Pertumbuhan kota-kota yang diklaim mandiri seperti BSD dan Alam Sutera di daerah penyangga Jakarta menampilkan wajah pembangunan yang timpang: di balik pagar klaster-klaster elite yang menjual keamanan dan prestise, hidup warga pekerja upah rendah di ruang-ruang yang dibatasi aksesnya. Di tengah melonjaknya harga tanah dan pembangunan eksklusif, mimpi warga kecil untuk memiliki rumah sendiri kian menjauh.
Rumah-rumah modern bertema Skandinavia hingga Jepang menjadi pemandangan tipikal saat berkendara di jalan utama Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang. Atap-atap rumah mewah yang menjulang itu bisa terlihat dari tembok tinggi yang menjadi batas bagi permukiman penduduk di lingkaran luar klaster.
“Tembok Berlin,” kata sebagian warga di permukiman luar klaster, simbol segregasi sosial antara si kaya dan si miskin.
“Tembok-tembok Berlin” adalah wujud dari berbagai masalah perkotaan yang tidak pernah diselesaikan; mulai dari laju urbanisasi tanpa perencanaan matang yang memicu kepadatan penduduk, hingga masalah ruang karena desakan atas kebutuhan tempat tinggal. Daerah penyangga kota akhirnya menjadi sasaran para pengembang membangun “kota alternatif” baru.

Tangerang Selatan, area populer pembangunan kota baru ini, kerap dilabeli Kota Mandiri oleh para pengembang swasta yang mengatur petak-petaknya sendiri. “Perumahan rapi, megah, aman, dan eksklusif,” begitu mereka menjualnya.
Keamanan menjadi komoditi, prestise dan harus dimiliki, karena nanti, “Senin, harga bakal naik!”

Lantaran keamanan itu, pagar atau tembok dengan akses terbatas dengan jaminan pengamanan 24 jam adalah jawabannya. Di sini lah, asal-usul gated community dimulai. Menjadikan rasa aman bukan lagi hak semua warga.
Studi dari Universitas Indonesia menemukan tren komunitas berpagar ini berpotensi meningkatkan persaingan lahan, menciptakan segregasi, dan memperburuk ketimpangan sosial bila perkembangannya tak diperhatikan.
***

Andry Firmansyah (25) bablas ketiduran hingga jam 4 sore. Ia belum istirahat semalaman. Lepas santap sahur tadi, ia mesti lanjut mengantar bosnya jam 6 pagi. Pekerjaannya sebagai sopir pribadi buat pria kelahiran Lampung ini harus siap sedia kapan saja ketika dibutuhkan.
Bos Andry adalah pengusaha karpet mobil dan tinggal di klaster tepat di belakang indekosnya di Kampung Pager Haur, Tangerang Selatan. Area tempat tinggal mereka berada di depan aula tempat pameran dan konser, ICE BSD.
Sebelum jadi sopir, ia bekerja sebagai tim pemasaran di perusahan bosnya. Tiga tahun belakangan, ia ditarik jadi sopir pribadi dengan gaji yang lebih baik. Mencari indekos dekat dengan tempat tinggal si bos menurutnya lebih menghemat waktu dan tenaga.
“Kalau kamar atas Rp900-an kalau bawah masih Rp800(-an), tapi semua (perabotan) kosong, ya. Aku 5 bulan pertama sempat di bawah, gak kuat, kan matahari kurang tuh,” katanya.

Indekosnya berbatasan langsung dengan tembok Klaster Illustria, BSD, milik pengembang properti Sinar Mas Land. Di lantai dasar udaranya pengap, lembab, gelap serta sempit jejalan motor. Ada tembok klaster setinggi 3 meter mengelilingi tembok indekos dan cuma menyisakan jalur cahaya di bagian parkiran saja.
Meski sumpek, menurut Andry, ada untungnya punya parkiran motor di balik pagar rumah. Beberapa bulan lalu satu unit motor tetangganya digasak maling karena parkir di pinggir jalan.
Sebagai sopir pribadi, Andry digaji Rp5 juta, naik Rp200 ribu setelah tiga tahun bekerja. Namun, mengatur pengeluaran dari gaji segitu masih sulit, apalagi tinggal di BSD.
“Kalau di sini masih seret. Paling abis bayar kosan, servis motor dan lain-lain, paling sisa 2 juta. Beneran…, untung aku masih sendiri, kalau sudah punya istri anak, ya, kurang lah, Mas.” katanya.

Sejak kepindahannya ke BSD, ia harus lebih sering berhemat. Andry baru nongkrong di kafe atau mencari makanan di resto sekitar BSD kalau sedang ada uang lebih.
“Nongkrong juga di kopi-kopi starling, paling sering dekat ICE, jajanan banyak harganya murah-murah juga.” katanya.
Aziz Sudrajat (43) punya pengalaman mirip. Ia punya 2 anak. Anak sulung perempuannya sudah menikah, sedang anak laki-laki bungsunya masih kelas 4 SD. Setiap dapat jatah libur kerja, Aziz sangat jarang mengajak keluarganya rekreasi. Paling jauh, ia mengajak anaknya makan bubur di Kunciran, Serpong.
“Nggak pernah. Paling di rumah doang begini, duduk, rokok,” katanya. Makan di mal buat seorang satpam swalayan sepertinya adalah pemborosan.
Aziz kembali menjadi sekuriti sejak awal tahun ini. Sebelumnya, ia sempat menjadi ojek usai kena pemutusan kerja sebagai sekuriti di Mal Living World Alam Sutera buntut dari pandemi. Meski begitu, ia masih menjalani profesinya sebagai ojek hingga saat ini. Alhamsil, jam kerjanya menjadi padat. Jaga pagi dari pukul 8 pagi hingga 8 malam, lalu lanjut lagi tengah malam untuk ngojek hingga pukul 5 pagi.

“Buat bulanan, sekolah. Kalo ga saya bantu dengan ngojek mah, aduh ngap,” katanya.
“Lah, situ tidurnya kapan, Mas?” Saya penasaran.
“Ya, itu pas pulang kerja, hahaha.” Aziz tertawa kecil.
Aziz lahir di sini. Katanya, dulu namanya Kampung Kandang Sapi. Namun, sejak Alam Sutera masuk, nama kampungnya diubah jadi Marga Jaya oleh RW setempat. Mungkin biar terdengar lebih padu dengan nama-nama keminggris klaster-klaster di sana.
Ia lanjut menancapkan sebatang rokok di pipa gadingnya sebelum dibakar. Di depan rumahnya Aziz duduk santai. Jadwal jaga memang sedang libur. Matanya menerawang seperti sedang banyak pikiran. Dahulu, ia bisa langsung melihat sawah di depan rumahnya. Kini matanya terbentur tembok klaster.
***

Jika Amelia (50) mengingat ke belakang, banyak ruang-ruang di Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, yang berubah dibanding waktu ia kecil dulu. Sawah dan kebun kini berganti klaster, ruko, dan jalanan aspal.
Dengan hati-hati, Amelia menyebrang jalanan depan gerbang utama klaster menuju gang kecil Kampung Cibogo Kulon. Ia baru selesai merapikan taman-taman di Klaster Virginia Village milik pengembang Paramount Land.
Perempuan yang kini bekerja sebagai tukang kebun itu lahir dan besar di sini. Ia ingat betul jalan raya depan klaster ini dulunya sawah. Sementara, di Klaster Virginia dulu ada kampung kecil yang diisi belasan petak rumah serta kuburan. Rumah Amelia kini berada di belakang tembok Klaster Monaco Village milik pengembang yang sama.
“Pas dulu, mah, itu Monaco kebun sawah, terus Komplek Lavender itu lapangan luas, lah, pokoknya,” katanya.
“Dulu, mah, bisa lewat sini, sawah. Monaco ini sawah. Dulu ga ada tembok, plong. Sekarang ada perumahan udah ga bisa lewat,” katanya sambil mengistirahatkan kaki di depan teras rumahnya.

Setiap pagi dalam tiga setengah tahun terakhir ini, Amelia membereskan tanaman-tanaman liar di taman dan konblok klaster. Suaminya tak lagi bekerja sebagai sopir setelah kecelakaan yang membuat tangan kanannya cacat. Amelia kini harus menghidupi suami dan kedua anaknya yang masih sekolah, serta ayahnya yang mulai pikun. Beruntung anak perempuan paling tua sudah menikah dan ikut membantu ekonomi mereka.
“Ada dua lagi yang sekolah, SMP sama kelas 5. Ini lulus SMP nggak disekolahin lagi soalnya udah ga ada biaya, ga kuat,” katanya sambil menunjuk anak laki-lakinya yang tengah bermain telepon genggam di depan pintu.
Bila tugas tukang kebun selesai, sesekali ia diminta tolong untuk membereskan rumah dan cuci gosok oleh salah satu warga klaster.
“Biasanya cuci-gosok, nyapu ngepel, bersihin kamar, udah habis itu magrib pulang,” katanya.
Sebagai tukang kebunnya, Amelia dibayar Rp45 ribu per hari, itupun kadang pihak vendor terlambat menggaji. Dari pekerjaan paruh waktu sebagai PRT, Amelia bisa dapat Rp115 ribu rupiah/minggu atau 460 ribu sebulan. Oleh majikannya, ia juga sesekali dapat bonus pada perayaan hari-hari besar.
“Kemarin Imlek kasih pego (Rp150 ribu), terus kalau Lebaran juga dia ngasih. Dia suka yang telepon. ‘Datang, Bu!’ Kirain mau apa, rupanya ngasih THR,” katanya.
***

Eksklusivitas permukiman di bawah kendali para pengembang swasta, dan juga pembiaran negara, menimbulkan efek berantai yang semakin menyulitkan warga seperti Andry, Aziz, dan Amelia. Harga lahan melonjak naik seturut dengan harga properti bahkan yang berada di luar klaster.
Keadilan atas aksesibilitas hak memiliki rumah bagi semua seperti amanat UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, hanya jadi objek retoris penguasa.
Sadar dengan harga lahan yang melejit, Amelia memilih mimpi yang lain. Kalau bisa, ia ingin memiliki kebun sendiri entah di mana. Ia mau bercocok tanam saja.
“Enak, sih, punya kebun. Punya kebun 1 hektare. Enak kalau punya sendiri, mah, tapi kan duit dari mana. Saya ga punya apa-apa,” katanya.
Berbeda dengan Andry. Ia masih membayangkan bisa memiliki rumah sendiri di kawasan itu. Ia sudah betah tinggal di Kampung Pager Haur karena suasana kekeluargaannya.
“Cuman tanah udah mahal, udah gak kebeli,” katanya sambil menunjuk beberapa tanah kosong di sekitar kampung.

Begitu juga dengan Aziz yang sudah enggan pindah dari Marga Jaya. “Capek pindah-pindah, kenalan tetangga baru lagi,” katanya.
Ada rasa memiliki, mungkin juga rasa lelah bila harus beradaptasi lagi. Namun, ia sedikit khawatir. Beberapa tanah tetangganya mulai dikosongkan karena dibeli Alam Sutera. Ia takut pelan-pelan keluarganya juga dipaksa pindah.
Mungkin itu sebabnya ia sedikit curiga dan dua kali bertanya kepada saya buat memastikan,
“Mas ini orangnya Alam Sutera, ya?”