Atmakusumah Astraatmadja, Pejuang Kebebasan Pers dan Jurnalisme Bermutu

Mawa Kresna
9 menit

Atmakusumah Astraatmadja, 20 Oktober 1938 – 2 Januari 2025

Atmakusumah Astraatmadja, wartawan yang ikut melembagakan kemerdekaan pers lewat Undang-undang pers tahun 1999, serta membuatnya agar memenuhi standar internasional, meninggal dunia di RSCM Jakarta pada 2 Januari 2025. Dia punya masalah ginjal, menurut anak-anaknya. 

Atmakusumah kelahiran Labuan, Kabupaten Pandeglang, pada 1938. Ayahnya, Joenoes Astraatmadja, seorang birokrat yang pernah menjabat sebagai Wedana Leuwidamar, Kabupaten Lebak, serta pejabat bupati Bekasi. Ibunya, Ratu Kartina, mengelola sawah dan penggilingan padi di Lebak. Mereka tinggal di Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Ratu Kartina memiliki pabrik kecap Tjap Ratu di Rangkasbitung. 

Pada 1957, ketika tamat sekolah menengah di Jakarta, usia baru 19 tahun, Atmakusumah sudah jadi wartawan Indonesia Raya Minggu.

Pada 1958, dia menulis feature soal lima wartawan pemenang Magsaysay, termasuk Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya yang sedang ditahan. Feature tersebut membuat beberapa perwira Corps Polisi Militer datang ke ruang redaksi dan minta agar laporan tidak dilanjutkan. Empat bulan kemudian, Indonesia Raya kena bredel.

Atmakusumah kuliah jurnalisme sembari bekerja sebagai penyiar Radio Republik Indonesia. Dia lantas bekerja untuk Duta Masyarakat Minggu, harian milik Nahdlatul Ulama, tapi berurusan lagi dengan sensor militer soal tulisan tentang film. Duta Masyarakat diancam akan dibredel. Nama wartawan muda ini diperhatikan oleh sensor militer.

Sesaat setelah peristiwa itu, dia bertanya kepada Mahbub Djunaidi, editor Duta Masyarakat, apakah dia perlu pergi dari Indonesia.

“Secara pribadi, saya tidak ingin Anda meninggalkan koran ini. Tapi, kalau saya menjadi Anda, saya akan pergi,” begitu jawaban Mahbub.

Pada Desember 1961, umur 23 tahun, Atmakusumah pindah ke Melbourne, bekerja selama tiga tahun untuk Radio Australia seksi Indonesia.

Di Melbourne, dia menyewa kamar dari keluarga Australia. Pindah rumah beberapa kali, masing-masing rumah milik keturunan Yahudi-Inggris, Yahudi-Hungaria, dan Yahudi-Polandia. Melbourne adalah kota di Australia yang ditinggali banyak orang Yahudi pelarian dari penindasan di Eropa pada Perang Dunia II. Dia berkenalan dengan orang dari berbagai latar belakang, termasuk orang-orang keturunan Indonesia yang menetap di sana sejak sebelum Perang Dunia II, kebanyakan dari orang-orang kiri yang dibuang ke Boven Digoel oleh pemerintahan Hindia Belanda. 

Atmakusumah mengatakan dalam buku Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja, “Pasti ada orang baik di mana pun, dan selalu ada orang jahat di mana pun.” Hingga kini dia sering mengatakan kepada murid-muridnya, “Tolong jangan sekali-kali mempergunakan alasan stereotype saat Anda menilai orang.”

Kontrak dengan Radio Australia selesai pada 1964, Atmakusumah memutuskan berkeliling selama setahun di Eropa, naik Vespa, termasuk sempat bekerja di Deutsche Welle, Koln, selama 10 bulan, ketika kehabisan uang.

Pertengahan 1965, Atmakusumah kembali ke Jakarta, bekerja di Antara, tapi suasana ruang redaksi kurang menyenangkan, penuh gesekan. Hari pertama kerja adalah 1 Oktober 1965. Gerakan 30 September 1965 menggoyang Indonesia dengan penculikan beberapa jenderal Angkatan Darat. Pemimpinnya, Letnan Kolonel Untung Syamsuri, Komandan Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawalan Presiden Sukarno. Untung dapat dukungan D.N. Aidit dan beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia.

Ini memicu pengganyangan terhadap golongan kiri di Indonesia. Ada banyak orang kiri ditangkap, ditahan, dan dibunuh. 

Atmakusumah melewati masa menegangkan pada 1965-1969, termasuk ketika harus memberhentikan beberapa wartawan Antara yang dianggap “kiri atau Sukarnois.”

“Saya tak mungkin melawan,” katanya. 

Pada 1968, Mochtar Lubis mengajak Atmakusumah menerbitkan kembali Indonesia Raya, sesudah 10 tahun dibredel. Atmakusumah bersedia, belakangan jadi redaktur pelaksana.

Mochtar Lubis memberi selamat kepada pasangan pengantin Atmakusumah dan Sri Rumiati pada tanggal 2 Maret 1970. (Dok Keluarga).

Pada 1970, Atmakusumah menikah dengan Sri Rumiati, kepala Perpustakaan Indonesia Raya, yang terkesan dengan keberanian Atmakusumah membela dua wartawan yang dicap kiri sesudah menulis berita tentang kecelakaan lalu lintas yang melibatkan beberapa mobil perwira militer.

Atmakusumah memimpin liputan dalam mengungkap korupsi di badan-badan usaha milik negara seperti Badan Urusan Logistik dan perusahaan minyak dan gas (Pertamina). Di bidang politik, surat kabar tersebut melaporkan demonstrasi anti pemerintah yang mencapai puncaknya selama kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada Januari 1974. Dampaknya, harian Indonesia Raya kembali dibredel.

Atmakusumah sempat berbisnis bunga anggrek dan ternak ayam tapi tak berhasil. Beruntung Sri terus bekerja sebagai pustakawan. Dia lantas melamar kerja sebagai press assistant di Kedutaan Amerika Serikat buat bikin analisis berbagai berita media dan membantu redaksional United States Information Service, termasuk majalah Titian.

Jerry Kyle, atase pers kedutaan Amerika, kebetulan menemui seorang direktur jenderal di Departemen Penerangan dan bertanya soal Atmakusumah. Si pejabat mengatakan ada 11 wartawan, termasuk empat dari Indonesia Raya, yang masuk blacklist, salah satunya Atmakusumah. Mereka tak boleh bekerja di surat kabar apa pun di Indonesia. 

United States Information Service memutuskan menerima Atmakusumah. Namun, dia tak memakai nama aslinya di majalah Titian. Dia pakai nama samaran “Ramakresna.” Atmakusumah bekerja di Kedutaan Amerika Serikat selama 18 tahun. Salah satu pekerjaannya adalah menulis pidato para duta besar Amerika Serikat. Dia belajar banyak soal jurnalisme di Amerika Serikat maupun berbagai negara lain. Pada 1992, dia menerima tawaran menjadi instruktur Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo, Jakarta, guna melatih wartawan-wartawan Indonesia agar bisa lebih terampil.

Pada Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel tiga mingguan: Detik, Editor dan Tempo. Atmakusumah marah, memandang pembredelan adalah tindakan salah dan tidak adil. Media seyogyanya punya mekanisme buat membela diri terhadap tuduhan apa pun dalam kerja jurnalistik. Ini memulai lagi keterlibatannya dalam perjuangan pers, sekali lagi, terhadap sensor di Indonesia.

Saya mulai mengenal Pak Atma, begitu sapaan akrabnya, sejak demonstrasi di depan kantor Persatuan Wartawan Indonesia pada Juni 1994. Organisasi ini menyatakan “memahami” pembredelan tersebut. Ketika pintu pagar ditutup, Atmakusumah justru keluar dari kantor Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo, yang terletak dalam gedung sama, dan berbincang dengan para demonstran.

Namun, Atmakusumah tak bisa keluar pagar. Awalnya, polisi mengira Atmakusumah “orang dalam” yang ikut jadi sasaran protes, polisi khawatir dia diamuk demonstran. Menurut Rama Astraatmadja, putra Atmakusumah, ayahnya sering menceritakan kejadian tersebut dan dia sempat minta kaos protes pembredelan. Seseorang melepaskan kaos dan Atmakusumah memakai kaos hitam tersebut. Ada orang Persatuan Wartawan Indonesia bilang, “Bapak jangan manas-manasi.” Atmakusumah pun dilarang ke luar pagar.

Pembredelan kali ini berbeda dengan sebelumnya sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia menciptakan perlawanan luas dari kalangan wartawan dan masyarakat sipil di berbagai daerah. Puluhan wartawan muda, termasuk yang mengatur demonstrasi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia, mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 7 Agustus 1994.

Ini tindakan yang dianggap melawan aturan wadah tunggal pemerintah Indonesia. Pada Januari 1995, tiga anggota organisasi ini ditangkap: Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang K. Wardoyo. Mereka dituduh menerbitkan surat kabar tanpa izin bernama Independen serta melanggar aturan wadah tunggal.

Atmakusumah punya kerabat yang perwira polisi di Jakarta. Dia sering menitipkan makanan buat ketiga wartawan itu. Dia juga hadir dalam persidangan bahkan bersaksi buat mereka. Namun, mereka tetap dinyatakan bersalah dan dihukum penjara beberapa tahun.

Atmakusumah terjun dalam berbagai kerja jaringan wartawan di berbagai kota, termasuk gabungan berbagai lembaga pendidikan jurnalistik, dari Bandung, Makassar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta. 

Pada 1998, sesudah Presiden Soeharto mundur, dia terlibat dalam reformasi hukum pers, menulis rancangan Undang-undang Pers 1999 serta Kode Etik Wartawan Indonesia, ikut mendirikan Dewan Pers, serta ditunjuk sebagai ketua Dewan Pers pertama. 

Kami ikut dalam berbagai rapat di gedung Dewan Pers bersama Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia, yang menjadi salah satu koalisi organisasi media dan wartawan, termasuk Aliansi Jurnalis Independen dan Persatuan Wartawan Indonesia, buat menggodok rancangan undang-undang maupun kode etik. Saya mewakili Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi pelatihan jurnalistik, yang sering bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo.

Saat itu adalah masa yang penuh kekerasan dari Aceh sampai Papua, termasuk pembunuhan ribuan orang Madura di Kalimantan serta kekerasan di Kepulauan Maluku. Rapat-rapat soal rancangan selalu diwarnai dengan diskusi tentang berbagai kekerasan serta bagaimana media kurang terampil dalam meliputnya. Atmakusumah kritis terhadap keputusan Group Jawa Pos yang memecah harian Suara Maluku menjadi dua surat kabar: Kristen dan Islam. Suara Maluku buat redaksi Kristen, Ambon Ekspres di pihak Islam. 

Pada 2000, Atmakusumah mendapat penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina, sebuah hadiah bergengsi di Asia, atas perjuangannya selama tiga dekade memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.

Ramon Magsaysay Award Foundation menyatakan, “… era Soeharto selesai Mei 1998, Atmakusumah bekerja keras di balik layar untuk memastikan bahwa rancangan undang-undang pers tidak mengandung pembatasan. Hasilnya adalah tonggak sejarah. Disahkan pada September 1999, undang-undang pers menolak kewenangan pemerintah untuk membredel, menyensor, atau memberi izin kepada pers atau menahan informasi yang relevan. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan pembentukan Dewan Pers yang independen.” 

Atmakusumah bersama Istri dan Arnold Zeitlin wartawan Associated Press ketika menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award di Manila pada tanggal 31 Agustus 2000. (Dok Keluarga).

Ketika menerima penghargaan di Manila, Atmakusumah berpidato, “Saya merasa bangga bisa bekerja sama dengan … gerakan jurnalis dan mahasiswa, yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi, serta pendukung hak asasi manusia di seluruh negeri. Kepedulian mereka yang mendalam terhadap kebebasan dan demokrasi mendorong saya untuk bepergian, sering kali ditemani oleh istri atau anak-anak saya, ke sekitar 30 kota selama 30 tahun terakhir untuk diskusi, dalam pertemuan terbuka atau tertutup, tentang makna pers yang bebas dalam masyarakat yang demokratis.”

Atmakusumah adalah wartawan Indonesia ketiga yang mendapatkan Magsaysay sesudah Mochtar Lubis (1958) dan Pramoedya Ananta Toer (1995). Pada 2021, Watchdoc Media Mandiri juga mendapatkan Magsaysay.  

Anugerah “Lifetime Achievement” dari Dewan Pers untuk Atmakusumah pada 2023. (Project M/Adrian Mulya).

Atmakusumah selalu memberikan waktu buat diskusi dengan wartawan di puluhan kota di seluruh Indonesia. Dia mengatakan mungkin sudah melatih 20.000 wartawan. Dia juga mendukung kampanye mengakhiri pembatasan wartawan asing masuk dan meliput di Papua Barat. Pada 2015, ketika Human Rights Watch menerbitkan laporan, Something to Hide: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua, dia ikut bicara dengan menteri koordinator keamanan Luhut Binsar Pandjaitan agar aturan clearing house yang membatasi wartawan asing ditinjau.

Pada 2023, Atmakusumah mendapatkan penghargaan “Lifetime Achievement Award” dari Dewan Pers. Dia dinilai tekun dan setia menulis soal etika jurnalisme, tanggung jawab wartawan serta hak asasi manusia. Jasa Atmakusumah besar buat perjuangan demokrasi Indonesia.

Kepergian Atmakusumah meninggalkan Sri Rumiati dan tiga putra mereka: Kresna Astraatmadja (seorang pembuat film dokumenter, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan), Rama Ardana Astraatmadja (pembuat film dokumenter, tinggal Yogyakarta) dan Tri Laksmana Astraatmadja (astronom, kerja di Baltimore, dekat Washington DC). 


Andreas Harsono adalah salah seorang wartawan yang ikut protes terhadap Persatuan Wartawan Indonesia pada Juni 1994, terlibat mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada Agustus 1994. Kini dia bekerja buat Human Rights Watch.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Mawa Kresna
9 menit