Belasan Tahun Jadi Guru Honorer: Beragam Pelatihan, Status Tetap Tak Ada Kepastian

Ronna Nirmala
12 menit
Proses belajar mengajar di salah satu SMP Negeri di Lombok. Seorang guru honorer dituntut untuk melakukan diferensiasi dalam pembelajaran dengan menggunakan berbagai ragam metode. (Project M/ Irwan Setyawan)
Di NTB, ada seorang guru honorer yang sudah mengajar belasan tahun, mengikuti pendidikan tambahan, dan beragam pelatihan serta aplikasi, tapi kepastian diangkat jadi guru tetap masih juga buram.

TIDAK ADA pagi yang tak sibuk di rumah Nur. Selesai subuh, ia bergegas menyiapkan kebutuhan untuk suami dan anak laki-laki sulungnya. Di sela-sela itu, ia juga perlu menyiapkan dirinya dan anak perempuan balitanya pergi ke sekolah. 

Untuk menyiasati waktu pagi yang pendek, Nur kadang menyiapkan sarapan sejak malam hari. Atau, ia akan bergegas keluar rumah mencari warung makan yang menjual menu sarapan. 

“Kalau tidak ada yang dimasak, hanya masak nasi [dan membeli lauk],” kata Nur. 

Nur adalah seorang guru honorer di salah satu sekolah dasar di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Putri sulungnya belum bersekolah, tetapi setiap hari akan ikut Nur mengajar. 

Nur dan suami tidak mungkin membayar orang untuk menjaga putri mereka yang baru berusia tiga tahun itu. Begitu pula menitipkan kepada sanak keluarga. Suami Nur bekerja sebagai pegawai desa, sementara putra sulungnya itu masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. 

Sekolah memaklumi kondisi Nur, akunya. Selain juga, jarak sekolah dengan tempat tinggal dan kantor desa juga dekat, sehingga suami Nur terkadang menjemput pulang anaknya.

“Saya mau bawa [titip] ke mana anak saya? Tapi kalau ada kegiatan di sekolah seperti rapat dia tidak ikut dan kalau ada yang jaga di rumah,” kata Nur. 

Selama ikut Nur ke sekolah, gadis kecil berambut ikal itu biasanya menghabiskan waktu bermain di luar kelas atau terkadang duduk di antara peserta didik. 

 “Alhamdulillah tidak pernah ditegur kalau bawa anak,” katanya. 

Sekolah dimulai pukul 07.30. Nur biasanya berangkat dari rumah jam 07.00, waktu yang cukup untuknya berjalan kaki ke sekolah dan menyiapkan bahan ajar sebelum masuk kelas. 

Nur tidak bisa telat. Ia diawasi aplikasi Sistem Informasi Kehadiran Pegawai (SIHAWA), yang diberlakukan wajib bagi semua pegawai ASN dan non-ASN di Lombok Barat. 

Sistem absensi di aplikasi itu hanya bisa dilakukan apabila pegawai, atau guru-guru seperti Nur, sudah tiba di kantor atau sekolah. Di luar wilayah itu, absensi tidak bisa terdeteksi. Begitu juga dengan jam pulang kerja.

“Kadang belajar sampai pukul 11.30 dan pulang sekolah itu pukul 12.30,” katanya. 

Kendati demikian, kinerja aplikasi itu belum berjalan maksimal. Aplikasi kerap mengalami gangguan yang menyebabkan Nur dan guru-guru lainnya menunggu di sekolah lebih lama untuk absensi pulang. 

Bagi guru honorer seperti Nur, absensi harian adalah penting. Pendapatannya dihitung dari jumlah absennya. Telat mengisi absen, maka pendapatan bulanannya berpotensi ikut kena potong. 

Nur enggan menjawab berapa besaran potongan tersebut, namun dari pengakuan guru honorer lainnya, potongan untuk absen bisa mencapai Rp15 ribu per hari. 

***

Nur bertanggung jawab sebagai wali kelas 2 di sekolahnya. Selain jadi wali kelas, Nur adalah guru untuk semua mata pelajaran kecuali Pendidikan Agama Islam dan Olahraga. 

Nur adalah lulusan untuk jurusan Bahasa Indonesia. Karena kebijakan yang mengharuskan guru memiliki latar belakang pendidikan linier dengan objek ajarnya, Nur memutuskan untuk kuliah lagi dan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Terbuka. Padahal ketika itu, ia sudah menjadi guru selama 10 tahun.

Pendidikan tambahannya itu ia lakoni sambil mengajar dan mengurus putri sulungnya yang kala itu masih berusia 1 bulan. Sejak lulus, status Nur belum berubah sebagai guru honorer. 

Nur menjajal peluang untuk menjadi guru tetap dengan mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada tahun lalu. Namun, ia gagal. 

“Saya tes pakai komputer di asrama haji dan, Alhamdulillah, begitu banyak teman saya tes. Ribuan. Tidak ada satupun yang lolos kami juga bingung,” kata Nur. 

Nur menduga kegagalannya karena belum memiliki Sertifikasi Pendidik. Ia sudah mengikuti tahapan pendaftaran awal permohonan sertifikasi ke Kementerian Pendidikan tetapi belum menerima pengumuman hasilnya hingga hari ini. 

Padahal, tahapan untuk menerima sertifikasi guru pun masih sangat panjang. Bila dapat panggilan dari Kementerian, maka Nur harus mengikuti Program Profesi Guru (PPG) sebanyak total 36 SKS. Setelah dinyatakan lulus, Nur baru bisa mendapatkan Sertifikasi Guru.

“Lumayan kalau kita sudah punya SerDik. Tapi, ya, begitu sekali berapa bulan gitu keluarnya. Kita juga cepat lolos PPPK kalau sudah punya serdik. Itu kelebihannya karena nilainya besar kalau dapat SerDik ini,” katanya. 

Nur berharap ia bisa kembali mencoba peluang untuk ikut tes PPPK pada tahun ini. 

Guru Mengajar dan Belajar Mandiri

Status guru honorer yang ia lakoni saat ini tak lantas membuatnya lepas dari beban kerja seperti layaknya guru-guru tetap lainnya. Salah satunya adalah ia juga harus mengakses dan mengikuti semua modul dalam Platform Merdeka Mengajar (PMM). 

Di platform tersebut, para guru diwajibkan mempelajari sendiri berbagai materi pengembangan kemampuan seperti pelatihan mandiri, soal-soal latihan, video inspirasi. Para guru juga diminta untuk menyetorkan bukti karya, ide praktik, hingga usulan materi untuk mendukung kurikulum belajar. 

Selain itu, di dalam PMM juga terdapat e-Kinerja yang sebelumnya hanya perlu diisi oleh guru berstatus ASN. Merujuk situs Kemendikbud, e-Kinerja tersebut berguna sebagai proses monitoring dan evaluasi kinerja para guru secara langsung dan transparan.

Seorang guru honorer sedang mempersiapkan bahan ajar sesuai dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), dalam Platform Merdeka Mengajar (PMM). Di platform tersebut, para guru wajib mempelajari berbagai materi pengembangan kemampuan seperti pelatihan mandiri, soal-soal latihan, video inspirasi. (Project M/Irwan Setyawan)

Nur dan guru-guru lain di sekolahnya mengaku pengisian PMM tidak selalu bisa selesai dalam satu waktu. Oleh karenanya, mereka menyiapkan jadwal khusus sepulang sekolah untuk mengisi PMM bersama-sama. 

Ada kalanya guru-guru terpaksa memulangkan murid-murid lebih awal agar bisa menyelesaikan PMM lebih cepat. 

“Mau tidak mau kita harus meninggalkan siswa untuk kegiatan tersebut. Kadang siswa juga dipulangkan lebih awal, karena tidak semua guru bisa dan mengerti cara mengisi atau mengaplikasikan PMM,” kata Nur. 

Bila tidak memungkinkan dikerjakan di sekolah, para guru terpaksa menyelesaikan PMM di rumah dengan segala keterbatasannya. 

“Kalau pulang rumah, kadang baru kerjakan PMM sambil istirahat sekitar jam 3. Kadang kalau sempat, saya buka PMM malam,” kata Nur.

Bagi Nur, mengerjakan PMM di rumah berarti ia harus mencari kesempatan di tengah sempitnya waktu istirahat untuk dirinya. Sepulang dari sekolah, ia harus segera ke dapur untuk menyiapkan makan siang dan malam. 

“Katanya kita bisa menonton video sambil memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi itu tidak bisa saya kerjakan,” katanya. 

Menurut Nur, PMM lebih nyaman diakses menggunakan laptop karena ada beberapa fitur dalam aplikasi yang tidak bisa terlihat jelas melalui ponsel. Pihak sekolah sebenarnya memberikan izin kepada guru yang hendak meminjam laptop sekolah untuk dibawa pulang ke rumah. Akan tetapi, tetap saja ada fitur-fitur yang hanya bisa dikerjakan di sekolah. 

“Itu pelatihan mandiri yang kita buka di rumah itu. Kalau e-Kinerja ini harus di sekolah,” katanya. 

Sampai Mei 2024, guru-guru di sekolah Nur rata-ratanya baru mengisi PMM hingga 56 persen. Padahal, sekolah memasang target PMM selesai 100 persen pada Juni 2024. 

“Harus selesai bulan Juni tapi kan kita repot sama ujian semester ini. Terus kita juga harus kumpulkan nilai selama seminggu ini sampai bagi rapot. Dan meminta keringanan sampai libur sekolah tiba,” katanya. 

Pekan ini, Nur melaporkan pengisian PMM di sekolahnya sudah mencapai 100%.

Selain karena kesibukan ujian semester, pengisian PMM juga terkendala oleh koneksi internet yang lemah terutama ketika berada di rumah. Oleh karena itu, pengisian hanya bisa dilakukan ketika berada di lingkungan sekolah.

“Kalau di rumah itu kadang-kadang kan loading-nya lama. Saya kasih tau sama kepala sekolah kalau tidak bisa dikerjakan di rumah,” katanya. 

Target kerja itu yang juga membuat Nur kesulitan bila harus mengikuti program tambahan pengembangan kemampuan pengajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti misalnya Guru Penggerak.

Pasalnya Guru Penggerak mengharuskan peserta untuk mengikuti pelatihan yang berlangsung secara tatap muka dan daring selama enam bulan. 

 “Ini kan lama. Dan saya tidak punya cukup waktu untuk mengikutinya,” ujarnya. 

***

Bagi Nur, target-target kerja itu tentu tidak sebanding dengan jaminan kesejahteraan yang ia terima. 

“Kalau masalah gaji mungkin honorer yang paling miris gajinya di antara pekerja-pekerja yang lain. Dan honorer selalu terlupakan seperti tidak ada kesejahteraan, atau bantuan-bantuan apa pun untuk honorer,” kata Nur. 

Gaji guru honorer bergantung dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. 

“Saya tidak bisa menyebutkan. Tapi kalau saya terima gaji 6 bulan, dan itu sama seperti gaji orang satu bulan,” katanya. Untuk diketahui, gaji ASN untuk golongan I berkisar Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta.

Belum lagi muncul kebijakan baru bahwa gaji guru honorer dibayarkan setiap tiga bulan sekali. 

“Laporannya itu sekali enam bulan. Tapi gaji yang kita terima itu setiap tiga bulan. Dua kali kita dapat selama enam bulan ini. Setiap bulan apa yang kita pakai belanja, saya hanya mengharap rezeki dari Allah swt. Nanti pasti ada saja dari luar gaji yang kita dapat,” katanya. 

Sebagai wali kelas, banyak hal yang harus dikerjakan. Bahkan dengan Kurikulum Merdeka, guru dituntut untuk mengelompokkan siswa sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Namun, hal ini juga sulit dilakukan dengan jumlah tenaga pengajar yang masih terbatas. 

“Tapi, kan, saya sendiri yang meng-handle siswa-siswa ini. Jadi sangat sulit,” kata Nur.

***

Ruang Sempit Dana BOS di Sekolah Penggerak

SUASANA hening terasa saat memasuki SDN 23 Mataram. Hari itu, ujian akhir untuk murid-murid kelas 6 sedang berlangsung. 

Kendati sedang masa ujian, namun kegiatan guru di sekolah itu tidak berkurang. Sudah satu tahun, SDN 23 Mataram berstatus sekolah penggerak. Sejumlah perubahan banyak terjadi di sana, utamanya jam kerja para guru. 

Tidak hanya mengajar, para guru di sekolah penggerak juga harus mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi secara rutin, termasuk mengisi PMM. 

“Yang paling terasa setelah menjadi sekolah penggerak ada kegiatan kita semakin padat terutama peningkatan kompetensi guru dan siswa,” kata Asmawati Azis, Kepala Sekolah SDN 23 Mataram. 

“Yang biasanya kita pulang jam 13.00 WITA sekarang hingga sore.”

Meski kegiatan sekolah bertambah dari sebelumnya, aktivitas belajar mengajar sudah mengikuti perkembangan teknologi saat ini. Pasalnya, setelah menjadi sekolah penggerak, sekolah juga mendapatkan bantuan melalui BOS Kinerja dari pemerintah pusat sebesar Rp80 juta per tahun.

“Guru lebih kreatif. Jadi guru ceramah itu sudah tidak ada lagi. Karena guru juga dituntut buat video sebagai bahan ajar,” katanya.

Hanya saja, kata Asma, BOS Kinerja yang diberikan pemerintah pusat hanya untuk tiga tahun. Pada tahun pertama diberikan penuh sebesar Rp80 juta, sedangkan tahun kedua berkurang menjadi Rp45 juta, dan tahun ketiga berkurang menjadi Rp22,5 juta. 

“Besaran BOS Kinerja yang kita akan terima itu memang sudah diinformasikan oleh balai guru penggerak. Mungkin memang aturannya seperti itu yang selalu berkurang setiap tahun,” katanya. 

Selain berkurang, BOS Kinerja yang diberikan pemerintah pusat ini hanya diperuntukkan untuk peningkatan kapasitas guru dan siswa. Misalnya pembelian LCD, proyektor, pelatihan dan kegiatan lainnya. 

“Menambah jaringan wifi dan sarana prasarana untuk meningkatkan kualitas belajar, bisa itu. Tambah laptop,” katanya. 

Kendati demikian, Asma mengaku sekolah tidak diberikan kebebasan penuh untuk menggunakan dana BOS Kinerja. Puluhan juta rupiah tersebut dibatasi hanya untuk pembelian fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar. Sedangkan untuk pembangunan fisik sekolah, berdasarkan aturan yang berlaku, tidak diperbolehkan. 

“Mudahan-mudahan juga jadi masukan dari kami, sayangnya kita tidak diberikan kebebasan penuh untuk mengelola uang tersebut karena aturannya yang sangat banyak,” katanya. 

Padahal BOS yang biasa diterima setiap tahun, juga digunakan setengahnya untuk menggaji guru honorer. 

“Kami ini, mohon maaf ya, dengan jumlah siswa 146 bukan jumlah siswa yang terlalu banyak. Sementara yang honor di sekolah kami lima orang. Jadi menguras juga keuangan sekolah,” katanya. 

***

Lalu Ahmad Vitgar, seorang guru penggerak di SMPN SATAP 1 Tanjung, Lombok Utara, mengatakan status guru penggerak sebenarnya adalah program sukarela sehingga tidak ada konsekuensi bagi guru yang tidak mengikutinya. 

“Kalau dari kompetensinya diharapkan setelah pendidikan guru penggerak menjadi guru yang mandiri, reflektif, dan kolaboratif. Mendorong kepemimpinan murid. Karena fokusnya pada kualitas pembelajaran maka sulit dilihat secara jelas,” katanya.

Vitgar mengatakan salah satu fokus guru penggerak adalah memantau kesiapan belajar anak dengan mengintegrasikan pembelajaran sosial emosional, termasuk juga implementasi Kurikulum Merdeka.

Lalu Ahmad Vitgar menerapkan metode kolaborasi dan komunikasi kepada para siswa. (Project M/Irwan Setawan)

“Murid saya beri kesempatan untuk bersuara memilih dan menentukan materi yang ingin dipelajari dan cara yang digunakan. Memberikan porsi kegiatan kolaborasi dan komunikasi yang lebih banyak,” kata Vitgar.

Meski sudah menjadi guru penggerak, namun status itu tidak serta-merta menjadikan sekolahnya sebagai sekolah penggerak. 

“Untuk sekolah penggerak berbeda dengan guru penggerak. Sekolah penggerak diseleksi dengan pendaftaran dari sekolah,” katanya.

Status guru penggerak juga tidak memberikannya honor tambahan. Hal ini lantaran tambahan anggaran hanya akan diberikan jika sekolah sudah menjadi sekolah penggerak.

***

Yusuf, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di NTB, mengatakan kelebihan lain guru penggerak adalah mendapat prioritas untuk diangkat menjadi kepala sekolah dan pengawas.

Hanya saja, para guru penggerak belum memiliki kemampuan manajerial yang cukup untuk menjadi kepala sekolah. Sehingga membutuhkan pelatihan tata kelola sekolah, bagaimana memimpin guru dan manajemen sekolah lainnya. 

“Dulu memang guru penggerak ini pemimpin pembelajaran di kelas. Tapi lama kelamaan diubah menjadi mindset menjadi kepala sekolah harus dari guru penggerak,” katanya. 

Terkait guru honorer, Yusuf mengakui saat ini jumlahnya masih banyak di NTB. Jumlah itu termasuk yang sudah mengabdi belasan tahun dan belum juga diangkat sebagai guru berstatus ASN, seperti Nur. 

Tidak banyak yang bisa dilakukan PGRI NTB untuk mempercepat proses pengangkatan guru honorer. Yusuf hanya meminta para guru honorer untuk aktif mengecek aplikasi Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Berkelanjutan (SIMPKB). 

“Kalau sudah memenuhi syarat pasti dipanggil. Apalagi sekarang PGRI dengan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GKT) komunikasi dan Dirjen GTK akan menyelesaikan yang belum bersertifikat pendidik. Tapi ini yang negeri dulu,” katanya. 

“Guru negeri saja masih banyak yang belum bersertifikat pendidik.”

Ia mengakui bahwa untuk mendapatkan Sertifikasi Pendidik memang sulit, tetapi pihaknya mengatakan akan membantu guru-guru honorer di NTB semaksimalnya. Ia juga meminta para guru honorer untuk tidak sungkan melaporkan situasi mereka kepada PGRI NTB. 

Yusuf meminta agar para guru tidak perlu khawatir, termasuk seputar isu penghapusan tenaga honorer seperti yang ramai terjadi di Jakarta. 

 “Kalau di Jakarta kan kita tidak tahu jumlahnya dan mereka digaji oleh pemerintah daerah. Dan mungkin APBD-nya masalah kan,” katanya.

“Tidak usah terpancing dengan isu cleansing guru. Ini di Jakarta. Kita fokus saja mendarmabaktikan diri. Kita tunjukkan bahwa guru honorer juga mampu mengajar dan mendidik dengan baik,” tukas Yusuf.


*Nur adalah nama samaran.

Tulisan ini merupakan bagian dari serial laporan #BebanKerjaGuru yang didanai oleh Kawan M.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
12 menit