Selasa, 8 Februari 2022, jam 8 pagi, warga Wadas berduyun-duyun menuju Masjid Nurul Huda. Mereka melihat gelagat ratusan polisi akan memasuki desa. Sehari sebelumnya, polisi menggelar apel besar di Polres Purworejo, mendirikan tenda-tenda di sebuah lapangan di Desa Kaliboto, yang berdekatan dengan Desa Wadas. Listrik mati dan jaringan internet melambat.
Sekira dua jam kemudian, 200 aparat berseragam memasuki desa di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah itu. Menyusul kemudian 50 personel berpakaian sipil. Memenuhi sepanjang jalan utama Wadas dan merusak seluruh spanduk penolakan tambang andesit.
Pasukan polisi itu dikerahkan untuk mendampingi 70 petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Pertanian yang melaksanakan pengukuran tanah dan penghitungan tanaman tumbuh milik warga pro-tambang andesit.
Gelagat polisi itu mengingatkan warga Wadas anti-tambang atas aksi represi aparat keamanan pada 23 April 2021. Seketika mereka menyelamatkan diri dengan melakukan mujahadah di masjid. Namun, saat warga pro-tambang bersama tim pengukur tanah mengukur lahan di bukit yang mengandung andesit, polisi-polisi bertameng membuat barikade di halaman masjid , mengurung warga anti-tambang.
* * *
Secara turun-temurun warga Wadas yang mayoritas petani menjalankan pertanian multikultur di lahan bukit. Sistem ini memungkinkan para petani mendapatkan penghasilan dari panen berbagai macam tanaman secara bergantian sepanjang tahun. Semua tanaman budidaya di bukit yang subur itu menuai hasil panen yang tinggi per tahun: petai mencapai Rp241 juta, kayu sengon Rp2 miliar, kemukus Rp1,35 miliar, vanili Rp266 juta, dan durian Rp1,24 miliar.
Per bulan, rata-rata hasil pertanian mencapai Rp4 juta hingga Rp5 juta, sehingga bisa menopang kehidupan petani dengan dua anak yang masih sekolah, kuliah, atau mondok di pesantren. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan UMK Kabupaten Purworejo yang berdasarkan Pergub 561/62 Th 2020 sebesar Rp1.905.400. Bahkan, membuat besek berbahan baku bambu yang tumbuh di alas Wadas itu saja bisa memberikan penghasilan hingga Rp 1 juta per bulan. Bagi warga, ini lebih baik daripada bekerja di kota yang harus meninggalkan rumah.
Tidak heran warga menolak keputusan pemerintah yang menetapkan alas Wadas seluas 146 hektare atau hampir setengah dari luas desa akan dikuasai negara sebagai lokasi penambangan batu quarry (andesit) untuk pembangunan Bendungan Bener, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berada sekitar 10 kilometer di barat Desa Wadas.
Bendungan Bener diklaim dapat memberi suplai air baku 1.500 liter/detik untuk air bersih. Porsi terbanyak atau 700 liter per detik akan dialirkan ke Kabupaten Kulon Progo. Sisanya, 300 liter, untuk Kabupaten Kebumen dan 500 liter untuk Kabupaten Purworejo. Dari 700 liter untuk Kulon Progo, 200 liter dikhususkan untuk Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), sebuah PSN yang dibangun untuk mendukung Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur dan sekitarnya, satu dari “10 Bali Baru” yang digagas Presiden Joko Widodo untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Bandara YIA dibangun dengan memindahkan para petani pengguna lahan pantai yang subur ke lahan lain. Sebagian warga yang dipindahkan menyebut tindakan ini sebagai “penggusuran paksa”. Sebagian kesulitan menemukan lahan pengganti dengan uang yang telah mereka terima.
Warga Wadas tidak ingin bernasib serupa. “Katanya pemerintah mau mengurangi kemiskinan, kenapa malah menindas petani dan mengambil tanahnya?” gugat Marsono, seorang warga Wadas.
Pemerintah mengklaim 313 lahan akan dibebaskan oleh pemiliknya, sementara hanya 100 lahan yang dikuasakan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta karena menolak. Namun, LBH Yogyakarta mengatakan ada 300 orang atau kepala keluarga dari 450 kepala keluarga di Desa Wadas yang memberikan kuasa kepada mereka untuk menolak tambang.
Sepanjang 2016 hingga 2017, warga telah aktif menolak penambangan andesit.
Meski begitu, Amdal Pembangunan Bendungan Bener yang mencakup penambangan quarry di Wadas bisa lolos pada Maret 2018. Dokumen itu sama sekali tidak menyebutkan soal penolakan warga Desa Wadas. Amdal itu juga mencampuradukkan jenis kegiatan, alih-alih memisahkan pembangunan infrastruktur (Bendungan Bener) dan penambangan quarry sebagaimana seharusnya.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan kasus Wadas adalah bentuk dari kembalinya ideologi pembangunanisme Orde Baru. Ciri pembangunanisme, menurut Asfinawati, adalah pembangunan berskala besar, menolak suara rakyat, menyingkirkan rakyat dengan cara represif, merampas hak rakyat, dan memuluskan proyek-proyek lahan lapar tersebut dengan cara melanggar hukum.
Dampaknya, muncul pemiskinan rakyat dan akumulasi modal ke pengusaha besar, sementara pembangunan cuma kedok, ujar Asfinawati.
* * *
Warga Wadas mengira dengan berlindung di sebuah masjid, mereka akan merasa tenang atau selamat. Tapi, polisi-polisi kembali bertindak represif. Polisi menangkap paksa warga Wadas penolak tambang, kebanyakan anak muda, termasuk anak-anak.
Penangkapan meluas hingga ke dalam rumah warga. Bahkan ada yang ditangkap saat melakukan ziarah kubur di area pemakaman. Total, 64 warga ditangkap dan dibawa ke Polsek Bener, kemudian dipindahkan ke Polres Purworejo.
Ahmad Afidon (24) ditangkap di bagian atas rumah Kiai Bahrudin. Rumah sang kiai itu sedang tahap pembangunan. Rumah itu terletak di depan Masjid Nurul Huda. Afidon dibanting dan dijatuhkan oleh para polisi.
“Saya tahu-tahu dikeroyok. Ada sekitar lima orang. Ada yang miting, ada yang menginjak leher. Kemudian saya dibawa turun. Sempat dipukul dua kali di bagian ulu hati. Sempat mual rasanya,” ungkap Afidon.
Nurhadi (45) sedang mengikuti mujahadah dari atas rumah Kiai Bahrudin. Ia melihat banyak polisi berseragam di halaman masjid. Ketakutan, ia turun lalu bersembunyi di salah satu kamar belakang rumah Kiai Bahrudin. Tiba-tiba pintu kamar didobrak dan sejumlah orang tanpa seragam polisi memasuki kamar dan membawa dirinya.
“Pintu kamar didobrak sampai rusak. Leher saya dipiting. Saya diseret-seret oleh orang banyak. Baju saya sampai robek-robek. Padahal saya tidak ngapa-ngapain,” kisah Nurhadi.
Andriyanto (22) ditangkap ketika keluar dari masjid. Ia tidak tahu ia telah melakukan perbuatan jahat apa sehingga harus ditangkap.
“Sampai sekarang saya nggak tahu salah saya apa,” katanya.
Selain di area masjid, orang-orang tanpa seragam menangkap warga di rumah.
“Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba rumah saya sudah dikepung oleh mereka. Depan, belakang, ada semua. Mereka teriak-teriak manggil saya. Akhirnya, saya membukakan pintu, dan langsung dibawa sama mereka” ujar Arifyanto. Tangannya diikat dengan borgol plastik.
Polisi juga menangkap Sriyana (34), salah satu penggagas Wadon Wadas dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa). Saat itu Sriyana tengah berdoa di makam keluarganya yang baru meninggal 40 hari lalu di pemakaman desa.
“Awalnya saya ngaji. Didatangi lima laki-laki. Semua tidak berpakaian seragam, badannya besar-besar.”
“Mereka bentak saya, ‘Mbak, ayo ikut kami, ayo manut saja daripada dipaksa. Sudah jangan banyak ngomong.’ Akhirnya saya ditarik dari pemakaman ke jalan, terus dimasukkan dalam kendaraan,” katanya.
“Saya mau dibawa ke mana? Saya salah apa, Pak?” protes Sriyana.
Dahnil Al Ghifari, pengacara publik dari LBH Yogyakarta, kuasa hukum warga Wadas penolak tambang, juga ditangkap polisi. Dahnil dipukul dua kali oleh orang tak dikenal di bagian belakang kepala dan sekali di bagian perut.
“Saya awalnya mau menuju ke masjid dengan mobil. Di jalan, saya dihentikan, padahal saya sudah bilang kalau saya kuasa hukum warga Wadas. Tapi tetap dihentikan,” tutur Dahnil.
“Tiba-tiba saya dikerubungi orang tak dikenal. Nggak tahu apakah mereka preman atau intel.”
Aksi pengepungan, kekerasan, represi, dan penangkapan massal oleh kepolisian membuat warga Wadas ketakutan.
Sesudah kejadian itu, banyak warga mengungsi keluar desa selama empat sampai lima hari. Mereka trauma dan takut kekerasan macam itu terulang kembali.
Mereka selalu was-was saat melihat mobil patroli polisi di Desa Wadas.