Di Antara Puing dan Bedeng, Eva Eryani Melawan Penggusuran Tamansari

Ricky Yudhistira
5 menit

Ia menuntut Pemerintah Kota Bandung mengakuinya sebagai warga Tamansari dan mengganti rumah orangtuanya yang terkena gusur dengan bayaran yang setimpal.


EVA ERYANI (53) memilih bertahan tinggal di antara puing-puing penggusuran. Ia bergeming, meski petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkali-kali datang membawa surat pemberitahuan pengosongan dan pembongkaran tempatnya tinggal.

Lima tahun silam, rumah Eva di RW 11 Tamansari digusur atas nama program pembangunan rumah deret oleh Pemerintah Kota Bandung. Para tetangganya telah angkat kaki. Eva bersikukuh mengejar haknya sebelum meninggalkan kampung yang meninggalkan banyak kenangan untuk ia dan orangtuanya itu

Rumah Eva terdiri dari dua lantai, satu lantai dijadikan tempat usaha konveksi miliknya. Rumah yang digusur itu adalah milik orangtuanya. Eva selama ini tinggal bersama ayah, ibu, dan kakaknya.

Penggusuran itu membuat ayah, ibu, dan kakaknya diungsikan. Bukan hanya harta, ia juga kehilangan momen-momen obrolan hangat bersama keluarganya. Baginya, situasi ini sama buruknya dengan pagebluk yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan.

Eva bertahan dengan tinggal di bangunan bedeng berukuran 4 x 4 meter yang berdiri dari puing sisa-sisa reruntuhan. Tepat di hadapan rumah bedeng tersebut, proses pembangunan rudet terhenti. Poster-poster perlawanan dan sejumlah foto yang menampilkan wajah warga Tamansari terpajang di sudut-sudut rumahnya.

Eva tak sendiri. Selama melawan, ia mendapat banyak mendapat dukungan, salah satunya dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Di bedengnya kini juga berdiri posko solidaritas Tamansari Melawan, satu alasan lain yang membuatnya terus memupuk harapan.

Kendati begitu, pilihan bertahan bukan perkara yang mudah. Eva dan para sukarelawan di posko solidaritas Tamansari kerap mendapat berbagai ancaman dan intimidasi. Perasaan cemas, hingga trauma jadi makanan sehari-hari. Namun, mereka tak mundur dan terus memupuk kekuatan untuk bertahan dan tetap hidup.

“Tidak tahu sampai kapan, dan berakhir seperti apa, tapi saya akan terus berusaha untuk memperjuangkan hak saya sebagai warga negara yang dirampas oleh Pemkot Bandung,” kata Eva dengan nada geram.

Di tengah kesempitan, Eva banyak belajar dan memahami kasus yang dihadapinya. Eva, berkat dukungan para sukarelawan di posko solidaritasnya, menjadi lebih awam dengan isu-isu pergerakan sosial lainnya.

Bahkan, saat ini Eva semakin berani dan percaya diri termasuk untuk menyampaikan aspirasi di muka publik. Semangat Eva semakin menyala dan menggebu-gebu ketika berorasi seperti saat perayaan International Women’s Day di depan gedung Pemerintahan Provinsi Jawa Barat.

“Kawan-kawan solidaritas itu menjadi alasan saya untuk bertahan di sini. Dari mereka saya banyak belajar, banyak pengetahuan baru yang saya pelajari,” kata Eva.

Eva dan warga lainnya sempat berjuang bersama menggugat Surat Keputusan hingga ke pengadilan negeri. Ia juga mendatangi Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk memastikan status tanah yang menjadi sengketa antara warga dengan pihak Pemerintah Kota Bandung.

“BPN bilang di sini adalah status quo, alias tidak ada yang memiliki. Tiba tiba ada SK baru, padahal mereka menggusur kami sebelum SK baru itu ada,” kata Eva.

Eva hanya ingin adanya pengakuan dari Pemkot Bandung, bahwa ia adalah warga Tamansari Rw 11 Kota Bandung, dan hak orangtuanya yang telah membanguh rumah untuk tumbuh kembang anaknya-anaknya dari hasil jerih payah itu dikembalikan.

“Selama ini, kan, mereka menganggap kami adalah penduduk liar. Serta juga penggantian rumah dengan rumah lagi,” katanya.

Kemenangan Kecil

“Meskipun aku berjalan di lorong yang gelap, aku akan terus berjalan. Dan disaat menemukan secerca cahaya, aku yakin itu adalah harapan. Kemudian aku tak akan menyia-nyiakan cahaya itu untuk mencapai kebenaran.”

Kutipan itu ditulis Eva di salah satu pojok rumah darurat posko Tamansari Melawan. Deti yang menjadi rekan solidaritas mengaku menyukai ucapan tersebut. Menurutnya, kutipan itu bukan hanya sekadar deretan kata. Kutipan itu mewakili apa yang telah membuat Eva bertahan hingga saat ini memperjuangkan haknya di Tamansari.

Dengan berbagai tantangan termasuk banyaknya teror dan intimidasi, Eva tetap berani dan bertahan. Perjuangan Eva sedikit membuahkan hasil. Ombudsman Indonesia melalui surat pemberitahuan pada 23 November 2022 yang menyatakan penggusuran yang dilakukan Pemkot Bandung itu maladministrasi.

“Alhamdulillah, ada kemenangan kecil, ya,” kata Deti.

“Tapi memang pada akhirnya kan di lapangan teh Eva bisa mengolah rasa. Menjadikan rasa marah itu sebagai kekuatan, kemenangan ini ya karena kekuatan teh Eva.”.

Terus Bertahan

Di tengah konflik yang tak kunjung usai, Eva adalah sosok yang luar biasa. Ia digempur habis-habis, bahkan sejak penggusuran, rumah bedengnya beberapa kali dibobol maling. Ditambah pagebluk yang membuat Eva harus benar-benar memikirkan berbagai siasat untuk tetap bertahan hidup dalam impitan alur kehidupan yang semakin berat.

“Ngomongin Teh Eva, mah, uyuhan (mengagumkan). Karena memang berat banget di tempat konflik, sudah hancur lebur, tapi di tengah gempuran itu dia masih bisa berjuang,” kata Deti.

Menurutnya, permasalahan di Tamansari ini adalah Pemkot Bandung menganggap warga itu liar dan menilai jika mereka tidak mempunyai hak untuk tinggal di kawasan tersebut. Bahkan, hal ini terus digembar-gemborkan Pemkot sehingga membuat warga menjadi tidak percaya diri.

“Kalau pemkot tidak mau memberikan dalam bentuk konversi, akui Teh Eva sebagai warga Tamansari RW 11 karena dia bukanlah warga liar. Ini proses yang benar,” kata Deti.

Hingga kini, Eva masih tetap bekerja semampunya. Meski usahanya hancur, ia masih memiliki kawan yang mau menerima Eva bekerja di konveksi miliknya. Ia juga masih sesekali mengantar ibunya berkegiatan di salah satu sekolah di Bandung.

Eva mengaku akan terus bertahan.

“Kalau dulu saya punya usaha konveksi kecil-kecilan, sekarang saya siap bekerja ketika dibutuhkan alias jadi ‘wanita panggilan’” ungkapnya sambil tertawa.


Cerita foto ini merupakan bagian dari serial #DiabaikanNegara.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ricky Yudhistira
5 menit