Kisah-kisah tentang kondisi tidak manusiawi yang dialami nelayan migran sudah lama dan sering beredar. Anak buah kapal dari Indonesia di kapal-kapal asing di laut lepas bekerja dalam kondisi minim perlindungan dan sarat kekerasan. Kondisi kerja buruk, jam kerja berlebihan, upah tidak dibayarkan, hingga terjadi dampak kematian pada ABK kapal ikan.
Toh, itu tidak menyurutkan banyak pemuda, terutama dari keluarga miskin, untuk menjadi ABK. Iming-iming upah lebih tinggi dalam mata uang asing dari perusahaan-perusahan penyalur tenaga kerja di pesisir utara Jawa Tengah, seperti di Tegal dan Pemalang, terdengar lebih manis ketimbang jerat kemiskinan. Kalaupun tidak punya jaminan, mereka memperoleh kemudahan pengurusan dokumen seperti paspor, visa, dan buku pelaut serta pelatihan dasar dan akomodasi dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Mereka tidak perlu repot berurusan dengan birokrasi. Semuanya dipegang perusahaan. Itu diperhitungkan sebagai pinjaman yang dilunasi dengan pemotongan gaji selama 6 -8 bulan pertama kerja mereka. Potongan itu sedemikian besar sampai-sampai tak menyisakan jumlah gaji per bulan sedikitpun.
Dari jeratan satu, mereka masuk ke jeratan lain. Di laut lepas, mereka terisolasi dalam kurun waktu lama. Di laut lepas, kapal-kapal asing ini tidak terjangkau pengawasan hukum. Kisah-kisah pun berulang.
Eksploitasi terjadi sementara mereka sulit bahkan tidak mungkin melarikan diri. Kalaupun beruntung pulang, mereka mendapati diri tanpa uang. Penanganan hukum belum berpihak pada mereka. Agen-agen nakal bisa saja masuk bui, tapi hak mereka tetap tidak terpenuhi.
Julkifli
“Mending aku mati dihajar sama orang daripada aku mati kelaparan. Siapa yang takut silakan kerja. Tapi tanpa (mengisi) perut, nggak mungkin kamu kuat kerja,” kata Julkifli ke para ABK Indonesia.
Mereka telah bekerja dari jam 23.00 hingga 16.00 tanpa diberi makan. Para ABK Indonesia mengunci diri di dalam kamar hingga kapten kapal menggedor-gedor pintu.
Kapten membujuk Julkifli dkk untuk bekerja tapi mereka bergeming. Bahkan setelah kapten memberikan roti, para ABK memilih tidur. Itu puncak kekesalan Julkifli dkk setelah berbulan-bulan diperlakukan semena-mena dari kru kapal Fu Yuan Yu 706.
Keadaan di kapal sedemikian mengenaskan sampai-sampai untuk minum, mereka menampung air tumpahan pendingin ruangan setelah penampungan air minum di palka tercemari solar.
Masalah lain menyusul saat kepulangan melalui Singapura. Kapten kapal berkata uang gaji kapal (on boat) untuk para ABK sudah ditransfer ke perusahaan. Ketika dikonfirmasi, PT Bahari Kru Manajemen Tegal, perusahaan yang memberangkatkan mereka, mengaku tidak tahu mengklaim uang dibawa kabur agen China.
Tiba di Indonesia, Julkifli baru mengetahui uang gaji delegasi Rp24 juta untuk sembilan bulan kerja tidak pernah masuk ke rekening keluarganya di Ambon.
Julkifli mengenal PT Bahari melalui agen yang datang ke kampung halamannya mencari tenaga kerja. Sebelum berlayar dengan Fu Yuan Yu 706, ia sempat tinggal cukup lama di rumah pemilik perusahaan. Ia turut membangun bangsal tidur untuk ABK di area belakang rumah tanpa bayaran.
Dua bulan menunggu pemenuhan haknya, Julkifli ditawari PT Bahari bekerja di kapal ikan lokal Korea Selatan disertai janji pelunasan gaji. Kapal ikan lokal adalah kapal yang beroperasi di wilayah perairan negara bersangkutan. Saat itu Julkifli baru menerima Rp18 juta. Tawaran itu ia terima.
“Pas sampai di Korea, kagetnya kami begitu diantar ke pelabuhan, kok kapalnya kapal China? Mau gimana lagi, sudah di situ,” katanya.
Pada Oktober 2019, Julkifli naik kapal Hai Feng Long 6 menuju perairan dekat Argentina dan Peru. Salah satu awak kapal Andre Marthalessi, jatuh sakit. Berawal dari infeksi di jari, sekujur tubuhnya bengkak. Walaupun ada obat-obatan, itu bukan fasilitas yang disediakan, tapi harus dibeli.
“Dia cuma dikasih vitamin, padahal ada ampisilin,” kata Julkifli.
Andre Marthalessi dipindahkan ke kapal Hai Feng Long 5 saat kedua kapal merapat untuk membagi perbekalan.
Julkifli dkk setiap saat menanyakan kondisi Andre ke kapten. Mereka mendesaknya membawa Andre ke darat untuk perawatan, hingga suatu hari kapten menyodorkan surat kepada Julkifli dan dua kawannya untuk ditandatangani. Mereka dianggap perwakilan ABK karena bisa berkomunikasi secara lisan dengan kru China.
“Isi suratnya kami nggak paham karena tulisan China. Cuma kapten mengatakan, ‘Ini kalian tanda tangan buat persetujuan (Andre) dibawa ke darat.’ Lalu kami tanda tangan,” katanya.
Sekitar sebulan kemudian, saat kedua kapal merapat lagi, ABK Indonesia di Hai Feng Long 5 menunjukkan video kepada Julkifli. Andre tewas, dan jenazahnya dilarung ke laut. Julkifli kesal dan memaki-maki mereka.
“Masak kalian badan besar-besar gini biarkan mereka larungkan orang Indonesia?”
Pada Juni 2021, Julkifli dipulangkan melalui Singapura. Ia menemukan pesan ibu Andre di akun media sosial. Keduanya berkomunikasi. Rupanya, orangtua Andre pernah didatangi PT Bahari Kru Manajemen; klaimnya Andre meninggal setelah sakit digigit cumi beku. Jenazahnya dilarungkan.
Orangtua Andre didesak menandatangani surat, padahal saat itu jenazah Andre masih di palka kapal Hai Feng Long 5. Kapten kapal masih menunggu kejelasan apakah jenazah akan dipulangkan atau tidak. Setelah kapten menerima surat persetujuan orangtua melalui PT Bahari, jenazah Andre dilarungkan.
ABK Indonesia di Hai Feng Long 5 membiarkan pelarungan karena orangtuanya menyetujui.
“Kamu yang namanya Julkifli, ya?” tanya ibu Andre. “Kenapa ada tanda tangan kamu dalam surat yang isinya persetujuan untuk melarungkan almarhum?”
Julkifli terkesiap. Surat yang pernah ia tandatangani bersama kedua rekannya digunakan sebagai dalih pelarungan oleh PT Bahari.
* * *
Didi
Enggan lama menunggu panggilan kerja, Didi memutuskan menjadi anak buah kapal. Ini cara relatif mudah dan cepat memiliki pekerjaan bagi lulusan sekolah menengah kejuruan seperti dirinya. Namun, laut tidak ramah kepada pemula seperti Didi.
“Saya muntah-muntah di kapal. Sempat frustasi, pengin pulang. Tapi teman mengadem-ademi biar semangat,” kenang Didi.
Didi, yang diberangkatkan PT Puncak Jaya Samudra Pemalang pada 2017, menjadi ABK kapal pancing cumi Chang Shun 9 dengan wilayah operasi di sekitar perairan Argentina dan Peru.
Gajinya USD300 (gaji delegasi), setahun kemudian naik menjadi USD350. Sementara gaji kapal (on boat) USD50 per bulan. Itu belum termasuk potongan oleh perusahaan yang menalangi semua urusan dokumen.
“Kalau bikin paspor sendiri dalam nominal rupiah sebenarnya murah. Berhubung ikut kantor, biayanya lebih mahal. Masalahnya kalau bikin sendiri itu di imigrasi susah, diperibet. Kemarin itu sistemnya potong gaji. Potongannya 600 dolar, dicicil enam bulan,” jelasnya.
Didi menyelesaikan kontrak kerja 24 bulan. Namun, ia tidak diberi gaji kapal USD50 per bulan.
Pada 2020, Didi kembali berlayar melalui PT Gigar Marine Internasional Tegal. Berbekal pengalaman kerja, gaji totalnya naik menjadi USD420 per bulan. Potongannya USD750, dicicil tiga bulan.
Didi berangkat dari Tegal bersama ABK dari PT Makmur Jaya Mandiri menuju sebuah mes penampungan ABK di Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Ia pernah ke sana saat diberangkatkan oleh PT Puncak Jaya Samudra, tiga tahun sebelumnya. Di situ ia mendapati akan ditempatkan di kapal pancing cumi Lu Huang Yuan Yu 117.
“Saat mendaftar, saya mengobrol dengan Pak Harsono (Direktur PT Gigar) meminta job kapal jaring, bukan cumi. Justru malah diberangkatkan ke kapal cumi. Kan saya dibohongi. Saya sempat kecewa. Tiket sudah turun, sudah di Jakarta. Ya mau gimana lagi? Sudah telanjur,” katanya.
Didi baru bekerja selama enam bulan saat tim gabungan TNI AL, polisi, Bakamla, KPLP dan Bea Cukai mengamankan Lu Huang Yuan Yu 117 dan 118 di perairan Kepulauan Riau terkait tindak penyiksaan. ABK asal Lampung, Hasan Afriadi, ditemukan tewas di Lu Huang Yuan Yu 118.
Harsono diadili sebagai salah satu perekrut ABK terkait kasus ini. Ia dihukum penjara 1 tahun 4 bulan. Menghindari restitusi, ia memilih hukuman badan.
Didi pun terkatung-katung.
Tidak ada kejelasan pembayaran gaji kerja selama enam bulan. Paspor dan buku pelautnya belum kembali ke tangannya setelah menjadi barang bukti pengadilan.
“Seharusnya dari LPSK yang bantu (ambil). Tapi, saya disuruh menunggu dua perkara dan anggarannya keluar, baru turun ke Batam,” kata Didi.
Kini Didi membantu usaha keluarga, menjual gorengan di Pemalang, sambil tetap menyimpan mimpi melaut lagi.
“Rencana saya kalau ada modal ingin masuk Korea. Memang modalnya (charge) besar. Kurang lebih Rp100-160 juta. Kalau nggak ada biaya, biasanya sertifikat rumah untuk jaminan.”
* * *
Syamsul
Syamsul pusing. Sejak berhenti jadi anak buah kapal pada 2015, sudah lima tahun ia menganggur. Ada istri dan empat anak yang harus dinafkahi. Kabar ada perusahaan baru yang siap memberangkatkan ABK dari seorang teman menjelma jadi titik terang.
“Daripada nganggur, sudah berangkat aja. Kapal apa kek, yang penting judulnya berangkat,” katanya.
Perusahaan itu, PT Makmur Jaya Mandiri Tegal, menyanggupi untuk mengurus paspornya yang sudah mati beserta dokumen-dokumen lain. Dengan lima tahun pengalaman melaut, usia Syamsul yang mendekati 50 tahun tidak dipandang sebagai halangan bagi perusahaan.
Dua bulan kemudian, Syamsul berangkat dari Tegal ke mes penampungan ABK di Kampung Rambutan, Jakarta Timur, bersama ABK dari PT Gigar Marine Internasional. Ia satu-satunya ABK dari PT Makmur. Dan ia satu-satunya yang memiliki perjanjian kerja laut.
Dari dokumen perjanjian itu, ketahuan bahwa mereka akan ditempatkan di kapal Lu Huang Yuan Yu 117. Di bandara, mereka bertemu ABK dari PT Mandiri Tunggal Bahari yang akan ditempatkan di kapal Lu Huang Yuan Yu 118.
“Tidak sesuai kerjanya. Kerja dari jam 6 sore sampai pagi, sarapannya cuma nasi dan satu cabai kukus.”
Syamsul tidur bersama 11 ABK dalam ruangan sempit beralaskan tas masing-masing, sementara kru China memperoleh 1 kamar per orang. Menyaksikan perlakuan kasar mandor kepada para ABK, ia merasa diselamatkan pengalamannya.
“Ke ABK yang belum pandai (non-pengalaman), mereka berani mukul. Kalau ada yang keliru, mandornya langsung main gaplok.”
Ia mendengar lebih banyak perlakuan kasar di kapal Lu Huang Yuan Yu 118, karena banyak ABK non-pengalaman di situ, katanya.
Kapal Lung Huang Yuan Yu 118 membawa jenazah Hasan Afriadi saat diamankan tim gabungan otoritas Indonesia di perairan Kepulauan Riau. Lung Huang Yuan Yu 117 turut diamankan.
Syamsul baru enam bulan bekerja saat itu. Ia hanya menerima Rp5 juta, alias gaji sebulan. Berkali-kali ia menagih ke PT Makmur Jaya Mandiri.
“Ngomongnya malah nggak enak: ‘Kan saya sudah nggak tahu menahu. Kok masih tanya terus?’” katanya menirukan jawaban perusahaan.
Syamsul kembali ke titik awal, pengangguran.
Ia dan keluarga terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak sanggup membayar. Ijazah sekolah anaknya ditahan karena tunggakan uang sekolah selama tiga tahun senilai Rp7 juta.
Kini Syamsul sekeluarga tinggal di sebuah kios di pinggir kota Tegal. Seseorang berbaik hati meminjamkan kios yang dimanfaatkannya untuk berjualan kelapa. Hasilnya tidak seberapa.
“Saya mau ikut nelayan lokal di Tegal sini supaya ada uang,” ujarnya, menerawang.
* * *
Rizki
“Cari kerja susah,” kata Rizki.
Ia pun menyambar tawaran kerja sebagai kuli di Jakarta setamat SMK pada 2017. Namun, pendapatan Rp100.000 per hari tak cukup membantu orangtuanya. Ia anak kedua dari lima bersaudara.
Seperti banyak pemuda Tegal lain, ia mencoba peruntungan menjadi ABK di kapal asing, terpikat gaji dolar. Pada 2018, Rizki diberangkatkan oleh PT Bahari Kru Manajemen ke Busan, Korea Selatan.
Namun, ia malah bekerja di kapal pancing cumi berbendera China, Shun Hang 8, dengan wilayah operasi di sekitar perairan Jepang selama enam bulan. Gajinya USD300 (gaji delegasi USD250 & gaji kapal USD50) dengan potongan US750 dari perusahaan untuk pengurusan dokumen. Uang gaji ditransfer ke rekening orangtuanya.
Kerja di laut selama enam bulan belum membawa perubahan nasib. Rizki sempat kembali menjadi kuli di Jakarta.
Atas ajakan kawan, ia mencoba lagi menjadi ABK melalui PT Gigar Marine Internasional. Pada 2019, ia diberangkatkan ke Singapura. Ia kecewa ketika mendapati malah naik kapal pancing cumi lagi. Tidak sesuai kesepakatan.
“Harusnya kapal trawl,” katanya
Rizki naik kapal Han Rong 358. Kapal ini beroperasi di perairan sekitar Sri Lanka dan Oman dengan ABK dari Indonesia, Filipina, dan Myanmar.
Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi para ABK adalah air bersih. Air minum yang tersedia adalah sulingan air laut. Sementara kru China minum air mineral.
“Dalam waktu seminggu, botol (penampung) berkerak, warna kuning. Sebelum kejadian Daroni, air nggak pernah dipanaskan. Setelahnya, kapten kasih pemanas untuk masak air,” katanya.
Daroni adalah ABK yang diberangkatkan oleh PT Puncak Jaya Samudera, yang tewas di atas kapal Han Rong 363 pada 19 Mei 2020.
Selain Daroni, Riswan, yang diberangkatkan PT Mega Pratama Samudera, tewas di atas kapal Han Rong 368 pada 22 Juni 2020. Keduanya dilarung ke laut tanpa izin keluarga pada 29 Juli 2020.
Rizki sempat mengenal Daroni saat kapal mereka saling merapat. “Daroni waktu itu nggak enak badan dan minta dikerok,” katanya.
Dari sesama ABK, Rizki memperoleh kabar PT Gigar ditutup.
Direktur PT Gigar, Harsono, ditangkap polisi dan ditahan di Batam terkait kasus penyiksaan di kapal Lu Huang Yuan Yu 117 dan Lu Huang Yuan Yu 118. Hasan Afriadi asal Lampung meninggal di kapal Lu Huang Yuan Yu 118 dengan bekas luka penyiksaan.
Setelah lima belas hari perjalanan dari perairan Sri Lanka, rombongan ABK Indonesia di sembilan armada kapal Han Rong diturunkan di perairan antara Batam dan Singapura. Setelah setengah jam perjalanan ke darat dengan speedboat disambung sampan, mereka dibawa dengan bus ke sebuah wisma di Tanjung Balai.
Rizki tidak tahu siapa yang menjemput mereka. Hanya ada seseorang yang mengaku disuruh oleh ‘bos’ untuk mengurus kepulangan ke Indonesia. Rizki menyesalkan proses kembali ke Indonesia tidak melalui jalur resmi.
“Saya berangkatnya (ke luar negeri) resmi, tapi pulangnya nggak,” katanya.
Setelah bekerja selama 21 bulan, masih ada sisa gaji Rizki yang belum dibayar, termasuk gaji kapal. Gaji yang sudah dikirimkan ke rekening pun ternyata kurang dari seharusnya. Total yang belum dilunasi lebih dari Rp40 juta.
Beberapa waktu lalu, Rizki mendengar kabar Harsono sudah kembali ke Tegal. “Malam-malam itu, dia keluar dari rumah orangtuanya. Saya kejar, tapi kehilangan jejak.”
* * *
Rudi
“Risikonya berat,” kata saudara Rudi mewanti-wanti saat ia mengutarakan keinginan menjadi anak buah kapal.
Rudi tidak memedulikan itu. Ia ingin suasana baru. Sudah tiga tahun ia menjadi satpam perusahaan di Karawang. Saudaranya bekerja di PT Karunia Bahari Samudera Pemalang, agen penyalur ABK.
“Bukan saudara saya yang meminta, tapi dari hati saya sendiri pengin masuk situ,” katanya.
Dibantu saudaranya, Rudi mendaftar sebagai ABK pada November 2018, kemudian diberangkatkan pada Februari 2019. Tujuannya pelabuhan Busan, Korea Selatan.
“Kaget saya. Sampai kapal, kok China?” kata Rudi.
Ia sempat menakut-nakuti seorang rekan ABK jangan sampai dapat kapal China. “Saya yang ngomong, saya yang kena,” tambahnya.
Para ABK dari PT Karunia dibagi ke dua kapal penangkap ikan tuna, Long Xing 629 dan 630. Rudi ditempatkan di Long Xing 630, yang mandornya ringan tangan. Ada ABK salah sedikit, si mandor langsung menampar atau memukul.
“Makanan parah betul. Ikan direbus doang. Kotorannya nggak dibersihkan. Sayurnya… susah ngomongnya.”
Dengan kekerasan fisik dan makan minum seadanya, para ABK dieksploitasi bekerja 18 jam sehari, bahkan saat sakit demam seperti dialami Rudi.
“Saya malah dihukum tarik bola (pelampung tali pancing long line). Biasanya satu orang 10 bola. Saya 50 bola sendiri,” katanya.
Di tengah situasi itu, dua ABK yang disalurkan PT Karunia tewas. Sepri tewas di kapal Long Xing 629 pada 22 Desember 2019, dan Ari tewas pada 30 Maret 2020 setelah dipindah ke kapal Tian Yu 8. Keduanya dilarung ke laut dengan dalih khawatir menularkan penyakit. Surat persetujuan pelarungan dibikin belakangan oleh PT Karunia.
Kisah pelarungan ABK Indonesia ini viral setelah dipublikasikan media Korea Selatan. Tiga dari empat perusahaan penyalur ABK ke kapal Long Xing 629 diseret ke meja hijau. PT Karunia satu-satunya yang lolos dari jerat hukum.
Setelah 20 bulan di laut lepas, Rudi menginjakkan kaki di tanah air pada 9 November 2020. Malangnya, PT Karunia belum melunasi gajinya. Dengan uang seadanya, Rudi menyewa kios kecil di Pemalang dan berjualan jamu. Ia butuh hidup sambil terus menagih pelunasan gajinya.
Rudi meminta bantuan Serikat Buruh Migran Indonesia Tegal untuk mendapatkan haknya. Pada 25 Oktober 2021, Rudi mendatangi kantor PT Karunia Bahari Samudera didampingi Ketua SBMI Tegal, Zainudin. Perusahaan akhirnya menyanggupi pelunasan gaji Rudi sebesar Rp40.372.500. Penyerahan dilakukan di kantor Dinas Tenaga Kerja Pemalang.
Malam itu Rudi bakar ayam. Setelah setahun pulang dengan selamat, ia baru bisa merayakannya.
Laporan ini adalah serial #PerbudakanABK yang didukung oleh Greenpeace Indonesia