Anak Dengan HIV Positif di Antara Menelan Obat Pahit atau Kenyataan yang Lebih Pahit

Ronna Nirmala
19 menit
Orang yang hidup dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) harus mengkonsumsi obat untuk menjaga agar kadar virus ditubuhnya tetap terkendali. (Project M/Virliya Putricantika)
Kehidupan Anak Dengan HIV (ADHIV) begitu sulit. Sedari lahir hingga seumur hidupnya, mereka harus mengonsumsi obat. Tanpa itu, tubuh mereka akan mudah terserang penyakit mematikan lainnya. 

*Sebagian narasumber menggunakan nama samaran


Jagat – Pahit yang Mematikan

MATA Dahlia lekat memandang tubuh ringkih Jagat, anak bungsunya yang terbaring koma di bangsal ruang khusus sebuah rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Ia enggan berpaling sekejap pun. Memastikan si buah hati masih bernapas.

Di raga Jagat yang hanya berbobot kurang dari 15 kilogram berseliweran aneka selang yang tertancap di sejumlah titik. Mulut bocah laki-laki berusia sembilan tahun itu tertutup masker oksigen.

Hari itu, Jumat, 19 Mei 2023, hari ke lima Jagat dirawat dengan diagnosis meningitis tuberkulosis (TB), peradangan selaput otak akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Awal masuk rumah sakit, kesadarannya hanya 50 persen. Lalu terus menurun dan akhirnya koma. 

Jumat subuh, Dahlia melihat Nasogatric tube (NGT), yang berfungsi memasukkan makanan dalam bentuk cair sekaligus mengeluarkan zat-zat dari lambung, dialiri darah. Firasat buruk menghantam Dahlia, anak tercintanya tak akan selamat. Terlebih lagi selama tiga hari ke belakang, Jagat kerap mengalami kejang-kejang.

Mata Dahlia semakin lekat memandang tubuh ringkih Jagat. Ia tak berniat sedikit pun beranjak meninggalkannya. Tubuhnya menegang, dadanya berdegup kencang ketika melihat Jagat berhenti napas. Ia berteriak memanggil dokter yang segera melakukan tindakan. Jagat kembali bernapas, tapi Dahlia merasa kondisi itu tak akan bertahan lama. Perempuan 44 tahun ini mulai menyiapkan hati untuk sebuah kehilangan besar.

“Dedek, kalau mau pulang, pulang yuk. Capek jalan-jalan terus. Gak apa-apa kok mamah. Dedek pulang, Dedek Jumatan yah,” Dahlia berbisik lirih ke buah hatinya itu.

“Ya sudah, dia dikit-dikit napasnya. Saya lihat dari dada, terus ke tenggorokan, terus hilang, udah…,” kata Dahlia dengan suara tercekat, menahan tangis saat kami wawancarai. Tapi pertahanannya jebol. Ia menangis cukup lama. 

Jumat pukul 12 siang, tepat ketika muslim melaksanakan salat Jumat, Jagat pergi selamanya. Enam belas hari setelah merayakan ulang tahun yang ke sembilan. Susah payah Dahlia menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Air mata dibendungnya. Tidak ada waktu untuk bersedih, pikirnya. Padahal ia tahu, hatinya sangat hancur. 

“Hancur banget hati saya, tapi air mata saya gak keluar saat itu, saya tahan. Saya setting otak saya kayak gini, ‘Ya Allah jangan jatuh pingsan. Kalau saya pingsan, anak saya gak ada yang ngurus.’ Tapi setelah satu sampai dua minggu, saya histeris. Sampai berobat ke psikiater,” tuturnya. 

***

Jagat terlahir dengan kondisi HIV positif. Namun statusnya itu baru diketahui saat berumur tujuh bulan, setelah dokter curiga si bayi berulang kali sakit. Dokter merujuk Jagat, kemudian Dahlia, melakukan tes HIV. Keduanya dinyatakan positif.

Dahlia syok. Ia tidak pernah melakukan perbuatan yang berisiko tertular HIV. Setelah diselidiki, Dahlia tertular dari suami yang melakukan seks bebas berisiko. Virus itu kemudian menginfeksi Jagat saat Dahlia mengandung dan melahirkannya. Suami Dahlia yang menjadi pintu masuk HIV ke keluarganya, telah lebih dulu meninggal.

Setelah diketahui HIV, Dahlia, juga Jagat, mulai melakukan terapi dengan obat antiretroviral (ARV) untuk menekan pertumbuhan virus, mengurangi risiko penularan, mencegah infeksi oportunistik, dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV. Kegiatan rutin yang harus dilakukan selama hidup mereka. 

Saat Jagat berusia balita, terapi ARV berjalan mulus, hampir tanpa drama. Kesulitan muncul seiring bertambahnya usia dan kepintaran Jagat. 

Mah, aku gak sakit ngapain sih minum obat?” ucap Dahlia, menirukan penolakan Jagat ketika diminta minum obat.

“Ini vitamin,” jawab Dahlia. 

Enggak, vitamin gak gitu. Vitamin gak pahit. Vitamin itu sirup, manis.” 

Menginjak usia 6,5 tahun, Jagat mogok minum obat. Momen yang sebetulnya sudah diperkirakan Dahlia. Setiap hari, 12 jam sekali, Jagat harus meminum dua tablet obat yang rasanya pahit. Lama kelamaan, ia bosan. Padahal Jagat mengonsumsi obat ARV anak yang semestinya dibuat dengan rasa dan dosis yang menyenangkan bagi anak. 

“Obatnya pahit, pahit banget. Kadang sudah masuk dimuntahin. Di mulut kena air langsung lumer, jadi terasa pahitnya. Belum tertelan sudah terasa pahitnya. Saking pahitnya, makan 10 permen juga gak hilang. Itu yang bikin anak saya gak mau minum obat sebenarnya,” ungkap Dahlia.

Bagi orang dengan HIV positif, berhenti minum ARV ibarat mengundang penyakit yang bisa mengancam jiwa. Dahlia tentu saja khawatir kondisi itu akan dialami Jagat. Berbagai upaya dilakukan agar Jagat kembali minum obat. Ibu tiga anak ini juga meminta dokter meresepkan obat dengan dosis satu kali sehari, sesuai keinginan Jagat yang ingin minum obat dengan dosis yang sama dengan ibunya. Akan tetapi, saat itu, belum tersedia obat ARV anak dosis satu kali sehari. Dokter akhirnya meresepkan obat ARV dewasa dosis satu kali minum yang takarannya disesuaikan dengan berat badan Jagat.

Obat ARV dewasa yang diminum Jagat mengandung kombinasi tiga jenis obat, yakni tenofovir, lamivudine, dan efavirenz (TLE). Obat seukuran ruas jari telunjuk dewasa ini dipotong menjadi tiga bagian sesuai dosis yang diresepkan dokter. Potongannya lantas digerus menjadi puyer supaya mudah diminum Jagat yang belum bisa menelan tablet. 

“Kirain aku di sana (apotik) digerusin, diracik, ditimbangin. Ternyata enggak. Kita ngeracik sendiri, gerus-gerus sendiri, bagi-bagi sendiri. Aduh pusing, PR banget,” kata Dahlia. 

Apa yang dikhawatirkan Dahlia jadi kenyataan. Jagat mulai sakit-sakitan. Dalam seminggu, anaknya itu bisa dua kali berobat ke puskesmas. Bakteri paling mematikan penyebab meningitis TB akhirnya menginfeksi Jagat dan berujung pada kematian bocah yang senang menjadi komandan upacara ini. 

Dahlia menganggap kematian Jagat terkait erat dengan obat ARV yang dinilai tidak ramah anak. Jika saja obat yang harus diminum Jagat berupa sirup atau tablet manis beraroma buah seperti layaknya obat penurun panas anak, Jagat pasti akan menyukainya. Jagat akan dengan suka rela meminum obatnya, tanpa paksaan, tanpa menyisakan trauma. Yang lebih penting lagi, Jagat akan terhindar dari putus obat dan mungkin saja masih menemaninya saat ini.

Rasi – Bersahabat dengan Pahit

Rasi (4) dan Kenanga (33), anak dan ibu positif terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) harus mengonsumsi obat secara rutin meski merasakan efek sampingnya. Kenanga mengetahui dirinya terinfeksi HIV saat Rasi masih mengonsumsi ASI dari dirinya. (Project M/Virliya Putricantika)

Bila Jagat yang berdomisili di Depok sempat mencicipi obat ARV anak, lain halnya dengan Rasi yang tinggal di Kota Bandung. Sejak dinyatakan positif HIV, Rasi hanya mengonsumsi obat ARV dewasa. Pasalnya, distribusi obat ARV anak di Bandung sangat terbatas hingga tidak menjangkau sebagian besar anak-anak dengan HIV positif di Kota Kembang ini.

“Obatnya pahit. Kalau malam, Rasi gak suka (minum obat). Soalnya, Rasi mau tidur suka ketelan saja (pahitnya),” ungkap Rasi, anak laki-laki empat tahun saat ditemui bersama ibunya di sebuah kafe di Bandung, Senin (25/12/23).

Kenanga, ibu Rasi, menggambarkan lebih detail pahitnya obat yang dikonsumsi Rasi sejak umur 18 bulan. Pahitnya, kata Kenanga, bahkan terasa saat serbuknya terbawa angin dan terhirup. 

“Saya pernah coba sedikit yang sudah pakai air, ah gak kuat, pahit. Kecuali kalau saya minum tabletnya utuh,” ucap Kenanga sambil menunjukkan obat yang ia dan Rasi minum. 

Rasi meminum dua tablet obat ARV. Duviral dengan kandungan Lamivudine dan Zidovudine. Kemudian, Aluvia yang mengandung, Lopinavir dan Ritonavir. Aluvia adalah obat ARV lini kedua. Artinya, Rasi sudah resisten terhadap obat ARV lini pertama.

“Pertama kali dia nyoba obat Evapiren dan Duviral. Tapi Evapiren dia gak cocok, sampai matanya kuning, kulitnya bercak-bercak, fungsi hatinya tinggi. Dokternya coba ganti obat,” kata Kenanga. 

“Jadi kalau misalnya obat ini gak bisa, susah lagi karena ini dosisnya udah tinggi. Jadi gak ada lagi selain obat ini untuk Rasi.”

Penggunaan obat HIV berdampak pada warna kulit Rasi yang menjadi lebih gelap. (Project M/Virliya Putricantika)

Duviral dan Aluvia memiliki ukuran yang cukup besar. Masing-masing obat dipotong menjadi dua bagian yang diminum Rasi setiap 12 jam sekali. Kenanga menggerus obat itu hingga menjadi serbuk, lalu memasukkannya ke mulut Rasi yang segera menelannya tanpa protes. Kenanga menunggu beberapa saat, memastikan obat tersebut masuk dengan sempurna tanpa dimuntahkan. Jika obat itu keluar lagi dalam waktu kurang dari 20 menit, terpaksa harus diulang.

Rasi menuntaskan “tugasnya” dengan baik. Obat itu berhasil meluncur tanpa hambatan ke perut kecilnya. Kenanga bersyukur selama ini tidak mengalami kendala berarti dalam memberikan obat ARV pada Rasi. Anak sulungnya itu telah bersahabat dengan pahit. Membuat proses terapi ARV ini lebih mudah, meski diakui ada kesulitan dalam menyiapkan obatnya.

Pada awalnya, Kenanga mengolah obat dengan peralatan seadanya, tapi ternyata muncul reaksi obat yang tidak terduga.

“Si obatnya itu, saya gak tahu kan awalnya jenis obat itu kayak gimana. Kirain, digerus biasa, ternyata beda. Obatnya kalau digerus lengket kayak permen karet,” kata perempuan 33 tahun itu. 

Kenanga lalu membeli alat gerus obat khusus bersama botol-botol kaca kecil atas saran temannya. Setelah digerus dan dimasukkan ke botol, obat lalu dicampurkan dengan air. Teknik itu berhasil membuat obat tidak menjadi lengket.

Kendati demikian, rasa jenuh meminum obat tidak bisa dihindari, baik oleh Rasi, maupun Kenanga. 

“Jujur ada waktunya jenuh. Saya saja yang sudah dewasa sempat jenuh, apalagi anak-anak. Rasi juga sama. Ada masanya gak mau minum obat. Katanya, ‘Aa capek.’ Saya bujuk, “Aa harus minum obat, kalau Aa gak minum obat, nanti gak kuat lagi. Ini kan obat kuat.’ Untungnya dia mau. Saya memang bilangnya ini obat buat bikin dia kuat,” ucap Kenanga.

Meski cukup mudah memberikan obat, tapi Kenanga berharap ada obat yang lebih nyaman dikonsumsi anak. Terlebih obat ARV ini harus diminum tanpa putus selama hidup. Ia khawatir, suatu saat anaknya tidak hanya mengalami kejenuhan, tapi yang lebih parah lagi mogok minum obat.

Sama seperti Dahlia, Kenanga juga berharap ARV juga bisa hadir dalam bentuk sirup untuk anak-anak. 

“[Sirup] Mungkin lebih mudah, tidak sulit untuk menggerus dulu. Takutnya salah motong, terus ada yang pecah, dosisnya berkurang, kan kita gak tahu. Kalau sirup kan sudah pasti takarannya segitu, misalnya pakai pipet berapa mili sudah kelihatan,” kata Kenanga. 

Bumi – Menelan Pahit Sejak Lahir

Rasya (27) menggendong Bumi (3 bulan), yang saat ini menjadi walinya setelah ibunya meninggal. (Project M/Virliya Putricantika)

Bumi lahap menyedot botol yang berisi susu formula. Mata bayi berusia dua bulan itu sayu tanda kantuk telah tiba. Tak lama kemudian, Bumi terlelap di pangkuan Hera, aktivis HIV/AIDS di Bandung. 

“Ibunya meninggal semalam,” sebut Hera kepada saya yang menemuinya di sebuah kafe di Jalan Rumah Sakit, Kota Bandung, Desember tahun lalu.

Ibu Bumi, DSS, meninggal dua bulan setelah melahirkan Bumi, akibat terinfeksi HIV. Menjadikan bayi laki-laki itu tidak hanya piatu, tapi juga tanpa sosok ayah yang tidak diketahui keberadaannya. Saat ditemui, belum jelas siapa yang akan merawat Bumi. Namun sementara ini, Bumi akan dirawat Rasya, teman dekat DSS.

Terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV, Bumi harus menjalani terapi profilaksis untuk mencegah penularan. Bayi mungil itu harus meminum obat profilaksis ARV selama enam minggu. Seperti halnya obat ARV untuk anak, obat profilaksis belum tersedia dalam bentuk cair. Sejauh ini, baru tersedia dalam bentuk puyer.

Tentu saja ini menjadi kendala bagi Rasya yang belum berpengalaman mengurus bayi, apalagi memberikan obat puyer. Menurut Rasya, dokter menyarankan obat tersebut dicampur dengan susu formula, tapi itu juga tidak mudah.

“Kalau dimasukkan obatnya ke susu, gak diminum, malah dilepeh-lepeh. Bumi tahu karena rasanya pahit,” kata Rasya.

Rasya mencoba dengan memberikan obat dan susu secara bergantian. Obat diberikan memakai spuit atau alat suntik tumpul. Cara itu berhasil, walaupun membutuhkan kesabaran karena memakan waktu hingga satu jam. Selain ARV profilaksis, Bumi juga harus minum tiga obat lainnya, salah satunya antibiotik TBC, penyakit yang juga ditularkan mendiang ibunya.

“Pertama dikasih susu, terus dikasih obatnya sedikit-sedikit. Pasti nangis kan karena pahit. Dikasih susu lagi beberapa tetes, dikasih lagi. Jadi gitu, obatnya masuk. Jadi memang empat obat itu agak lama masukinnya. Kadang 1,5 jam, tapi yang penting masuk,” kata Rasya. 

Bumi masih harus menjalani sejumlah tes untuk memastikan negatif HIV. Apabila hasil tesnya positif, dia akan menjalani proses terapi obat ARV yang sangat panjang dan membutuhkan kesabaran ekstra dari siapa pun walinya nanti.

“Akan lebih mudah kalau ada obatnya yang sirup dan rasanya manis,” harap Rasya.

Tidak Ada Rotan, Akar pun Jadi

Kisah Jagat, Rasi, dan Bumi hanya kepingan kecil dari gambaran luas terapi ARV pada ADHIV. Bukan hanya persoalan jenis obatnya yang tidak ramah anak, tapi juga stok yang terbatas, serta masih minimnya jumlah ADHIV yang menjalani terapi ARV. 

Merujuk pada data UNICEF, persentase anak yang mendapat obat ARV hanya 24,6 persen dari kasus ADHIV yang tercatat di Indonesia pada 2021. Sedangkan data Kementerian Kesehatan mengungkap, dari jumlah 15.513 kasus HIV anak usia 0-14 tahun yang tercatat hingga 2023, hanya 3.811 anak yang menjalani terapi ARV. 

Sejumlah faktor melatari kecilnya jumlah ADHIV yang menjalani terapi ARV. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, menyoroti masih terjadinya stigma dan penyangkalan dari pihak keluarga sebagai penyebab utamanya. 

Pemerintah, sebut Nadia, menaruh perhatian terhadap ADHIV yang belum menjalani terapi, yang jumlahnya mencapai belasan ribu anak.

“Tentu kita perluas layanan HIV pada anak. Penanganan HIV multisektor dan dengan berbagai keterlibatan orangtua dan masyarakat karena tantangan stigma serta diskriminasi juga kuat,” ujar Nadia melalui pesan tertulis yang diterima, Senin (29/1).

“Tapi yang paling baik mencegah jangan sampai ADHIV bertambah. Dan ini perilaku orangtua untuk mencegah penularan kepada anaknya.”

Data Kemenkes mengungkap ada 2.139 ADHIV mengalami putus obat. 

Hera mengatakan obat yang tidak ramah anak berperan signifikan terhadap banyaknya kasus putus obat.

“Pertama, obatnya gak ramah anak, rasanya pahit. Otomatis drama terus kalau si anak dikasih obat ARV dewasa. Terus pada akhirnya putus obat. Apalagi kalau si anak diurus sama wali yang notabene walinya gak aware juga,” kata Hera.

Persoalan lain, kata Hera, orangtua atau wali harus meracik sendiri obatnya, yang berisiko dosisnya tidak tepat. Sementara, jika meminta diracik oleh apoteker ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan.

Kondisi tersebut juga dialami sejumlah ADHIV dampingan Lentera Anak Pelangi (LAP), lembaga nirlaba yang menjalankan program pendampingan anak yang hidup dengan HIV di Jakarta. 

Ruth Handayani, Partner Relation Manager LAP, mengatakan anak-anak dampingannya banyak yang tidak mau minum obat ARV karena kesulitan menelan obat tablet plus rasanya pahit. Selain itu, ada obat yang sebetulnya tidak boleh dipotong dua bagian karena akan mengurangi kadar efektivitasnya.

“Dosis obat juga menyesuaikan berat badan sehingga harus dipotong dan itu menyebabkan caregiver kesulitan untuk menyesuaikan takaran yang seharusnya,” ungkap Ruth. 

Sekitar 10 ADHIV dampingan LAP pernah putus obat. Beberapa di antaranya sudah mulai menjalani terapi obat lagi.

Obat ARV yang tidak ramah anak sempat memancing kemarahan para aktivis. Hal itu diungkapkan, Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Ayu Oktarini. Para aktivis, kata Ayu, mengetahui bahwasanya obat ARV anak sudah tersedia, tapi di Indonesia jumlahnya sangat terbatas.

“Teman-teman aktivis sering sekali komplain atau marah sama negara. Sebenarnya obat ARV yang sediaannya itu sesuai dengan kebutuhan anak-anak itu ada, tapi di Indonesia tuh jumlahnya terbatas,” keluh Ayu. 

Akhirnya, anak-anak meminum obat ARV dewasa dengan dosis yang disesuaikan, seperti satu tablet dipotong menjadi sepertiga atau setengahnya. Sementara, kata Ayu, ada beberapa obat yang sebetulnya tidak boleh dipotong.

“Beberapa literatur yang kami baca, semua obat yang tidak ada garis potong tengahnya, itu sebenarnya tidak boleh dipotong, itu satu. Kedua, dalam pengobatan itu juga sebenarnya obat itu tidak boleh dipuyer. Sebenarnya puyer itu tidak direkomendasikan dokter,” kata Ayu.

Ayu juga menyoroti persoalan lain terkait isu obat ARV anak ini. Selain stoknya yang sangat terbatas sehingga menyebabkan ADHIV terpaksa meminum obat ARV dewasa, juga terjadi ketidakkonsistenan bentuk dan merek. Menurut Ayu, hal ini bisa mengubah perspektif anak terhadap obat yang diminumnya dan berdampak pada kepatuhan minum obat. 

“Misalkan obatnya itu selama ini dia minumnya yang fixed dose combination, minumnya satu kali, obatnya isi kandungannya tiga macam, tapi tiba-tiba obat itu gak ada, yang tersedia obat yang diberikan pecahan. Tiga kandungan itu tidak lagi dalam satu tablet, tapi menjadi satu kandungan satu tablet,” kata Ayu. 

Kondisi yang demikian bukan hanya akan menyulitkan sang anak tetapi juga menambah beban orangtua untuk menjelaskan kepada anak karena kebanyakan dari anak-anak itu belum tahu mereka HIV dan kenapa harus minum obat.

Namun apa daya, tidak ada pilihan bagi pengidap HIV. Konsisten menjalani terapi obat ARV adalah upaya untuk tetap bertahan hidup. 

Rasi (4), ADHIV, sedang bermain di taman. Bagi orang yang hidup dengan HIV konsisten menjalani terapi obat ARV adalah upaya untuk tetap bertahan hidup. (Project M/Virliya Putricantika)

***

Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K)., anggota Satuan Tugas (Satgas) HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengatakan rutin meminum obat ARV dewasa bagi anak, meski berisiko tidak tepat dosis dan berkurang efektivitas obatnya, jauh lebih baik ketimbang tidak meminum obat sama sekali. 

Dokter Spesialis Anak yang akrab dipanggil Anggi ini menjelaskan, berhenti terapi ARV akan memicu resistensi obat dan yang paling parah menyebabkan kematian.

“Bayangkan kita menghadapi virus HIV di dalam tubuh anak. Risiko itu jauh lebih kecil dibandingkan gak minum obat atau minum obatnya gak benar,” kata Anggi. 

“Yah, sebetulnya hal-hal tersebut istilahnya, tidak ada rotan akar pun jadi. Tapi akar melulu, harusnya kan ada improvement.”

Anggi membayangkan, jika saja tersedia obat ARV sediaan sirup, akan sangat membantu bagi orangtua maupun wali, dan tentunya si anak dalam menjalani terapi obat ARV. Anggi yang menangani pasien ADHIV sejak 2005, merasa heran lantaran di tahun tersebut malah tersedia obat ARV yang ramah anak. 

“Jadi obat jadul justru lebih nyaman. Malah ada obat yang enak, rasa jeruk. Senang mereka (ADHIV). Kemudian ada yang kalau kita masukkan ke dalam air, larut dan gak ada rasa. Jadi tinggal glek. Tapi obat-obat itu gak ada lagi sekarang, sudah bertahun-tahun,” ucapnya. 

Nadia mengatakan Kemenkes sebetulnya sudah menyiapkan obat ARV anak, dalam bentuk bubuk, sirup, maupun pil pediatrik atau pil khusus anak, seperti ABC 120 mg/3TC 60 mg yang telah didistribusikan ke provinsi berdasarkan surat permintaan dari dinas kesehatan setempat. Ditambah lagi, imbuh Nadia, ada beberapa sediaan ARV anak baru, yaitu DTG 10 mg, Nevirapine sirup, dan ZDV 60 mg/3TC 30 mg.

Namun, semua itu konon masih perlu disosialisasikan.

“Karena ini merupakan obat baru jadi perlu dilakukan sosialisasi dahulu. Sosialisasi sudah dilakukan pada bulan November 2023,” sebut Nadia. 

Menanggapi stok obat ARV anak yang terbatas, Nadia menjelaskan, distribusi obat dilakukan melalui koordinasi dengan dinas kesehatan provinsi, kabupaten, kota, dan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) berdasarkan pencatatan dan pelaporan jumlah pasien serta paduan rejimen. 

“Jumlah alokasi disesuaikan dengan jumlah pasien anak, maka stok di tiap provinsi cukup,” kata Nadia.

Namun Nadia mengakui, sebagian besar obat ARV anak diproduksi di luar negeri sehingga membutuhkan waktu tunggu yang panjang. Kendala lainnya, kata Nadia, terdapat minimal pemesanan yang ditetapkan penyedia sehingga menyulitkan Kemenkes dalam melakukan pembelian. 

Kemenkes mengklaim sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp19 miliar lebih untuk penyediaan ARV anak dan Rp266 miliar untuk ARV dewasa.

Berdasarkan data WHO pada 2023, prevalensi kasus HIV anak usia 0-14 tahun di Indonesia di bawah 0,2 persen. Sedangkan secara global kasus HIV anak kurang dari 0,4 persen. 

Anggi mengakui angka kasus HIV anak masih kecil dibanding negara-negara lain di Afrika dan Amerika. Tapi karena sedikit itulah, Anggi menilai, pemerintah kurang serius mengendalikan penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh ini.

“Jadi kita tuh sedikit, tapi belum diurus dengan baik. Yang sedikit itu gak beres-beres. Jadi seperti komitmen nasionalnya itu terlupakan,” kata Anggi. 

Kemenkes bisa saja mengklaim stok obat ARV anak sudah mencukupi, tapi kenyataan di lapangan sebaliknya. Misalnya di Kota Bandung yang memiliki ADHIV sejumlah 78 orang (usia 0-19 tahun) pada 2021, masih banyak yang belum mendapatkan obat ARV anak.

“Kalau setiap kami nanya, dibilangnya ada, ada, tapi anak-anak aku sendiri tidak mendapatkan itu. Jadi, ini, loh, seperti saling menyalahkan satu sama lain. Menurut dinas kesehatan tidak ada pelaporan dari layanan. Menurut layanan, ARV-nya tidak ada, dan segala macam alasan,” kata Hera. 

Putus obat ARV yang Berujung Kematian ADHIV 

Jagat bukan satu-satunya ADHIV yang putus obat dan meninggal. Kematiannya menjadi contoh kasus bagaimana obat yang tidak ramah anak bisa mengancam jiwa. 

Lentera Anak Pelangi (LAP) mencatat ada lima anak yang meninggal dari 10 kasus putus obat. Akibat putus obat, anak-anak itu menjadi mudah terserang infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, pneumonia, dan lain-lain. 

Meski, Ruth mengakui, putus obat hanya satu dari sekian penyebab kematian ADHIV.

“Yang lain adalah ketidakpatuhan minum obat, faktor ekonomi dan rendahnya pengetahuan caregiver tentang pentingnya terapi ARV,” ujar Ruth.

Di samping kematian, putus obat bisa mengakibatkan resistensi obat. Resistensi itu terjadi ketika obat tidak mampu lagi menekan atau membunuh virus. 

Anggi yang juga menjabat sebagai Kepala Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menjelaskan, sebaik dan selama apapun si anak menjalani terapi ARV, tapi kemudian mogok obat dalam kurun waktu berbulan-bulan, ia bisa mengalami resistensi obat yang bisa membahayakan si anak.

Putus obat biasanya terjadi pada anak-anak usia remaja, ketika orangtua atau wali tidak lagi mengawasi secara ketat, lanjut Anggi. Sekitar 80 persen pasien ADHIV usia remaja di RSHS mengalami putus obat. Beberapa anak berhasil kembali menjalani terapi, tapi ada pula yang tetap menolak minum obat.

“Ada yang sampai meninggal karena anak-anak tersebut betul-betul keukeuh gak mau minum obat lagi, tapi itu beberapa memang, kurang dari lima anak,” kata Anggi. 

Anggi menilai, pemerintah seharusnya tidak melihat kasus HIV ini hanya sebatas angka. Prevalensi kasusnya memang masih rendah, tapi menurut Anggi, dari setiap angka itu ada satu jiwa yang dicintai dan diperjuangkan hidupnya oleh keluarga. Terlebih lagi, lanjut Anggi, kasus kematian ADHIV trennya sempat meningkat. 

“Sekarang bagaimana kematian anak usia 0-14 tahun. Secara global, trennya betul-betul turun, sedangkan di Indonesia malah naik, kemudian hampir stagnan. Jadi, walaupun angkanya kecil, tapi trennya gak bagus,” kata Anggi. 

Kemenkes mencatat ada sebanyak 1.668 ADHIV yang meninggal dari 9.991 ADHIV yang pernah menjalani terapi ARV. Anak-anak yang meninggal tersebut sebelumnya mengalami putus obat. Namun, sama seperti kasus pada dewasa, terang Nadia, kematian akibat HIV AIDS dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak bisa diidentifikasi secara pasti penyebabnya. 

Kendati demikian. Nadia menyebut kepatuhan dalam pengobatan masih menjadi permasalahan yang memengaruhi upaya pengendalian kasus HIV/AIDS di Indonesia. 

Lebih lanjut Nadia mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi persoalan tersebut agar ADHIV maupun ODHIV memiliki retensi pengobatan yang baik hingga virus terkontrol. Langkah-langkah tersebut antara lain menyediakan layanan Klinik Komunitas, Puskesmas Extra-Hour atau pelayanan di luar jam kerja, Transport ARV, dan edukasi kepatuhan berobat yang melibatkan komunitas.

Komunitas LAP, sebagai salah satu organisasi yang aktif dalam hal edukasi HIV berharap pemerintah lebih serius memikirkan pentingnya ketersediaan ARV Anak. 

“Bukan yang penting anak minum ARV, tapi tidak peduli (si anak minum) ARV tablet untuk dewasa dengan size besar dan dosis yang kurang ramah anak,” pungkas Ruth.

Hal itu pula yang diminta Dahlia dari pemerintah. Ia tidak ingin ada orangtua lain yang kehilangan anak tercinta seperti dirinya. 

“Semoga dengan ini pemerintah bisa mempertimbangkan masalah obat untuk anak, supaya tidak ada lagi anak-anak yang seperti Jagat,” tutupnya.


Baca artikel terkait ADHIV lainnya dalam tautan ini:

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
19 menit