Generasi sehat tidak lahir dari program yang asal jalan, tapi dari program yang berpihak, transparan, dan diawasi dengan serius.
Selasa, 16 September 2025, saya menerima lima pasien anak usia sekolah yang datang dengan keluhan serupa: mual, muntah, dan buang air besar encer. Setelah ditelusuri, semuanya memiliki satu kesamaan: mereka baru saja mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi (MBG) yang disediakan di sekolah mereka. Sebagai tenaga kesehatan, tentu ini bukan sekadar insiden biasa.
Saya mencoba memahami lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini hanya kasus kebetulan atau justru potongan dari masalah sistemik yang lebih besar?
Ketika MBG pertama kali diperkenalkan pemerintahaan Prabowo Subianto, saya melihatnya sebagai bagian dari visi besar pemerintah: memberantas stunting, meningkatkan kualitas gizi anak, dan membangun generasi unggul dari bangku sekolah (Kemenkes RI, 2023).
Di atas kertas, gagasan ini tampak ideal dan menjanjikan. Namun, dalam praktik, saya mulai meragukan apakah program ini benar-benar memahami kebutuhan di lapangan. Yang dibutuhkan apa, yang diintervensi apa; sering kali tidak nyambung.
Sayangnya, mempertanyakan gagasan besar program ini di tahap sekarang mungkin sudah terlambat. MBG sudah berjalan di banyak sekolah, bahkan dijadikan simbol komitmen negara pada kesehatan anak. Maka pertanyaan penting berikutnya apakah pelaksanaannya aman dan efektif?
Dari observasi saya, MBG melibatkan banyak pihak swasta sebagai penyedia makanan, yakni para pemenang tender yang tentu berbeda-beda di tiap wilayah. Maka tidak heran jika kualitas makanan sangat bervariasi, tergantung siapa penyedianya dan seberapa serius pengawasannya.
Secara nasional, MBG memang disebut mengacu pada indikator AKG (Angka Kecukupan Gizi), serta panduan menu berdasarkan gizi seimbang (Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019).
Namun, dari data yang beredar, belum jelas sejauh mana standar itu benar-benar diterapkan secara konsisten. Apakah porsi protein cukup? Apakah sayur dan buah selalu ada? Bagaimana dengan kandungan mikronutrien seperti zat besi atau vitamin A?
Di lapangan, kita melihat fakta sebaliknya. Ada sekolah yang menyajikan makanan yang sangat minim gizi: dominan karbohidrat, tanpa sayur, dengan porsi protein ala kadarnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, makanan ditemukan dalam kondisi kurang higienis, basi, atau tidak sesuai standar kebersihan pangan (BPOM, 2024).
Masalah ini bukan hanya soal gizi, tapi juga soal keamanan pangan, dan itu menyentuh ranah tanggung jawab negara.
Sejumlah negara yang lebih dahulu menerapkan program makan di sekolah bisa menjadi cermin dan pembanding.
Di India, program Mid-Day Meal Scheme (MDMS) melibatkan dapur komunitas berskala besar dengan sistem pengawasan terstruktur dan laporan harian. Setiap makanan harus memenuhi nilai gizi minimum dan disiapkan dengan prinsip higienitas. Ketika terjadi kasus keracunan massal di Bihar pada 2013, evaluasi nasional segera dilakukan dan sistem logistik serta pengawasan diperketat.
Sementara di Brasil, program National School Feeding Programme (PNAE) menjadikan makanan sekolah sebagai bagian dari sistem pertanian lokal: 30% bahan pangan harus berasal dari petani lokal. Ia memperkuat keterlibatan masyarakat dan memastikan makanan segar dan bergizi tersedia setiap hari.
Di Ghana, program makan sekolah berbasis komunitas juga diterapkan dengan prinsip transparansi. Komite lokal (termasuk guru dan orang tua) terlibat dalam pemilihan bahan, menu, hingga pengawasan langsung.
Jepang bahkan menjadikan makanan sekolah sebagai bagian dari kurikulum. Anak-anak terlibat dalam proses penyajian dan diajarkan memahami nilai gizi sejak dini. Setiap menu disiapkan oleh ahli gizi sekolah, dan penyediaannya dijalankan pemerintah lokal, bukan pihak swasta murni.
Di Amerika Serikat, National School Lunch Program (NSLP) mewajibkan sekolah yang ikut program untuk memenuhi standar nutrisi federal. Pemerintah pusat juga menyediakan dana subsidi dan bahan pangan pokok. Audit gizi dan keamanan makanan dilakukan secara berkala. Data menu dibuka ke publik secara transparan.
Apa yang bisa kita pelajari dari mereka?
Pertama, standar gizi ditegakkan ketat dan pengawasan dilakukan secara sistematis. Kedua, keterlibatan masyarakat tinggi, baik melalui dapur komunitas, petani lokal, guru, hingga orang tua. Ketiga, pendidikan gizi dijadikan bagian dari proses, bukan pelengkap. Dan keempat, transparansi menjadi keharusan, bukan pilihan.
Namun, ketika kita menoleh ke dalam negeri, tampak bahwa sebagian besar masalah dalam pelaksanaan MBG berpangkal pada lemahnya sistem pengadaan dan pengawasan (Kemenkes RI, 2023).
Dalam banyak kasus, pemenang tender pengadaan makanan dipilih semata karena harga penawaran terendah, bukan karena rekam jejak penyediaan pangan bergizi dan aman (LKPP, 2023). Hal ini membuat proses tender menjadi ruang rawan kompromi, tempat kualitas dengan mudah dikorbankan demi efisiensi anggaran.
Akibatnya, berbagai kasus keracunan massal pun mencuat ke permukaan.
Di Kabupaten Cianjur, 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 Cianjur mengalami gejala muntah dan diare setelah mengonsumsi paket MBG (Dinas Kesehatan Cianjur, 2024).
Di Kota Bogor, lebih dari 220 siswa dari sembilan sekolah dilaporkan keracunan paket MBG (Pemkot Bogor, 2024). Beberapa kasus serupa juga dilaporkan dari Sukoharjo, Nunukan, Pandeglang, dan Batang (Kemenkes RI, 2024), dengan pola yang berulang: ayam goreng berbau amis atau lauk yang tidak benar pemrosesannya, ikan goreng berulat, serta sayur dan buah yang tampak kurang segar atau kotor.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah klaim bahwa program MBG telah mengacu pada standar Angka Kecukupan Gizi dan dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan harian anak-anak. Namun, kenyataannya di lapangan jauh dari itu.
Banyak sekolah yang melaporkan menu MBG hanya berupa nasi, sedikit lauk, dan tanpa sayur atau buah. Tidak sedikit yang mengeluhkan keterlambatan distribusi, buruknya sistem penyimpanan, dan nihilnya pelatihan bagi tenaga dapur di daerah.
Lebih parah lagi, ketiadaan petunjuk teknis (juknis) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang tegas di seluruh daerah membuat pelaksanaan MBG berlangsung tanpa arah yang seragam.
Masing-masing penyelenggara daerah seolah diberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan “makanan bergizi”, yang pada akhirnya membuka celah penyimpangan. Apalagi belum tersedia mekanisme pengawasan independen yang kuat untuk mengaudit mutu gizi atau keamanan makanan secara berkala.
Pemerintah memang sudah merespons, tapi sekadar reaktif, bukan solutif.
Misalnya, setelah kasus keracunan massal terjadi di Bogor dan Cianjur, beberapa dinas pendidikan daerah memutus kontrak penyedia makanan bermasalah dan mengganti mereka dengan vendor baru. Di sisi lain, BPOM melakukan inspeksi mendadak di sejumlah dapur penyedia makanan MBG (BPOM, 2024), dan Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran yang menekankan pentingnya keamanan pangan serta sanitasi di lingkungan sekolah (Kemenkes RI, 2024).
Tidak hanya itu, penonaktifan sementara sejumlah penyedia makanan yang terlibat dalam kasus keracunan memang patut diapresiasi sebagai bentuk langkah cepat.
Namun, kebijakan ini lebih tampak sebagai respons insidental terhadap tekanan publik, bukan bagian dari pembenahan sistem yang menyeluruh. Publik tidak pernah benar-benar mendapat penjelasan terbuka mengenai hasil investigasi, siapa yang bertanggung jawab, atau bagaimana penyedia yang terbukti bermasalah dicegah untuk kembali memenangkan tender.
Tanpa transparansi dan jaminan perbaikan menyeluruh, upaya ini berisiko hanya menjadi solusi jangka pendek. Sementara itu, jutaan anak di berbagai sekolah di Indonesia masih mengandalkan program ini setiap hari. Menjadikannya bukan sekadar kebijakan, melainkan tanggung jawab bersama yang memerlukan keseriusan dan kehati-hatian luar biasa.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun secara sepihak. Tapi jika hari ini ada anak-anak yang sakit setelah mengonsumsi makanan dari program yang sejatinya dirancang untuk menyehatkan, maka kita semua perlu berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sedang kita jalankan?

Untuk itu, agar manfaat program MBG tidak berubah menjadi mudarat, saya mengusulkan lima langkah perbaikan.
Pertama, standarisasi nasional harus ditegakkan. Pemerintah perlu menyusun dan menerapkan petunjuk teknis serta standar layanan yang rinci dan mengikat, termasuk kandungan gizi, keamanan pangan, dan tata kelola pengadaan.
Kedua, transparansi dan pelibatan publik. Menu mingguan, komposisi gizi, dan asal bahan makanan perlu dibuka kepada sekolah, orang tua, dan publik agar pengawasan sosial bisa berjalan.
Ketiga, audit dan evaluasi independen. Pemeriksaan kualitas makanan harus dilakukan secara rutin dan acak oleh pihak ketiga, termasuk uji laboratorium bila perlu.
Keempat, pelibatan tenaga gizi. Setiap daerah harus melibatkan ahli gizi dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program.
Kelima, pendidikan gizi dan partisipasi sekolah. MBG tidak cukup diserahkan ke pihak ketiga. Sekolah perlu berperan aktif, termasuk melalui edukasi gizi kepada siswa dan keterlibatan komite sekolah.
Generasi sehat tidak lahir dari program yang asal jalan, tapi dari program yang berpihak, transparan, dan diawasi dengan serius. MBG bisa menjadi pondasi besar dalam membangun masa depan anak-anak Indonesia. Tapi hanya jika kita memastikan bahwa setiap sendok nasi yang mereka makan betul-betul mengandung harapan, bukan ancaman.
Faiz Batara Achdar adalah dokter umum di Jakarta