Merekam pengalaman hidup perempuan di rumah, di ruang publik, dalam relasi intim maupun sosial, kami mencatat setiap dua hari ada satu perempuan yang dibunuh sepanjang tahun 2023.
Peringatan: Tulisan ini memuat materi yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender dan seksual yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan atau memicu trauma.
Sepanjang 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan*, sebagian kelompok feminis juga menyebutnya sebagai Hari Anti-Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual, kata femisida menjadi ramai dibicarakan.
Lembaga PBB untuk urusan perempuan, UN Women, mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan berbasis gender. Perempuan dibunuh karena ia perempuan. Tahun ini, UN Women merilis data yang menunjukkan 85.000 perempuan di seluruh dunia dibunuh sepanjang tahun 2023. Di Indonesia, Jakarta Feminist mencatat 187 perempuan menjadi korban femisida.
Namun, data ini tidak mampu mengungkap nama-nama perempuan yang dulunya adalah perempuan berdaya, pelajar, ibu yang dikasihi, anak perempuan yang disayangi, pedagang di pasar, atau teman kerja yang keberadaannya berarti.
Nama-nama itu tersimpan dalam dokumen, dikumpulkan, dibaca, dianalisis tiap tahun berganti. Nama-nama jadi angka. Lantas bagaimana kita membuat angka-angka ini memiliki nama dan berarti?
Femisida: Nama bagi Puncak Kekerasan terhadap Perempuan
Sejak kecil, saya banyak mendengar cerita kengerian zaman jahiliah ketika kelahiran anak perempuan tidak dirayakan. Mereka disingkirkan, bahkan dibunuh semata-mata karena terlahir sebagai perempuan. Aib, sumber fitnah, dan tidak akan bermanfaat secara ekonomi, kurang lebih begitu alasan misoginis yang membuat masyarakat tega membunuh.
Dulu, saya memahami itu sebagai periode sejarah yang mungkin tidak akan banyak ditemukan hari ini. Yang terjadi justru sebaliknya.
Jakarta Feminist, perkumpulan lintas-feminis di Jakarta, mulai melakukan pencatatan femisida pada tahun 2017. Ketika itu, kami masih menulis laporan dengan judul: Mencatat Pembunuhan Perempuan. Kami menganggap istilah femisida belum banyak dikenal orang. Empat tahun berselang, kami memutuskan menggunakan femisida dalam pendokumentasian pembunuhan perempuan.
Diana Russel dan Nicole Van de Ven dalam bukunya, Crimes against women: Proceedings of the international tribunal, memaparkan femisida yang pertama kali diperkenalkan Carol Orlock.
Russel dan Van de Ven menekankan pentingnya mengenali politik seksual/gender di balik kasus pembunuhan perempuan. Dari perburuan penyihir, pembunuhan bayi perempuan, dan pemerkosaan yang berakhir kematian, semua memiliki dimensi kekerasan berbasis gender yang membuatnya berbeda dengan pembunuhan pada umumnya (homicide).
Memberikan nama pembunuhan yang didasarkan pada kebencian, bias gender, dan kontrol atas tubuh perempuan adalah pengakuan atas setiap pengalaman kekerasan terhadap perempuan. Menamainya juga membantu kita untuk mengenali gejalanya dan mencegah femisida.
“‘You can’t mobilize against something with no name,” (Russel, 2015)
Pencatatan Femisida: Membedah Ruang Aman Perempuan
Saat memulai kembali pencatatan femisida pada 2021, kami menyadari ini bukan pekerjaan yang mudah. Dalam proses pengumpulan serta analisis data, ada banyak jeda yang kami ambil untuk sekadar bernapas setelah membaca kumpulan berita pembunuhan yang mengerikan, brutal, dan kejam terhadap perempuan.
Akan tetapi, ini tetap harus dilakukan karena sistem hukum kita belum mengakui femisida. Begitu juga dengan sistem peradilannya yang tidak menyediakan data pembunuhan terpilah secara gender.
Dalam pencatatan ini kami merekam pengalaman hidup perempuan di rumah, di ruang publik, dalam relasi intim maupun sosial. Dari pencatatan ini kami menunjukkan setiap dua hari ada 1 perempuan yang dibunuh sepanjang tahun 2023. Rumah dan orang terdekat yang harusnya bisa menjadi tempat pulang, tempat mencari rasa aman, ternyata menjadi monster yang paling berbahaya bagi perempuan.
Satu dari dua perempuan terbunuh di tangan orang terdekat. Kebanyakan pelaku adalah pasangan intim korban, sisanya beragam dari ayah, paman, saudara laki-laki, atau orang yang dikenal korban. Dari 187 korban, 81 di antaranya dibunuh di area rumah mereka.
Menurut Henri Lefebvre (2000) dalam bukunya, The Production of Space, ruang sebagai produk sosial atau konstruksi sosial yang kompleks memengaruhi praktik ruang dan persepsi atas ruang. Teori ini memberikan kerangka untuk menganalisis bagaimana kekerasan terhadap perempuan seringkali diasosiasikan dengan ruang privat atau rumah, meski juga banyak kasus femisida di ruang publik yang dikuasai oleh struktur patriarki.
Ruang publik seperti jalan, taman, tempat kerja, dan transportasi umum, seringkali dikonstruksikan sebagai “ruang laki-laki.” Sementara, perempuan di ruang-ruang ini dihadapkan pada ancaman kekerasan atau pengawasan sosial yang lebih ketat.
Contoh kasus yang kami temukan terjadi di ruang publik adalah pembunuhan seorang perempuan (30) yang tengah hamil 9 bulan, korban ditemukan mengapung di Pantai Maruni, Manokwari, Papua Barat pada pertengahan 2023. Pelaku melihat korban berjalan melewatinya, membuntuti korban, memperkosa, membunuh, dan membuang korban di sungai.
Juga pada 2023, kasus femisida lainnya terjadi di Jambi. Pelaku memperkosa dan membunuh siswi SMP (15). Awalnya, korban menolong pelaku untuk membeli obat. Bukannya berterima kasih, pelaku malah menangkap korban dan menyeretnya ke kebun sawit, pelaku memperkosa korban lalu menggorok leher korban.
Pengalaman perempuan atas “ruang” ini sangat berbeda dari laki-laki. Perempuan harus menghadapi ancaman kekerasan yang muncul kapan saja, baik di ruang privat maupun publik. Pola kontrol dan dominasi yang terstruktur oleh norma sosial dan kebijakan yang tidak melindungi perempuan secara memadai di kedua ruang tersebut membuat perempuan tidak aman di mana pun ia berada.
Memakai Lensa Interseksional dalam Mencatat Femisida
Femisida menjadi tingkat paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender. Femisida merupakan akibat dari persoalan sistemik serta kultural yang mengakar kuat di sistem masyarakat patriarki. Persoalan sistemik ini berkelindan dengan bias dan ketidakadilan yang dialami perempuan dengan identitas dan lapis kerentanan yang beragam.
Dalam menulis laporan femisida, kami memakai lensa interseksionalitas untuk melihat keterhubungan antara satu motif kekerasan dengan ragam identitas dan konteks pengalaman perempuan. Kemudian kami mendokumentasikan kasus femisida yang mencakup pembunuhan terhadap perempuan cis, transpuan, anak atau bayi perempuan, perempuan lansia, perempuan dengan disabilitas, pekerja seks, dan perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan.
Masyarakat hetero-patriarki cenderung membenci perempuan dan feminitas, apalagi jika itu melekat pada individu yang dalam imaji publik seharusnya maskulin. Ini menempatkan posisi transpuan dalam hierarki hetero-patriarki pada posisi paling bawah. Transfobia dan misogini membuat transpuan paling rentan mengalami kekerasan, diskriminasi, dan peminggiran (eksklusi sosial).
Tahun 2023, kami menemukan 6 kasus femisida terhadap transpuan atau bisa disebut trans-femicide. Para pelaku menilai transpuan tidak berhak mendapatkan penghormatan. Potret pelaku ini adalah gambaran masyarakat hetero-patriarki yang tidak memperlakukan transpuan secara manusiawi.
Femisida terhadap perempuan dengan disabilitas menggabungkan dua kerangka besar: femisida dan ableism. Ableism memandang individu dengan disabilitas sebagai “kurang” atau “beban,” sehingga kekerasan terhadap mereka sering dianggap lebih dapat diterima atau tidak dipertanyakan secara kritis. Penting untuk memahami bagaimana interseksi antara identitas sebagai perempuan dan disabilitas mengakibatkan diskriminasi ganda. Pada 2023, kami mencatat 4 kasus terkait femisida terhadap perempuan dengan disabilitas.
Sejak laporan tahun 2021 dan 2022, selalu ada temuan kasus femisida terkait kehamilan tidak direncanakan (KTD). Pada 2023, kami menemukan 7 kasus (4%) di mana pelaku membunuh karena enggan bertanggung jawab atas kehamilan yang dialami korban.
Baru-baru ini juga terjadi kasus pembunuhan terkait KTD terhadap mahasiswi di Bangkalan, Jawa Timur. Pembunuhan terjadi karena pelaku mengetahui korban tengah hamil dua bulan. Femisida karena KTD sangat erat terkait minimnya pendidikan seksualitas yang komprehensif.
Ketika akses pengetahuan tentang kontrasepsi, kesehatan reproduksi, dan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) terbatas, banyak pasangan tidak siap menghadapi situasi KTD. Tanpa pemahaman HKSR yang cukup, akses layanan aborsi aman yang tidak tersedia, perempuan dihadapkan pada dua garis kematian: mati di tangan pasangan atau mati karena aborsi tidak aman.
Lebih dari Sekadar Angka
Masyarakat yang patriarkis dan sistem hukum yang tidak peka gender telah mengantarkan banyak perempuan pada lingkaran kekerasan hingga kematian.
Sekalipun kita sudah punya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, atau UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, nyatanya masih banyak hambatan perempuan untuk mendapat ruang aman di negara ini. Belum lagi menjamurnya kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan meneguhkan nilai-nilai kekerasan di masyarakat.
Infrastruktur hukum juga tidak disiapkan untuk dapat merespons kebutuhan korban/penyintas KBGS secara baik. Hukum justru seringkali menjadi momok bagi korban/penyintas. Banyak korban dan penyintas enggan untuk menempuh jalur hukum karena ketakutan akan disalahkan, bahkan dilaporkan balik dengan pencemaran nama baik atau laporannya ditolak karena kurangnya bukti serta kesulitan memproses kasusnya.
Masyarakat patriarkis masih sangat permisif terhadap perlakuan seksis dan misoginis yang menganggap dan memperlakukan perempuan sebagai objek secara seksual maupun material. Praktik ini beroperasi di kehidupan privat maupun publik.
Di ranah domestik, perempuan dituntut bahkan dipaksa untuk melayani, merawat, mengasuh, dan melakukan kerja-kerja reproduksi atau domestik lainnya tanpa ada penghargaan yang berarti. Di ruang publik perempuan dikontrol dan dibatasi oleh norma gender. Ketika ada perempuan yang melawan atau keluar dari pakem gender dominan, ia dianggap layak mendapatkan hukuman.
Pelembagaan patriarki juga kian hari kian merayapi sistem hukum yang membuat persekusi terhadap perempuan dapat dibenarkan. Sylvia Federici dalam bukunya Caliban and The Witch menyebutkan bahwa perempuan merupakan target utama persekusi karena dengan meregulasi seksualitas dan reproduksi perempuan maka kontrol sosial dapat dikendalikan dan diperkuat.
Femisida seharusnya bisa dicegah, jika negara dan masyarakat tidak abai juga permisif terhadap kekerasan yang paling subtle sekalipun, seperti candaan seksis di tongkrongan, pengajian, atau ruang rapat.
Mereka bukan hanya deretan angka. Data korban femisida adalah gambaran nyata ketidakpedulian kita pada hidup para perempuan.
Setiap tahun selalu ada saja lembaga yang menghimpun data kekerasan terhadap perempuan. Naik turun angkanya tidaklah penting, karena seberapa besar dan kecil pun angka-angka itu, mereka adalah nyawa yang berharga, ibu yang dikasihi, adik yang dirindukan, perempuan-perempuan yang berhak untuk hidup.
Naila Rizqi Zakiah adalah Manajer Advokasi Jakarta Feminist. Syifana Ayu Maulida adalah peneliti pada perkumpulan yang sama.
Jika Anda mengalami atau menyaksikan kekerasan berbasis gender dan seksual, kamu bisa mencari bantuan dari lembaga layanan melalui carilayanan.com.
*16 HAKTP diperingati setiap tahun dari 25 November hingga 10 Desember, karena rentang waktu ini memiliki makna simbolis dalam perjuangan melawan kekerasan berbasis gender dan memperjuangkan HAM.
Baca laporan data Femisida 2023 yang dikerjakan Jakarta Feminist di sini.