Selama nyaris empat dekade, puluhan masyarakat adat berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari. Tanah adat dirampas, sumber ekonomi dari hutan hilang, puluhan orang dikriminalisasi.
Rusliana Marbun, petani adat dari Desa Matio, Kabupaten Toba, mengisahkan trauma dikriminalisasi saat mempertahankan sawah miliknya. Ia dituduh melakukan penganiayaan yang membuatnya mendekam tiga bulan penjara.
Suatu hari pada Juli 2015, puluhan pekerja Toba Pulp Lestari (TPL) membuka lahan dengan alat berat di areal berbatasan tanah adat Desa Matio. Entah disengaja entah tidak, aktivitas itu bikin tumpukan tanah menimbun sawah Rusliana.
Rusliana bergegas ke sawahnya. Meminta para pekerja menghentikannya dan memperbaiki sawahnya yang rusak.
“Hanya karena itu saja kau marah-marah,” kata seorang staf humas TPL, Bahara Sibuea, seperti ditirukan Rusliana.
Parlindungan Siagian, suami Rusliana yang saat itu di sana, ikut mendesak hal sama. Namun, pasangan berusia 58 tahun ini malah diberi tahu bahwa masyarakat tidak punya hak menghentikan aktivitas perusahaan. Rusliana berkata para pekerja TPL seakan sengaja memancing emosinya.
“Tapi suamiku tidak mau terpancing untuk memukul,” katanya.
Sempat terjadi adu argumen. Beberapa orang staf perusahaan mendesak suaminya. Melihat itu, Rusliana panik. Mencabut rumput liar. Mengibaskannya kepada salah satu staf.
”Kalian ingin membunuh suamiku, ya!” Rusliana berteriak histeris.
Keributan berakhir setelah perdebatan agak panjang. Tidak ada penyelesaian. Rusliana dan suaminya pulang. Namun, beberapa hari kemudian, Rusliana menerima surat panggilan dari Polsek Parsoburan untuk menjalani pemeriksaan. Ia dilaporkan Bahara Sibuea atas tuduhan penganiayaan. Bukti yang ditunjukkan adalah luka goresan kunci di leher.
“Aku dituduh menggores lehernya dengan kunci, juga memukul pekerja lain dengan rumput,” kata Rusliana.
Tanpa pengacara, ditemani suaminya, Rusliana menjalani pemeriksaan di kantor polisi. Selama kasus bergulir, Rusliana pernah ditawari kesepakatan bahwa laporan akan dicabut asal dia dan suaminya tidak lagi mengklaim tanah yang mereka kelola sebagai persawahan sebagai bagian dari tanah adat Desa Matio. Mereka menolak.
Kasusnya kemudian diproses dan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Balige. Setelah menjalani empat kali persidangan, ia divonis bersalah.
“Aku dipenjara dengan tuduhan memukul staf perusahaan dengan rumput dan itu kulakukan hanya karena mempertanyakan kenapa perusahaan merusak sawahku,” katanya.
Toba Pulp Lestari adalah raksasa perusahaan bubur kertas yang dituduh mengubah hutan dan lahan adat menjadi perkebunan monokultur eukaliptus selama lebih dari tiga dekade di Sumatera Utara. Dimiliki konglomerat Sukanto Tanoto, perusahaan ini telah berkonflik dengan warga adat Matio sejak 1986.
Saat itu perusahaan mendapatkan izin konsesi di lahan yang diklaim warga sebagai wilayah adat. Sampai kini masyarakat adat Matio berjuang untuk mengklaim kembali 1.418 hektare wilayah adatnya. Seluas 150 ha hutan adat telah dikelola perusahaan menjadi perkebunan eukaliptus.
Konflik agraria ini terus terjadi pada anggota komunitas yang telah mengelola pertanian di wilayah adatnya di areal konsesi perusahaan. Rusliana adalah salah satu anggota masyarakat adat yang menjadi korban konflik itu. Saat mempertahankan hak atas tanah yang telah dikelolanya menjadi sawah secara turun temurun, ia dan suaminya didesak untuk meninggalkan tanah itu.
Pemenjaraan Rusliana hanyalah salah satu kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat sejak Toba Pulp Lestari mendapatkan izin operasi pada 1983. Saat ini areal konsesi TPL seluas 167.912 ha.
Sekitar 81 kilometer dari Desa Matio, tepatnya di Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, pihak Toba Pulp Lestari mengkriminalisasi empat warga adat dengan tuduhan menggarap tanah negara secara ilegal.
Pada 6 September 2004, Mangitua Ambarita, warga adat Sihaporas berusia 66 tahun, ingin bertani di lahan adatnya. Saat bercocok tanam pada sore hari, dua puluh polisi datang dan menahannya. Di lahan yang lain, masih di desa yang sama, polisi menangkap Parulian Ambarita, juga warga Desa Sihaporas.
Mangitua dibawa polisi dan tidak sempat pulang sebentar ke rumah untuk mengganti baju. Ia hanya pamit kepada anaknya, Andreas Mangitua Ambarita, yang bersamanya hari itu.
Mangitua menjalani persidangan dengan tuduhan mengelola lahan tanpa izin. Proses hukum ini menguras energi dan keuangan keluarganya karena ia tidak bisa bekerja, sementara anaknya butuh biaya kuliah.
Dalam keadaan itu, ia meminta majelis hakim agar diberi penangguhan sementara agar dapat bekerja. Namun, hakim memberinya syarat yang tak dapat disanggupinya, yakni membuat pernyataan tertulis bahwa lahan yang digarapnya itu bukan tanah leluhurnya dan tidak akan pernah menuntut kepemilikan.
“Tidak ada lagi syarat lain, Pak?” Mangitua bertanya.
“Tidak ada.”
Mangitua menolak. Ia divonis bersalah dan dihukum 1 tahun 2 bulan penjara.
Masyarakat adat Sihaporas berkonflik dengan Toba Pulp Lestari setelah perusahaan mendapatkan izin konsesi hutan tanaman industri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 1992.
Pada 1999, setelah rezim Soeharto, Ambarita bersama masyarakat adat Sihaporas keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, menuntut pemerintah Indonesia mengembalikan 1.500 hektare wilayah adat.
Menurut Mangitua, tanah adat itu pada 1913 dipinjamkan oleh pendahulu mereka kepada pemerintah kolonial Belanda untuk penanaman pohon pinus. Namun, setelah Indonesia merdeka, negara mengklaimnya menjadi hutan negara, lalu memberikan izin konsesi kepada TPL.
Pada 2000, wilayah adat Sihaporas seluas 2.050 ha tercatat di Badan Registrasi Wilayah Adat, tapi negara belum mengakuinya sebagai wilayah adat. Warga yang mengolah lahan menghadapi pemidanaan.
Pada 17 September 2019, Thomson Ambarita, 43 tahun, dan Mario Teguh Ambarita, seorang anak berusia 3 tahun, menjadi korban kekerasan seorang petugas keamanan PT TPL, Bahara Sibuea. Keduanya jadi tersangka mengelola lahan tanpa izin.
“Padahal dari dulu itu adalah tanah adat kami,” kata Thomson.
Jonny Ambarita mewakili Mario di persidangan. Thomson dan Jonny divonis bersalah dan dihukum 9 bulan penjara.
Ekspor ke China
PT Toba Pulp Lestari Tbk, berafiliasi dengan Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL) dan Riau Andalan Pulp and Paper di bawah maskapai induk Royal Golden Eagle (RGE), merupakan perusahaan bubur kertas (pulp) dan rayon raksasa Indonesia yang menyuplai mayoritas bahan bakunya ke China.
Sejak 2010, perusahaan ini menjadi pemasok terbesar DP Macao, anak usaha DP Marketing International Ltd., yang kemudian menjual pulp rayon (dissolving wood pulp/DWP) ke Sateri International, perusahaan produsen viscose di China, untuk memasok dua pabriknya, Sateri Jiangxi dan Sateri Fujian.
Sateri International sendiri anak perusahaan Royal Golden Eagle. Dengan kata lain, Toba Pulp mengekspor pulp ke anak perusahaannya sendiri melalui DP Macao. Dalam dokumen Sateri, DP Macao sebagai perusahaan yang membantu memasarkan pulp-nya di China.
Dalam laporan tahunan 2019, Toba Pulp mencatat total penjualan US$104,1 juta (setara Rp1,4 triliun dengan kurs Rp14.000) dengan volume penjualan 167.788 ton pulp, tapi tidak dijelaskan kategori pulp yang diekspor.
Kami membandingkan laporan tahunan 2019 itu dengan data ekspor yang kami peroleh secara anonim dari bea cukai Pelabuhan Belawan pada tahun yang sama. Dari data bea cukai, semua bahan baku yang diekspor ke Macau dibeli DP Marketing.
Toba Pulp mengekspor empat jenis pulp. Tercatat jenis pertama adalah pulp dengan kode klasifikasi barang (HS Code) 47020000 dan 47032900. HS Code 47020000 (pulp high alpha) merujuk pada dissolving wood pulp (DWP), yaitu bahan baku tekstil berkualitas tinggi. Sementara HS Code 47032900 merujuk bleached hardwood kraft pulp (BKHP), yaitu bahan baku kertas.
IndonesiaLeaks, kolaborasi jurnalis dari berbagai media di Indonesia, pernah mengungkap manipulasi ekspor jenis pulp dilakukan Toba Pulp selama 2007-2016 untuk mendapatkan keuntungan lebih tinggi. Harga DWP US$1/kg atau 30%–40% lebih tinggi dengan BKHP. Toba Pulp melaporkan eksp0r bubur kertas didominasi jenis BKHP, faktanya perusahaan mengekspor lebih banyak DWP.
Pada 2021, dalam sebuah laporan diterbitkan South China Morning Post, terungkap Indonesia adalah pemasok terbesar kedua DWP ke Xinjiang, wilayah paling barat China. China memproduksi 60 persen pasar viscose secara global, dan Xinjiang menyumbang 10-18 persennya. Viscose adalah jenis kain rayon semi-sintetis terbuat dari pulp kayu sebagai pengganti sutra. Semua produksi viscose dari China terutama dibuat dari bahan impor.
Sebagai salah satu dari hanya dua perusahaan yang memproduksi DWP di Indonesia, bersama Asia Pulp & Paper (Sinar Mas), kemungkinan besar Toba Pulp menyuplai DWP ke pasar Xinjiang melalui perantara di Hong Kong atau Makau. Perusahaan utama yang memproduksi viscose dari bahan baku DWP adalah Xinjiang Zhongtai Chemical Company, yang punya relasi dekat dengan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) milik negara.
Xinjiang adalah tanah air mayoritas muslim Uighur. Sejak 2017, etnis Uighur dan muslim Turki di Xinjiang mengalami penindasan meluas oleh pemerintah Tiongkok. Sistem kamp konsentrasi didirikan untuk menampung lebih dari 2 juta orang Uighur. Mereka kemudian “dibina” ke dalam sistem fasilitas kerja paksa, yang kepemilikannya terhubung dengan XPCC. Selain itu, pemerintah China dituding melakukan apa yang disebut “genosida budaya”: masjid, kuburan, situs-situs suci dan bersejarah Uighur dihancurkan.
“Pemerintah China menghancurkan rakyat kami gila-gilaan,” kata Omer Kanat, seorang Uighur-Amerika dan Direktur Eksekutif Uyghur Human Rights Project, organisasi yang menyoroti masalah Uighur. “Siapa pun yang selamat dari kekejaman itu akan menyimpan luka selamanya.”
Berita tentang kekejaman hak asasi manusia terhadap muslim Uighur telah menyulut sanksi terhadap pejabat pemerintah di Xinjiang dan XPCC. Di Amerika Serikat, impor viscose dari Xinjiang dilarang karena kekhawatiran diproduksi dari fasilitas kamp kerja paksa. Eropa tampaknya akan mengikuti.
Dan, mungkin atau tidak mungkin, DWP yang dibuat dari hutan yang diduga dibabat secara ilegal di tempat-tempat seperti Matio dan Sihaporas di Sumatera Utara berakhir di fasilitas kerja paksa di Xinjiang.
Gelombang Protes dan Pemidanaan
Berbagai pelanggaran yang diduga dilakukan Toba Pulp telah mendorong aksi masyarakat adat selama lebih dari tiga dekade menuntut pemerintah agar mencabut izin operasional perusahaan itu.
Pada 1989, WALHI menggugat perusahaan yang dulu bernama PT Inti Indorayon Utama itu ke Pengadilan Negeri Jakarta. Ini setelah bencana longsor membunuh delapan belas penduduk Desa Natumingka pada 7 Oktober 1987. Selain itu, terjadi kebocoran penampungan air limbah pada 9 Agustus 1988 yang diduga memicu pencemaran Sungai Asahan yang bermuara ke Danau Toba. Tapi, dalam putusan pada 14 Agustus 1989, Pengadilan Negeri Jakarta menolak gugatan itu.
Pada 19 Maret 1999, Presiden BJ Habibie menutup Indorayon setelah gelombang protes besar-besaran masyarakat, aktivis, akademisi, dan lembaga gereja lokal. Namun, perusahaan ini kembali dibuka lewat keputusan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dalam sebuah sidang kabinet pada 10 Mei 2000. Pada 6 Februari 2003, perusahan resmi beroperasi dan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari.
Reaksi penolakan terjadi lagi. Bentrokan tidak terelakkan. Seorang warga bernama Hermanto Sitorus tewas ditembak peluru. Saat itu polisi dan tentara mengadang protes warga di Porsea, Toba.
Menurut Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, lebih dari 20.754 ha lahan dari 23 komunitas masyarakat adat di lima kabupaten diklaim sebagai wilayah konsesi Toba Pulp.
“Itu masih hanya lahan masyarakat adat yang didampingi kedua LSM itu,” kata Ketua AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak.
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) mencatat selama lebih dari tiga dekade, Toba Pulp telah mengkriminalisasi 93 orang.
Direktur BAKUMSU, Tongam Panggabean, mengatakan lebih dari selusin pasal pidana digunakan untuk mengancam masyarakat adat, dan yang paling sering dipakai adalah pasal 92 ayat 1 Undang-Undang 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Pasal itu berbunyi: “Siapa yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan, dan membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin, terancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp1,5 miliar dan paling banyak Rp5 miliar.”
Pada 6 Oktober 2022, majelis hakim Pengadilan Negeri Balige memvonis 3 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar terhadap Dirman Rajagukguk, petani Desa Tukko Ni Solu, Kabupaten Toba. Pada 2018, Dirman dituduh menguasai lahan yang diklaim hutan negara yang konsesinya telah diberikan ke Toba Pulp Lestari.
“Sepanjang hukum masih represif terhadap masyarakat, sepanjang itu pula ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanahnya atas klaim negara,” kata Tongam. “Ketika hutan negara itu kemudian diberikan izin konsesi kepada perusahaan, maka konflik akan terus terjadi dan kriminalisasi terhadap masyarakat juga akan terus terjadi.”
Parsaoran Siagian, warga Desa Matio, bercerita ia dan puluhan warga telah mengalami intimidasi saat perusahaan mengelola lahan konsesi di daerahnya.
“Saya masih ingat ketika perusahaan membersihkan [secara paksa] hutan adat kami. Waktu itu perusahaan membawa aparat bersenjata. Masyarakat ketakutan dan saya sempat diintimidasi karena bertanya, ‘Kenapa hutan kami dibersihkan dan kemenyan ikut ditebangi?’”
Saat itu tim dari perusahaan, dinas kehutanan, dan aparat bersenjata mematok batas konsesi di lahan hutan adat dan membersihkannya untuk perkebunan eukaliptus. Masyarakat adat sudah mengelola lahan itu selama lebih dari sepuluh generasi.
“Pada saat itu, di era Soeharto, kita tahu orang masih takut untuk kritis, sehingga masyarakat sangat lemah untuk melawan,” kata Parsaoran.
Tapi, sesudah era Soeharto pun, intimidasi dan kriminalisasi terus terjadi.
Melapor ke Komnas HAM
Pada Desember 2021, AMAN Tano Batak melaporkan ke Komnas HAM dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Toba Pulp di 32 komunitas masyarakat adat. Pelanggaran itu antara lain perampasan tanah adat, penghilangan sumber mata pencaharian, penghancuran makam leluhur, serta perusakan lahan pertanian dan sumber air akibat pestisida.
Kami telah mengunjungi lima dari 32 komunitas masyarakat adat tersebut, yakni masyarakat adat di Matio, Napa Godang, Nattinggir, Pargamanan-Bintang Maria, dan Sihaporas. Mereka mengisahkan dampak kehadiran Toba Pulp Lestari di wilayah adatnya.
Dampak terbesar ialah sumber air telah rusak akibat pestisida dan debitnya berkurang, diduga karena konversi hutan menjadi perkebunan eukaliptus. Mereka juga bercerita kehilangan sumber pendapatan dari pohon kemenyan yang telah ditebangi dari hutan adat mereka.
“Kemenyan dari dusun ini sudah tidak ada lagi. Sekarang kami menanam jagung dan palawija,” kata Tomu Parasibu, penatua berumur 56 tahun di Nattinggir.
“Makam leluhur kami juga ikut hilang setelah TPL menguasai tanah [hutan] adat kami,” katanya.
Warga Sihaporas kesulitan mendapatkan air bersih sejak wilayah hutan adatnya berubah jadi perkebunan eukaliptus, dan pestisida terus mencemari tanah dan aliran air.
“Sekarang kalau kami mau membuat ritual adat, kami harus mengambil air bersih lebih jauh ke hutan, yang tidak tercemar,” ujar Mangitua Ambarita, penatua masyarakat adat Sihaporas.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam konferensi pers di Medan pada Desember 2021, mengatakan akan membentuk tim investigasi untuk memverifikasi laporan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Toba Pulp dan akan membuat rekomendasi enam bulan kemudian.
Pada Februari 2022, sebuah tim dari Komnas HAM bertemu dengan masyarakat adat Natinggir. Saat itu masyarakat adat telah melaporkan semua dampak yang mereka rasakan sejak kehadiran Toba Pulp.
Namun, lebih dari enam bulan setelah kunjungan itu, masyarakat adat belum menerima jawaban apapun dari Komnas HAM, ujar Sahala Pasaribu.
“Tidak ada hasil dari kunjungan itu sampai sekarang, saya juga tidak tahu apa maksud kunjungan mereka saat itu. Semua kami sudah jelaskan, tapi hasilnya tidak ada,” kata Sahala, akhir September 2022.
Ketua AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak, mengatakan hal sama. “Kami belum mendengar ada rekomendasi selanjutnya dari Komnas HAM sejauh ini,” katanya, September 2022.
Komisioner Mediasi Komnas HAM, Hariansyah, mengatakan timnya sedang bekerja dan masih meminta keterangan dari pihak Polda Sumut dan pihak Toba Pulp Lestari, saat dikonfirmasi pada akhir Oktober 2022. Ia tidak menjawab kenapa investigasi melewati jadwal enam bulan dari yang dijanjikan.
Project Multatuli menghubungi PT Toba Pulp Lestari untuk mengonfirmasi tuduhan pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Humas PT Toba Pulp Lestari, Dedy Armaya, mengatakan semua tuduhan itu tidak benar. Menurutnya, perusahaan mengedepankan dialog apabila terjadi pelanggaran hukum di wilayah kerja perusahaan.
“Sehingga untuk menghindari konflik yang bisa saja terjadi, maka penanganan secara hukum menjadi cara terakhir bagi perusahaan menghadapi situasi yang terjadi, berkoordinasi dengan sejumlah instansi hukum pemerintahan,” kata Dedy, awal Desember 2022.
Ia juga membantah PT TPL telah memicu terjadi kerusakan lingkungan seperti pencemaran air dan hilangnya tanaman endemik kemenyan akibat peralihan hutan adat menjadi perkebunan eukaliptus.
“PT Toba Pulp Lestari Tbk terus memastikan seluruh kegiatan operasional patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh regulator secara berkelanjutan, baik terkait lingkungan maupun sosial-ekonomi masyarakat,” ujarnya.
***
Dipenjara selama tiga bulan membuat Rusliana Marbun bersikap apatis atas kebijakan negara melindungi hak masyarakat adat yang berusaha mempertahankan hak atas tanah leluhurnya. Dari kasus kriminalisasi yang telah dihadapinya, ia sadar bahwa kekuasaan masih mengendalikan hukum.
“Siapalah kami melawan perusahaan raksasa,” katanya.
Hukuman yang telah dijalaninya tidak menjamin perusahaan memperbaiki sawahnya yang telah rusak. Ia tidak lagi mengelola sawah yang dulu pernah tertimbun tanah oleh pekerja Toba Pulp Lestari. Baginya, tanah itu tidak layak lagi ditanami padi akibat timbunan tanah dan bebatuan.
“Padahal dulu dari sawah itu, setidaknya kami bisa memanen 120 kaleng [1.920 kg] beras dalam setahun,” katanya.
Kini, Rusliana menanam jagung dan palawija di lahan yang masih ada dari warisan orangtua suaminya. Ia menghidupi keluarganya dengan lahan yang masih tersisa.
Anaknya pernah bekerja sebagai buruh harian lepas pada salah satu kontraktor Toba Pulp Lestari, tapi kemudian dia minta untuk mengundurkan diri. Sekalipun anaknya ingin membantu keluarganya, tapi Rusliana melarang anaknya bekerja untuk perusahaan yang telah mengkriminalisasi dirinya dan menghilangkan sumber mata pencaharian keluarganya.
“Tanpa TPL pun kami masih bisa hidup,” katanya.
Liputan ini didukung Rainforest Journalism Fund dan Pulitzer Center.