ABK Mencari Keadilan di Tangan Bareskrim Polri: Dari Dugaan Pemerasan oleh Penyidik Satgas TPPO hingga Penyelidikan Diklaim Berlarut-larut

Fahri Salam
14 menit
ABK
Sejumlah ABK Indonesia di kapal Hai Feng Long 6. (Project M/Julkifli)
  • Seorang penyidik dari Satgas tindak pidana perdagangan orang diduga memeras pemilik perusahaan penyalur ABK (manning agency).
  • Ratusan kasus perbudakan ABK dilaporkan setiap tahun, tapi kelanjutannya hingga ke proses hukum minim dilaporkan ke publik.

Salah seorang penyidik dari satuan tugas tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang bekerja di bawah Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, diduga terlibat pemerasan saat menyelidiki kasus dugaan perbudakan anak buah kapal (ABK). Secara institusi, Satgas TPPO juga disorot karena kinerja mereka menangani ratusan kasus perdagangan orang yang menimpa ABK dituding berlarut-larut bahkan dibiarkan tanpa kejelasan.

Muasal dugaan itu bermula ketika penyidik mengirim surat pemanggilan kepada direktur PT Anugerah Atlantik Nusantara, perusahaan penyalur ABK di Tegal, Jawa Tengah. Ia memohon kepada direktur bersangkutan agar “dapat menugaskan satu pegawainya” mendatangi Mabes Polri untuk “memberikan keterangan sebagai saksi serta membawa data terkait perekrutan dan penempatan ABK atas nama Suyitno”.

Dalam surat itu, yang didapatkan tim kolaborasi Project Multatuli dan Tirto, tertera agar perwakilan PT Anugerah mengonfirmasi kehadirannya dengan menghubungi AKP A. Henry Prihantoko, penyidik Satgas TPPO, dan penyidik pembantunya, Bripka Maulana disertai nomor kontaknya.

Surat berkop Bareskrim Polri itu dikirim pada 27 April 2021. Orang pertama yang menerima surat itu adalah Muhamad Arifin, manajer operasional PT Anugerah Atlantik Nusantara. Pemilik sekaligus komisaris perusahaan adalah Sudin Riyanto, sementara direkturnya saat itu adalah Iwan Martikno.

Arifin, yang juga keponakan Sudin, segera menyampaikan isi surat itu kepada pamannya. Ia menyoroti beberapa kejanggalan dalam surat tersebut.

Surat itu menulis keliru lokasi perusahaan berada di Pemalang. Kekeliruan yang mungkin fatal adalah dugaan PT Anugerah merekrut Suyitno. Kenyataannya Suyitno diduga direkrut oleh PT Bintang Benuajaya Mandiri, manning agency berlokasi di Pemalang.

“Ini bukan ABK kita, alamat perusahaan pun salah. Ngapain ngurusin?” kata Arifin. “Dan kalau disuruh bawa data, yang mau dibawa data apa? Suyitno bukan ABK kita,” protesnya.

Arifin menyarankan Sudin mengabaikannya.

Sekalipun begitu, Sudin tak mengacuhkan peringatan Arifin. Alasannya, ia keburu ketakutan karena tersandera kesalahannya sendiri: Perusahaannya belum memiliki surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal, biasa disingkat SIUPPAK, aturan wajib untuk setiap manning agency yang diberlakukan Kementerian Perhubungan sejak 2013.

Sudin mengontak nomor ponsel via pesan WhatsApp yang tercantum dalam surat Bareskrim tersebut. Nomor itu terhubung ke Bripka Maulana. Ia mengklarifikasi kekeliruan Satgas TPPO, termasuk kesalahan alamat perusahaan. Tapi Maulana membalas, “Kami sudah paham dengan tugas saya.”

Maulana mengharapkan kedatangan Sudin ke Bareskrim. Meminta Sudin membawa legalitas perusahaan dan data ABK atas nama Suyitno dan Sura Hidayat. “Ada dan tidaknya [data], datang saja dulu,” tulis Maulana. “Saya ambil keterangan Pak Sudin.”

Kepalang takut dan panik, Sudin akhirnya meminta Iwan Martikno agar memenuhi proses pemanggilan dari Bareskrim. Kemudian, Iwan mengenalkan Muhadjirin, pengacara dari lembaga swadaya masyarakat bernama Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia, kepada Sudin untuk mendampinginya.

Dari Tegal, Iwan dan Muhadjirin pergi ke Jakarta. Mereka bertemu dengan Bripka Maulana di Ruang Satgas TPPO lantai 4 Gedung Bareskrim Mabes Polri.

Menurut cerita Iwan, ia sudah berusaha menyampaikan bahwa Suyitno bukan ABK yang direkrut PT Anugerah Atlantik Nusantara. Tapi ia mati kutu saat Bripka Maulana menyebut bahwa PT Anugerah belum punya SIUPPAK.

Sepulang dari pertemuan itu, Iwan dan Muhadjirin justru meminta Sudin menyiapkan Rp300 juta agar proses penyelidikan tidak diperpanjang.

Sudin kaget. Tapi juga kelimpungan. Sambil menangis, Sudin menelepon Muhadjirin agar angkanya diturunkan.

Muhadjirin lantas mengontak Bripka Maulana, “Klien … benar-benar kering. Sudah pinjam ke sana sini, kesanggupannya hanya setengahnya. Mohon izin, mohon petunjuk.”

“Waduh, katanya sudah oke, Bang,” balas Maulana via pesan WhatsApp kepada Muhadjirin. “Saya sudah sounding ke pimpinan. Saya bilang sudah oke. Kalau tiba-tiba ada perubahan, saya dianggap main sendiri nanti. Daripada malu, lebih baik zonk aja, Bang. Nggak usah sama sekali.”

Meski begitu, belakangan disepakati Sudin harus menyiapkan Rp100 juta.

Ketakutan akan diseret ke jalur hukum, Sudin pun pontang-panting mencari pinjaman. Ia akhirnya meminjam Rp100 juta ke Muhamad Arifin, keponakannya dan karyawan PT Anugerah. Arifin menyerahkan Rp100 juta dalam pecahan Rp100 ribu kepada Sudin. Peminjaman ini tanpa kuitansi.

“Saya mau memberi pinjaman itu karena Pak Sudin adalah saudara saya. Bilangnya Pak Sudin ke saya, ‘Mabes minta segitu’ untuk kasusnya,” kata Arifin kepada Project Multatuli dan Tirto pada 25 Januari 2022. “Lihat muka Pak Sudin kasihan saat itu. Ketakutan. Setelah itu saya enggak tahu lagi urusannya.”

Dugaan Penyerahan Rp100 juta di Tamini Square, Jakarta Timur

Selasa, 11 Mei 2021, sehari sebelum Lebaran, Sudin Riyanto dan Iwan Martikno berangkat ke Jakarta menumpang mobil operasional kantor, dengan membawa Rp100 juta dalam kantong kresek hitam, dikendarai sopir mereka bernama Sodikin.

Pengacara mereka, Muhadjirin, sudah berangkat lebih dulu. Tempat kerjanya, Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia, berkantor pusat di Pinang Ranti, Jakarta Timur. Di kantor itulah mereka bertemu Muhadjirin, yang tektokan dengan Bripka Maulana untuk mengatur penyerahan uang.

Sudin mengira akan bertemu dengan Maulana di kantor Bareskrim, tapi Muhadjirin menyampaikan pertemuannya di Tamini Square, Jl Taman Mini, Pinang Ranti. Ia mencium gelagat aneh, tapi menuruti saja arahan Muhadjirin.

Sodikin mengantarkan Sudin, Iwan, dan Muhadjirin ke Tamini Square. Mereka makan siang terlebih dulu di sebuah warung makan Padang di seberang pusat perbelanjaan tersebut. Antara jam 2-3 siang, di lokasi parkir mal, transaksi itu pun terjadi.

Sodikin mengisahkan ia memarkir mobilnya bersebelahan dengan mobil yang dikendarai Bripka Maulana. Memilih lokasi di pojokan parkir, Sudin keluar bersama Muhadjirin, menghampiri mobil Maulana sambil membawa kantong kresek berisi Rp100 juta, lalu menaruhnya di tengah jok belakang.

“Komandan, uangnya saya taruh di sini,” kata Sudin.

Transaksi itu berjalan cepat.

Sodikin mengisahkan saat ia keluar dari mobil, ia melihat mobil yang dikendarai Maulana langsung pergi. “Dia pakai kacamata hitam, pakai baju biasa. Setelah terima duit, kelihatan bingung. Terus lari.”

Ia berkata mobil yang dikendarai Bripka Maulana adalah Honda HR-V warna merah, nomor pelatnya tidak tahu, hanya ingat nomor seri F (Bogor), kata Sodikin kepada Project Multatuli dan Tirto pada 23 Oktober 2021. (Dicek via aplikasi penanda nomor kontak, tertera informasi pelat nomor lengkap mobil HR-V yang dikendarai Maulana. Dicek ke situsweb Bapenda Jabar, memuat informasi kendaraan Honda HRV RU1 1.5 E CVT CKD, tahun 2019, berwarna merah.)

ABK
Lokasi parkir Tamini Square tempat Bripka Maulana, penyidik pembantu Satgas TPPO, diduga menerima uang Rp100 juta. (Tirto/Reja Hidayat)

Melapor ke Propam

Setelah menyerahkan uang, Sudin pulang ke Tegal dengan perasaan kalut. Ia merasa ada yang salah.

Ia menuduh Iwan Martikno, yang notabene Direktur PT Anugerah Atlantik Nusantara, telah menjerumuskannya ke situasi yang tidak seharusnya ia alami. Ia juga marah kepada Muhadjirin, tapi ia lebih marah pada diri sendiri kenapa gampang percaya kepada orang yang dikenalkan Iwan itu.

Puncaknya, ia memecat Iwan. Pada 14 Juli 2021, ia mengajukan perubahan akta notaris untuk perusahaannya. Kini Sudin sendiri yang menjabat direktur, sementara komisarisnya dijabat Leli Lutfianah.

Sudin juga menyingkirkan Muhadjirin.

Iwan berkata kepada Project Multatuli dan Tirto bahwa ia tidak lagi di PT Anugerah karena ada “konflik internal” dengan Sudin.

Meski begitu, menyingkirkan orang-orang yang sempat ia percayai, tak mengubah bahwa Sudin telah berutang kepada Muhamad Arifin, yang terus menagihnya. Sudin berkata hidupnya stres karena dilanda utang, belum lagi istrinya sakit-sakitan karena masalah ini.

Sudin bisa saja mendiamkan dugaan pemerasan oleh penyidik Satgas TPPO. Tapi ia memilih melaporkannya ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri pada 31 Juli 2021.

Karena tindakannya inilah, ia menghadapi ancaman.

Bripka Maulana meneleponnya pada 5 Agustus 2021, mencak-mencak kepada Sudin. “Kamu mau fitnah saya menerima Rp100 juta?” Sudin menirukan ucapan Maulana.

Tapi, Sudin mendesak balik Maulana untuk mengembalikan uang tersebut. Sudin berkata ia mempunyai bukti dan saksi.

Telepon kemudian dimatikan. Nomor ponsel Sudin pun kemudian diblokir.

Masih pada tanggal yang sama, Sudin diundang untuk segera datang ke Jakarta esok harinya untuk menjelaskan secara langsung kronologi penyerahan uang. Kabar itu diterima Sudin dari Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia Tegal, Zaenudin, yang berkontak dengan salah satu atasan si penyidik di Satgas TPPO.

Dalam percakapan lewat WhatsApp dengan atasan penyidik itu, Sudin meyakinkan pihak perusahaan siap bertemu langsung untuk membuktikan dia telah memberi uang Rp100 juta.

Si komandan membalas pesan Sudin dan menerima tawaran bertemu langsung di Jakarta. “Pihak perusahaan bawa saksi, dokumen atau bukti-bukti, biar saya bisa yakin anggota saya melakukan kesalahan,” tulis si komandan itu via WhatsApp dengan Sudin pada 7 Agustus 2021.

Sudin enggan menunda pertemuan. Pada 8 Agustus, Sudin bersama Sodikin dan Zaenudin pergi ke Jakarta untuk menemui salah satu atasan penyidik itu.

Mereka bertemu di sebuah tempat makan di areal Taman Makam Pahlawan Kalibata sekitar pukul 12.00. Pertemuan itu berlangsung selama dua jam. Sudin memperlihatkan semua bukti soal pemberian uang itu kepada penyidik, ditambah kesaksian Sodikin.

“Saya berani sumpah mubahalah kalau saya berbohong, berarti saya bunuh diri. Saya mencemarkan nama baik Polri kalau begitu,” kata Sudin mengulang ucapannya yang pernah ia sampaikan kepada komandan dari penyidik Satgas TPPO Bareskrim, lewat telepon, tak lama setelah Sudin mengirim surat ke Propam.

Lima hari sesudah pertemuan di Kalibata, atasan dari penyidik kembali menghubungi Zaenudin. Sudin diminta untuk lekas menyelesaikan masalah dengan datang langsung ke kantor Mabes Polri. Namun Sudin menolaknya karena tidak ada undangan resmi.

Selain itu, Sudin menghadapi ancaman dari Muhadjirin. Pada 16 September 2021, Muhadjirin mendatangi kantor PT Anugerah Atlantik Nusantara, bersama tiga koleganya.

“Dia minta saya cabut laporan ke Propam. Dia merayu saya,” ujar Sudin.

Tim Kolaborasi mengontak nomor ponsel Muhadjirin untuk mengonfirmasi kepentingannya mendatangi Sudin, tapi nomor tersebut sudah tidak aktif.

Iwan Martikno dan Ketua Umum Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI), Joel Simbolon, menolak memberikan nomor kontak yang aktif dipakai Muhadjirin kepada Tim Kolaborasi. Simbolon hanya menjawab Muhadjirin masih bekerja di KCBI dan tinggal di Jakarta.

Lokasi pertemuan Sudin dengan salah satu atasan dari penyidik Satgas TPPO di sebuah warung makan di dekat TMP Kalibata, Jakarta. (Sumber: Google)

Upaya Konfirmasi Tidak Direspons

Tim kolaborasi Project Multatuli dan Tirto mencoba mengkonfirmasi dugaan pemerasan ini ke Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Dedi Prasetyo, pada 7 Februari 2022. Ia meminta Tim Kolaborasi menghubungi Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan. Saat ditanya soal ada dugaan pemerasan yang dilakukan salah seorang penyidik Satgas TPPO Bareskrim Polri terhadap perusahaan penyalur ABK, Ramadhan berkata belum bisa merespons.

“Waduh, saya belum bisa nanggapi. Jalan ceritanya baru dari Anda,” kata Ramadhan saat dihubungi pada 9 Februari 2022. “Ada nggak laporan Propamnya? Coba kirim ke saya dulu. Kirim dulu aja suratnya nanti saya tanggapi.”

Tim kolaborasi sudah mengirimkan kopi lunak surat pengaduan tersebut kepada Ramadhan, tapi tidak direspons kembali.

Konfirmasi kepada Bripka Maulana juga tidak membuahkan hasil. Pesan WhatsApp hanya dibaca, sementara panggilan telepon tidak diangkat. Hingga laporan ini ditayangkan, Humas Mabes Polri tidak merespons terkait dugaan ada pemerasan yang dilakukan salah seorang penyidik di Satgas TPPO.

Hingga 4 Maret 2022, Tim Kolaborasi berusaha mengkonfirmasi kasus tersebut baik dengan mendatangi Divisi Humas Polri maupun ke Kasubdit V Dittipidum Bareskrim Polri, tapi belum ada tanggapan. Baik pesan WhatsApp maupun telepon tidak direspons.

Hasil Penyelidikan dari Propam

Pada 3 Januari 2022, Mabes Polri mengirim surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan Propam.

Diterima oleh Zaenudin lewat pos pada 5 Januari, surat itu memuat bahwa “dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Bripka Maulana selaku anggota Bareskrim Polri… belum ditemukan cukup bukti melanggar Peraturan Disiplin dan/atau Kode Etik Profesi Polri.”

Fungsi surat itu hanya pemberitahuan, “tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan.”

Surat tersebut ditandatangani Kepala Divisi Propam, Kombes Denny SN Nasution.

Proses Penyelidikan Kasus ABK Diklaim Berlarut-Larut di Bareskrim

Selain dugaan pemerasan oleh salah seorang penyidik Satgas TPPO, problem lain yang disorot adalah pengaduan kasus-kasus ABK ke Bareskrim dituding berlarut-larut penyelesaiannya.

Pemenuhan hak atas upaya ABK mendapatkan keadilan saat terjerat perbudakan adalah salah satu masalah paling krusial dalam upaya perlindungan buruh migran.

Saat bekerja di atas kapal ikan asing, banyak ABK mengalami kondisi kerja yang buruk, jam kerja berlebihan, upah tidak dibayar, hingga mendapatkan kekerasan berujung kematian. Kasus-kasus seperti ini telah banyak didokumentasikan oleh sejumlah lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Pengaduan kasus-kasus ini telah dilaporkan ke Satgas TPPO Bareskrim Polri.

Meski begitu, sekalipun ada segelintir dari ratusan kasus itu meledak ketika viral di media sosial, hukuman terhadap pelaku perbudakan dan perdagangan orang yang menimpa ABK masihlah minim.

Terutama terhadap perusahaan penyalur ABK, misalnya dalam kasus paling parah yang menyebabkan kematian dua ABK di kapal Long Xing 629 pada 2019, hukuman terhadap perusahaan-perusahaan ini berakhir dengan vonis ringan, sementara satu perusahaan lain dibiarkan lolos. Para ABK juga menerima kompensasi yang rendah saat menagih hak-haknya.

Salah satu contoh kasus penyelidikan yang didalami Bareskrim adalah sebuah kasus perbudakan ABK yang dialami Sugiono, bukan nama sebenarnya. Salah seorang penyidik Satgas TPPO Bareskrim berkata kepada Sugiono “meminjam” paspor dan dokumen Basic Safety Training (BST) dia.

Sugiono adalah ABK yang diberangkatkan oleh salah satu manning agency di Jakarta pada 2018, ditempatkan di kapal ikan berbendera China, melaut di area Peru dan Argentina sekitar dua tahun.

Namun, selama bekerja di atas kapal ikan itu, gaji penuhnya sekitar Rp100 juta belum dibayarkan oleh perusahaan penyalur ABK.

“Kata Bareskrim, mereka meminjam dokumen saya karena lagi menyelidiki bos perusahaan yang memberangkatkan saya,” kata Sugiono kepada Project Multatuli dan Tirto pada 7 Februari 2022.

Dalam kasus itu, Bareskrim telah mendatangi perusahaan, tapi kantornya sudah tutup.

Sugiono telah mengontak penyidik Satgas TPPO dan meminta berkas dokumennya dikembalikan. Tapi ia disuruh datang ke Bareskrim. Ia menjawab tak punya uang untuk memenuhi panggilan itu, selain merasa takut.

“Tapi, di sisi lain, saya butuh berkas saya, Pak,” tulisnya dengan emotikon sedih via pesan WhatsApp. Tapi penyidik itu beralasan tak bisa menyerahkan begitu saja dengan mengirim berkas. “Harus prosedural, kamu datang,” balasnya.

Kini, selama setahun lebih, Sugiono bekerja serabutan, termasuk menjadi buruh panggul truk pengangkut logistik untuk sebuah jaringan minimarket, dengan wilayah antaran Brebes dan Bumiayu.

“Saya masih berharap dokumen-dokumennya bisa kembali meskipun sudah ada yang tidak berlaku,” kata Sugiono. “Saya telah mengikuti sekolah bahasa Korea untuk mengikuti program G to G ke Korea dari pemerintah.”

ABK
Seorang ABK mengadukan nasibnya ke SBMI Tegal karena ia belum memperoleh haknya berupa gaji. (Project M/Ricky Yudhistira)

Serupa nasib dengan Sugiono adalah Riski Agung Sulaiman, ABK dari PT Puncak Jaya Samudra.

Riski bekerja di kapal ikan Han Rong 363 yang berlayar di Laut Arab. Di kapal ini, ABK bernama Daroni meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut pada 29 Juli 2020. Bareskrim menyelidiki kasus tersebut; paspor Riski masih “dipinjam” oleh Bareskrim sampai sekarang.

Pada 3 Juni 2020, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengajak sembilan ABK mengadukan 415 kasus perbudakan ABK ke Bareskrim. Ratusan kasus dari 2018 hingga akhir Mei 2020 ini merentang dari kasus gaji ABK tidak dibayar, kecelakan kerja, meninggal dunia di negara tujuan, ABK yang ingin dipulangkan, penahanan paspor atau dokumen oleh perusahaan, pemutusan hubungan kerja sebelum kontrak kerja berakhir, dan sebagainya.

Dari ratusan kasus itu, 135 pengaduan ABK masih proses penyelesaian; 280 kasus sudah selesai.

Dalam webinar Pencarian Keadilan Korban Perdagangan Orang di Kapal Ikan Asing pada 28 Juli 2020, Kepala BP2MI Benny Ramdhani berkata, “Tidak ada satupun kasus yang naik P21 (penyidikan selesai).”

“Jangan-jangan,” katanya menduga, “tidak pernah ada (penyelesaian) di Bareskrim karena perkaranya dihentikan.”

Menanggapi data BP2MI, Ahmad Ramadhan dari Divisi Humas Polri membantah tingginya angka tersebut.

“Enggak ada kasus segitu banyak. Kalau kasus segitu banyak, itu kasus apa? Itu masalah ketenagakerjaan. Di Polri masalah tindak pidana,” katanya terburu-buru meninggalkan gedung Divisi Humas Mabes Polri, kepada Tim Kolaborasi Project Multatuli dan Tirto pada 2 Maret 2022.

 

Anis Hidayah dari Migrant Care Indonesia berkomentar bahwa tata kelola penyaluran ABK masih “amburadul”, yang idealnya baik Satgas TPPO, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan mesti mengambil peran agar para ABK bisa mempunyai akses keadilan yang setara dengan pemilik kapal, pengusaha, bahkan dengan pemerintah sekalipun.

“Prinsipnya, jangan saling menunggu,” kata Anis.

Dalam kasus dugaan pemerasan yang dialami Sudin, pemilik dan Direktur PT Anugerah Atlantik Nusantara, Anis berkomentar problemnya berada pada tantangan hukum.

“Komitmen aparatnya masih dipertanyakan, di sisi lain budaya birokrasinya koruptif, entah memeras atau pungli,” ujarnya.

Sudin sendiri berkata kepada Tim Kolaborasi Project Multatuli dan Tirto bahwa ia siap menanggung risiko dengan membeberkan ceritanya. Pengakuannya tergolong anomali, karena selama ini jarang pemilik perusahaan penyalur ABK mau terbuka mengungkapkan ke publik masalahnya ketika berurusan dengan kepolisian.

Selama menghadapi proses penyelidikan dengan Satgas TPPO, Sudin akhirnya mengurus surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) ke Kementerian Perhubungan. PT Anugerah akhirnya memperoleh surat izin tersebut pada 10 Desember 2021.

“Saya mau uang kembali. Orang yang saya utangin kejar saya. Daripada dikejar utang, apa pun risikonya, saya hadapi,” kata Sudin.

 


Laporan ini adalah serial #PerbudakanABK yang didukung oleh Greenpeace Indonesia

Baca laporan lain dalam serial ini:

Bak Mengkaveling Makam di Laut Lepas: Kisah ABK Korban Perbudakan di Kapal Lu Qing Yuan Yu 

Pera Penjaja Maut di Bisnis Penyaluran ABK

Eksploitasi & Kematian: Kisah Budak-Budak di Laut Lepas 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
14 menit