HARI-HARI di Bringsang, desa kecil di Pulau Gili Genting, Sumenep, Jawa Timur, tak pernah bising dan sesak oleh penduduk. Populasi warga desa saat ini hanya berkisar seribuan orang. Dulu, jumlahnya mencapai dua kali lipat. Impitan mencari modal hidup memaksa sebagian besar warganya merantau ke kota-kota besar.
Ahmad Muzakki salah satunya. Muzakki lahir di Bringsang, 41 tahun lalu. Namun, masa kecil hingga remajanya ia lalui di Jakarta, mengikuti orangtua yang mencari nafkah di kota metropolitan.
Tahun 2009, Muzakki memilih pulang ke Bringsang. Keluarganya memiliki warung sembako di Surabaya yang paling tidak, bisa menambah modal hidup di Bringsang.
Memutar otak mencari pendapatan, Muzakki mulai melirik potensi pariwisata di daerah pesisir desa. Ia bersama teman-temannya berinisiatif merapikan Pantai Sembilan yang lokasinya tidak jauh dari dermaga Desa Bringsang.
Waktu berlalu, strategi menghidupkan pariwisata di Pantai Sembilan berkembang. Dari awalnya memakai modal sendiri, Muzakki dan teman-temannya memberanikan diri membawa proposal ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Strategi berhasil. Pembersihan dan pengembangan Pantai Sembilan akhirnya diambil alih BUMDes. Wisatawan mulai berdatangan ke Pantai Sembilan.
Sepinya penduduk membuat Pantai Sembilan cocok bagi wisatawan yang ingin mencari ketenangan. Pantai dengan ombak yang relatif landai, pasir putih bersih, dan air jernih bakal memanjakan pengunjung.
Akses menuju Pantai Sembilan melalui Pulau Madura, menyeberang melalui Pelabuhan Tanjung di Sumenep menuju Pelabuhan Desa Bringsang dengan kapal penumpang selama 1 jam dengan tarif Rp30 ribu per orang.
“Gambaran Desa Bringsang, tenang, tenteram. Tidak ada kasus kriminal kecuali sekelas pencurian ayam karena ‘kenakalan remaja’,” kata Muzakki.
Kerja keras Muzakki membangun kepercayaan warga desa. Tahun 2021, Muzakki terpilih menjadi Kepala Desa Bringsang.
“Salah satu alasan terpilihnya saya karena adanya Pantai Sembilan,” kata Muzakki, seraya menambahkan bahwa misinya adalah mengajak anak-anak muda pulang dari perantauan dan membangun desa bersama.
***
Heri (39), setelah lulus SMP merantau ke Jakarta, bekerja sebagai kuli angkat barang di sebuah kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.
Tahun 2004, Heri pulang ke Bringsang bersama istrinya dan memutuskan untuk menetap di desa.
“Di sini hampir 70 % warganya merantau, kalau Lebaran baru mereka pulang,” kata Heri.
Penduduk Desa Bringsang yang tidak merantau umumnya bekerja sebagai nelayan tradisional. Hasil tangkapan sebagian dijual, sebagian lainnya dikonsumsi sehari-hari. Ayah Heri juga seorang nelayan.
“Kalau orangtua dulu bilang, ‘Ngapain ke Jakarta, di sana gak ada nenek.’ Tapi kalau hari ini, ngapain pulang ke desa, sudah tidak ada nenek,” kata Heri, menjelaskan mengapa banyak anak muda di desa memilih pindah ke kota, dan tak sedikit dari mereka yang mengajak orangtuanya tinggal di perantauan.
“Saya ini hanya anak nelayan, [tapi] punya keinginan untuk bangun desa,” kata Heri.
Heri terlibat bersama dengan Muzakki merevitalisasi Pantai Sembilan.
Tahun 2017, upaya desa menghidupkan pariwisata membuahkan prestasi. Pantai Sembilan mendapatkan peringkat kedua Anugerah Wisata Jawa Timur dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur.
Akan tetapi, upaya pengembangan tak berhenti di situ. Heri melihat masih banyak yang harus diselesaikan di Pantai Sembilan, salah satunya ancaman abrasi.
Dari Mangrove hingga Kebun Vanili
Pembukaan pantai untuk lokasi wisata membawa imbas yang perlu segera ditangani warga Gili Genting. Pasir di sisi kanan pulau, yang berseberangan dengan Pantai Sembilan, mulai mengalami abrasi.
Pesisir terkikis, pasir-pasir di sisi kanan pulau terbawa arus ke area lainnya di Gili Genting. Warga berharap adanya pembangunan tanggul untuk mengantisipasi dampak yang lebih buruk, tetapi mereka terhalang oleh anggaran.
Akhir tahun 2023, warga mulai menanam mangrove di area abrasi. Kegiatan itu awalnya dibantu oleh aktivis lingkungan yang menjalankan program penanaman 1.000 bibit mangrove di pesisir Gili Genting.
Antusias warga menanam mangrove cukup tinggi, mereka mau bergotong royong mengajak keluarganya untuk menanam ketika mereka punya waktu luang.
“Karena mereka sadar ini kepentingan dirinya sendiri, lingkungannya dan keberlangsungan anak cucunya,” kata Heri.
Namun, Heri mengatakan penanaman mangrove tidak selalu mudah. Ada beberapa wilayah yang gagal ditanami karena area pesisir yang didominasi bebatuan. Selain itu, sampah plastik di pesisir juga menghambat penanaman mangrove.
“Berat bagi kami harus merawat 10.000 ribu pohon mangrove. Ya, akhirnya habis!” kata Heri.
Sampah-sampah plastik merupakan imbas dari angin muson barat atau musim penghujan yang kerap membawa sampah-sampah dari pulau lain mendarat bersama ombak-ombak di pesisir Gili Genting.
“Ini sampah kiriman. Biasanya kalau di seberang pulau sedang musim penghujan ketika banjir sampah-sampah itu keluar ke muara sungai kemudian lari ke laut. Setelah dari laut sampah-sampah itu baru ke sini,” kata Ari (45), tokoh muda Desa Bringsang yang juga pegawai di BUMDes.
Di sisi lain, Muzakki mengatakan desa masih memiliki keterbatasan untuk menyediakan tempat pengelolaan sampah yang layak. Bahkan, sampai hari ini, masih banyak warga yang mengumpulkan sampah mereka di pekarangan rumah lalu membakarnya.
“Sampah-sampah itu menjadi PR saya,” katanya.
Taman Gratis dan Mimpi Desa Wisata
Tahun yang sama saat Muzakki menjadi kepala desa, ia dan teman-temannya itu, membangun Taman Hiburan Bringsang (THB) yang berada di sebelah barat Pantai Sembilan. Tujuannya agar masyarakat Gili dapat menikmati wisata alam dengan gratis.
Pengunjung Pantai Sembilan perlu membayar tiket masuk di Pelabuhan Desa Bringsang sebesar Rp15 ribu per orang. Mereka berasumsi, pengenaan tarif itu yang membuat Gili Genting tidak terlalu ramai dengan wisatawan.
Banyak hal yang dikerjakan Muzakki dan teman-temannya untuk mengubah area THB yang semula kosong tak berpenghuni menjadi area dengan wahana bermain anak-anak dan tempat bersantai di pinggir pantai.
“Dulunya daerah ini angker, orang kalau melintas daerah ini jam 8 malam, otomatis jadi Rossi (pembalap),” kata Adi Sutrisno alias Gek.
Gek baru kembali ke Desa Bringsang tahun 2021. Ia diminta Muzakki untuk pulang dan membantunya membangun desa.
Semenjak remaja, Gek tinggal di Jakarta sampai berkeluarga. Ia bekerja serabutan dari menjadi ojol, supir pribadi, dan sopir ambulans selama 6 tahun. Ia juga kerap mengantarkan orang sakit atau jenazah orang-orang Suku Madura yang tinggal di Jakarta kembali ke kampung.
Keputusan pulang ke kampung tak mudah diterima bagi keluarga Gek. Namun, ia berupaya meyakinkan istrinya bahwa setiap keputusan memiliki jalan keluar terbaik. “Apakah saya menyesal? Tidak.”
Membangun desa wisata adalah cita-cita utama Muzakki dan teman-temannya itu. Konsep desa wisata yang dibayangkannya adalah yang membuat semua warga desa terlibat dan merasakan manfaatnya.
“Orang bisa merasa nyaman dan tenang selama berlibur di sini, menginap dirumah penduduk dengan sajian masakan rumah, bisa berkeliling desa, mengenal budaya dan kesenian yang ada di Gili Genting,” katanya.
Banyaknya warga desa yang memilih merantau membuat banyak rumah-rumah di Gili Genting terbengkalai. Muzakki berharap rumah-rumah kosong itu bisa dimanfaatkan sebagai tempat menginap wisatawan.
Butuh waktu bagi Muzakki dan teman-temannya membuktikan kepada masyarakat bahwa apa yang mereka cita-citakan bisa terwujud dengan baik. Muzakki mengaku ia membutuhkan kerja sama warga, terutama anak-anak muda untuk membangun desa.
“Saya merasa hal yang terbesar yang didapatkan ketika pulang ke desa adalah saya merasa kaya karena mempunyai desa, berkarya untuk desa sendiri, bermanfaat untuk sahabat, keluarga, dan tetangga,” tukasnya.