Belajar Kelola Sampah dan Mitigasi Bencana Dari Ibu-Ibu di Kota Bahari Tegal

Primagung Dary Riliananda
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
12 menit

Inisiatif pengelolaan sampah semakin banyak bermunculan di tengah masyarakat. Kini, giliran pemerintah dan perusahaan produsen plastik kemasan barang konsumsi membuktikan komitmen serius mereka mengurangi sampah. 

DARI balik sebuah rumah yang terletak di Randugunting, Tegal Selatan, Mufasiroh (55), menghabiskan hari Minggunya dengan memilah dan mengolah sampah. Ia tak bisa mengalihkan perhatiannya kepada tumpukan plastik sampah yang ada di pojok rumah. Satu demi satu sampah kemudian dikelompokkan dan ditumpuk sesuai dengan jenis dan mereknya. 

Selesai dipilah, Mufasiroh menggunting plastik-plastik kemasan itu dengan ukuran sama untuk kemudian dianyam satu per satu. 

“Justru yang susah itu mencari pola di awal. Kalau polanya sudah dapat, tinggal gunting, lem, dan anyam saja,” katanya. 

Satu jam berselang, sebuah dompet kecil berbahan dasar bungkus kopi selesai ia buat. Ia memakai lebih dari 50 buah bungkus kopi dan satu resleting untuk merampungkannya. Sepintas, dompet itu tidak terlihat seperti terbuat dari plastik kemasan kopi. 

Mufasiroh memilah sampah yang ia timbun di loteng rumahnya. Sampah-sampah ini ia dapatkan dari tetangganya dengan cuma-cuma. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

Mufasiroh baru tahu sampah plastik bisa memiliki nilai positif pada 2014. Saat ia mengikuti kegiatan PKK di lingkungan rumahnya. Salah satu tetangga membawa tas selempang yang dibuat dari bungkus minuman kemasan kecil. Sejak itu, dirinya tertarik mencoba. 

“Saya akhirnya bisa bikin dompet sendiri cuma modal lihat video panduan di YouTube, senangnya minta ampun sampai saya lihat terus dompetnya di kamar sebelum tidur,” ujarnya sambil tertawa mengenang masa-masa itu.

Kesenangannya itu membuat Mufasiroh memberanikan diri membuka outlet kerajinan. Ia juga rela mondar-mandir dari satu pameran ke pameran lainnya untuk berjejaring dan menjual produknya. Perlahan tapi pasti, ia mulai bertemu dengan beberapa pengrajin lain. 

Sadar bahwa teman-teman barunya punya niat yang sama, mereka lalu membentuk sebuah komunitas yang kini dinamai Runtah Tegal Laka-Laka (RUTELA) pada akhir Desember 2017. Rumahnya juga disulap menjadi sekretariat dan showroom hasil kerajinan para anggota.

RUTELA sering dipercaya untuk mengisi pelatihan daur ulang sampah atau terlibat dalam program tanggung jawab sosial dengan pemerintah terkait dan berbagai instansi swasta. 

Mufasiroh dibantu Shani mengerjakan pesanan tikar untuk alas duduk siswa SMP yang tengah menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS) pada tahun ajaran baru. Pesanan biasanya meningkat saat momen-momen tertentu seperti tahun ajaran baru, kemerdekaan, dan hari besar lainnya. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

RUTELA juga bekerja sama dengan beberapa sekolah untuk menjadi fasilitator pendidikan P5 yang kini mulai diterapkan dalam Kurikulum Merdeka. 

Beberapa pelajar juga tertarik untuk belajar lebih dalam setelah mendapatkan penyuluhan di sekolah. Shani (17) adalah salah satu satunya. Siswa kelas 3 di salah satu SMK di Kota Tegal ini sudah membantu kegiatan Mufasiroh di rumahnya selama dua tahun terakhir. 

Rasa ingin tahu dan keterlibatannya dalam proses daur ulang sampah dimulai ketika melihat Mufasiroh merangkai satu demi satu bungkus kopi saat menjadi fasilitator di sekolahnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menawarkan diri untuk “magang” di tempat Mufasiroh. 

Awalnya, Shani hanya membantu melipat bungkus plastik. Kadang ia membawa pulang pekerjaannya ke rumah. 

“Biasanya dikerjakan sambil nonton drama Korea, seru karena bisa dibawa santai. Kalau sudah capek paling juga nonton dulu,” katanya. 

Shani (17), siswa SMK yang rutin membantu Mufasiroh menyortir, melipat, dan menganyam sampah setelah mendapatkan penyuluhan di sekolahnya. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

Mufasiroh memberinya upah tenaga sebesar Rp2.500 per 50 bungkus. Shani menolak mengambil langsung dan memilih untuk ditabung. Mufasiroh akhirnya menyediakan buku tabungan khusus. Ia memastikan Shani selalu menulis jumlah bungkus yang telah dilipat.

Waktu berlalu, tabungannya semakin bertambah hingga hampir mencapai Rp1 juta. Ia putuskan untuk mengambil uangnya, dan memakai hasil tabungan itu untuk berinvestasi dengan membeli cincin emas 1,5 gram. 

Detail tabungan dan cincin emas 1,5 gram milik Shani. Ia dapat membeli cincin itu hanya bermodal melipat sampah plastik. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

“Saya ingat sekali waktu pegang cincinnya. Saya masih nggak percaya, ternyata modal sampah aja bisa jadi emas beneran,” katanya, diiringi tawa Mufasiroh. 

Dari sana, ia rutin membantu dan juga aktif memberikan penyuluhan lingkungan ke berbagai organisasi yang diikutinya, termasuk Satuan Karya Pramuka Bahari dan kepramukaan di level sekolah. 

***

Darurat sampah telah menghantui Indonesia sejak empat tahun lalu. Paparan The Atlas of Sustainable Development Goals 2023 dari Bank Dunia menyebut Indonesia telah memproduksi 65,2 juta ton sampah, atau masuk urutan kelima dalam skala global. Plastik mendominasi jumlah sampah di Indonesia. 

Masalah sampah ini juga dihadapi Kota ‘Bahari’ Tegal. Awal tahun, kota di Jawa Tengah ini tercatat memproduksi sampah hingga 200 ton per hari. Beberapa Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di Kota Tegal juga sudah tak mampu lagi menampung sampah yang semakin bertambah seiring waktu.

Persoalan sampah juga memperburuk ancaman banjir di kota yang dilalui lima aliran sungai ini. Kawasan Margadana yang berbatasan langsung dengan Brebes memiliki risiko rawan banjir tertinggi terutama saat musim hujan. Tercatat, banjir terparah terjadi pada awal Maret 2023, saat luapan Sungai Kaligangsa dan Sungai Kemiri merendam 450 rumah dan melumpuhkan aktivitas warga di sana.

Air tambak yang berubah warna dan pohon yang mengering di sekitar TPA Muarareja, Kota Tegal. Banyaknya paparan zat kimia akibat timbunan sampah merubah kualitas air di sana, dan akhirnya tambak tersebut dibiarkan oleh warga. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

Pemerintah memasang target Indonesia bersih sampah pada tahun 2025. Untuk mencapai misi tersebut, pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat diwajibkan membuat program kerja yang bersesuaian dengan peta jalan di dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah. Dari regulasi itu, pemerintah memasang target pengurangan 30 persen sampah dari hulu atau sumbernya dan 70 persen pengelolaan sampah. 

Terkait dengan target pengurangan produksi sampah dari hulu, pemerintah telah mengeluarkan aturan turunan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75 tahun 2019. Di aturan itu, produsen atau pengusaha perlu menyusun dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan produksi plastik, salah satunya yang biasa dijadikan sebagai bahan kemasan barang konsumsi. 

Kendati demikian, kebijakan tersebut belum cukup kuat menekan tanggung jawab produsen dalam mengurangi produksi plastik. Tahun 2023, industri plastik mengalami kenaikan produksi 4-6 persen, sebagian besarnya untuk industri kemasan makanan dan minuman. Dari persentase itu, produksi plastik multilayer (flexible packaging) bahkan meningkat 45%. Untuk diketahui, flexible packaging adalah jenis plastik yang hingga saat ini tidak bisa diolah kembali dan banyak berakhir mencemari lautan.   

Riset Net Zero Waste Management Consortium yang dirilis akhir 2023, menyebutkan sampah saset kopi dari Kapal Api menempati posisi ketujuh terbanyak di enam kota besar: Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda, dan Bali, pada tahun 2022. Total sampah saset kopi instan Kapal Api itu mencapai 21,5 ribu ton. Selain Kapal Api, di daftar itu juga terdapat bungkus Indomie, botol minuman Coca Cola dan Sprite, hingga botol minuman Aqua.

Luapan Air dan Sampah

Wastiah (42) rela menempuh jarak hingga 16 kilometer, pulang pergi, untuk belajar menganyam saat masa-masa awal bergabung dengan RUTELA. 

“Dulu katanya ada juga anggota  RUTELA yang dari daerah Kabupaten Tegal, tapi akhirnya mundur karena mungkin titik kumpulnya terlalu jauh di kota,” kata Wastiah, yang jarak rumahnya ke Mufasiroh bisa mencapai 20 menit perjalanan.

Kegiatan menganyam sampah itu dilakukannya karena Wastiah dan keluarganya adalah korban banjir di Margadana, dua tahun silam. Wanita yang juga bekerja sampingan sebagai penjahit ini menunjukkan tanda cat yang memudar di pintu kayunya karena banjir itu. Ketika banjir itu, ia melihat yang datang bukan hanya air tetapi juga ragam sampah. 

“Ujung-ujungnya, saya dan keluarga juga yang repot bersih-bersih rumah dari lumpur dan sampah waktu banjir mulai surut,” keluhnya.

Wastiah menemukan RUTELA saat melihat salah satu pameran kerajinan yang diadakan salah satu dinas di Kota Tegal, dan kemudian tergerak mengetahui lebih lanjut. Awalnya ia merasa ragu, karena tak merasa cukup kreatif untuk membuat kerajinan. Namun, dukungan anggota lain berhasil menguatkannya agar tetap konsisten belajar.

Kadang, ia dibantu suaminya, Ahmad Solekhan (44), saat mengolah dan memilah sampah.

“Sekarang saya sudah bisa bikin banyak macam barang, tapi yang paling sering, ya, bikin tas untuk kebutuhan laundry dari bungkus minyak dan deterjen,” katanya sambil menunjukkan salah satu tas jinjing berukuran besar yang berhasil dibuatnya. 

Wastiah menjualnya dengan harga variatif mulai dari Rp30-100 ribu, berdasarkan ukuran tas dan keindahan motif yang berhasil dijahit.

***

Alih fungsi lahan menjadi hal lumrah ketika TPS sudah tak sanggup menampung beban sampah yang kian bertambah. Hal ini sangat terasa saat berkendara menyusuri kawasan Tegalsari dan Muarareja. 

Aroma tajam langsung menyeruak begitu mendekati Rumah Susun Jalingkut karena adanya tumpukan sampah yang dibuang di sisi kanan dan kiri jalan. Kenyataan yang cukup ironis dan menggelitik, apalagi melihat branding green building pada bangunan yang telah difungsikan sejak awal 2023.

Sampah yang tercecer di sekitar Rumah Susun Jalingkut di Jalan Lingkar Utara Kota Tegal. Meskipun sudah diberi tanda larangan membuang sampah di sini, namun warga tetap membuang sampah di sana. (Project M.Primagung Dary Riliananda)

Tahun lalu, sebuah kebakaran sempat terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muareja. Lokasi TPA seluas lima hektare ini berada di samping Jalan Lingkar Utara Kota Tegal. Kebakaran diduga akibat karena pembakaran rumput alang-alang di sekitar jalan lingkar. Sekitar satu hektare sampah dilaporkan habis terbakar. 

Asap yang timbul dari kebakaran itu meluas hingga ke rumah Komalasari (48), anggota RUTELA yang berdomisili sekitar dua kilometer dari TPA. 

“Walaupun cuma dua hari, tapi baunya tetap sampai ke rumah. Lalu lintas di Jalan Lingkar Utara juga sempat dialihkan karena jalanan tertutup asap,” katanya. 

Wastiah dan suaminya punya pengalaman lain tentang TPS. Saat masih awal bergabung di RUTELA, dirinya sering diantar sang suami yang dulunya pernah nyambi bekerja sebagai pengepul sampah untuk mencari sampah plastik deterjen dan kemasan minyak di antara gunungan sampah TPS Bayeman. 

“Waktu itu masih cari sampah sendiri. Kalau sudah di sana, langsung cari sebanyak-banyaknya. Begitu sampai di rumah langsung mandi karena badannya asem bau sampah,” katanya.

Eni dan Sulasmi (dari kiri ke kanan) mengambil sampah yang baru diturunkan di TPA Muarareja, Kota Tegal. TPA ini adalah yang terbesar di Kota Tegal dengan luas mencapai 5 hektare. (Project M/Primagung Dary Riliananda)
Wastiah dibantu Afia, anak bungsunya, menyortir bungkus deterjen yang akan dipakai untuk membuat tas laundry. Penyortiran dilakukan untuk memisahkan motif yang akan digunakan sesuai selera sang pembuat tas.(Project M/Primagung Dary Riliananda)

Kini, Wastiah tidak perlu repot mencari sampah karena banyak tetangga yang mengantar langsung sampah plastiknya ke rumah untuk dipilah. Sama halnya dengan Mufasiroh dan Sari, mereka sering diberi dengan cuma-cuma. 

“Paling enak itu kalau plastik yang diantar sudah bersih karena kita tinggal olah. Kadang ada juga yang masih ada sisa bubuk atau minyaknya. Itu agak repot tapi masih mending daripada kami ambil dari pengepul atau di TPA langsung, mambune ora karuan (baunya tidak karuan),” Mufasiroh berkata sambil tertawa.

***

Wastiah menjahit bungkus deterjen yang akan dipakai untuk membuat tas laundry. Proses pengerjaannya memakan waktu hingga setengah hari, bergantung dari banyaknya pesanan dan tingkat kesulitan produk. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

Upaya ibu-ibu di Tegal ini juga menghadapi tantangan. Mereka kerap menerima cibiran saat penyuluhan. Kebanyakan mempertanyakan mengapa harga barang daur ulang yang tinggi. 

“Kalau sudah begitu saya diam saja karena biasanya baru kelihatan saat praktik. Mereka biasanya mulai kewalahan cari pola, melipat, dan menganyam. Justru proses kreatifnya yang memang makan banyak waktu,” Mufasiroh berujar sambil merapikan sisa sampah.

Mufasiroh justru bersyukur. Karya dari komunitasnya pernah sampai ke Sumatra dan Kalimantan untuk turut serta dalam pameran bertemakan lingkungan. 

“Ada orang yang ikut bikin kerajinan karena sadar kalau kondisi lingkungan sekarang nggak beres aja sudah bikin kami senang,” katanya. 

Jawaban Sari juga serupa dengannya. Ia merasa bersyukur jika ada orang yang melakukan pergerakan yang sama di tempat lain. Tandanya, mereka tidak sendiri.

Soal pemasaran juga jadi tantangan lainnya. Ketiadaan anggota yang melek teknologi, ditambah dengan kesibukan sehari-hari dengan pekerjaan aslinya membuat mereka masih mengandalkan pameran langsung yang diadakan secara berkala. 

“Akhir-akhir ini memang sedang sering down, karena terlalu sering bikin tapi barang yang keluar justru sedikit. Saya kadang merasa nggak enak dengan anggota lain,” katanya lirih.

Dari 12 anggota tetap RUTELA, sebanyak delapan orang di antaranya merupakan perempuan. Mereka bekerja sebagai ibu rumah tangga. Mufasiroh menyambi kegiatannya di rumah dan komunitas dengan bergantian menjaga konter pulsa milik anaknya. Wastiah juga mempunyai konter pulsa dan es batu, juga membantu suaminya memasak siomai untuk dijual keliling dari sekolah ke sekolah lain. 

“Kadang kalau sudah padat seperti ini susah atur waktu untuk ngonten, Mas. Waktunya habis duluan untuk produksi sama kegiatan di rumah,” katanya.

Sari dan beberapa hasil karyanya. Ia memanfaatkan  sudut rumahnya untuk memproduksi kerajinan dari sampah. Setiap anggota RUTELA memproduksi kerajinan di rumah, yang kemudian disetorkan ke sekretariat. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

Sari juga merasakan keresahan yang sama. Ia kadang merasa sedih saat kerajinan yang dibuatnya tidak terapresiasi dengan baik. Di sisi lain dirinya juga sadar, pandangan tentang sampah yang terlanjur melekat di masyarakat kebanyakan masih dari sisi negatif. 

“Mengubah pandangan itu yang sebenarnya susah, mau ditunjukkan bagaimana bagusnya juga kalau cara mereka melihat masih dari sudut pandang negatif kami juga susah,” katanya.

Walau begitu, mereka tak tinggal diam. RUTELA juga mendapatkan pelatihan pemasaran digital dan alat fotografi untuk membantu promosi produk dari instansi BUMN. Mereka juga meminta tolong kepada anak-anak juga yang lebih paham cara pakai kamera dan dinamika media sosial. 

“Belakangan kami terpikir untuk kembali membuka toko daring, tapi masih sebatas rencana. Semoga nanti bisa benar-benar terwujud,” tambahnya.

Mufasiroh memotret pembeli untuk kepentingan media sosial RUTELA. Pesanan biasanya meningkat saat momen-momen tertentu seperti tahun ajaran baru, kemerdekaan, dan hari besar lainnya. (Project M/Primagung Dary Riliananda)
Wastiah memperlihatkan profil Instagram resmi RUTELA. Komunitas ini telah mendapatkan lebih dari 2000 pengikut di Instagram. (Project M/Primagung Dary Riliananda)

Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan pada 2024, timbulan sampah plastik Indonesia telah mencapai 9.2 juta ton dan jumlah ini kemungkinan besar akan bertambah pada akhir tahun nanti. Sebagai pegiat lingkungan, mereka tentu khawatir jika timbunan itu tidak tertangani dengan baik. 

Di sisi lain, butuh kesadaran yang lebih dari semua elemen, termasuk warga dan pemerintah, untuk turut serta dalam proses pengendalian sampah ini. 

“Harapan saya dan teman-teman sebenarnya sederhana saja. Semoga nanti semuanya bisa sadar sebelum bencana yang lebih besar datang. Kayaknya, nggak perlu lah kita nunggu banjir atau rob lagi baru pada gerak kurangi sampah, kalau begitu caranya jelas terlambat,” simpulnya.

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Primagung Dary Riliananda
Adrian Mulya & Ronna Nirmala
12 menit