“Kalau kawin sama orang Toraja, ditanya dulu, neneknya masih ada berapa?”
MENGENAKAN pakaian adat Toraja dengan parang terselip di pinggang depan, beralas sandal jepit, Penda Sanda dan Wilsya melangkah di barisan depan rombongan dalam upacara Rambu Solo’. Di belakang dua sepupu berusia 16 tahun itu, orang-orang tua memakai baju dan kerudung hitam tanda berduka untuk nenek buyut dan kakek keduanya.
Elisabet Kussu Padang Allo, nenek buyut mereka, meninggal tujuh tahun lalu. Sementara Yohanis Bo’Ke’ meninggal dua tahun lalu. Mereka akan disemayamkan ke patane atau rumah penyimpanan jenazah. Hari itu hari kedua di pertengahan Agustus 2024, hari mereka menerima tamu keluarga, kerabat, dan para turis yang datang pada prosesi tersebut. Upacara adat yang sudah jadi kegiatan turisme ini diadakan di Lembang Angin-Angin, Kecamatan Kesu’, Toraja Utara.
Penda kurang mengenal Elisabet tapi ingat Yohanis sebagai kakek yang suka mengajaknya main kartu. Sementara kakak perempuan Penda, Reign Ocealike Sanda atau dipanggil Osen, berumur 20 tahun, samar-samar masih ingat nenek buyutnya. “Papa disayang sama nenek,” katanya, mengingat sewaktu SD, nenek buyutnya kerap datang ke rumah orangtuanya di Makassar.
Rambu Solo’ adalah upacara mengantar arwah orang yang meninggal ke alam roh atau puyo. Ia juga simbolisme penghormatan terakhir atas anggota keluarga yang meninggal.
Osen berkata gara-gara Rambu Solo’, banyak turis asing datang ke Toraja. Dia merasa bangga. Dia juga berkata seharusnya Toraja lebih terkenal di Indonesia ketimbang di luar negeri. Di kalangan temannya, Toraja hanya dikenal sebagai suku dengan upacara adat paling meriah. “Kerbaunya mahal-mahal seharga Fortuner,” kata temannya.
Osen melihat ke arah tau-tau, patung nenek buyutnya yang ditempatkan seakan sedang duduk di panggung. Kelompok seni ma’badong, teman-teman kakeknya, tengah melantunkan himne kematian. Dari sisi luar arena, terdengar suara alu beradu lumpang. Terdengar pula senandung perempuan tua menyayat hati.
Tau-tau itu tersiram cahaya matahari siang. Di hadapan tau-tau, dengan posisi melingkar, barisan pria kelompok ma’badong berpakaian serba hitam. Mengesankan sesuatu yang magis.
Osen berkata harga pembuatan tau-tau nenek buyutnya itu Rp19 juta. “Tapi enggak terlalu mirip menurut aku. Yang lebih mirip lebih bagus lagi dan lebih mahal.”
“Keluarga ini masih mau berpegang dan sesuai adat karena setahuku juga, kakek ini bagian dari grup ma’badong,” kata Osen. “Papa juga masih mau ikuti adat.” Dia menambahkan hanya sebagian orang yang merayakan Rambu Solo’ seperti keluarganya, lengkap dengan sedikitnya 24 ekor kerbau dan tau-tau.
Saking lengkap dan meriah, seorang pemandu turis sempat mengira keluarga yang mengadakan upacara ini berasal dari keluarga bangsawan. Tapi Mama Osen membantahnya. “Ah tidak,” katanya, “kami biasa saja. Ini hanya untuk nama baik keluarga.”
Memang, kata Mama Osen, keluarga besar suaminya mengeluarkan biaya sampai Rp1 miliar. Porsi urunan dari Papa Osen, yang bekerja sebagai pelaut di luar negeri, lumayan besar. “Suami mungkin terpengaruh penghormatan kepada nenek, sepantasnya dilakukan kalau ada biaya, kalau mampu dan keluarga sepakat melakukan.”
Melihat rumit dan bayangan biaya yang sangat besar dalam upacara Rambu Solo’, tak pelak bikin Osen waswas. Mengingat ia cuma berdua dengan Penda. “Aku enggak mau sih begini-begini, karena sayang juga menurut aku.”
*
SEKITAR 6 km dari lokasi acara, tak jauh dari alun-alun Rantepao, ada sebuah toko buku kecil di satu gang pinggir jalur utama Jalan Pongtiku. Yhola Jeniver, berambut panjang dan berkacamata, sore itu membuka pintu toko buku bernama Loka Banne.
Toko buku ini, yang didirikan Yhola bersama pasangannya pada 2020, telah berkembang menjadi ruang interaksi. Ada yang datang untuk bahan bacaan, ada yang singgah untuk rupa-rupa peneliti. Ini memberi ruang bagi Yhola dan pasangannya sebagai anak muda Toraja untuk belajar dari perspektif orang luar maupun orang Toraja sendiri tentang suku mereka.
Meski baru berusia 20-an tahun, Yhola sudah membaca banyak buku dan terlibat dalam sejumlah kegiatan riset bersama peneliti lokal dan internasional terkait sukunya, Toraya, atau lebih umum dikenal Toraja.
Dalam banyak buku dan penelitian, nama suku ini, yang tinggal di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, berasal dari kata to atau tau yang berarti orang, dan raya yang bermakna besar. Singkatnya, Toraya diterjemahkan sebagai orang besar atau bangsawan. Tapi tidak semua orang dari suku ini tergolong bangsawan. Mereka punya sistem kasta dalam kehidupan sosialnya yang diatur dalam ajaran lama Aluk Todolo.
Yhola berkata bila anggota keluarga bangsawan yang meninggal, 24 kerbau harus dikorbankan dalam Rambu Solo’. “Bisa lebih kalau keluarganya mau lebih banyak, ada yang sampai ratusan kerbau,” katanya. Tak cuma itu, mereka juga bisa memotong kuda maupun rusa. Aturan ini tidak mengikat bagi mereka yang strata sosialnya bukan bangsawan.
Dulu sewaktu dia sekolah dasar, ceritanya, ada orang kaya di kampungnya mengadakan Rambu Solo’. Si orang kaya bukan keturunan bangsawan ini merayakannya dengan 24 ekor kerbau. Nenek Yhola, yang masih menganut Aluk Todolo, menegurnya. “Walau duit sebanyak apa pun,” ujar neneknya saat itu, “kalau statusmu segini ya kerbaunya cukup segini, tidak 24 ekor.”
Masih banyak penganut Aluk saat itu, ujar Yhola, mampu mengontrol aturan main adat dalam ritual.
Yhola dan sejumlah peneliti yang pernah didampinginya melihat semakin terjadi pemakluman atas pergeseran ritual adat di Toraja, termasuk dalam Rambu Solo’.
Isi seppu misalnya, tas kecil yang dikenakan dalam upacara, seharusnya berisi sirih atau dikenal istilah pangan, yang diberikan kepada tamu. “Sekarang berubah jadi permen dan kerupuk.”
Lalu, ada juga bangsawan Toraja yang sekarang sudah beragama Islam. “Sehingga makanannya beda, tidak ada babi, diganti ikan dan kerbau.”
Yhola berkata biasanya umat Kristen dan Katolik Toraja menyimpan jenazah bertahun-tahun, mungkin karena alasan sentimentil, mungkin juga alasan finansial alias belum mampu mengumpulkan dana untuk kegiatan upacara. Sementara keluarga muslim Toraja langsung menguburkan jenazah dan mengganti yang dipestakan dengan nisan.
Kemudian, ada juga Rambu Solo’ digelar dari pagi hingga sore, yang seharusnya menurut adat dilakukan saat matahari turun, sebagai simbol terbenamnya kehidupan orang yang diupacarakan.
“Jadi entah kita melakukannya karena kita punya uang atau untuk menghormati leluhur?” Yhola mengamati. “Kita ada karena leluhur, kan?”
*
YHOLA mengisahkan dirinya dengan pengalaman religiusitas Kristen sedari kecil. “Jadi spiritualku itu betul-betul dari gereja, selama ini lagu-lagu rohani dari firman itu kurasakan magis,” ucapnya.
Tapi, saat mengikuti upacara Rambu Solo’, di mana pada malam hari kelompok ma’badong melakukan tarian dan syair kedukaan dengan bahasa Toraja tinggi, ia sama sekali tidak mengerti sehingga tidak memahami prosesi kedukaan ini. Hanya kesan meriahnya saja yang dia dapatkan. Syair ma’badong itu merangkum kisah hidup si mati dari lahir sampai meninggal.
Mungkin, katanya, Generasi Milenial yang tinggal di Toraja masih bisa merasakan suasana magis prosesi Rambu Solo’. Tetapi untuk dirinya sebagai Generasi Z, ia tidak mendapatkannya. “Seperti ada patahan di generasiku karena orangtua juga tidak menggunakan bahasa Toraja di rumah ke saya.”
Ironisnya, Yhola studi sastra Perancis. Pekerjaan papanya pemandu turis. Orangtuanya tidak mendorongnya belajar bahasa Toraja, tapi menyekolahkan anaknya bisa berbahasa asing lebih dari satu karena dipandang lebih menjanjikan masa depan.
*
KENDATI dilihat memupuk beban finansial ke pundak anak-anak, Yhola terpukau dengan adat sukunya. Ajaran Aluk adalah sesuatu yang bagus, katanya. “Bisa menjaga lingkungan dan harmonis.”
Meski demikian, karena beban pengeluaran ritual yang mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah itu, ia juga maklum atas pilihan saudara-saudaranya atau kawan sebaya yang merantau dan memilih menjauh bahkan memutus hubungan dengan kampung. Kakaknya, misalnya, menolak pernikahan dilaksanakan secara adat, lebih memilih melakukan acara lamaran daring via Zoom.
Bagi anak rantau Toraja, mungkin melihat dirinya cuma dijadikan “ATM” untuk menopang beban ritual adat orangtuanya di kampung. Tapi bagi Yhola, sebagai Gen Z yang secara sadar memilih tinggal di kampung, justru yang dipandang “beban” itu adalah “berbagi”.
Tipikal komunitas Toraja yang saling datang, saling membantu dan bergotong royong, membuat penyelenggaran upacara menjadi beban komunal, tidak hanya beban satu keluarga. Hal ini membuat Yhola sangat menghargai ritual seperti Rambu Solo’.
“Ketika acara duka, banyak yang membantu. Ibu-ibu meninggalkan pekerjaan di rumah dan datang membantu, duduk, potong sayur, masak beras. Lalu mereka pulang membawa nasi atau lauk pauk yang bisa dimakan bersama di rumah.” Sehingga, katanya, ia merasa tidak akan rugi banyak meski harus keluar banyak uang. “Walaupun terbebani secara finansial, tapi mungkin karena iman Kristiani saya, ah pasti ada ada aja ji.”
“Tapi tidak semua merasakan itu, apalagi yang tinggal di luar, mereka tidak melihat langsung,” ujarnya.
Yhola menilai ritual seperti Rambu Solo’ memang lebih masuk akal bila diadakan oleh masyarakat Toraja yang masih menganut nilai-nilai lama. Contoh adalah Tongkonan, rumah adat masyarakat Toraja. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi di ruang kehidupan Tongkonan. Ada permukiman, peternakan, hutan bambu, tanah kering, dan tanah basah.
Sehingga, katanya, saat mau melaksanakan upacara, semua tersedia dari alam sekitarnya, termasuk upacara Rambu Solo’ yang digelar di pelataran Tongkonan. Umumnya orang Toraja juga beternak babi dan kerbau di lingkungan tempat tinggalnya.
Pengalaman pertama Yhola mengikuti Rambu Solo’ saat mengupacarakan neneknya. Ia senang karena bisa makan menu berbeda di lantang atau pondok tante-tantenya, berpindah-pindah serasa main kemah-kemahan. Berikutnya saat Rambu Solo’ kakek dari sebelah mamanya.
Beranjak dewasa, ia sering mendengar percakapan orangtuanya. “Kita mau pergi lagi bawa babi, kita pergi lagi bawa kerbau, lalu berpikir ternyata sewaktu-waktu bisa keluar uang segini banyak,” ceritanya. “Karena kematian, kan, tidak ada yang tahu.”
“Lama kelamaan jadi tahu ternyata harga kerbau segini, harga babi segini.” Belum lagi menyediakan seragam dan membayar tominaa alias pendeta upacara juga ma’badong.
“Jadi mengagumi upacaranya, tapi terbebani secara mental.” Meski begitu, “saya malah senang mau mengadakan upacara kalau sudah waktunya.”
Sampai ada lelucon, katanya, jangan kawin dengan perempuan Toraja karena banyak neneknya. “Ditanya dulu, neneknya masih ada berapa?” Yhola berkelakar.
“Toh, orang Toraja ke mana-mana carinya orang Toraja,” kata Yhola yang pasangannya juga orang Toraja. “Atau mungkin karena sama-sama mengerti, daripada sama orang bukan Toraja, nanti syok dengan adat kita, jadi entahlah.”
*
DI SATU kawasan Makale, ibukota Tana Toraja, Nikson Reis Rirak, 25 tahun, sedang mengisi waktunya di lumbung sesudah menyuguhkan sekarung rumput untuk dua kerbau yang digembalakannya. Pekerjaan Nikson adalah pangkambi tedong, gelar lokal untuk penggembala kerbau suku Toraja.
Pada 2022, Nikson pernah ke Morowali ikut sepupunya bekerja sebagai kuli bangunan. “Mungkin cuma satu tahun di sana, sakit tipes.” Ia pulang dan kembali menggembala kerbau milik ayahnya.
Morowali di Sulawesi Tengah kini dikenal sebagai kawasan tambang nikel. Banyak juga orang Toraja bekerja di sana, katanya. Merantau menjadi opsi lebih menjanjikan bagi Nikson yang sulit dapat pekerjaan di kampung
Nikson membuat suara dengan lidah dan mulutnya, mencari perhatian kerbau yang melangkah menjauh. Mengurus tedong bukan hal asing baginya. “Dari dulu memang begitu sama Pace, beli kerbau, anak kerbau, kalau sudah besar dijual lagi, beli lagi.”
“Kerbau untuk pesta orang mati,” katanya, seraya menjelaskan kenapa banyak orang dari sukunya merantau. “Karena adatnya mahal.” Ia berkata bahkan ada yang sudah meninggal berpuluh-puluh tahun dan ditempatkan di Tongkonan, belum dibuatkan pesta, murni karena keluarga belum ada uang. “Jadi merantau untuk kumpul-kumpul uang, pulang nanti baru diacarakan.”
Nikson berasal dari keluarga yang menjadi jemaat Kibaid. Tidak seperti Gereja Toraja atau Katolik, jemaat di gerejanya tidak wajib menggelar Rambu Solo’ berskala besar. Caranya berpartisipasi dalam Rambu Solo’ antara lain sebagai penyedia kerbau yang akan ditebas, maupun kerbau petarung untuk acara ma’pasilaga tedong. Juga menyediakan ayam aduan untuk sabung ayam. Ini adalah tiga tradisi dari ritus suku Toraja.
Mata Nikson sesekali melirik ke iPhone miliknya, sambil terus mengawasi kerbau. “Yang ini namanya tedong Pangloli, cuma ekornya yang putih.” Ia berkata bisa menyebutkan sepuluh jenis tedong dan kisaran harga masing-masing tipe. “Kerbau yang bule, saleko itu ratusan juta sampai Rp1 M,” katanya.
Tapi, harga kerbau juga naik-turun, tergantung seberapa tersedia atau tidak, juga tergantung seberapa banyak ada pesta atau tidak. “Saat ini sedang sepi pesta, maka harga kerbau turun lagi.”
Ia menunjuk satu tedong yang bisa dijual seharga Rp33 juta. “Semakin cepat gemuk semakin untung,” ujarnya. Sebagai pangkambi tedong, seperti kebanyakan profesi ini, Nikson menerima kerbau titipan untuk dirawatnya, yang keuntungannya setelah dikurangi modal, dibagi dua dengan dirinya.
Ia biasanya menjual kerbau secara daring via laman lokapasar Facebook. Tinggal foto lalu unggah. Kebanyakan anak muda Toraja seperti dirinya kini berjualan kerbau memakai media sosial, tidak lagi di Pasar Bolu yang sesak dengan ribuan ekor kerbau berbagai jenis.
“Di grup Facebook biasa juga ada orang cari kerbau,” tambahnya.
Kerbau sebagai harta orang Toraja diartikan sebagai sumber pemasukan pemerintah daerah. Tarif yang diterapkan Perda Kabupaten Toraja Utara mengenal dua macam kegiatan pemotongan. Khusus kerbau belang seperti Saleko dan Bonga, misalnya, dipungut Rp65 ribu/ekor bila dipotong di rumah penjagalan, tetapi Rp750 ribu/ekor jika dipotong di luar rumah potong hewan.
“Siapa yang punya kerbau, dia yang bayar retribusinya,” ujarnya. “Kalau kerbau yang dijual tidak kena pajak, cuma untuk kerbau yang ditebas saat acara adat.”
Di luar urusan kerbau untuk upacara adat, selebihnya Nikson tampak tidak tertarik. Ia tidak mengerti bahasa lama Toraja meski memahami urutan ritual Rambu Solo’ terutama terkait mantunu tedong atau penyembelihan kerbau.
“Saya pernah ikut ma’badong, tapi kalau ndak saya yang injak orang, saya yang diinjak orang, bergerak-gerak terus,” katanya sambil terkekeh. Itu bikin dia risih. “Apalagi kalau becek-becek. Mending tidak usah ikut.”