
DUA DEKADE hampir berlalu sejak semburan lumpur mengusir satu per satu warga di belasan kecamatan di Sidoarjo. Semburan lumpur tak juga kunjung berhenti, sebagian warga yang pergi tak kunjung kembali. Sebagian lagi harus terus melanjutkan hidup dengan semua yang tersisa.

Anwar (76), sudah 11 tahun tak lagi bertani. Dulu, ia punya sawah seluas 1 hektare. Tahun 2009, saluran pengairan ke lahan sawahnya tercemar lumpur.
Tahun 2011, warga Dusun Pologunting, salah satu desa terdampak di Kecamatan Tanggulangin, ini sepakat menerima ganti rugi dari PT Lapindo Brantas untuk sawahnya sebesar Rp250 juta. Uang ganti rugi dibagi dua dengan kakaknya yang berbagi kepemilikan sawah.
Anwar kemudian menggarap lahan sawah yang berada di belakang rumahnya. Setahun kemudian, lahan sawah ikut tercemar. Sejak itu, profesi petani ditinggalkannya. Ia dan istrinya, Suwatin (69), memutuskan berjualan lontong kupang di Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, sekitar 14 km dari desanya.
“Dulu, ya, kami petani tidak pernah rugi sebelum lumpur ada, lalu sawah banyak yang diperjualbelikan karena rusak,” kata Anwar.
Jarak yang jauh dan usia yang semakin sepuh membuat Anwar dan Suwatin tak melanjutkan usahanya di Desa Tebel. Keduanya lalu bekerja sebagai pengupas jahe di pabrik bumbu masakan rumahan. Dari 1 kg jahe yang dikupas, Anwar mendapat upah Rp1.000. Setiap minggunya, Anwar mendapatkan penghasilan berkisar Rp100.000.
Tahun lalu, Anwar mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuatnya kesulitan berjalan. Anwar dan Suwatin tak lagi bekerja sebagai pengupas jahe. Keduanya kini hanya mampu menggantungkan hidup dari penghasilan anaknya, Latifah (38).

Mereka tak pernah membayangkan bahwa bencana lumpur Lapindo bakal membawa mereka ke usia senja dan tak berdaya. Bukan hanya itu, hari-hari senja mereka sejatinya juga selalu dihantui kekhawatiran akan meluasnya semburan lumpur dan akhirnya ikut menenggelamkan rumah.
Rumah tinggal Anwar dan Suwatin di Dusun Pologunting berbatasan langsung dengan kolam lumpur meski belum masuk dalam Peta Area Terdampak Lumpur Lapindo. Berdasarkan peta tersebut, luas area yang kini terdampak oleh semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo telah mencapai lebih dari 1.100 hektare.
Dusun mereka berbatasan langsung dengan kolam lumpur yang dipagari tembok dan tanggul-tanggul setinggi 12 meter.
“Kalau musim kemarau gini gak sepiro khawatir, kalau udan deres wis talah mir mir khawatir karna depan kan dipager jadi ga tahu, ntah kedengaran di sana penuh, airnya kebek, gitu, yo, khawatir,” kata Anwar.
[Kalau musim kemarau saya tidak begitu khawatir, kalau hujan lebat saya khawatir karena depan berpagar jadi, entahlah, sepertinya penuh, airnya penuh, seperti itu, ya, khawatir]
Warga Tak Punya Pilihan, Menerima dan Beradaptasi

Rumah Juleha (55) di Kecamatan Tanggulangin kini berada tepat di depan tanggul lumpur. Setiap hari, ia selalu was-was dan merasa terteror.
“Bagaimana tidak terteror? Buka pintu rumah langsung berhadapan dengan tanggul penahan lumpur Lapindo,” kata Juleha.
Bukan hanya khawatir tanggul jebol, Juleha kini juga dihadapkan dengan masalah air tanah yang tidak mungkin lagi dikonsumsi. Tahun 2006, pernah ada bantuan air bagi warga terdampak yang diisi setiap hari di sebuah tandon biru berukuran 2.000 liter dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
“Tandonnya sekarang cuma berfungsi untuk penanda kurir saat akan mengantarkan belanjaan online ke rumah saya,” ujar Juleha.
Untuk memenuhi persediaan air harian, Juleha membeli tiga jeriken air dengan total harga Rp9.000. Suami Juleha dulunya adalah seorang petani dan telah meninggal dunia. Ia saat ini tinggal bersama adiknya dan hanya menggantungkan pendapatan dari berjualan.

Dua tahun terakhir, Juleha mencoba peruntungan dengan berjualan es campur dan es tebu. Satu mangkok es campur ia jual seharga Rp8.000.
“Lumayan kalau pas panas begini, ada aja yang beli,” kata Juleha.

Kepulan asap putih dan aroma ikan tercium kuat dari sebuah rumah Anwar dan Suwatin di Dusun Pologenting. Sejak subuh, Latifah sudah mulai mengasap ikan untuk dagangannya. Sesekali ia memperbaiki arang dari kulit kluwek sambil mengipas ikan-ikannya.
Latifah telah menikah dan dikaruniai seorang anak. Mereka semua tinggal dalam satu atap yang sama dengan Anwar dan Suwatin. Sebagai tumpuan keluarga, Latifah dan suami kerap mencoba berbagai peruntungan untuk menambah penghasilan.
Tahun 2017, ia mencoba peruntungan membuka warung boga laut bersama suaminya. Untung dari warung boga laut sebenarnya tak banyak, hanya berkisar Rp20-25 ribu per hari. Satu tahun kemudian, mereka gulung tikar lantaran suasana desa yang tidak lagi sama karena ditinggalkan sebagian penduduknya.
“Kalau dipikir-pikir, dulu, kok, bisa beli susu, ya?” katanya.


Suami Latifah lalu bekerja di pabrik kerupuk. Pendapatannya tak menentu. Bila sedang ramai, ia bisa mendapatkan Rp500 ribu per minggu. Bila sepi, ia bisa dapat berkisar Rp100 ribu per minggu.
Sementara, Latifah dalam setahun terakhir ini memulai usaha berjualan ikan mujair asap, dan menu lauk lainnya.
“Ikan asap yang saya jual harganya Rp55.000 per kilogram, saya beli dari petambak desa tetangga,” kata Latifah.
Jika sedang ada pesanan khusus, ia bisa menjual hingga 20 kg ikan mujair asap dalam sehari. Pendapatan yang ia terima bisa mencapai Rp1 juta.
“Alhamdulillah dulu masih mencari-cari usaha apa yang cocok, sekarang sudah bisa mendapatkan hasilnya. Di daerah sini yang berjualan ikan asap hanya saya saja,” katanya.
Kendati demikian, Latifah masih dibayang-bayangi kekhawatiran lain. Rumah yang ditempati Latifah dan keluarga saat ini dalam kondisi yang mengkhawatirkan akibat penguapan air garam
Selain banyak mengandung zat-zat yang membahayakan, air yang tercampur lumpur Lapindo juga memiliki kadar garam yang sangat tinggi. Air yang tercampur lumpur dan keluar di sumur-sumur warga itu lama kelamaan berdampak pada kerusakan bangunan rumah.
Dinding rumahnya mengelupas dan lembab. Karena keterbatasan biaya, ia hanya mampu menutupi sebagian kecil dari dinding rumahnya yang rusak dengan keramik.
“Setiap dicat ulang akan selalu mengelupas, kejadian itu mulai terjadi setelah bencana lumpur,” katanya.

Sama seperti warga di sekitar area terdampak lumpur Lapindo lainnya, Latifah juga kesulitan mendapatkan air bersih. Air dari tanah tak lagi mampu dikonsumsi karena berminyak, berbau, dan payau.
Untuk memenuhi kebutuhan air, Latifah harus membelinya dari penjual keliling dengan harga Rp3.000 per jeriken. Dalam satu hari, ia bisa menggunakan hingga dua jeriken.
Latifah mengatakan bantuan pemerintah tak selalu bisa ia harapkan. Sekalipun tidak untuk dirinya, ia berharap pemerintah daerah bisa memperhatikan kesejahteraan warga yang masih tinggal di dekat lumpur.
“Kampung saya kalau sore menjelang malam seperti kampung mati. Lampu jalannya remang-remang. Coba pemerintah memasang lampu yang lebih terang di pinggir jalan, supaya saya juga bisa berjualan ikan asap sampai malam,” katanya.

