Hari nahas tidak ada di kalender. Budi Hartini, seorang perempuan buruh migran asal Lombok pergi ke Arab Saudi demi mencari uang untuk membantu pendidikan putrinya. Tanpa rekaman kronologis yang jelas, Budi dipulangkan tiga bulan setelah keberangkatan dengan kondisi fisik yang tak lagi sama.
KEBERANGKATAN Budi Hartini (39) ke Arab Saudi untuk mencari nafkah berakhir nahas. Tiga bulan setelah kepergiannya ke Riyadh pada Mei 2022, keluarga Budi di Desa Teniga, Lombok Utara, menerima kabar bahwa ia sakit, terjatuh, hingga harus menjalani operasi karena pembuluh darahnya pecah.
Budi dipulangkan kembali ke Indonesia. Sesampainya di rumah, keluarga mendapati Budi tak lagi dalam kondisi fisik yang sama. Budi lumpuh dan hilang ingatan. Tidak ada satu pun dari kenangan di rumah yang ia ingat, termasuk suami dan anaknya.
“Warga sini dulu kenalnya [dia] orang yang periang dan ramah. Di mata saya, dia adalah perempuan cerdas,” kata Zulkifli atau Zul (40), sang suami.

“[Sekarang] Diajari ngomong, nyebut huruf, ya, seperti anak kecil yang baru belajar.”
Zul tidak pernah menyangka Budi akan berakhir seperti ini. Keputusan Budi untuk menjadi buruh migran hanya untuk tujuan sederhana, yakni membelikan sepeda motor untuk anaknya yang sudah masuk ke jenjang SMP. Sepeda motor itu dirasa perlu karena lokasi tempat tinggalnya menuju sekolah begitu jauh dan harus melalui medan yang berkelok melewati lereng pegunungan.

Hilang Kontak Sejak Keberangkatan
Budi mendaftar sebagai buruh migran melalui seorang calo tenaga kerja asing bernama Suryati di desanya. Suryati mengiming-imingi Budi pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga dengan gaji menggiurkan.
Budi dan Zul tidak pernah mengecek Suryati terafiliasi dengan perusahaan mana, dan apakah perusahaan tersebut resmi atau tidak. Mereka tidak menaruh curiga lantaran sebelum keberangkatan, Budi diberikan uang senilai Rp7 juta sebagai uang pengganti untuk mengurus segala kebutuhan sebelum keberangkatan.
Proses pendaftaran hingga keberangkatan tidak memakan waktu lama. Budi kemudian berangkat ke Jakarta untuk menunggu proses keberangkatan ke Riyadh sekitar satu minggu setelahnya. Merujuk pada tiket penerbangannya, pesawat yang ditumpangi Budi akan berangkat dari Jakarta menuju Riyadh dengan transit terlebih dahulu di Manila, Filipina.
“Semenjak di Bandara Filipina saya hilang kontak sama istri saya selama tiga bulan sampai saya menerima kabar kalau dia sakit,” kata Zul.
Selama tidak ada kabar, ia seringkali menanyakan kabar istrinya ke Suryati. Zul selalu menerima balasan bahwa sang istri dalam keadaan baik dan sudah mulai bekerja di Riyadh.
Tiga bulan berselang, Zul menerima kabar dari seorang teman Budi yang juga menjadi pekerja migran asal Lombok. Budi dikabarkan mengalami kecelakaan setibanya di Bandara King Khalid, Riyadh. Katanya Budi sempat mengaku pusing dan jatuh.
“Jatuh dari tangga atau jatuh di mana, kita ga tau, kata temennya,” cerita Zul. Akibat kecelakaan itu, Budi harus melalui tindakan operasi akibat pembuluh darah yang pecah.
Zul lalu mendatangi Suryati untuk mengonfirmasi kabar tersebut, “Berkali-kali saya bolak-balik dia ga mengakui kalau itu benar.”

Kabar yang dialami Budi mulai menyebar ke masyarakat. Kepala desa hingga Perkumpulan Pancakarsa, lembaga advokasi pekerja migran setempat, ikut membantu mencari kebenaran informasi terkait Budi.
Tak lama kemudian, kepala desa mengabarkan Zul bisa menjemput Budi di Jakarta.
Sebelum proses penjemputan, salah satu kerabat Suryati menyodorkan selembar kertas untuk ditandatangani Zul. Mereka menyebut dokumen itu untuk mempermudah proses kepulangan Budi. Namun, belakangan diketahui bahwa surat itu merupakan bentuk kesepakatan agar pihak keluarga tidak melaporkan kejadian yang menimpa Budi ke pihak berwajib.
Zul tidak punya banyak pilihan. Ia sudah terlanjur kalut mendengar kabar sang istri.
“Seakan-akan saya dijebak dengan keadaan istri saya ini,” katanya.
Beruntung, teman Zul yang bekerja sebagai perangkat desa menyadari maksud tersebut dan pada akhirnya membatalkan surat tersebut.
Mencari Keadilan
Pembatalan surat itu membuat Suryati yang memberangkatkan Budi kalang kabut. Ia mendatangi Zul untuk memintanya tidak melaporkan kondisi Budi. Suryati berjanji akan bertanggung jawab menanggung semua biaya pengobatan Budi. Zul menyetujuinya.
Namun, janji itu tidak pernah dipenuhi.
“Kami tunggu sampai sempat mediasi di kantor desa, ternyata tidak ada iktikadnya untuk membantu biaya, semuanya cuma kata-kata,” kata Zul.
Satu tahun berlalu, empat mediasi antara Zul dengan Suryati di kantor desa juga tidak membuahkan hasil apapun. Zul sempat meminta Rp25 juta, hanya untuk membuatkan toilet khusus untuk istrinya. Zul juga mengatakan apabila jumlah itu dipenuhi, maka ia akan menganggap tuntas persoalan ini. Sayang, permintaan itu juga tidak dipenuhi. Suryati menantang Zul untuk melaporkan masalah ganti rugi ini ke polisi.

Zul dibantu pendamping dari Perkumpulan Pancakarsa akhirnya melaporkan kasus ini ke Polda Nusa Tenggara Barat. Proses pelaporan tidak mudah karena Zul terkendala dokumen-dokumen bukti. Pasalnya, semua dokumen keberangkatan dan kepulangan Budi ada di tangan calo.
“Kami hanya menemukan satu dokumen yang di sana terdapat nomor seri paspornya,” kata Novita, pendamping dari Perkumpulan Pancakarsa.
Selain dokumen itu, pendamping hanya bisa menyerahkan bukti foto yang diunggah Budi saat berada di penampungan sementara di Jakarta sebelum keberangkatan ke Riyadh.
Laporan dibuat pada September 2023. Pada 13 Maret 2024, persidangan atas kasus ini telah dimulai. Zul hadir memberikan keterangan sebagai saksi. Sidang masih akan dilanjutkan untuk mendengarkan saksi selanjutnya dan keterangan ahli.
Merawat Istri Berbekal Harapan

Agustus 2022, Budi tiba di Jakarta dan langsung diterbangkan kembali ke Lombok.
Keluarga dikagetkan dengan kondisi Budi yang memprihatinkan. Budi yang dulu berangkat dalam keadaan sehat, pulang dengan kepala botak, tidak bisa berbicara, tidak bisa bergerak, dan parahnya lagi tidak ingat apapun dan siapa pun. Terdapat bekas luka di leher serta bekas jahitan di kepalanya.
“Seperti habis dibelah semua, keluarga kaget ngeliatnya,” kata Zul, seraya bertanya-tanya, “Kalau jatuh, kok, sampai segitunya.”
Tidak ada dokumen, catatan medis, dan bukti apapun tentang kejadian yang dialami Budi. Budi pulang dengan tangan kosong tanpa keterangan yang menjelaskan kejadian yang menimpanya.

Sehari-hari, Zul mengurus dan merawat semua kebutuhan sang istri. Dari mulai memandikan, menyuapi makan, hingga mengurus rumah dan anaknya. Zul juga pelan-pelan membantu kembali istrinya mengingat. Ia berkali-kali mengenalkan bahwa ia adalah suaminya dan mereka telah memiliki satu putri yang menginjak usia remaja.
“Kadang [Budi] ketawa sendiri, kadang juga tiba-tiba nangis, mungkin [dia] sedang ingat,” kata Zul.
Zul mengatakan istrinya hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat tetapi anehnya Budi bisa melantunkan bacaan selawat. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya, selebihnya tidak ada.


Zul yang dulu menjadi kuli bangunan, kini tidak lagi bekerja karena kondisi istrinya yang tidak bisa ditinggal. Sementara untuk memenuhi hidup keluarga, ia hanya mengandalkan hasil kebun dari pohon kelapa yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
“Ada dua puluh pohon kelapa di panennya sekali tiga bulan. Rp400 ribu sekali panen,” katanya.
“Kadang makan juga belas kasih dari tetangga.”
Sebelum istrinya sakit, mereka memiliki seekor sapi tetapi terpaksa dijual senilai Rp10 juta untuk membantu biaya hidup dan kebutuhan Budi.
Zul berusaha menerima dengan lapang bahwa ia dihadapkan dengan persoalan hidup yang tidak mudah. Satu-satunya harapan yang bisa membuatnya bertahan adalah bersyukur istrinya masih diberikan hidup meski mungkin tidak ada harapan untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala.
