Doa untuk Mama di Merauke: “Kami Ada. Ketika Mama Menangis, Kami juga Menangis.”

Fahri Salam
14 menit
Mama Yasinta Moiwend dan Rode Wanimbo berjuang membangun dan menguatkan solidaritas lintas batas dan lintas generasi dalam melawan proyek penghancuran tanah adat Papua. (Project M/Betty Adii)

Rode Wanimbo, Ketua Departemen Perempuan Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Jayapura, menceritakan pengalamannya mendukung perjuangan Yasinta Moiwend dari suku Malind di Merauke melawan proyek strategis nasional (PSN) lumbung pangan di tanahnya. Ia meyakinkan pemimpin-pemimpin gereja dan memobilisasi umat di Jayapura untuk melaksanakan doa Jalan Salib pada 10 Desember 2024 dalam rangka Hari HAM Sedunia. 

Setelah menceritakan pengalaman itu, seorang perempuan Malind menghampiri Rode. Ia menggenggam tangannya, dan dengan berlinang air mata mengucapkan terima kasih. Rode sambil tersenyum meyakinkan bahwa perjuangan perempuan di Merauke juga adalah perjuangannya. “Kita ini orang Papua, toh? Meski pemerintah Indonesia bagi-bagi wilayah kita dalam provinsi-provinsi, tapi kita satu di Tanah Papua.”

Kisah ini ditulis berdasarkan cerita yang dilisankan oleh Rode di depan umum dan kepada jurnalis Permata Adinda selama rangkaian acara Solidaritas Merauke 11-14 Maret 2025. Rode telah memberikan izin untuk menuliskan kisah ini dari sudut pandang orang pertama.


ADIK, pertama kali saya bertemu dengan Mama Yasinta Moiwend di Jakarta. Di Jakarta, bukan di Tanah Papua. Pada 22 Oktober 2024, Pendeta Magda Kafiar, Saudara Esther Haluk, dan saya menghadiri rapat yang difasilitasi oleh Yayasan Pusaka.

Sebelumnya, saya mengikuti perjuangan Mama Yasinta dari berita-berita di media sosial. Saya lihat gambar-gambar rekaman mereka lakukan protes di Jakarta. Di Jakarta, saya mendengar suara Mama Yasinta Moiwend mengatakan bahwa tanah dan laut sudah diambil oleh pemerintah bekerja sama dengan perusahaan. Aduh, hati saya tersentuh (terisak)

Mama Yasinta menghampiri saya. Ia bilang begini, “Anak, anak dari mana?” 

Saya sampaikan saya dari suku Lani. Saya dari Wamena, wilayah adat Lapago. Teman Esther juga begitu. Kalau adik pendeta Magda dari Biak, wilayah adat Sairere. 

Kami Protestan. Saya dari Gereja Injil di Indonesia (GIDI). Esther dari Gereja Kemah Injil di Indonesia (KINGMI). Pendeta Magda dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Kami sama-sama berdomisili di Jayapura, tapi dari denominasi yang berbeda. 

Mama Yasinta berkata, “Aduh, anak. Tolong anak pulang ke Jayapura. Ke Wamena. Tolong sampaikan kepada saudara-saudara di sana. Mama-mama di sana. Bahwa kami di Merauke sedang menghadapi masalah besar. ”

Bagi saya, pesan dari Mama Yasinta itu adalah wenenu. Artinya, “pesan penting” di tanah saya berasal. Saya terima pesan itu.

Saya bilang, “Mama, apa yang Mama sampaikan di sini, kami akan bawa pulang. Kami akan sampaikan pada pimpinan gereja kami. Bahwa umat Tuhan di tempat lain sedang tidak baik-baik saja.” 

Kami bertiga ke Jayapura. Kami semua perempuan. Semua pimpinan gereja adalah bapak-bapak. Jadi, kami perempuan harus bicara hati-hati. Kami benar-benar bergumul, bagaimana meyakinkan bapak-bapak kami untuk membuat gerakan spiritual sebagai bentuk solidaritas kita. 

Saya bertemu pimpinan gereja saya, presiden GIDI. Esther dan pendeta Magda juga bertemu dengan pimpinan gerejanya masing-masing. Setelah itu kami bicara dengan Moderator Dewan Gereja Papua, Pendeta Benny Giay. 

Saya bilang, Bapak-bapak, tolong. Bapak-bapak sebagai pimpinan gereja harus memobilisasi jemaat. Kita punya umat saudara-saudara di Merauke ini, mereka sedang melawan perusahaan. Ekskavator itu sudah masuk ke wilayah mereka dan mereka sedang gosok lumpur. Mereka bilang mereka siap tidur di tanah ini. Biar ekskavator melewati tubuh mereka. Tidak apa-apa. Asalkan jangan tanah mereka diambil. Mereka sudah sampai begitu. 

Bapak-bapak, tolong. Bapak-bapak punya kapasitas sebagai pemimpin untuk melakukan sesuatu. Tolong, kita harus turun. Lakukan doa Jalan Salib. Karena kita satu Papua ini satu kesatuan, satu tubuh. Kalau saudara-saudara kita di Merauke sedang mengalami sakit, kita juga harus merasa sakit.

Kami didasari oleh firman Tuhan 1 Korintus 12:26 yang mengatakan jika satu anggota tubuh sakit, anggota tubuh yang lain juga merasa sakit. 

Kejadian 1:28 berkata, “Penuhilah Bumi dan taklukkanlah itu. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, atas burung-burung di udara, dan atas semua binatang yang merayap di Bumi.” 

Berkuasa maksudnya memelihara, mengawasi, mengusahakan. Dan apa yang diperjuangkan oleh saudara-saudara kita di Tanah Anim Ha itu adalah mandat yang Tuhan berikan. Kami perjuangkan agency kami yang telah dirampas oleh negara atas nama pembangunan. 

Mama-mama di Merauke, mereka telah lakukan doa Jalan Salib di kampung-kampung. Mereka punya daerah tanah adat itu mereka tancapkan salib di batas tanah yang perusahaan mau masuk. Salibnya mereka cat warna merah sebagai bentuk protes. Bahwa tanah mereka sedang berdarah-darah. Kami dengar kesaksian: sudah 1.400 kali mereka tanam salib di setiap kampung yang perusahaan mau masuk.

Akhirnya, pada 10 Desember di Jayapura, kami lintas Protestan dan Katolik melakukan doa Jalan Salib. Kami pakai momentum Hari HAM Sedunia. Umat dari berbagai denominasi, mahasiswa, pemuda, semua berkumpul. 

Walaupun doa Jalan Salib, Adik, kami harus minta izin ke polisi. Polisi dengan mereka punya seragam. Polisi dengan mobil-mobil tank. Padahal kami tidak demo, hanya berdoa. Kami rasa kami sedang diintimidasi. Tapi kami tetap lakukan (terisak)

Sebenarnya kami mau lakukan dari Jalan Waena sampai ke Abe, lalu kembali ke lapangan. Ada 16 titik perhentian di jalan raya. Kami ingin menarik massa. Menyampaikan informasi bahwa saudara-saudara kita di Merauke menolak PSN. Ada 2.000 eskavator sedang datang merusak. Tapi, polisi larang. Tidak boleh. Tidak boleh lakukan di jalan raya umum. Alasannya, nanti membuat macet. Mengganggu lalu lintas.

Dua jam kami dipalang oleh polisi di jalan. Dua jam, Adik. Mereka mendikte kata-kata dalam doa kami. “Jangan doa-doa yang ini ya.” Sampai begitu kata-katanya. Saya sampai, ‘Ya Tuhan, kata-kata yang kita mau sampaikan dalam doa pun dibatasi begitu.’ (menangis)

Tetapi tetap kami sampaikan. Kami berdoa: “Tuhan, kami merasa ini program pemerintah yang sebenarnya tidak kami butuhkan. Kami rakyat tidak butuh program ini. Program ini dibuat oleh pemerintah sepihak. Tuhan, kami bingung. Program ini sebenarnya akan mengambil apa yang menjadi harapan kami. Kami hidup sangat bergantung kepada kali, sungai, tanah kami. Tapi dengan proyek ini kami sudah tidak bisa.” 

“Tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kami untuk memelihara, mengusahakan, ciptaan itu. Mandat itu seperti tanggung jawab kami diambil oleh perusahaan, oleh negara. Tuhan, tolong bela hak-hak kami.” 

Kami juga berdoa untuk pengungsi. Raga Kogoya, aktivis juga pembela HAM, berasal dari Nduga; dia sendiri melihat bagaimana mama-mamanya mengungsi dari Nduga jalan kaki ke Wamena. Jadi, kawan Raga berdoa dalam bahasa daerah. 

Dia sampaikan begini, “Tuhan, tanah ini Tuhan berikan kepada kami orang Nduga. Kami tinggal di sini. Nenek moyang kami dikubur di sini. Tulang-tulang mereka dikubur di sini.” 

“Jadi, ketika kami harus meninggalkan kampung halaman kami, kami merasa seperti kami tercabut dari kami punya akar. Kampung halaman kami. Tuhan, sampai berapa lama kami harus begini?”

Saya juga waktu itu berdoa untuk ibu-ibu yang melahirkan di hutan. Di Pegunungan Bintang, ada sekitar 30 ibu-ibu yang harus melahirkan di hutan. Februari lalu, saya ke sana walaupun situasinya belum terlalu aman. Kami membawa obat dan sembako untuk diberikan ke pengungsi.

Itu pertama kali saya lihat dalam hidup saya bagaimana tembakan itu dilepaskan. Granat dilepaskan dalam jarak 400 meter sampai meledak di perkampungan masyarakat. Itu saya seperti … ‘Aduh, trauma berlebihan.’ Saya membayangkan bagaimana ibu-ibu ini, anak-anak kecil ini, mengalami trauma yang dalam sekali.

Selama empat tahun mereka hidup di hutan. Mereka memakan daun-daun pakis muda untuk bertahan hidup. Ada seorang ibu yang melahirkan di hutan sampai dia kasih nama anak bayinya Pengungsi. 

Jadi, Adik, saat konflik bersenjata itu mereka sedang hamil. Dan saya—saya seorang mama dengan dua orang anak. Saya membayangkan bagaimana mereka jalan kaki ke hutan dalam keadaan hamil. Bagaimana mereka bersalin di hutan. Tidak ada air bersih (menangis). Susah membayangkan. 

* * *

SAYA berasal dari Kelila, sebuah distrik di Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua Pegunungan. Di kampung saya itu, tahun 1977, tragedi pembunuhan massal terjadi. Saya lahir pada 1978, satu tahun setelah kejadian. Orangtua saya mengungsi jalan kaki ke Wamena, sekitar 6-7 jam.

Orangtua saya sebenarnya tidak menceritakan kepada saya secara langsung. Mereka tidak mau. Mereka sangat trauma dan mereka tidak mau saya mewariskan trauma itu. 

Tetapi, saya tahu cerita itu ketika saya SMP kelas dua. Setiap libur sekolah, saya jalan kaki ke kampung. Pada saat di kampung itulah saya kunjungi saya punya tanta (tante). 

Kami punya budaya—kami bilangnya leendawi, artinya nyanyian ratapan. Pada saat orang meninggal, keluarga meninggal, biasanya itu dinyanyikan. Ketika keluarga pulang ke kampung, saat libur, mereka juga akan menyanyi. Itu seperti budaya untuk menyambut kedatangan kami. 

Saat saya masuk ke kampung, tanta saya langsung menyambut saya pakai bahasa daerah. Mereka menyanyi. Perempuan dalam suku kami itu ada masalah pergumulan terdalam itu tidak sembarang diceritakan. Mereka memilih kepada siapa mereka cerita. Dan pada saat-saat tertentu. 

Dua tanta saya diperkosa oleh tentara Indonesia, pada 1977. Dalam leendawi itu mereka ceritakan bagaimana perlakuan aparat saat itu. Bagaimana memperkosa mereka. Dan tidak hanya mereka. Ternyata ada banyak perempuan yang diperkosa saat itu. Itu pertama kali saya dengar. 

Lalu, saat libur-libur selanjutnya, baru saya mulai rasa ingin tahu. Saya tanya ke tanta, ke bapak adik (paman), ke saudara-saudara. Mereka cerita sebenarnya pembantaian, pembunuhan, banyak terjadi.

Semua di kampung saya mengungsi saat 1977. Sekarang, itu yang sedang terjadi kabupaten Nduga, Ilaga, Yahukimo, Puncak Jaya, Maybrat. Per Desember 2024, pengungsi internal sudah mencapai 85 ribu. Trauma itu seperti kembali ke saya. 

Dan, dengan situasi Mama Yasinta juga punya perjuangan, itu seperti kami semua di setiap wilayah adat yang ada di Papua ini punya pergumulan. Saya merasa terbebani sekali untuk harus melakukan sesuatu. 

* * *

Gereja di Papua, antara menjadi institusi pembebasan atau turut menindas orang Papua yang terpinggirkan oleh proyek negara Indonesia. (Project M/Betty Adii)

DARI KECIL, saya memang aktif di gereja. Bertumbuh di gereja. Sebelum jadi Ketua Departemen Perempuan GIDI, saya terlibat aktif jadi pengasuh sekolah minggu selama lima tahun. Setelah itu saya menjadi ketua pemuda di jemaat. Lalu sekretaris di pemuda klasis di Jayapura yang membawahi 30 gereja atau jemaat lokal.

Pada 2013, saya dapat kepercayaan jadi ketua departemen perempuan. Saya terima tanggung jawab itu, karena saya merasa gereja satu-satunya institusi di akar rumput yang dipercaya oleh masyarakat. 

Jadi, saya merasa untuk membuat perubahan, saya harus masuk di dalam gereja. Saya merasa kalau saya sebagai perempuan di luar saja, tidak mendapatkan peran dalam gereja, saya tidak bisa membuat banyak perubahan. 

Di Tanah Papua ini, Adik, sampai sekarang perempuan masih dianggap sebagai properti. Di suku-suku pedalaman di Papua, nilai perempuan dipandang sama dengan jumlah babi untuk mas kawin. Kita perempuan dihargai sama dengan lima ekor babi, 10 ekor babi. Itu yang membuat saya sedih. 

Semua mama yang saya kunjungi di kampung-kampung itu selalu berdoa: “Tuhan, kami ini hanya perempuan. Kami ini pembuat dosa pertama.” 

Mereka berdoa seperti apa yang dikhotbahkan di mimbar-mimbar. Perempuan itu disalahkan. Segala macam ajaran itu mengintimidasi perempuan. Secara institusi, gereja sebenarnya memenjarakan perempuan. 

Perempuan banyak pergumulan yang dihadapi, tapi mau cerita ke mana? Kami di budaya Papua, perempuan dilarang bicara di tempat-tempat umum, apalagi di gereja. Gereja saya sangat, sangat konservatif, karena dipengaruhi oleh para pemberita injil yang datang dari negara-negara barat. 

Doktrin-doktrinnya memposisikan perempuan nomor dua. Perempuan tidak bisa menjadi pendeta. Perempuan dipandang tidak layak dalam mengambil pelayanan mingguan; tidak bisa berdoa, tidak bisa memimpin pujian di mimbar.

Saya terinspirasi oleh mama saya. Ia sudah almarhum. Ia lebih radikal dari saya. Pada 2002, untuk pertama kalinya perempuan GIDI berkongres. Saya menyaksikan langsung ibu-ibu, termasuk mama saya, berdiri di mimbar gereja dan bilang, “Kenapa di mimbar ini, kenapa perempuan, tidak boleh berdiri di sini?” 

Pimpinan-pimpinan gereja itu bilang ke mereka, “Kalian ini perempuan-perempuan pemberontak. Kalian harus banyak belajar lagi. Belajar tunduk kepada otoritas.” 

Tetapi mereka menjawab, “Oh, kami hanya tunduk kepada Yesus yang mengajarkan kebenaran.” 

Bapak-bapak bilang, “Jangan bicara itu. Kalian lihat 12 murid Yesus itu ada perempuan, tidak? Semuanya laki-laki. Tidak ada perempuan.” 

Kata ibu-ibu, “Iya, betul semuanya laki-laki. Tapi ada kelompok perempuan yang ikut bersama-sama jalan di belakang pada saat Yesus melayani.” 

Dan memang benar. Yesus itu menghargai perempuan. Dia berbicara kepada perempuan di Samaria, perempuan yang dianggap berdosa. Dia berbicara dengan perempuan-perempuan yang mendapat stigma sosial. Cuma, bapak-bapak ini—aduh

Saya masih kuliah saat itu. Saya lihat bagaimana mama-mama berjuang. Saya bangga mama saya berani melawan sesuatu, berani melawan pemimpin yang tidak berpihak kepada perempuan.

Kami di departemen perempuan GIDI punya program prioritas bercerita dalam lingkaran. Seperti trauma healing. Jadi, program ini adalah ruang aman untuk perempuan bercerita. Pengalaman hidupnya, kisah hidupnya. 

Biasanya kami tim kerja departemen perempuan pergi ke kampung-kampung, kami duduk di lingkaran, baru cerita. Mama-mama cerita terjadi apa di kampung. Dengan begitu, mereka ceritakan apa yang mereka alami setiap hari.

Saya menggunakan hermeneutik “curiga” dalam surat-surat Paulus kepada kitab-kitab tertentu yang bilang perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah. Kita perlu lihat lagi ayat-ayat yang lain, seperti pada Kejadian 1:26-28 yang mengatakan Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupanya. Tidak hanya laki-laki. Perempuan juga. Sama. 

Ayat-ayat itu kami pakai untuk memprovokasi pikiran perempuan. Tuhan memberikan kapasitas yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kami pakai ayat-ayat itu untuk merekonstruksi ulang, supaya tidak menerima sesuatu yang tidak benar. Bahwa yang dikhotbahkan di mimbar-mimbar itu kebohongan (tertawa). Teks-teks ini, kan, ditulis oleh laki-laki. Kita harus membacanya dengan kritis. 

Saya sadar bahwa akan ada benturan, stigma, label yang saya akan dapatkan dari pimpinan gereja. Saya dicap perempuan pemberontak. Ya, memang sedih. Dalam evaluasi tahunan, di depan banyak pemimpin, “Itu tidak boleh. Jangan. Harus tunduk kepada firman Tuhan. Surat ini mengatakan perempuan harus berdiam diri.” 

Lalu, yang paling memberatkan itu saya tidak dari latar belakang teologi. Di perguruan tinggi, saya alumni fakultas keguruan. Kata para hamba Tuhan, pendeta, “Ini ibu tidak belajar teologi.” 

Saya bilang benar, saya bukan dari latar belakang teologi, tapi saya belajar bertumbuh, mengenal Tuhan, membaca firman Tuhan, dan merefleksikan kondisi riil kehidupan. 

Saya terima saja. Saya maknai ini sebagai harga yang harus dibayar. Satu perubahan terjadi ada harga yang harus dibayar. Sebagai orang Kristen, saya percaya ada salib yang harus dipikul. 

Jadi, Adik. Yesus itu berkorban dengan disalib untuk membebaskan laki-laki dan perempuan. Tapi, pengorbanan Yesus belum cukup untuk merayakan perempuan supaya dipandang sama nilainya. Itu yang membuat hati saya sedih. 

Kita perempuan tidak punya gambar diri yang sehat. Kita tumbuh merasa dan menerima benar kita inferior. Itu yang sedang kami bongkar. Nilai kita tidak sebanding dengan nilai binatang atau harta yang dijadikan sebagai mas kawin. 

Kita berharga. Kita memiliki karunia dan potensi. Kita punya agency untuk melakukan apa saja dalam keluarga, di komunitas sosial, di gereja, bahkan di pemerintahan. 

Dalam konteks Merauke, kami bikin doa Jalan Salib untuk menguatkan umat kami di sana. Kami dengar mama-mama di Merauke secara rutin melakukan doa Jalan Salib, tetapi mereka tidak mendapatkan dukungan dari para imam atau pastor. 

Setelah 10 Desember, kami juga melakukan prosesi doa Jalan Salib di Merauke. Saya lihat jelas pada waktu itu hanya ada tiga pastor yang berdiri bersama umat kami. 

Pimpinan uskup di Merauke bilang proyek strategis nasional lumbung pangan adalah program yang mensejahterakan umat. Itu menyedihkan ketika pimpinan gereja punya pernyataan berbeda dengan apa yang umat hadapi dan alami. 

Tidak masalah. Ada gereja-gereja lain yang mendukung perjuangan mama-mama di Tanah Anim Ha. Saya dari Protestan. Kami yakinkan kami punya pimpinan gereja Protestan untuk mendukung apa yang umat Katolik di Merauke alami. 

Kami berdoa dan menangis bersama-sama dengan saudara-saudara kami.

* * *

ADIK TAHU Mama Yosepha Alomang?

Yosepha Alomang adalah seorang perempuan Amungme yang punya areal di mana PT Freeport sedang beroperasi sekarang. Waktu saya kuliah di Universitas Cendrawasih, Jayapura, mungkin tahun 2000-an, saya ke Timika. Mama Yosepha dan yayasannya, Yayasan Hak Asasi Manusia Amungme Kamoro, mengundang saya. Di saat itu saya tidak tahu Timika. Itu pertama kali saya ke Timika. 

Jadi, Adik, Mama Yosepha mengajak kami naik kereta gantung Freeport ke puncak gunung Nemangkawi. Mama Yosepha melihat bagaimana isi gunung-gunung itu sudah diambil semua. Gunung itu seperti kolam-kolam kosong, kolam kering. 

Dia langsung menangis di dalam kereta gantung. Dia bilang, “Aduh, kenapa kalian mengambil isi perut mama saya? Ini kalian sudah memperkosa mama saya.” 

Bagi suku Amungme, Gunung Nemangkawi itu adalah mama. Sumber kehidupan. 

Mama Yosepha badannya sampai gemetar ketika menangis. Rupanya itu baru pertama kali juga dia naik pakai kereta gantung lihat gunung-gunung di atas. 

Mama Yosepha sudah berjuang sejak 1970-an. Ia bersama ibu-ibu menghancurkan pipa-pipa PT Freeport hingga mereka ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tapi mereka tidak putus asa. Terus berulang-ulang kali mereka lakukan sampai mereka pernah halang Bandara Mozes Kilangin. Mereka bakar ban-ban sampai pesawat tidak bisa mendarat. 

Banyak aksi yang mama-mama lakukan di Timika untuk menolak kehadiran PT Freeport. Mama Yosepha itu sampai 15 kali dimasukkan ke dalam penjara.

Di situlah hati saya tergugah. Mendapat panggilan untuk ada dalam perjuangan. Dia perempuan yang mempengaruhi hidup saya. 

Jadi, Mama Yasinta mengingatkan saya dengan Mama Yosepha. 

Adik, ini (menunjuk noken yang Rode gantungkan di kepalanya) dalam suku saya adalah yum. Yum adalah simbol harapan. Simbol kehidupan. Karena ketika mama-mama kami melahirkan, mereka akan memasukkan kami ke dalam yum, untuk memastikan anak bayinya aman dan merasa hangat. 

Setiap hari mama-mama ke kebun dan membawa pulang ubi, sayur, keladi, buah-buah ke dalam noken ini, untuk memastikan anak-anak dan suami ada makanan setiap hari. 

Saya ingin menyampaikan kepada mama-mama yang berada di Tanah Anim Ha: mereka tidak sendiri. Kami ada. Kami akan berusaha. 

Sebagai perempuan, ketika mama menangis, kami pun menangis. Karena kami memaknai gunung, laut, tanah, sebagai mama kami. 

Ketika perusahaan-perusahaan masuk, itu adalah tindakan memperkosa mama kami. Dan kami akan mempertaruhkan hidup kami untuk melindungi mama kami yang sedang diperkosa. 

Nagalomini, nogobamini, kinogorakemo. Niname Papua, ninangwen Papua yi, yongga-yongga tumaruwok o. 

Bapak-bapak dan Mama-mama, adik dan kakak sekalian, kalian di Tanah Anim Ha tidak sendiri. Kami ada bersama kalian. Papua rumah kita. Mari bersama-sama menjaga Papua, tanah kita.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
14 menit