Disuapi Dari Bayi Sampai Mati: Dominasi dan Obsesi Pada Nasi

Ronna Nirmala
10 menit
Ilustrasi sentralisasi kebijakan pangan pemerintah dari masa ke masa. (Project M/Sekarjoget - CC BY-NC-ND 4.0)

SUATU PAGI, kami dikagetkan teriakan ibu dari dapur. Pintu dapur terbuka, gembok sudah rusak dicongkel. Kondisi dapur sekaligus ruang makan berantakan.

“Ada maling!”

Bapak buru-buru lari ke dapur mendengar teriakan ibu. Di dapur, ibu seperti kebingungan. Ia melihat pagar bambu di dekat tungku masak ternyata juga sudah jebol. Bapak menduga itu adalah jalan maling keluar masuk.

Ibu lantas memeriksa semua barang. Nyaris tak ada perabot yang hilang. Bahkan radio kotak yang digantung di dinding, mungkin berharga pada masa itu, juga masih ada. Namun setelah beberapa lama, ibu menyadari ada satu barang hilang yaitu sekarung beras yang disimpan di bagian bawah rak piring.

Menjelang sore, bapak segera memperbaiki pagar dapur. Setelahnya, ia mengemas beberapa kilo beras dalam plastik hitam, lalu digantung di pagar. Ia berharap jika ada maling yang memang butuh beras, tidak perlu membobol pagar, cukup ambil saja beras yang digantung. Keesokan harinya, sekantong beras itu sudah tidak ada.

Peristiwa itu terjadi ketika kami sekeluarga baru pindah dari Yogyakarta ke Lampung, antara tahun 1991-1993. Kami tinggal di desa transmigrasi Sri Agung, Padang Ratu, Lampung Tengah. Penduduknya mayoritas berasal dari Jawa Tengah dan berprofesi sebagai petani setelah mendapatkan lahan dari program transmigrasi.

Pada tahun-tahun itu, beras adalah bahan pangan premium punyanya orang gedongan. Nasi juga nyaris sederajat dengan SuperMi, salah satu jenama mi instan yang saat itu sedang booming. Makan mi instan campur nasi menjadi sebuah kemewahan, meski keduanya sama-sama karbohidrat. Tak heran jika beberapa orang lebih mengincar beras ketimbang barang lainnya.

Di daerah kami, beras sebenarnya bukan barang langka. Sebagian besar petani menanam padi, juga singkong, jagung, kacang tanah, dan coklat. Tanaman-tanaman juga memiliki memori bagi masa kecil saya dan teman sebaya.

Di kebun bapaknya Kijan, teman saya, kami sering diam-diam memetik coklat yang sudah masak, mencabut kacang tanah di kebun bapaknya Amin, dan ketika musim panen jagung tiba, kami bekerja di rumah Lusi untuk mlereti jagung yang sudah dijemur beberapa hari.

Ketika musim panen singkong, ibunya Kijan biasa membuat oyek, nasi dari ketela pohon atau ubi kayu yang berbentuk butiran dan berwarna coklat kekuningan. Sore hari setelah lelah bermain, kami bakal diundang ke rumah Kijan buat makan bareng dengan menu sederhana namun lezat tiada tara: oyek hangat, sambal korek, dan ikan asin.

Oyek nyaris jadi menu utama di meja makan sejumlah tetangga. Oyek sering jadi bahan olok-olokan di kalangan anak-anak sekolah: oyek makanan orang miskin, nasi makanan orang gedongan. Bagi warga desa, beras lebih bergengsi karena menjadi makanan para pegawai negeri, pejabat, dan orang kota berduit.

Bahkan, para petani lebih memilih makan oyek daripada nasi. Alasannya pragmatis karena dengan menjual beras, mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Para petani biasanya akan menyisihkan sedikit padi dari hasil panen untuk kemudian dicampur dengan jagung dan dikonsumsi sendiri.

Obsesi pada Nasi

Tahun 1996, kami pindah dari Lampung. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi makan dan melihat oyek dikonsumsi. Saya tumbuh besar di perkotaan, yang sehari-hari makan dari nasi ke nasi, sampai suatu hari saya mengamini apa yang banyak orang-orang lain yakini, “Belum makan kalau belum makan nasi.”

Kalimat itu adalah wujud dominasi nasi yang begitu nyata. Ia tidak hanya mengucilkan ragam pangan karbohidrat lainnya, tapi juga mendominasi kebiasaan hidup.

Dominasi beras terjadi sejak Indonesia belum merdeka, khususnya di Pulau Jawa. Di daerah lain, seperti di Timur, sagu masih sering ditemukan sebagai makanan pokok warga.

Secara struktural, kebijakan ‘memuja’ padi ini mulai dilanggengkan sejak masa pemerintahan Presiden Sukarno.

Pada tahun 1948, Sukarno menyetujui ide Menteri Persediaan Makanan Rakyat, Kasimo, yang menyiapkan program swasembada pangan atau dikenal dengan istilah Kasimo Plan. Inti program tersebut adalah intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian. Intensifikasi yakni dengan memperbanyak bibit unggul, dan ekstensifikasi dengan membuka lahan di Sumatera.

Sejak saat itu pula, tanaman padi terus dikembangkan, dari mulai urusan bibit unggulnya hingga perluasan lahan sawahnya.

Obsesi pemerintah terhadap padi tidak selesai di situ saja. Sukarno juga membuat kebijakan pemberian beras dalam komponen gaji pegawai negeri dan militer.

Untuk melengkapi program itu, pemerintah mendirikan Yayasan Bahan Makanan (BAMA) pada tahun 1950, lalu menggantinya menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953. Tiga tahun kemudian, pemerintah mendiri Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) yang menjadi cikal bakal BULOG (Badan Urusan Logistik).

Pada tahun 1964, Sukarno kembali membuat kebijakan Panca Usaha Tani dan Sentra Padi. Namun, usaha itu tidak juga berhasil untuk menyelesaikan masalah pangan nasional.

Ahmad Arif, dalam buku Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan, menyebutkan pada tahun-tahun tersebut, Sukarno sebenarnya mulai menyadari bahwa beras tidak bisa menjadi solusi tunggal urusan pangan. Karena itu ia mengumandangkan agar jagung menjadi substitusi padi dan mengubah menu makanan.

Jejak kebijakan itu kini hanya tinggal menjadi sebuah buku resep Mustikarasa yang diterbitkan pada tahun 1967. Tujuan pembuatan buku tersebut adalah sebagai petunjuk bagi rakyat Indonesia dalam mengolah pangan yang tersedia di daerah masing-masing menjadi makanan nikmat dan bergizi.

Sayang, Sukarno tak lama kemudian lengser. Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto justru melanjutkan obsesi pada beras. Soeharto menggalakan swasembada beras secara masif dan pada saat yang bersamaan, mulai “menjual” hutan untuk kepentingan korporasi. Dua kebijakan itu semakin menguatkan dominasi nasi dengan dua jalan: memperbanyak produksi beras, dan menghancurkan keragaman tanaman pangan lokal.

Untuk mengejar prestasi swasembada beras, Soeharto menjalankan proyek Revolusi Hijau pada tahun 1974. Revolusi Hijau dilakukan terapkan melalui Panca Usaha Tani; penggunaan bibit unggul, pemupukan kimia, irigasi yang baik, proteksi tanaman dengan pestisida, dan mekanisasi pertanian. Proyek ini membuat lahan tanaman lain disulap menjadi sawah padi. Pada masa ini, keragaman bibit lokal milik petani beralih ke tangan korporasi transnasional.

Praktik Revolusi Hijau tidak hanya dilakukan secara masif tapi juga represif. Petani yang menolak program ini bakal dicap melawan pembangunan nasional. Pasca-Revolusi Hijau, beras semakin mendominasi. Hal ini terlihat dari konsumsi rakyat yang semakin beralih ke beras. Pada tahun 1954, porsi konsumsi beras nasional hanya sekitar 53,5 persen, meningkat pada 1981 menjadi 81,1 persen.

Ketergantungan terhadap beras pun mewabah di masyarakat. Tumbangnya Orde Baru juga tidak membawa perubahan pada pola masyarakat mengonsumsi beras. Pada era Presiden BJ Habibie, pesawat buatan dalam negeri pernah ditukar dengan beras dari Thailand. Begitu pula pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, kekurangan stok bahan pangan dijawab dengan impor beras.

Ambisi pemerintah semakin menggila dengan membuat program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang dirintis pada pemerintah Presiden Susilo ‘SBY’ Bambang Yudhoyono pada 2010.

Obsesi pada beras pun tak luntur pada era Joko ‘Jokowi’ Widodo. Ia menggagas cetak sawah baru yang melibatkan TNI pada tahun 2015, dan membuat program lumbung pangan alias food estate pada periode kedua pemerintahannya.

Sentralisasi dan Kepunahan Pangan Lokal

Setelah berdekade dicekoki nasi, nyaris tak ada ruang lagi bagi pangan lokal non-beras. Kebijakan pangan yang sentralistik, homogen, dan obsesif terhadap beras tidak hanya membuat lemah kedaulatan pangan nasional karena bergantung pada impor, tapi juga bikin pangan lokal selain beras terancam punah.

Saat merencanakan tulisan ini, tim Project Multatuli sempat mengusulkan tantangan untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai pengganti nasi selama satu minggu untuk menjawab pertanyaan, apakah memungkinkan mengonsumsi pangan lokal non-beras di daerah perkotaan?

Ide itu segera mentah lantaran hasil observasi awal sudah kesulitan untuk mendapatkan sumber pangan non-beras dan gandum di lingkungan sekitar. Pilihannya adalah ke supermarket untuk mendapatkan bahan mentah, atau membeli paket makanan non-beras lewat aplikasi seperti Go Food dan Grabfood yang sebenarnya adalah menu diet dan harganya tidak ramah di kantong.

Pilihannya juga terbatas di warung tegal (warteg) atau rumah makan siap saji lainnya. Segala lauk pauk sumber protein, sayuran sumber vitamin tersedia. Namun, sumber karbohidrat yang tersedia hanya nasi. Bilapun ada kentang, ia biasanya diolah sebagai lauk: kentang balado. Warung-warung tenda juga tidak menyediakan pilihan yang lebih baik.

Pertanyaan selanjutnya, seandainya pun makanan non-beras itu tersedia dan gampang diakses, apakah semudah itu mengubah kebiasaan makan nasi?

Ilustrasi aneka pangan Nusantara. (Project M/Sekarjoget – CC BY-NC-ND 4.0)

Dalam imajinasi saja sulit membayangkan apa yang harus saya makan selain nasi. Menu makanan sehari-hari yang tercipta dalam imajinasi adalah menu makanan yang melengkapi nasi. Misalnya membayangkan menu sambal bawang dan tempe, apakah bisa dinikmati bersama jagung atau singkong rebus? Nasi yang masih mengepul tentu akan lebih sedap.

Sentralisasi kebijakan pangan yang homogen ini tidak hanya membuat sulit mendapatkan makanan pengganti beras, tapi juga membatasi imajinasi terhadap olahan makanan.

Hayu S Prabowo, dalam tulisannya Mengembangkan Aneka Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas di Jurnal Prisma, menuliskan kebijakan yang sentralistik dan pangan yang homogen membuat masyarakat kehilangan kearifan lokal yang beragam dalam hal makanan dan pengolahan makanan. Konsumsi nasi jadi jamak di seluruh Indonesia, sementara warisan olahan pangan yang turun-temurun menjadi hilang. Selain itu, masyarakat juga mengalami defisit inovasi sistem ketahanan pangan.

Kebijakan yang sentralistik juga membuat segala masalah kekurangan pangan hanya bisa diselesaikan dari pusat. Hal tersebut terlihat ketika pandemi COVID-19 melanda. Rantai pasokan pangan yang sentralistik terputus, panic buying bahan makanan pokok terjadi akibatnya kelompok masyarakat rentan semakin kehilangan sumber pangan. Mengharapkan sumber pangan alternatif semakin sulit karena kebiasaan pemerintah menghadapi masalah pangan selalu dijawab dengan impor beras, bukan mengembangkan pangan lokal selain beras.

Pada masa sebelum beras mendominasi kuat, masyarakat lokal masih bisa bertahan hidup ketika musim padi paceklik menyerang dengan pangan lokal lainnya. Di Jawa ada banyak aneka olahan pangan pokok selain beras yang cara pengolahannya diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga. Misalnya mengolah singkong menjadi oyek, gatot, tiwul, dan lainnya.

Selain singkong ada pula Sorgum yang juga tumbuh di sebagian Jawa dan di daerah timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur dan Barat. Sorgum nasibnya juga serupa dengan singkong dan lainnya.

Di beberapa tempat di Jawa Tengah, sorgum identik dengan makanan kelas dua yang biasanya hanya dikonsumsi pada masa krisis atau gagal panen. Ahmad Arif dalam bukunya, Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan, memaparkan ketika kekeringan melanda kabupaten Pati pada 1982, warga mengonsumsi jagung atau sorgum sebagai makanan pengganti beras. Sementara itu, pada musim panen yang baik, sorgum dijadikan sebagai pakan ternak.

Di daerah timur Indonesia, terutama di daerah kering dan panas seperti Flores, sorgum menjadi penolong bagi warga yang gagal panen padi. Sorgum bisa tetap tumbuh subur di lahan minim air dan panas, sementara tanaman pangan lainnya terancam mati.

Masyarakat pada dasarnya sudah membuktikan ketangguhan mereka dalam urusan pangan di masa lalu. Namun obsesi pemerintah terhadap beras justru membuat ketahanan pangan mereka semakin rentan.

Di Papua misalnya, sagu adalah makanan pokok yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Jauh sebelum obsesi pemerintah terhadap beras menggila, warga Papua tidak bisa hidup tanpa sagu. Ahmad Arif, dalam buku Sagu Papua untuk Dunia, menyebut sagu sudah seperti seorang ibu bagi orang Papua. Pohon sagu memberikan sumber kehidupan bagi orang Papua, hanya kematian yang memisahkan orang Papua dari sagu.

Sejak dulu, Papua terkenal sebagai penghasil sagu terbesar. Sagu tumbuh tanpa perlu ditanam dan bisa ditemukan di banyak tempat. Pada 2014, Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) mencatat ada 4,7 juta ha lahan sagu di Papua dan 510 ribu ha Papua Barat. Kini, angka tersebut sudah menyusut jauh. Pada 2021, Kementerian Pertanian mencatat hanya ada 58 ribu ha areal sagu di Papua dan 2,8 ribu ha di Papua Barat.

Pada saat yang sama, proyek cetak sawah untuk ditanami padi gencar di Papua sejak pemerintahan Presiden SBY. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, luas lahan panen padi di Papua mencapai 64.985 ha dan Papua Barat 6.388 ha. Lebih luasnya lahan panen padi dibandingkan luas area lahan sagu ini sejalan perubahan konsumsi masyarakat Papua perkotaan yang kini lebih banyak mengeluarkan uang untuk padi-padian.

Merujuk BPS, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat Papua perkotaan dalam seminggu untuk konsumsi beras terus meningkat. Pada 2018, pengeluaran per kapita seminggu sebesar Rp16.443; pada 2021, meningkat menjadi Rp17.235. Sementara pengeluaran untuk pangan lokal seperti umbi-umbian dalam seminggu pada 2021 hanya Rp5.374.

Pergeseran pola konsumsi itu bukan pertama kali terjadi dan akan terus terjadi jika kebijakan pangan masih homogen dan sentralistik. Akhirnya, manusia Indonesia akan terus dijejali nasi sejak bayi, mungkin sampai mati.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ronna Nirmala
10 menit