model dipangku,” jelas Nanang.

Kiri : Tanaman nila atau indigo digunakan pengrajin untuk memberi warna biru. Tanaman liar yang tumbuh di pinggir jalan desa ini direndam untuk menjadi pasta.
Kanan : Seorang perempuan bersepeda mengenakan bawahan bermotif batik dengan warna indigo melintas di jalanan Desa Kedungrejo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. (Project M/Arief Priyono – CC BY-NC-ND 4.0)

Esai foto ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya, Ronna Nirmala
5 menit