Di balik sawit yang menguntungkan, ada kisah perempuan yang ikut menanggung beban kerja tanpa upah, status, dan perlindungan. Mereka membantu suami mengejar target panen, tapi di mata perusahaan, mereka tak pernah ada. Ini adalah wajah lain dari sistem kerja sawit eksploitatif.
–
Di salah satu sudut perkebunan sawit nan luas milik PT. London Sumatera (Lonsum) di Sumatera Utara, sejumlah perempuan tengah sibuk memungut brondolan biji sawit dengan tangan kosong.
Mereka tidak memakai seragam, tanpa pelindung kepala, tanpa sepatu kerja. Setiap hari mereka bekerja 5-6 jam tanpa jeda, menyusuri semak belukar tanpa status resmi sebagai pekerja apalagi jaminan perlindungan.
Mereka adalah istri-istri pekerja sawit yang oleh lingkungan sekitar dikenal dengan nama “Family Geng.”
Para istri bekerja mengikuti target harian para suami di ancak atau blok kebun yang sudah ditentukan perusahaan. Para suami akan memanen sawit dari pohonnya, para istri yang selanjutnya akan mengumpulkan brondolan biji sawitnya. Apabila pengumpulan tidak dilakukan, maka hasil panen akan dianggap tidak bersih.

Banyak-sedikitnya hasil panen sangat tergantung pada usia pohon sawit. Misalnya, untuk pohon sawit yang sudah berusia di atas sepuluh tahun, hasil panen bisa mencapai 50 janjang. Satu janjang memiliki berat 23–24 kilogram. Dengan demikian, beban panen bisa mencapai 1,1 hingga 1,2 ton tandan buah segar (TBS) per orang.
Target panen ini bukan main-main. Ia menjadi batas antara “buruh baik” dan “buruh bermasalah.” Gagal memenuhi target bisa berujung surat peringatan, pemotongan insentif, hingga ancaman tidak diperpanjang kontrak.
Tidak ingin suami bernasib buruk, para istri memutuskan untuk turut ambil bagian dalam pekerjaan ini.
“Terkadang buah di ancak gak sesuai target, jadi terpaksa kami minta ancak kawan sesama pemanen yang ancaknya masih banyak buah, biar target dapat,” ujar Tinik, bukan nama sebenarnya, salah satu dari istri pemanen.

Tinik sudah bekerja di kebun sawit membantu suaminya selama lima tahun. Ia pernah tetap bekerja meski tengah hamil tua anak pertamanya. Akibatnya, anaknya lahir prematur di usia kehamilan yang baru sekitar 7 bulan.
“Kan awak harus jongkok-jongkok ngutip brondolan, jalan dari pohon yang satu ke pohon yang lain, kalau pas buah yang dipanen ketuaan atau mulai busuk, kan banyak brondolannya belepasan dari janjang, itulah yang dikutip-kutip,” kata Tinik.
“Belum lagi keliling ancak naik turun jalannya, apalagi pas kepleset-kepleset karena licin.”

Selain masalah kehamilan, ia juga pernah mengalami kecelakaan kerja saat berboncengan dengan suaminya melintasi jalanan perkebunan yang licin. “Kereta (motor) kami sudah tua, kami berdua naik satu kereta dengan karung penuh buah. Kami jatuh, kakiku ketimpa angkong (gerobak roda dua),” katanya, seraya menambahkan meski dalam keadaan sakit, ia tetap berangkat bekerja pada esok harinya.
Perjumpaan dengan hewan berbahaya seperti ular, kalajengking, hingga serangga berbisa sudah tidak terhitung banyaknya. Duri sawit pun juga pernah menancap dalam ke kaki dan menimbulkan infeksi.
“Kalau ketancap duri sawit udah makanan sehari-hari, lah, mau gimana lagi udah resiko. Kalau denyut, ya, tahankan, paling dicongkel pake jarum atau apalah, dan kasih betadine, kadang mau bernanah dia kalau gak langsung dibersihkan,” ujar Tinik.
Buruknya, semua risiko pekerjaan ini harus ditanggung sendiri. Tidak ada asuransi. Tidak ada BPJS. Tidak ada kompensasi. Karena secara administratif, mereka dianggap tidak pernah ada.
PT London Sumatera (Lonsum) masuk dalam sepuluh besar perusahaan sawit terbesar di Indonesia dengan luas lahan mencapai lebih dari 100 ribu hektare di Sumatera Utara dan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa hingga Sulawesi.
Pada 2007, perusahaan yang berdiri pada 1906 di Medan dengan fokus pada perkebunan karet dan kakao ini, diakuisisi oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk (Indofood). Dalam lima tahun terakhir, perusahaan mencatatkan produksi TBS yang stabil di kisaran 1 juta ton per tahunnya, dengan produksi CPO pada 2024, turun 2% menjadi sekitar 287 ribu ton.
Cinta dalam Sistem yang Abai

Meski beban dan risiko begitu tinggi, mereka tetap datang ke kebun. Bukan karena loyalitas pada perusahaan. Tapi karena cinta pada keluarga, pada anak-anak, dan pada kelangsungan hidup esok hari.
Sayangnya, sistem kerja di kebun sawit yang eksploitatif hanya membuat mereka semakin terpinggirkan. Mereka yang bekerja sebagai “bantuan keluarga” dianggap informal. Padahal kontribusi mereka berdampak signifikan pada produksi harian perusahaan.
Herwin Nasution, Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F- Serbundo), menyebutkan fenomena “eksploitasi relasional” ini sering dimanfaatkan perusahaan untuk memaksimalkan produksi tanpa tanggung jawab yang berarti.
“Ini bentuk pelanggaran hak asasi pekerja. Jika mereka bekerja secara tetap, rutin, dan berada di bawah pengawasan perusahaan, seharusnya mereka juga diakui sebagai pekerja,” kata Herwin.
Lely Zailani, Ketua dewan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari), mengatakan praktik ini lazim terjadi di banyak perkebunan sawit sekitar wilayah Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Langkat, Sumatera Utara.
Keputusan para suami membiarkan istri mereka ikut bekerja juga dilatari karena keterbatasan akses pekerjaan dan target produksi tinggi.
“Ini PR bagi kami juga di HAPSARI. Sayangnya kami tidak punya sumber daya yang memadai untuk melakukan itu. Harusnya ada advokasi kebijakan daerah, Perda. Kalau ada Perda yang mengatur ini semua, baru bisa kita mendesak perusahaan untuk memenuhi kewajibannya,” ujar Lely.
Lely mengatakan peristiwa ini juga perlu menjadi catatan bagi organisasi buruh yang ada, terutama organisasi buruh sawit untuk memetakan, melaporkan, juga mengadvokasi masalah-masalah yang terjadi di dalam perkebunan.
Herwin menambahkan, peran pemerintah juga tidak kalah penting.
“Seharusnya pemerintah lebih aktif dan jemput bola terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di perkebunan sawit. Tidak hanya menunggu adanya laporan dari buruh atau serikat buruh karena buruh tidak berani melaporkan pelanggaran yang terjadi terhadap dirinya,” katanya.
Melalui advokasinya atas pelanggaran hak buruh sawit, Serbundo pernah mendorong pengeluaran PT Lonsum dan PT Salim Ivomas dari keanggotaan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2019. Keduanya dinilai melanggar standar keberlanjutan, terutama dalam aspek ketenagakerjaan dan lingkungan.
Pihak perusahaan mengklaim bahwa keluarnya mereka dari RSPO karena sukarela, alih-alih temuan pelanggaran hak-hak buruh. Perusahaan berbalik menanggapi kritik Serbundo dengan menyatakan bahwa serikat tersebut hanya mewakili kurang dari 1% dari total pekerja.
“Sebelum mereka (Lonsum) dikeluarkan dari RSPO, kami sering ganggu mereka dengan temuan-temuan kami di lapangan, dan berhasil. Mereka mulai memperbaiki sistem dan manajemen, hasilnya tidak ada lagi Buruh Harian Lepas (BHL), buruh-buruh pengangkatan semuanya,” kata Herwin.
“Tapi awal tahun 2019, Lonsum mengundurkan diri dari RSPO, sebelum dikeluarkan keanggotaannya. Abis itu manajemen diganti, dan balik lagi mereka seperti kondisi awal, sampai hari ini.”
***

Di usianya yang masih muda, Tinik sebenarnya masih menyimpan satu mimpi untuk bisa berkuliah.
“Kalau awak pengennya bisa kuliah, pernah juga awak bilang sama suami, awak pengen kuliah, trus dia bilang nanti ya kalau ada duitnya, ini anak-anak juga masih kecil. Pengen kali awak bisa ngomong lantang, biar orang-orang tau kayak apa kami ini,” kata Tinik.
Tinik sadar, pendapatan suaminya sebagai buruh tak akan cukup untuk membayar uang kuliah. Upah mereka berdua bila digabungkan hanya berkisar Rp2 juta, sangat minim untuk mengakomodasi hal-hal lain di luar kebutuhan anak-anak yang masih balita.

Perusahaan memang menyediakan tempat tinggal berupa pondokan untuk Tinik dan keluarganya. Kendati demikian, mereka tetap harus menanggung sendiri ongkos kendaraan untuk hilir mudik ke ancak, yang berjarak sekitar 4 km.
Mimpi Tinik untuk bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya bermuara pada harapan ia dapat menyelamatkan buah hati mereka agar tidak terjebak pada jeratan eksploitasi pekerja sawit seperti orangtuanya.
“Awak gak mau anak-anak nasibnya sama kayak kami, suami awak gak tamat sekolah, cuma awak yang tamat. Awak pengen anak kami bisa kuliah, hidupnya baguslah, dan gak harus jadi buruh kebun kayak kami ini.”