Bagi Suku Semende, harta warisan harus menjadi hak perempuan tertua dalam keluarga.
KABUT TIPIS bercampur udara dingin nan sejuk begitu terasa sesaat menuju Semende, sebuah kecamatan kecil berjarak delapan jam dari Kota Palembang.
Jalan berkelok dikelilingi jurang menjadi pemandangan khas salah satu kawasan penghasil kopi di Sumatera Selatan ini.
Selain kopi, Semende memiliki budaya yang mereka junjung tinggi dan jaga dengan turun temurun sejak ratusan tahun silam.
Di sana, perempuan tertua memiliki kewajiban mengurus harta warisan keluarga.
“Ini sebuah tradisi leluhur. Kami, sebagai penerus nenek moyang, wajib untuk melestarikan budaya Tunggu Tubang,” kata Elianah, salah seorang Tunggu Tubang dari Semende, membuka cerita.
Lewat Tunggu Tubang, perempuan paling tua diberikan jabatan tertinggi untuk mengatur warisan seperti kebun kopi, sawah, dan kolam ikan. Tujuannya untuk melindungi perempuan sulung dalam silsilah keluarga besar. Hak tersebut diberikan oleh Puyang, leluhur Suku Semende.
“Agar tidak terjadi kesusahan atau kelaparan kelak saat mereka sudah berkeluarga. Sedangkan untuk lelaki, dipersilahkan mencari nafkah di luar desa,” Elianah melanjutkan.
Meski warisan keluarga sepenuhnya dikuasai, namun, pundak Sang Tunggu Tubang tak sejatinya ringan. Ia menanggung tanggung jawab yang tak mudah.
Pemangku Tunggu Tubang bukan hanya memiliki hak mengatur tetapi juga kewajiban untuk menjaga aset seperti mengatur waktu tanam dan panen. Mereka juga harus menentukan siapa yang berhak diberi hasil panen tetapi bukan menjualnya.
Hal itu dikarenakan Tunggu Tubang juga punya tanggung jawab sebagai ‘Payung Jurai’ karena harus menampung keluarga yang berkunjung ke desa.
“Tunggu Tubang juga menjadi penaung keluarga saat ada acara di desa, seluruh keluarga akan tinggal di rumah Tunggu Tubang, oleh karena itu, rumah Tunggu Tubang biasanya luas, karena keluarga juga banyak,” kata Elianah.
Dengan banyaknya jumlah keluarga, maka Tunggu Tubang akan membutuhkan bahan makanan yang banyak. Perempuan Tunggu Tubang biasanya akan mengambil persediaan beras dari sawah.
Eni Murdiati, seorang Antropolog dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, mengatakan keuletan Suku Semende menjaga dan melestarikan Tunggu Tubang adalah wujud lain atas penghormatan mereka kepada adat istiadat beserta alam sekitarnya.
“Menjaga alam pada masyarakat Semende adalah dengan cara tidak membuka hutan adat, atau merusak mata air yang ada di bawah bukit,” katanya.
Adat tersebut juga membuktikan bahwa masyarakat adat mampu membangun ketahanan pangannya sendiri. Seperti halnya ketika pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas warga.
Kala pagebluk itu, masyarakat Semende sama sekali tidak takut kelaparan karena tidak dapat bekerja karena telah memiliki persediaan makanan dari sawah dan hutan.
“Kami tidak lagi harus memikirkan makanan saat Covid-19 melanda, karena beras kami sudah banyak untuk persediaan satu tahun ke depan. Jika ingin lauk, kami bisa mengambil ikan di kolam dan sayur di hutan,” kata Elianah.
Memikul Beban yang Tak Mudah
Menjalani Tunggu Tubang tidak selalu mudah bagi perempuan.
Menjadi Tunggu Tubang berarti juga bertanggung jawab atas semua urusan keluarga, mulai dari pernikahan, acara kematian atau ziarah besar.
Mahmuda, salah satu Tunggu Tubang dari Desa Segamit, mengakui beban itu tak mudah dan membuatnya sempat mencoba pergi dari desa. “Namun, saya kembali lagi ke desa karena saya merasa didatangi oleh leluhur saya lewat mimpi-mimpi,” katanya.
Keinginan untuk pergi dari desa karena beban menjadi Tunggu Tubang itu juga yang banyak dilakoni perempuan muda Semende lainnya. Banyak di antara mereka yang sekolah dan menikah di luar desa, dan hanya pulang saat acara-acara besar saja.
“Anak-anak kami sekarang sudah banyak yang tinggal di luar desa semende, namun mereka juga harus tetap pulang untuk ikut dalam acara adat atau keluarga,” kata Eliana.
Di sisi lain, keinginan untuk pergi dari desa juga didorong karena terkadang, hasil lahan tidak selalu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Salah satunya karena anomali cuaca yang menyebabkan produksi kopi menjadi tidak menentu.
Dalam beberapa tahun terakhir, curah hujan semakin panjang dan tidak menentu. Hal ini membuat bunga-bunga pada tanaman kopi berguguran dan gagal berbuah. Hal lainnya, pohon kopi milik masyarakat Semende rata-ratanya sudah berumur tua, sekitar 30 tahun ke atas, yang membuat mereka tidak selalu rajin berbuah seperti dulu kala.
“Penghasilan kopi masyarakat Semende beberapa tahun terakhir berkurang drastis. [Dulu] Yang setahun sekali dapat tiga sampai empat ton, kini mereka hanya dapat penghasilan 500 kg sampai satu ton saja,” kata Aidil Baba, pendamping perhutanan sosial dari Lembaga Suadaya Masyarakat, Hutan Kita Institut (HaKI).
Kendati sederet tantangan menghampiri, masyarakat Semende yang tersisa berupaya untuk tetap melestarikan dan mematuhi adat yang telah ada sejak ratusan tahun silam itu.
Para masyarakat dari Suku Semende ini percaya apabila mereka melanggar, semisalnya menjual hasil lahan atau harta warisan orangtua, maka petaka akan menghampiri.
“Kami tidak ingin leluhur kami melampiaskan kemarahannya kepada kami dengan menurunkan musim paceklik dan berujung pada gagal panen, apalagi sampai berpindah tangan kepada orang luar, mungkin Tunggu Tubang hanya tinggal dongeng anak menjelang tidur saja,” tutup Elianah.
Esai foto yang menjadi bagian dari serial #MasyarakatAdat ini merupakan karya kontributor Project Multatuli Ahmad Rizki Prabu yang terpilih sebagai salah satu penerima Permata Photo Journalist Grant (PPG) XII, program kolaborasi PermataBank dan PannaFoto. Karya 10 penerima PPG XII dipamerkan untuk publik di World Trade Center (WTC) 2, Jakarta Selatan hingga 18 Agustus 2023.
Mentor: Yoppy Pieter
Catatan redaksi: Judul artikel mengalami perbaikan dari Palembang menjadi Muara Enim pada Jumat, 28 Juli 2023.